Anda di halaman 1dari 56

E.

Hubungan Kausalitas
a. Pengertian
Semua peristiwa baik peristiwa alam maupun peristiwa sosial tidaklah terlepas
dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun sosial yang terjadi adalah
merupakan rangkaian akibat dari peristiwa atau sosial yang sudah ada
sebelumnya. Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa
sosial yang lain, demikian seterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain
sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan
kausal, atau hubungan sebab akibat yang dikenal dengan hubungan kausalitas.
Misalnya :
A setiap pagi berangkat ke kantor pukul 07.00 WIB.sebab jam kerja
dimulai pukul 08.00 WIB. Suatu hari karena ada tamu penting bertandang
ke rumahnya, keberangkatan A menjadi tertunda jam yakni pukul 07.30
WIB. Oleh karena tergesa-gesa agar dapat segera tiba di kantor tepat
waktu, A mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba A
menabrak seorang penyeberang jalan hingga korban meninggal dunia.
Oleh sebab tersebut A akhirnya dituntut di muka sidang pengadilan.1
Permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan, peristiwa manakah yang
dapat dijadikan sebab atau alasan pidana bagi A. Hal inilah yang menimbulkan
berbagai pendapat dalam hukum pidana.
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal
yang sulit dipecahkan. Di dalam Indonesiab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk
menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP
hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu
diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap
pembuat, misalnya Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa
pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang
1

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Rineka Cipta,2010), hlm.174

meninggal dunia oleh pembuat menurut Pasal 338 KUHP tersebut. Kemudian
Pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang, bahwa penipuan hanya dapat
menyebabkan pembuatnya dipidana bilamana seseorang menyerahkan barang,
memberi hutang maupun menghapuskan piutang karena terpengaruh oleh
rangakaian kebohongan dan tipu muslihat pembuat sebagaimana tersebut
dalam pasal itu.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya
delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat
tertentu, yaitu :
a.

Delik materiel, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penipuan (Pasal


378 KUHP).

b. Delik culpa, misalnya karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang


lain (Pasal 359 KUHP), karena lalainya menyebabkan lukanya orang lain
(Pasal 360 KUHP), dan sebagainya.
Ada juga yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan terjadinya
akibat tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena
akibatnya, misalnya penganiayaan yang berunsurkan luka berat (Pasal 351
ayat-ayat KUHP) dan matinya orang lain (Pasal 351 ayat 3 KUHP); Pasal 187
ayat 3 KUHP yang mengandung unsur timbulnya bahaya terhadap nyawa
orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Tentang keadaan luka berat dan
matinya orang lain inilah yang dapat disebut sebagai keadaan yang secara
obyektif memperberat pidana, artinya dalam keadaan biasa yang pembuat
sengaja menganiaya orang lain maka sanksi pidananya hanya maksimal dua
tahun delapan bulan penjara atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah (Pasal 351 ayat 1 KUHP).2 Tetapi apabila dalam keadaan yang
secara obyektif, maka sanksi pidananya menjadi lebih berat yakni yang
mengakibatkan luka-luka berat menjadi paling lama lima tahun penjara (Pasal
2

J.E. Jonkers, Handbock Von het Ned Indische Strafrecht, (Leiden:E.J.Brill,1946),hlm.68;


J.M.Von Bemmelen, Ons Strafrecht, Deel 1,Het Materiele Strafrecht Algemeen Deel,
(Groningen:H.D.Tjeenk Willink,1986), hlm.152.

351 ayat 2 KUHP) dan yang mengakibatkan matinya orang lain menjadi paling
lama tujuh tahun penjara (Pasal 351 ayat 3 KUHP). sedangkan apabila
perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk membuat luka berat
orang lain, maka sanksi pidananya jatuh lebih berat yakni paling lama delapan
tahun penjara (Pasal 354 KUHP) apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau
demi kematian orang lain.
Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formil yang tidak
mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu (Pasal242
KUHP), pemalsuan surat-surat (Pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362
KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), pemalsuan materai dan merek (Pasal
253 KUHP), dan sebagainya. Dalam hal delik formil ini, ajaran kausalitas tidak
diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.
b. Teori-Teori Kausalitas
Hubungan sebab akibat akan senantiasa ditemui dalam setiap peristiwa atau
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan rangkaian kehidupan
manusia sebagai mahluk sosial. Namun demikian keanekaragaman hubungan
sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahan yang
tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi
sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan
faktor berangkai yang menimbulkan akibat.
Misalnya (suatu peristiwa benar-benar di Maros).
A menikam B karenanya terjadi luka berat di lengannya dan pada waktu di
antar ke rumah sakit ia muntah darah pula karena ia berpenyakit TBC. Di
rumah sakit ia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluarkan darah
baik karena luka maupun karena muntah darah itu.
Faktor yang mana yang menjadi sebab kematiannya. Karena ditikam atau
penyakit TBC itu ?3

