Hubungan Kausalitas
a. Pengertian
Semua peristiwa baik peristiwa alam maupun peristiwa sosial tidaklah terlepas
dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun sosial yang terjadi adalah
merupakan rangkaian akibat dari peristiwa atau sosial yang sudah ada
sebelumnya. Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa
sosial yang lain, demikian seterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain
sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan
kausal, atau hubungan sebab akibat yang dikenal dengan hubungan kausalitas.
Misalnya :
A setiap pagi berangkat ke kantor pukul 07.00 WIB.sebab jam kerja
dimulai pukul 08.00 WIB. Suatu hari karena ada tamu penting bertandang
ke rumahnya, keberangkatan A menjadi tertunda jam yakni pukul 07.30
WIB. Oleh karena tergesa-gesa agar dapat segera tiba di kantor tepat
waktu, A mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba A
menabrak seorang penyeberang jalan hingga korban meninggal dunia.
Oleh sebab tersebut A akhirnya dituntut di muka sidang pengadilan.1
Permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan, peristiwa manakah yang
dapat dijadikan sebab atau alasan pidana bagi A. Hal inilah yang menimbulkan
berbagai pendapat dalam hukum pidana.
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal
yang sulit dipecahkan. Di dalam Indonesiab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk
menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP
hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu
diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap
pembuat, misalnya Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa
pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang
1
meninggal dunia oleh pembuat menurut Pasal 338 KUHP tersebut. Kemudian
Pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang, bahwa penipuan hanya dapat
menyebabkan pembuatnya dipidana bilamana seseorang menyerahkan barang,
memberi hutang maupun menghapuskan piutang karena terpengaruh oleh
rangakaian kebohongan dan tipu muslihat pembuat sebagaimana tersebut
dalam pasal itu.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya
delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat
tertentu, yaitu :
a.
351 ayat 2 KUHP) dan yang mengakibatkan matinya orang lain menjadi paling
lama tujuh tahun penjara (Pasal 351 ayat 3 KUHP). sedangkan apabila
perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk membuat luka berat
orang lain, maka sanksi pidananya jatuh lebih berat yakni paling lama delapan
tahun penjara (Pasal 354 KUHP) apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau
demi kematian orang lain.
Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formil yang tidak
mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu (Pasal242
KUHP), pemalsuan surat-surat (Pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362
KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), pemalsuan materai dan merek (Pasal
253 KUHP), dan sebagainya. Dalam hal delik formil ini, ajaran kausalitas tidak
diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.
b. Teori-Teori Kausalitas
Hubungan sebab akibat akan senantiasa ditemui dalam setiap peristiwa atau
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan rangkaian kehidupan
manusia sebagai mahluk sosial. Namun demikian keanekaragaman hubungan
sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahan yang
tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi
sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan
faktor berangkai yang menimbulkan akibat.
Misalnya (suatu peristiwa benar-benar di Maros).
A menikam B karenanya terjadi luka berat di lengannya dan pada waktu di
antar ke rumah sakit ia muntah darah pula karena ia berpenyakit TBC. Di
rumah sakit ia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluarkan darah
baik karena luka maupun karena muntah darah itu.
Faktor yang mana yang menjadi sebab kematiannya. Karena ditikam atau
penyakit TBC itu ?3
hendak
menghukum
seorang
muridnya
yang
nakal
dengan
kesalahannya. Tetapi pada saat murid sudah berada di dalam kamar, tibatiba terjadi gempa yang memporak-porandakan kamar beserta isinya
termasuk murid yang tertimpa balok sebab tidak dapat melarikan diri
mengingat kamar dalam keadaan terkunci dari luar, dan akhirnya tewas.5
Dari contoh kasus ini dapat menimbulkan pertanyaan apakah perbuatan
memasukkan murid ke dalam kamar dapat dianggap sebagai causa (sebab)
kematiannya ? Menurut Von Buri perbuatan itu dapat dianggap sebagai
penyebabnya. Tetapi hal tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan sebab
Von Buri tidak memperhatikan faktor gempa yang datang dengan tiba-tiba
sebagai sesuatu yang kebetulan terjadi.
Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada
prinsipnya teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimbangi dengan
restriksi (pembatasan). Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan
dalam pelajaran tentang kesengajaan dan kealpaan (opzet en schuldleer). Dari
contoh yang penulis kemukakan di atas bahwa menghukum murid yang nakal
dengan memasukkannya e dalam kamar yang terkunci dapat dikatakan sebagai
causa (sebab) kematiannya, tetapi perlu pula diketahui bahwa dalam hal ini A
sebenarnya tidaklah bersalah. Mengingat di dalam Undang-Undang Pidana
ditentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang harus
dibuktikan tentang sikap batinnya apakah mengandung unsur kesengajaan
ataukah kelalaian. Dikatakan dengan contoh di atas jelaslah bahwa A
sebenarnya hanya berniat untuk menghukum muridnya saja, tidak ada niat
untuk menjadikan muridnya mati
Ibid., hlm.178
Contoh Kasus :
Peristiwa 1 : X menghina Y
Peristiwa 2 : Y memukul X
Peristiwa 3 : Karena marah X lari untuk mencari alat guna untuk
menganiaya Y, dan melihat Z sedang mengasah pisau, lalu
pisau dipinjam oleh X.
Peristiwa 4 : X mendatangi Y, dan menusuk tangan dan kaki Y.
Peristiwa 5 : Karena luka dan mengeluarkan darah banyak, Y naik taksi
milik A, untuk ke rumah sakit.
Peristiwa 6 : A mengemudi taksi dengan kencang, dan tercebur disungai,
akhirnya Y tewas, dan A selamat.
Siapa yang dipertanggungjawabkan atas peristiwa matinya Y dalam kasus di
atas ? menurut Teori Ekuivalensi, semua orang yang terlibat dalam peristiwa
itu dapat dipertanggungjawabkan atas matinya Y, yaitu : X, Z, dan A. mengapa
demikian ? Karena semua syarat itu sama nilainya, yaitu menjadi penyebab
matinya Y. Kalau salah satu syarat itu tidak ada, pastilah Y tidak akan mati.
Teori
yang
demikian
dalam
hukum
pidana
sulit
diterima
(karena
Tri Andrisman, Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia serta Perkembangan
-nya dalam Konsep KUHP 2013,(Bandarlampung:Aura Printing & Publishing, 2013), hlm.64
pada
10
11
pidana, ukuran yang dipakai adalah :dari serentetan faktor yang aktif dan
pasif, dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut, sedang
faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Jadi teori ini
mendasarkan penelitiannya pada fakta setelah delik terjadi (post-factum).12
Pendukung lainnya adalah Birkmeyer, menurutnya : sebab adalah syarat
yang paling kuat.13
Pada dasarnya teori indvidualisasi banyak ditentang oleh para sarjana.
Kritik mereka diantaranya : (a) Bagaimanakah menentukan faktor yang
paling kuat ?; (b) apakah ukurannya ? .14
Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu
delik omisi yang sebenarnya adan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos
pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada masalah kausalitas, dapat
dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.
Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas.
Misalnya seorang penjaga kereta api yang tidak menutup pintu rel kereta
api sehingga terjadi kecelakaan. Karena tidak menutup pintu rel kereta api
itulah merupakan sebab terjadinya kecelakaan itu. Dalam ilmu alam, tidak
mungkin
keadaan
negatif
menimbulkan
keadaan
positif.
Inilah
12
14
15
RvJ
matinya
pengendara
sepeda
motor
dapat
Ibid.,hlm.82
18
20
Ibid.,hlm.86
21
Ibid.,hlm.87
a. Perbuatan itu bersifat melawan hukum, baik itu berdasarkan undnagundang (hukum tertulis) maupun hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
b. Sifat melawan hukum perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan
delik, dapat hapus berdasarkan ketentuan undnag-undang(hukum tertulis)
maupun berdasar ketentuan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
Contoh kasus :
Orangtua memukul anak, membunuh teman yang luka parah dan sekarat di
tempat repencil dan terasing, menerobos masuk rumah orang untuk
memadamkan kebakaran.22
Sejak tanggal 20 Februari 1933 di negeri Belanda ajaran SMH Formil,
sudah tidak di anut lagi (dan ini juga berlaku untuk negara Indonesia, baik
pada waktu masih Hindia Belanda maupun sesudah Indonesia merdeka). Pada
tanggal di atas, Hoge Raad (HR) Negeri Belanda mengeluarkan Arrest
(Putusan) dalam perkara Dokter Hewan di Huizen.
Kasus Posisi :
Seorang dokter hewan dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang sapi-sapi yang menderita sakit kuku dan mulut. Perbuatan
dokter hewan tersebut melanggar Pasak 82 Undang-Undang Ternak, yang
menytakan Larangan terhadap perbuatan yang sengaja menempatkan ternak
dalam keadaan yang membahayakan.
