1
http://biangmakalahku.blogspot.com/2009/12/makalah-ilmu-mantiq-kausalitas.html
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada orang yang mati
ditembak orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata api, perusahaan senjata api juga
bertanggung jawab atas kematian orang tersebut. Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas
jangkauannya. Prof. Moelyatno tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah
benar. Teori ini bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru
membedakan antara syarat dan penyebab. Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata api
tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya seseorang yang disamakan dengan perbuatan
pembunuhnya. Beliau membedakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.
Ajaran tentang kesalahan digunakan apabila terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan
pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan apakah terdakwa melakukan
perbuatan yang dilarang atau tidak.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya
melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain
peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini tidak
semua faktor merupakan penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat
dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini
adalah Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885 yang
menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat
digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor yang dominan atau kuat
pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah
bagaimana menentukan faktor yang dominan dalam suatu perkara. Contohnya, faktor serangan
jantung yang menjadi faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam
ilutrasi di atas. Dan pengemudi mini bus yang membunyikan klakson tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan teori ubergewischts theorie yang
menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan sesuai dengan akibat yang
timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan timbulnya
akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif).
Satu-satunya faktor sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan
memenangkan faktor positif tadi.
Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang mengemukakan teori individualisir
seperti, Teori die art des werden yang dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab
adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari
ajaran Birkmeyer . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang
hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat. Kemudian
teori Letze Bedingung yang dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa faktor yang terakhir
yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan
Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara
syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan.
Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat pengaruhnya jika semua
faktor sama-sama kuat untuk menimbulkan akibat. atau jika sifat dan corak pengaruh tidak sama
dalam rangkaian faktor tidak sama. Kelemahan teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi
berikut: A berniat membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya kaca pembesar di atas
tumpukan jerami sehingga kalau matahari mengenai kaca dapat menimbulkan percikan api yang
memicu kebakaran. Berdasarkan teori ini maka A luput dari jerat hukum pidana sebab faktor
dominan terakhir adalah sinar matahari yang mengenai kaca pembesar. Karena persoalan ini
kemudian muncullah teori generalisasi.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang
berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai
pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat
menimbulkan suatu akibat. Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa
terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran
manusia. Persoalannya kemudian bagaimana menentukan sebab yang secara akal dan menurut
pandangan umum menimbulkan akibat? Berdasarkan pertanyaan ini kemudian muncul teori
Adequat yaitu: 2
a. Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian
faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat
diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat. Contoh, si A
2
http://www.academia.edu/28361589/MAKALAH_TENTANG_KAUSALITAS
mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian jika
dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul si B dengan yang berakibat pada
kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
b. Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau
akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan
dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu
akibat terletak pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
c. Teori Adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada
umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van
Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen
voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai
sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
3
Atmasasmita , Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Yayasan LBH
4
Andi Hamzah, 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
5
Hatrik, Hamzah. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo
6
Choerul Huda , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat
padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar7 Orangnya yang
aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi
perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah
toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan
orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar8
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah
satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan
demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat
dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan
dan perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan
sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi
falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou
Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya
”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is
legally subjected to the exaction9
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut
diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal
balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability.
Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk
membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan
masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa
“pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser
kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.
Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”,
7
Moeljatno, 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta
8
Djoko Prakoso, 1987 Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty
9
Zaenal Abidin, Andi, 1983, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika
melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang
bersangkutan. 10
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam
hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh
unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur
subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan
(kesengajaan dan kealpaan).
a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau
kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh
undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada
keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut
sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)?
Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap
asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah
ini:
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
10
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP
dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban
pidana, serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan
legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban
pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana
civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. 11 Perumusan pertanggungjawaban pidana
secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya
merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam
hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk
mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. 12
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.
13 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari
sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak
pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana
yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang
dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
11
http://id.shvoong.com/tags/pertanggungjawaban-pidana
12
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html
13
http://fristianhumalanggi.wordpress.com/2008/04/15/pertanggungjawaban-dalam-hukum-pidana/
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak
pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan
mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Choerul Huda , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana
Djoko Prakoso, 1987 Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty
Hatrik, Hamzah. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo
Moeljatno, 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta
Romli Atmasasmita , 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Yayasan LBH
Zaenal Abidin, Andi, 1983, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika
http://biangmakalahku.blogspot.com/2009/12/makalah-ilmu-mantiq-
kausalitas.html
http://www.academia.edu/28361589/MAKALAH_TENTANG_KAUSALITAS
http://id.shvoong.com/tags/pertanggungjawaban-pidana
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertianpertanggungjawaban
.html
http://fristianhumalanggi.wordpress.com/2008/04/15/pertanggungjawaban-
dalam-hukum-pidana/
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html