Andi Hamzah, op.cit, hlm.176-177

Bersandar kepada sulitnya penentuan sebab akibat yang mutlak mengingat


banyaknya rangkaian sebab-sebab dalam hubungannya dengan penerapan ilmu
hukum, menimbulkan beberapa aliran atau teori dalam hubungan kausalitas
tersebut. Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adaah
Von Buri dengan teori conditio qua non yang dicetuskan pada tahun 1873.
Menurut Von Buri bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut serta
menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat weggedacht (dihilangkan) dari
rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat
itu. Tiap faktor yang dapat dihilangkan(weggedacht) dari rangkaian faktorfaktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan,
tidak diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan
(niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya
perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama.
Semua faktor tersebut adalah sama dan sederajad. Karena adanya faktor-faktor
yang tidak dapat dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, maka teori Von Buri disebut pula dengan teori conditio sine
quanon. Karena menurut Von Buri semua faktor yang tidak dapat dihilangkan
itu harus diberi nilai sama, maka teorinya juga dikenal dengan teori ekivalensi
(aequivalentie-leer). Dengan demikian teori Von Buri menerima beberapa
causa (meervoudige causa). Di samping itu teori Von Buri dapat juga disebut
dengan Bedingungstheorie, oleh karena menurut Von Buri antara Bedingung
(syarat) dengan causa (sebab) itu tidak ada perbedaan.4
Dalam perkembangannya teori Von Buri banyak menimbulkan berbagai
tanggapam dari kalangan ahli hukum, oleh karena beliau tidak memperhatikan
hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi, seperti contoh kasus berikut ini :
A

hendak

menghukum

seorang

muridnya

yang

nakal

dengan

memasukkannya ke dalam sebuah kamar yang terkunci dari luar. Tujuan


penghukuman tersebut adalah supaya muridnya itu menjadi sadar akan
4

E.Utrecht, Hukum Pidana I,(Jakarta:Penerbit Universitas,1956),hlm.382 ; A.Z.Abidin, Asas-Asas


Hukum Pidana Bagian Pertama,(Bandung:Alumni,1987),hlm.302.

kesalahannya. Tetapi pada saat murid sudah berada di dalam kamar, tibatiba terjadi gempa yang memporak-porandakan kamar beserta isinya
termasuk murid yang tertimpa balok sebab tidak dapat melarikan diri
mengingat kamar dalam keadaan terkunci dari luar, dan akhirnya tewas.5
Dari contoh kasus ini dapat menimbulkan pertanyaan apakah perbuatan
memasukkan murid ke dalam kamar dapat dianggap sebagai causa (sebab)
kematiannya ? Menurut Von Buri perbuatan itu dapat dianggap sebagai
penyebabnya. Tetapi hal tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan sebab
Von Buri tidak memperhatikan faktor gempa yang datang dengan tiba-tiba
sebagai sesuatu yang kebetulan terjadi.
Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada
prinsipnya teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimbangi dengan
restriksi (pembatasan). Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan
dalam pelajaran tentang kesengajaan dan kealpaan (opzet en schuldleer). Dari
contoh yang penulis kemukakan di atas bahwa menghukum murid yang nakal
dengan memasukkannya e dalam kamar yang terkunci dapat dikatakan sebagai
causa (sebab) kematiannya, tetapi perlu pula diketahui bahwa dalam hal ini A
sebenarnya tidaklah bersalah. Mengingat di dalam Undang-Undang Pidana
ditentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang harus
dibuktikan tentang sikap batinnya apakah mengandung unsur kesengajaan
ataukah kelalaian. Dikatakan dengan contoh di atas jelaslah bahwa A
sebenarnya hanya berniat untuk menghukum muridnya saja, tidak ada niat
untuk menjadikan muridnya mati