Jadi perbuatan dokter hewan yang dengan sengaja telah memasukkan sapi-sapi
yang sehat ke kandang sapi-sapi yang sakit itu telah memenuhi rumusan delik
Pasal 82 Undang-Undang Ternak. Dan menurut Ajaran SMH Formil sudah
bersifat melawan hukum, jadi sudah merupakan tindak pidana dan harus
dipidana. Hal ini disebabkan dalam Undang-Undang Ternak tidak diatur alasan
yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya Pasal 82 tersebut.
22
Ibid.,hlm.87
Dalam persidangan, dokter hewan menjelaskan, bahwa hal itu dilakukan untuk
kepentingan ternak sendiri, yakni : kalau tidak dimasukkan pada saat itu, tetap
saja sapi-sapi yang sehat akan tertular. Dan sapi-sapi akan lebih menderita,
apabila saat tertularnya sapi-sapi sedang dalam musim menyusui.
HR (Hoge Raad) membenarkan alasan dan tindakan dokter hewn tersebut,
kemudian membebaskannya dari tuntutan. Dengan adanya putusan HR tersebut
maka sejak saat itu Ajaran SMH yang dianut adalah Ajaran SMH Materiil,
tetapi dalam fungsinya yang negatif.23
3. Persoalan dalam Praktik Peradilan dengan Diterimanya Sifat Melawan
Hukum yang Materiil
Dalam praktik peradilan, ternyata dengan diterimanya sifat melawan hukum
yang materiil menimbulkan persoalan dalam penerapannya. Oleh karenanya
dengan
diterimanya
SMH
Materiil
dala
praktik
peradilan
(sebagai
ketentuan
undnag-undang
(hukum
tertulis)
maupun
Ibid.,hlm.88
24
Ibid.,hlm.89
25
Ibid.,hlm.89
26
Ibid.,hlm.89
4. Melawan Hukum
Seringkali dalam praktek sehari-hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan
melawan
hukum
tetapi
undang-undang
memandangnya
sebagai
27
Ibid.,hlm.90
28
29
D.Hazewinkel Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, bewerk door
J.Remmelink, (Groningen:H.D.Tjeenk Willink B.V,1983),hlm.254
D.Hazewinkel Suringa,Ibid.,hlm.254-255
saksi, ahli atau juru bahasa yang tidak datang secara melawan hukum yang
dipanggil menurut undnag-undang berarti : Zonder geldige reden wegbleven,
indien de betrokkene ver plicht is te verschijnen (tanpa alasan yang tidak
wajar tidak datang, yang bersangkutan wajib menghadap).32
Dibedakan pula pengertian melawan hukum formil dan materiel. Menurut
Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrechtelijk) jadi
bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan undang-undang.
Dengan demikian, Pompe memandang melawan hukum sebagai yang
Indonesia maksud dengan melawan hukum materiel. Ia melihat kata on
rechtmatig, (bertentangan dengan hukum) sinonim dengan Wederhechtelijk
(melawan hukum) sesuai dengan Pasal 1365 BW. Sama dengan pengertian
Hoge Raad dalam perkara Cohen-Lindenbaum (HR 31 Januari 1919 N.J. 1919
hlm 161 W. 10365), yang juga meliputi perbuatan bertentangan dengan hukum
tidak tertulis, yang bertentangan dengan kepatutan, dipandang melawan
hukum.33
Sedangkan melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan
undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil..
Melawan hukum materiel harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau
tidak ada melawan hukum (materiel) maka merupakan dasar pembenar. Dalam
penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang
bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum
crimen sine lege stricta yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Melawan hukum sering merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya
tresebut secara jelas di dalam rumusan delik seperti lain-lain. Kadang-kadang
hanya tersirat di dalam rumusan delik. Artinya melawan hukum secara umum.
Misalnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan). Di sini melawan hukum sebagai
32
J.E.Jonkers,op.cit..,hlm.65
33
W.P.J.Pompe,op.cit.,hlm.104
unsur dapatnya di pidana, bukan bagian inti (bestanddeel) delik. Apabila pada
yang tersebut pertama, bagian inti melawan hukum tidak terbukti, maka
putusannya bebas (vrijspraak). Jadi, melawan hukum sebagai bagian inti harus
tercantunka dalam dakwaan, dan itulah yang harus dibuktikan.
Di muka telah dikemukakan putusan Hoge Raad 1946, N.J. 1946 No.548,
mengenai melawan hukum (yang bersifat umum) sebagai dapatnya dipidana
(starfbaarheid) suatu perbuatan. Jadi, penjatuhan pidana hanya terjadi jika
perbuatan dilakukan melawan hukum.