tertimpa balok. Dan ini harus dapat

dibuktikan tentang adanya unsur sengaja atau kelalaian.6


Ada juga yang menyebut teori Von Buri dengan Teori Ekuivalensi, karena
menurut teori ini : Tiap-tiap syarat sama nilainya (ekuivalen), jika satu syarat
tidak ada maka akan lain akibatnya.
5

Andi Hamzah, op.cit, hlm.177-178

Ibid., hlm.178

Contoh Kasus :
Peristiwa 1 : X menghina Y
Peristiwa 2 : Y memukul X
Peristiwa 3 : Karena marah X lari untuk mencari alat guna untuk
menganiaya Y, dan melihat Z sedang mengasah pisau, lalu
pisau dipinjam oleh X.
Peristiwa 4 : X mendatangi Y, dan menusuk tangan dan kaki Y.
Peristiwa 5 : Karena luka dan mengeluarkan darah banyak, Y naik taksi
milik A, untuk ke rumah sakit.
Peristiwa 6 : A mengemudi taksi dengan kencang, dan tercebur disungai,
akhirnya Y tewas, dan A selamat.
Siapa yang dipertanggungjawabkan atas peristiwa matinya Y dalam kasus di
atas ? menurut Teori Ekuivalensi, semua orang yang terlibat dalam peristiwa
itu dapat dipertanggungjawabkan atas matinya Y, yaitu : X, Z, dan A. mengapa
demikian ? Karena semua syarat itu sama nilainya, yaitu menjadi penyebab
matinya Y. Kalau salah satu syarat itu tidak ada, pastilah Y tidak akan mati.
Teori

yang

demikian

dalam

hukum

pidana

sulit

diterima

(karena

menyamaratakan antara sebab dengan syarat). Secara logika/akal sehat tidak


dapat diterima, orang yang meminjamkan pisau (Z) menjadi penyebab matinya
Y. Oleh karena itu perlu dicari teori lain. 7
Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang berusaha
untuk memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam teori Von
Buri, diantaranya adalah teori mengindividualisasikan (individualiserende
theorien) yang dipelopori oleh Birkmeyer. Pendapat Birkmeyer berpangkal
pada dalil Ursache ist die wirksamste Bedingung, yang menjadi causa adalah
faktor (Bedingung, peristiwa) yang paling berpengaruh (atas terjadinya delik
yang bersangkutan). Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah
terutama apabila di antara semua faktor itu sama berpengaruh atau apabila sifat
dan coraknya dalam rangkaian faktor-faktor yang tidak sama. Di dalam teori
7

Tri Andrisman, Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia serta Perkembangan
-nya dalam Konsep KUHP 2013,(Bandarlampung:Aura Printing & Publishing, 2013), hlm.64

mengindividualisasi ini termasuk juga teori Uebergewicht yang dikemukakan


oleh Binding yang dianut juga oleh Schepper. Kemudian Ortmann dengan
teorinya yang disebut dengan theorie des letzten Bedingung, yang mengajarkan
bahwa faktor yang terkahir yang mematahkan keseimbanganlah yang
merupakan faktor. Kesulitannya ialah bagaimana menentukan faktor yang
terakhir yang mematahkan keseimbangan itu ?
Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan
teori baru yang mengeneralisasi (generaliserende theorie). Pada prinsipnya
teori tersebut menjelaskan bahwa teori Von Buri terlalu luas sehingga harus
dipilih satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia

pada

umumnya dipandang sebagai causa (sebab).