Sedangkan kalau melawan hukum hanya unsur (element) atau Hazewinkel _
Suringa menyebut ciri (kenmerk), maka tidak perlu dicantumkan dalam
dakwaan, dan tidak perlu dibuktikan. Dipandang unsur melawan hukum ada,
sampai dibuktikan sebaliknya, bahwa perbuatan itu tidak melawan hukum.
Jadi, putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam perkara korupsi, diterima oleh Jurisprudensi dalam perkara Machfus
Effendi MA 8 Januari 1966, Reg.No.42 K/Kr/1965, tidak melawan hukum
secara materiel (alasan pembenar) : suatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas
keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum. Juga putusan Mahkamah Agung dalam perkara Ir.Otjo Danuatmadja
(M.A.20 Maret 1977, Reg. No.81 K/Kr/1973) diputuskan hal sama : Tertuduh
sebagai insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang
tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengambil keuntungan bagi
dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah mobilitas serta untuk
kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikan,
serta secara materiel tidak melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk
dari rumusan delik yang bersangkutan.34
34
Andi Hamzah,op.cit.,hlm.142
Jadi karena telah mencocoki rumusan delik, maka telah melawan hukum secara
formil. Dalam kasus korupsi tersebut, Mahkamah Agung melepas dari segala
tuntutan hukum terdakwa yang berarti tidak melawan hukum secara materiel,
merupakan dasar peniadaan pidana di luar undang-undang.
5. Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Yurisprudensi Belanda
Kasus 1. Putusan HR 20 Februari 1933, yang terkenal dengan nama Vee-arts
arrest35 adalah putusan pertama yang menerapkan ajaran sifat melawan-hukum
materiel sebagai alasan pembenar.
Dalam pertimbangannya, HR menyatakan pembebasan bagi dokter hewan itu
sifat melawan hukum dari perbuatannya menjadi hilang dengan alasan bahwa :
Walaupun dokter hewan itu melanggar Pasal 82 Vee wet, tidaklah dapat
diterima bahw aia harus dihukum, akrena dia menurut pedoman-pedoman
secara ilmiah benar dan memperbaiki kesehatan ternak.36
Dari kata-kata menurut pedoman-pedoman secara ilmiah benar, itulah
disimpulkan bahwa HR telah menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiel
sebagai alasan pembenar sebab alasan yang disebut tadi tidak terdapat dalam
WvS, jadi berada di luar Bab 3 buku I.
Terhadap putusan tersebut ada keberatan-keberatan yang diajukan oleh para
pakar hukum pidana Belanda, diantaranya Hazewinkel Suringa, yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini : Men zou zelf kunnen zeggen dat de
veearts handelde in uitvoering van een wettelijk voorschrift.37 (Mungkin orang
akan berpendapat bahwa dokter hewan itu menjalankan kewajiban sesuai
dengan perturan perundang-undangan).
Sedangkan Van Bemmelen berpendapat ,
35
36
Ibid.
37
Hazewinkel Suringa,op.cit.,hlm.302
Tindakan dokter hewan itu, menurut pandangan saya, juga dapat diuraikan
sebagai suatu tindakanm yang tidak bertentangan dengan ketelitian yang
sesuai dengan pandangan masyarakat terhadap orang lain dan milik orang
lain.38
Tetapi Van Been berpendapat :
Niet het ontbreken van materiele wederrechtelijkheid was hier aan de
orde, maar een beroeps-exceptie. Er moet worden aangenomen dat de
wetgever niet heeft willen ingrijpen en wat een beoefenaar van een aan
hoge eisen van opleiding en bekwaamheid beantwoordend beroep naar de
regels van zijn beroep te verrichten. Men zou kunnen spreken van de
diergeneeskundige exceptie.39
(Tidak benar ada hilangnya siat melawan hukum materiel: dibicarakan
disini, tetapi suatu eksepsi karena menjalakan pekerjaannya. Disini harus
diterima bahwa pembuat undang-undang tidak ingin menindak orang yang
melaksanakan pekerjaan/profesinya dan karena memenuhi tuntutan
pendidikan berbuat sesuai dengan tuntutan dari pekerjaan/profesinya.
Orang mungkin akan mengatakan tentang eksepsi pekerjaan dokter ahli
hewan).
Berbeda dengan pendapat-pendapat tadi, Schaffmeister dan Heijer mengatakan
:Het beschermde belang,dat in dit geval door de gedragwijze van de veearts
niet geschonden maar gedieno, ......(Dalam perkara ini kepentingan hukum
yang dilindungi tidak dilanggar, malah dilayani...........).
Putusan tentang dokter hewan ini adalah satu-satunya putusan yang dikatakan
telah menerapkan hilangnya sifat melawan hukum materiel sebagai alasan
pembenar. Akan tetapi, seperti disebutkan tadi, ternyata masih juga terdapat
38
Van Bemmelen J.M., Hukum Pidana I, Hukum pidana Material bagian umum, (Bandung:
Binacipta, 1984), hlm.102
39
banyak keberatan. Dari beberapa putusan yang akan diuraikan dibawah ini,
ternyata ada keinginan-keinginan , terutama dari kalangan pengacara, agar
alasan pembenar ini diterapkan lagi, tetapi selalu kandas di Mahkamah Agung
(Hoge Raad) dengan penolakan-penolakan kasasi yang diajukan.
Kasus 2. Dalam kasus rokok, pengacara terdakwa dengan tegas mengajukan
bantahan dengan alasan bahwa dalam perkara ini perbuatan terdakwa dapat
dibenarkab berdasarkan alasan hilangnya sifat-sifat melawan hukum materiel.
Pengacara terdakwa tersebut mengajukan bahwa :
Benda-benda yang menajdi objek dalam perkara ini sebenarnya jatuh di
luar jangkauan peraturan distribusi karena merupakan suattu pelanggaran
yang tidak penting sebab situasi pada waktu itu sudah menunjukkan suatu
keadaan di mana persediaan rokok memperlihatkan gejala yang baik
(mulai banyak) .
Dalam kaitannya dengan sifat melawan hukum materiel, perbuatan
terdakwa tidak bertentangan dengan tujuan pembentukan peraturan itu,
bahkan menunjangnya.
Alasan Pngadilan Tinggi bahwa perbuatan terdakwa dianggap bertentanga
dengan ketertiban hukum, justru merupakan kerugian ideal dari ketertiban
hukum itu sendiri karena pengadilan tinggi hanya melihat dari pandangan
bahwa perbuatan terdakwa memang jatuh dalam perumusan delik dari
Undang-Undang Distribusi tersebut, padahal sesungguhnya apa yang
menjadi aptokan dari ketertiban hukum sangat tidak jelas dan tidak terlalu
pasti.40
Tetapi HR menolak alasan (keberatan) kasasi tersebut karena :
Jelas cara-cara penerimaan rokok-rokok tersebut melalui duane secara
teratur, dan penyampaian oleh pihak ketiga, yang menerima benda-benda
itu, telah memasuki bidang yang dikuasai oleh peraturan distribusi dan
dapat menerobos tujuan distribusi.41
40
41
Ibid.,hlm.L.A.-5
Van Veen, dalam buku Van Bemmelen, seperti dikutip di atas, menyatakan
bahwa sebenarnya dia sependapat dengan kesimpulan Adv.Gen. dalam perkara
tersebut:
. . ., saya sependapat bahwa tidak adanya hal melawan hukum material
hanya boleh diterima jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam
rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan
keuntungan yang sedemikian rupa dapatdirasakan sehingga keuntungan ini
seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang
bertentangan dengan undang-undang.
Kasus 3. Kasus Krakers adalah tentang penghunian secara tidak sah dari
orang-orang (biasanya tunawisma) terhadap rumah-rumah kosong atau yang
tidak ada penghuninya.42 Mereka, para krakers, biasanya juga tidak ada
mengetahui atau tidak berusaha mencari tahu pemilik rumah, dan sepanjang
tidak mengganggu para krakers ini sepanjang tidak ada keluhan dari pemilik.
Dengan demikian, keberadaan para krakers ini dianggap tidak melawan
hukum.
Dalam kasus ini, terdakwa,H.J.K., ketahuan menghuni rumah kosong milik van
Dinter yang tidak dihuni oleh pemiliknya. Pemilik rumah melapor kepada yang
berwajib bahwa rumahnya telah dihuni oleh para krakers, padahal
pengosongan rumah oleh pemilik dilakukan karena rumah itu sedang
ditawarkan untuk dijual. Karena itu terdakwa dituduh melanggar Pasal 138
WvS (Pasal 167 KUHP).
Dalam perkara ini yang menarik perhatian penulis ialah dipersoalkannya
perkataan woning in gebruik yang merupakan salah satu unsur Pasal 138 WvS
tersebut yang tercantum dalam dakwaan jaksa.
Pengacara terdakwa pertama-tama mempersoalkan unsur woning in gebruik
tidak terbukti sehingga secara materiel unsur melawan hukum menjadi hilang.
42
Menurut ilmu bahasa, ketentraman rumah tangga yang hendak dilindungi oleh
pasal ini, ditujukan terhadap rumah yang berpenghuni, dan menurut pendapat
masyarakat di tengah suasana kekurangan perumahan, penghunian terhadap
rumah yang kosong dapat dibenarkan.