Teori yang mengeneralisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Teori adaequaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang, sepadan. Jadi dikaitkan
dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding
dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat
diramalkan dengan pasti oleh pembuat. Teori Von Kries dapat juga disebut
sebagai teori generalisasi yang subyektif adaequaat,oleh karena menurut
Von Kries yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang
berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat
diterima yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat.8
Teori Adequat yang subjektif dari Von Kries ini bukan merupakan Teori
Kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab
yang adequat, apabila si pembuat dapat membayangkan akan terjadinya
akiba tersebut. Jadi disini tersimpul adanya penentuan unsur kesalahan si
pembuat. Oleh karena itu dicari teori adequat lain yang lebih murni yaitu
teori adequat yang obyektif.9
8

Andi Hamzah, op.cit, hlm.179

Tri Andrisman, op.cit., hlm.66

2. Teori obyektif nachttraglicher Prognose dari Rumeling


Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah
faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang
berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolok ukur
teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu
akibat. Jadi akibat itu walau bagaimanapun harus tetap terjadi dengan cara
mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya
delik. Tolok ukur tersebut merupakan logika yang dicapai menurut
pengetahuan alam yang obyektif. Jadi, kalau yang tersebut pada butir 1
berpangkal pada subyetif, maka yang berpangkal pada yang obyektif dilihat
sesudah terjadi delik.10
Teori Rumelin ini disebut Teori Adequat yang Obyektif karena yang
dijadikan dasar untuk mencari sebab bukan pengetahuan si pembuat,
melainkan keadaan-keadaan obyektif yang kemudian diketahui. Keadaan
atau hal-hal yang obyektif itu, yang menilai adalah hakim.
Contoh Kasus :
1.

A memukul hidung B menjadi buta. Apakah A dapat dipersalahkan

menjadi penyebab butanya mata B ? Butanya mata B, bukan sebab


yang adequat !
2.

Pengendara mobil mengerem mendadak karena ada X yang

menyeberang tiba-tiba. Pengendara mobil itu mendapat serangan


jantung dan pingsan. Apakah X dapat dipersalahkan menyebabkan
serangan jantung pengendara mobil ? Bukan sebab yang adequat,
sehingga tidak dapat dipersalahkan menyebabkan serangan jantung .11
3.

Teori adequaat dari Traeger


Menurut Traeger, inti dari teori ini adalah dari semua peristiwa yang
terjadi, hanya dicari satu peristiwa saja, yang harus dianggap sebagai
sebab daripada akibat itu. Sehingga dalam melihat suatu kasus tindak

10

Andi Hamzah, op.cit, hlm.179-180

11

Tri Andrisman, op.cit., hlm.66-67

pidana, ukuran yang dipakai adalah :dari serentetan faktor yang aktif dan
pasif, dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut, sedang
faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Jadi teori ini
mendasarkan penelitiannya pada fakta setelah delik terjadi (post-factum).12
Pendukung lainnya adalah Birkmeyer, menurutnya : sebab adalah syarat
yang paling kuat.13
Pada dasarnya teori indvidualisasi banyak ditentang oleh para sarjana.
Kritik mereka diantaranya : (a) Bagaimanakah menentukan faktor yang
paling kuat ?; (b) apakah ukurannya ? .14
Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu
delik omisi yang sebenarnya adan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos
pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada masalah kausalitas, dapat
dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.
Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas.
Misalnya seorang penjaga kereta api yang tidak menutup pintu rel kereta
api sehingga terjadi kecelakaan. Karena tidak menutup pintu rel kereta api
itulah merupakan sebab terjadinya kecelakaan itu. Dalam ilmu alam, tidak
mungkin

keadaan

negatif

menimbulkan

keadaan

positif.

Inilah

penyimpangan ajaran kausalitas yang yuridis dari ilmu alam.15


Pompe menerima kausalitas pada pengabaian, tetapi sejauh pengabaian itu
menimbulkan akibat. Jadi, dia juga menerapkan formula sebab adequat
dalam pengabaian.