H.R, yang menyetujui pendapat pengadilan tinggi, menolak pendapat
pengacara terdakwa. Hal ini terutama didasarkan kepada kesimpulan PG, yang
menyatakan bahwa : niet iedere afwezigheid van de bewoners een woning zou
stempelen tot niet in gebruik.(tidak setiap ketidakberadaan pemilik dapat
dicap sebagai tidak dipakai). Adapun terhadap alasan bahwa secara materiel
sifat melawan hukum dalam perkara ini menjadi hilang,PG berkesimpulan
bahwa gagasan terdakwa mengemukakan alasan tersebut sebenarnya hanyalah
merupakan tekanan kepada pemerintah serta mendorong pemerintah agar
kegiatannya dalam bidang pengadaan perumahan diperluas. Jadi, penolakan
pengadilan tinggi atas permohonan banding para terdakwa tersebut dapat
dibenarkan karena perbuatan terdakwa merugikan orang lain. Alasan
menempati rumah kosong dengan alasan kekurangan erumahan, baru boleh
dipergunakan sebagai sarana melaksanakan tekanan kepada pemerintah apabila
tidak terdapat sarana-sarana lain yang sah baik langsung maupun tidak
langsung kepada pemerintah.43
Terhadap putusan ini Van Bemmelen memberikan beberapa komentar :
Dat het binnendringen en het wederrechttelijk vertoeven ini een
leegstaand huis dat door de eigenaar te koop wordt aangeboden niet op
grond van dit artikel gestraft kan worden.
(bahwa memasuki dan menempati sebuah rumah yang kosong secara
melawan hukum, yang ditawarkan oleh pemiliknya untuk dijual, tidak
jatuh dalam perumusan delik Pasal 138 Sr. Dan karena itu tidak dapat
dihukum berdasarkan pasal ini).
43
Ibid., hlm.L.A.-8
45
Ibid., hlm.39
masyarakat
umum,
daerah
meskipun
yang
itu
dan
karenanya
mendapat
melayani
pelayanan
bukan
Ibid., hlm.47
dengan
pertimbangannya
itu
dengan
menyatakan
tepat
Pengadilan
perbuatan-perbuatan
Tinggi
yang
dalam
terbukti
Ibid., hlm.44
48
Ibid.,hlm.57
50
Ibid.,hlm.52
51
Ibid.,hlm.49
53
Ibid., hlm.1
tersebut tidak tersedia dana yang cuku pada bank atas nama cek tersebut
ditarik (cek kosong), telah terbukti dengan sah dan menyakinkan menurut
undang-undang.54
Pertimbangan Pengadilan Tinggi Ekonomi Padang, antara lain :
Alasan tertuduh-tertuduh yang mengatakan bahwa mereka tidak mendapat
keuntungan dalam penarikan cheque tersebut hanya dapat digunakan
sebagai alasan untuk mengentengkan seperlunya hukuman yang dijatuhkan
kepada tertuduh-tertuduh.
Hakim pertama dalam pertimbangannya dalam putusan a quo putusan
mana oleh Pengadilan Tinggi disetujui dan dijadikan sebagai alasan-alasan
sendiri, telah dengan tepat menyatakan bahwa perbuatan yang dituduhkan
kepada para tertuduh dan kesalahannya terhadap perbuatan-perbuatan itu
telah dengan sah dan menyakinkan akan tetapi kurang tepat dalam
menjatuhkan hukuman denda kepada tertuduh-tertuduhm sehingga oleh
karena itu Pengadilan Tinggi memperbaikinya.55
Para terdakwa mengajukan permohonan kasasi, yang diterima oleh Mahkamah
Agung dan dipertimbangkan :
Meskipun Undang-Undang No.17/1964 tersebut merupakan delik formil,
namun Hakim secara materiel harus memperhatikan juga adanya
kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas mana mereka tak dapat
dihukum (materiele wederrechtelijkheid).
Tujuan dari pada undang-undnag tersebut adalah ditujukan kepada adanya
kesengajaan untuk manipulasi, oleh karena mana diberikan sanksi yang
berat yaitu hukuman mati dan sebagainya.
PT.Caltex Pasific Indonesia adalah merupakan suatu perusahaan raksasa
yang mempunyai nilai bermilyar-milyar rupiah sehingga memang aneh
kalau para tertuduh dengan sengaja mengeluarkan cek kosong sebanyak
Rp. 3.000.000,00.