12

S.R.Sianturi dan E.Y.Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,


(Jakarta:Alumni AHM-PTHM,1982), hlm.127-128
13

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang:Yayasan Sudarto,190), hlm.69

14

Tri Andrisman, op.cit., hlm.65

15

H.B.Vos,Leerbock an Nederlands Strafrecht, (Haarlem:H.D.Tjeenk Willink&Zoon N.V.,1950),


hlm.81

Van Hamel menerapkan ajaran kausalitas conditio sine quanon secara


konsekuen, karena ia mengatakan bahwa jika pengabaian itu ditiadakan
dari pikiran (wegdenkt), maka tidak ada akibat juga.
Untuk membatasi, tidak cukup dengan ajaran kesalahan tetapi juga dengan
hal melawan hukum. Pengabaian hanya bertentangan dengan hukum
(onrechtmatig) kata Van Hamel jika dengan berbuat itu merupakan
kewajiban hukum.16
c. Ajaran Kausalitas dalam Praktik Peradilan
Pengadilan tidak mempedomi ajaran-ajaran kausalitas yang ada secara khusus.
Dalam hal mencari hubungan sebab akibat terhadap suatu peristiwa, pengadilan
mengadakan pertimbangan yang tersendiri, yaitu menganut hubungan sebab
akibat, yang mensyaratkan : Adanya hubungan langsung dan seketika antara
perbuatan dan akibat yang terjadi.
Contoh Putusan Pengadilan :
a. Putusan Raad van Justitie Batavia, 23 Juli 1937.
Sebuah mobil menabrak pengendara sepeda motor dan terpental ke rel
kereta api dan seketika terlindas kereta api dan mati.
Putusan

RvJ

matinya

pengendara

sepeda

motor

dapat

dipertanggungjawabkan atas kesalahan si pengendara mobil. Alasan :


terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kareta api oleh RvJ dipandang
sebagai akibat langsung dan seketika dari penabrakan sepeda motor oleh
mobil.
b. Putusan Pengadilan Negeri Pontianak, 7 Mei 1951
Sebuah kapal motor diberi muatan terlalu penuh, akibatnya tenggelam dan
menewaskan 7 orang penumpang. Kerani/petugas yang mengatur dan
mengawasi pemasukan barang dan orang dituntut di pengadilan sebagai
orang yang bertanggungjawab atas matinya 7 orang penumpang. Alasan :
Kerani bertanggungjawab karena telah diperingati oleh pengawas kapal dan
16

Ibid.,hlm.82

polisi, tetapi tidak memperdulikan. Putusan pengadilan, Kerani bersalah


atas matinya 7 orang, karena : perbuatan terdakwa yang memberangkatkan
kapal dalam keadaan muatan terlalu penuh, ada hubungan erat dengan
kecelakaan itu. 17
F. Sifat Melawan Hukum
Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini
merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan manusia, bukan
terhadap si pembuat. Suatu perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum,
apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana telah
dirumuskan dalam undang-undang. Akan tetapi, perbuatan yang memenuhi
rumusan delik itu senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada halhal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.
Contoh kasus :
a. Regu tembak yang menembak mati terpidana yang dijatuhi pidana
mati.
b. Polisi menahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana.
Regu tembak dan polisi yang dicontohkan di atas telah melakukan tndak
pidana, regu tembak melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan polisi
telah merampas kemerdekaan orang (Pasal 333), bandingkan perbuatan polisi
tersebut dengan perbuatan Ananda Mikola dkk yang telah membawa paksa
Agung Setiawan ke sebuah kamar hotel Ibis, karena Agung Setiawan
wanprestasi dalam pengerjaan proyek renovasi sebuah kantor PT.Kreasi Anak
Bangsa.18
Mengapa perbuatan polisi yang menahan penjahat itu bukan merupakan tindak
pidana, sedangkan perbuatan Marcela Zalianty, Ananda Mikola dkk yang
membawa paksa (menahan) orang yang wanprestasi itu merupakan tindak
pidana ? Perbuatan polisi menahan orang diduga melakukan tindak pidana itu
17

Tri Andrisman, op.cit., hlm.67-68

18

Radar Lampung, 5 Desember 2008

dalam rangka menjalankan tugas menegakkan hukum, walaupun akhirnya


orang tersebut dalam proses penyidikan tidak terbukti tidak terbukti melakukan
tindak pidana, perbuatan polisi tersebut tetap bukan tindak pidana (berdasarkan
Pasal 50 KUHP). lain halnya perbuatan Marcela Zalianty, Ananda Mikola dkk,
walaupun orang yang ditahan (Agung Setiawan) itu melakukan wanprestasi,
namun penyelesaiannya bukan dengan menahan orang yang wanprestasi
tersebut, tetapi mengajukan gugatan secara perdata, karena perkara tersebut
merupakan perkara perdata. Kalaupun perkara itu merupakan perkara penipuan
(karena Marcela Zalianty,Ananda Mikola dkk merasa tertipu, tetap saja mereka
tidak mempunyai hak untuk menahan penipu tersebut (Agung Setiawan).
Tindakan yang dapat dilakukan oleh mereka adalah dengan melaporkan ke
polisi tentang adanya penipuan tersebut. Dalam Hukum Pidana Indonesia
warga negara sipil tidak mempunyai hak untuk bertindak seperti selayaknya
penegak hukum, yaitu melakukan penahanan, penggeledahan, atau penyitaan.19
Berkaitan dengan uraian di atas Indonesia telah memasuki pembicaraan
mengenai hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan yang
diatur dalam undang-undang.
Bagaimana dengan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum di luar
undang-undang, misal :
a. Orang tua memukul dengan tangan anaknya yang nakal.
b. Menembak temannya yang luka parah dan sekarat, ditempat ekspedisi
terpencil (kutub utara).
Apakah dalam kasus di atas telah terjadi tindak pidana, orangtua melakukan
penganiayaan terhadap anaknya (Pasal 351 KUHP) dan orang yang membunuh
temannya itu melanggar Pasal 338 KUHP ?
Berdasarkan uraian di atas, maka sifat melawan hukumnya perbuatan dapat
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
19

Tri Andrisman, op.cit., hlm.85

1. Sifat melawan hukum yang formil (disingkat SMH Formil)


2. Sifat melawan hukum yang materiil (disingkat SMH Materiil)

1. Sifat Melawan Hukum Formil (SMH Formil)


Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam
dengan pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang.
Sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya
berdasarkan suatu ketentuan undang-undang.20
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SMH Formil itu meliputi
2 (dua) hal, yaitu :
a. Perbuatan itu melawan hukum, apabila diancam pidana oleh undangundang.
b. Perbuatan yang diancam pidana itu dapat tidak dipidana (dihapuskan
SMHnya), apabila ditentukan berdasarkan undang-undang.
2. Sifat Melawan Hukum Materiil (SMH Materiil)
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat
dalam UU saja, tetappi harus juga melihat berlakunya asas-asas hukum yang
tidak tertulis.21
Perumusan yang ke-2 (SMH Materiil) ini lebih luas daripada perumusan yang
ke-1 (SMH Formil) dan dalam praktik peradilan (yurisprudensi) perumusan
SMH Materiil ini yang diikuti. Tetapi hanya terbatas pada SMH Materiil dalam
fungsinya yang negatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa menurut ajaran SMH Materiil :

20

Ibid.,hlm.86

21

Ibid.,hlm.87

a. Perbuatan itu bersifat melawan hukum, baik itu berdasarkan undnagundang (hukum tertulis) maupun hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
b. Sifat melawan hukum perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan
delik, dapat hapus berdasarkan ketentuan undnag-undang(hukum tertulis)
maupun berdasar ketentuan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
Contoh kasus :
Orangtua memukul anak, membunuh teman yang luka parah dan sekarat di
tempat repencil dan terasing, menerobos masuk rumah orang untuk
memadamkan kebakaran.22
Sejak tanggal 20 Februari 1933 di negeri Belanda ajaran SMH Formil,
sudah tidak di anut lagi (dan ini juga berlaku untuk negara Indonesia, baik
pada waktu masih Hindia Belanda maupun sesudah Indonesia merdeka). Pada
tanggal di atas, Hoge Raad (HR) Negeri Belanda mengeluarkan Arrest
(Putusan) dalam perkara Dokter Hewan di Huizen.
Kasus Posisi :
Seorang dokter hewan dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang sapi-sapi yang menderita sakit kuku dan mulut. Perbuatan
dokter hewan tersebut melanggar Pasak 82 Undang-Undang Ternak, yang
menytakan Larangan terhadap perbuatan yang sengaja menempatkan ternak
dalam keadaan yang membahayakan.
Jadi perbuatan dokter hewan yang dengan sengaja telah memasukkan sapi-sapi
yang sehat ke kandang sapi-sapi yang sakit itu telah memenuhi rumusan delik
Pasal 82 Undang-Undang Ternak. Dan menurut Ajaran SMH Formil sudah
bersifat melawan hukum, jadi sudah merupakan tindak pidana dan harus
dipidana. Hal ini disebabkan dalam Undang-Undang Ternak tidak diatur alasan
yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya Pasal 82 tersebut.