54
Ibid.,hlm.24
55
Ibid.,hlm.9
Disamping itu memang ada 2 bank rekening, yaitu BNI Unit I dan BNI
Unit III, dimana pada BNI Unit I saldonya kurang, sedangkan pda BNI
Unit III saldonya cukup. Jadi adalah sangat mungkin adanya kelalaian
tanpa sengaja mengeluarkan cek atas nama BNI Unit I.
Bahwa yurisprudensi pada waktu sekarang ini jelas menganut materiele
wederrechtelijkheid (Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966
No.42K/Kr/1965).56
7. Catatan Perbandingan Kasus Belanda dan Indonesia
Dari uraian kasus-kasus, baik kasus Belanda maupun kasus Indonesia, tampak
bahwa titik tolah ajaran sifat melawan hukum materiel adalaj ketidakpuasan
hakim dalam menerapkan alasan-alasan pembenar yang ada dalam undangundang. Akan tetapi, perkembangan penerapan ajaran di kedua negara tersebut
menjadi berbeda.
Satu-satunya kasus yang menerapkan hilangnya sifat melawan hukum materiel
sebagai alasan pembenar, yaituu dalan Veearts arest masih juga mengundang
pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, hilangnya sifat melawan huku
materiel tidak pernah lagi digunakan karena sifat seperti dikemukakan oleh Van
Veen :
Dengan tepat sekali Th. Van Veen dalam catatannya dalam Themis 1971,
memperingatkan, bahwa hakim harus berhati-hati sekali sebelum
mengambil keputusan dari tuntutan hukum berdasarkan tidak adanya hal
melwan hukum materiel. Dengan menerima tidak adanya hal melawan
hukum materiel dala sutau peristiwa tretentu, hakim sebetulnya mengambil
tempat yang diduduki oleh pembuat undag-undang. Dengan ini hakim
mengesampingkan undang-undang. Hakim hanya boleh melakukan ini,
jika ia berpendapat, bahwa kalau pembuat undang-undang sendiri
menghadapi persoalan ini sudah pasti dibuatnya kekecualian,.......57
56
Ibid.,hlm.5
57
Di Belanda
Noodtoestand/overmacht-art
Di Indonesia
Daya paksa / keadaan
40 WvS
darurat
Pasal
48
KUHP
Wettelijk voor schrift art. 42
WvS ambtelijk bevel art. 43
Pasal 50 KUHP
(1) WvS
Tidak tertulis / di luar Ontbreken van het materiele
Undang-Undang
melawan hukum
wederrechttelijkheid
Tuchtrecht
medische
beroepsrecht
exeptie
toestemming
Komariah Emong Spardjaja, ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam hukum Pidana
Indonesia ,Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,
(Bandung:Alumni,2002), hlm.184
undangan mendapat tempat utama. Hal ini terungkap dalam Krakers Arrest,
Deep Throat Aresst dan Euthanasie Arrest, pada waktu majelis hakim dalam
pertimbangan hukumnya menafsirkan kata-kata woning ingebruik, perbedaan
antara kata levens benemen dan levens beroven. Majelis hakim menoleh kepada
sejarah ketika perumusan delik-delik tadi diperdebatkan dalam parlemen
Belanda.
Jika dihubungkan dengan teori Radbruch yang dikemukakan sebagai
permasalah
filsafat,
tampaknya
hakim-hakim
Belanda
yang
lebiih
dalam
putusan-putusan
Rokok,
Leidse
MOB,
Aruba
Rasjidi,
mengutip
kepentingan-kepentingan
pendapat
Roscoe
Puond,
mengklasifikasikan
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu ?, (Bandung:Remadja Karya CV,1988),
hlm.228
65
Ibid.,hlm.211-212
sejalan dengan Pasal 5 b Undang-Undang Drt No. 1 Tahun 1951 dapat juga
dilihat dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) RUU KUHP 2012.
Ada beberapa dugaan, mengapa hakim pidana di Indonesia menerapkan ajaran
sifat melawan hukum materiel ini secara positif.
Pertama, merujuk pada pedapt Sudarto : sehubungan dengan kenyataan
bahwa teks resmi KUHP itu masih dalam bahsa Belanda, maka sebenarnya
apabila Indonesia hendak menerapkan KUHP secara tepat, maka orang
harus mengerti bahasa Belanda.66
Dugaan kedua, kesalahan ada pada pembuat undnag-undang sendiri, yaitu
tidak memberikan penjelasan yang jelas terhadap suatu naskah perundangundangan atau tidak membuat catatan-catatan yang baik terhadap
pembicaraan-pembicaraan rancangan undang-undang. Ini menyulitkan
penelusuran
sejarah
perundang-undangan,
yang
pada
gilirannya
68
Ibid.
yang kuat, serta kaya pengalaman (empiris) sebab yang dipertaruhkan dalam
suatu perkara pidana adalah nyawa, kemerdekaan, kehormatan, kekayaan
seseorang,
di
samping
kepentingan-kepentingan
negara,
bangsa,
dan
Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-undangan dalam Rangka
Usaha Penanggulangan Kejahatan, Disertasi,(Bandung:Univesitas Padjajaran,1986),hlm.376
Muljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawab dalam Hukum Pidana ,(Jogjakarta:
Universitas Gajah Mada,1969), hlm.18
72
Ibid.
dari
pemerintah
belaka,
tetapi
harus
disertai
dengan
penafsiran
mengaktualisasikan
hukum
dengan
perkembangan
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Pidana dan Gelagat Kriminalitas Masyarakat Pasca Industri,
Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, (Bandung,21 Desember 1991),hlm.18
76
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Melihat kepada kejahatan dan penegakan
hukum dalam batas-batas toleransi), Pidato Pengukuhan diucapkan pada Upacara Penerimaan
Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,(Jakarta:30 Oktober 1993,hlm.6
78
recht). Jika tidak, putusan itu akan bersifat suatu putusan atas sesukanya hakim
sendiri (willekeur).79 Namun, selanjutnya dikatakan : bahwa tiap-tiap putusan
jalan tengah, pada hakikatnya adalah putusan yang membentuk peraturanperaturan hukum baru berdasarkan atas fakta-fakta baru yang mengharuskan
hakim untuk menyimpang dari strikt recht yang telah ada.80
9. Batas Penafsiran Yudisial dalam Hukum Pidana
Dari analisis kasus Indonesia serta uraian-uraian seperti yang telah
dikemukakan di atas, tampak bahwa Mahkamah Agung, setidak-tidaknya, telah
membuat dua putusan yang sangat penting karena telah menafsirkan tentang
arti sifat melawan hukum materiel, sedangkan putusan kedua , yaitu
No.275K/Pid?1982, memberi arti tentang sifat melawan hukum materiel,
setidak-tidaknya dalam perkara korupsi.
Terutama putusan yang kedua telah berdampak luas, karena dengan putusan
itu, Mahkamah Agung yang telah merinci unsur perbuatan merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dengan negara dirugikan,
kepentingan umum tidak dilayani, dan terdakwa mendapat untung. Unsurunsur itu adalah kebalikan dari kaidah yang didapat/ditarik dari putusan
pertama. Rincian unsur-unsur tadi dengan sendirinya telah memberi peluang
kepada suatu penafsiran yang lebih luas lagi terhadap Pasal 1 Undang-undang
No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti telah
dibuktikan dalam kasus Bank Duta. Penafsiran yang sangat luas dan bahkan
menganalogikan sangat berbahaya bagi kepastian hukum.
Penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut, mengingatkan
pada kebiasaan di bidang ketatanegaraan tentang perubahan kontitusi.
Wheare menulis tentang bagaimana suatu konstitusi dapat berubah, yaitu
melalui :
79
Ibid,.hlm.47
80
Ibid.
yang
berkenaan
dengan
judicial
interpretation,
Wheare
ini,
karena
padar
dasarnya
hampir
setiap
undang-undang
K.C.Wheare,ModernConstitution,third impression,(London:OxfordUniversity,1976),hlm.67-121
82
Ibid.,hlm.100
83
diikuti
oleh
pengadilan
bawahannya
juga
didiamkan
85
Ibid.
86
87
Sri Soemantri.,op.cit.,hlm.129
G.H.Lankhorst, De relativiteit van de onrechtmatige daad, disertasi untuk meraih gelar Doktor
pada Universitas Leiden,(Leiden:Kluwer-Deventer,1992),hlm.249
89
La.Fave.,op.cit.,hlm.69
90
Ibid.
93
Ibid., hlm.61-62
ketika di makan oleh B. Jadi menurut teori instrument, locus delicti-nya adalah
di Jakarta, sebab di Jakartalah instrument/alat yang digunakandalam tindak
pidana itu menimbulkan akibat, yaitu akibat memakan kue taart tersebut
menyebabkan B mati.
Dengan adanya berbagai teori tentang locus delicti di atas, pertanyaannya
adalah teori manakah yang bisa digunakan untuk menentukan locus delicti ?
menurut penulis, penggunaan teori tersebut harus kaku menganut salah satu
teori, namun fleksibel disesuaikan dengan kasus In concreto yang terjadi.94
94
Ibid., hlm.62