22

Ibid.,hlm.87

Dalam persidangan, dokter hewan menjelaskan, bahwa hal itu dilakukan untuk
kepentingan ternak sendiri, yakni : kalau tidak dimasukkan pada saat itu, tetap
saja sapi-sapi yang sehat akan tertular. Dan sapi-sapi akan lebih menderita,
apabila saat tertularnya sapi-sapi sedang dalam musim menyusui.
HR (Hoge Raad) membenarkan alasan dan tindakan dokter hewn tersebut,
kemudian membebaskannya dari tuntutan. Dengan adanya putusan HR tersebut
maka sejak saat itu Ajaran SMH yang dianut adalah Ajaran SMH Materiil,
tetapi dalam fungsinya yang negatif.23
3. Persoalan dalam Praktik Peradilan dengan Diterimanya Sifat Melawan
Hukum yang Materiil
Dalam praktik peradilan, ternyata dengan diterimanya sifat melawan hukum
yang materiil menimbulkan persoalan dalam penerapannya. Oleh karenanya
dengan

diterimanya

SMH

Materiil

dala

praktik

peradilan

(sebagai

yurisprudensi) telah membawa konsekuensi sebagai berikut :


1. Sifat melawan hukumnya perbuatan dapat dihapuskan karena ketentuan
undang-undang (hukum tertulis) maupun hukum kebiasaan (hukum tidak
tertulis).
2. Begitu juga dengan tindak pidana. Tindak pidana itu dapat terjadi
berdasarkan

ketentuan

undnag-undang

(hukum

tertulis)

maupun

berdasarkan hukum kebiasaan / adat (hukum tidak tertulis).24


Ketentuan manakah yang dapat menimbulkan permasalahan dalam praktik
peradilan dari kedua konsekuensi di atas ? yang menimbulkan permasalahan
adalah konsekuensi ke-2, karena penentuan suatu tindak pidana dapat
ditentukan berdasar undnag-undang (ini sesuai denggan Asas Legalitas)
maupun berdasarkan hukum kebiasaan/adat/hukum tidak tertulis (hal ini
tentunya bertentangan dengan Asas Legalitas dan dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum). Mengapa ? Karena penegak hukum dapat menangkap
23

Ibid.,hlm.88

24

Ibid.,hlm.89

seseorang karena diduga melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan


hukum pidana tidak tertulis (hukum adat).25
Menanggapi keadaan yang demikian, Indonesia memasuki pembicaraan
mengenai :
1. SMH Materiil dalam fungsinya yang positif.
2. SMH Formil dalam fungsinya yang negatif.26
Ad.1. SMH Materiil dalam fungsing yang positif adalah :
Ajaran yang menganggap suatu perbuatan tetap sebagai tindak pidana,
meskipun tidak nyata-nyata diancam pidana dalam UU, apabila
bertentangan dengan hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan/adat).
Jadi ajaran ini mengakui hukum kebiasaan/adat (hukum tidak tertulis)
sebagai sumber hukum yang positif.
Ad.2. SMH Materiil dalam fungsinya yang negatif adalah :
Ajaran yang mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang diluar undangundang (hukum tidak tertulis) yang dapat menghapus sifat melawan
hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
Jadi menurut ajaran ini, hukum tidak tertulis diakui, sepanjang hanya
mengenai tentang penghapusan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan mengenai pengancaman pidana terhadap perbuatan yang tidak
diatur dalam undang-undang, tidak diperbolehkan berdasar hukum tidak
tertulis (hukum kebiasaan/adat). Ini merupakan konsekuensi dianutnya
Asas Legalitas dalam hukum pidana.
Dalam praktik peradilan, ajaran yang dianut adalah : Ajaran SMH Materiil
dalam fungsinya yang negatif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
dianutnya Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia .

25

Ibid.,hlm.89

26

Ibid.,hlm.89

Dengan demikian, menjawab pertanyaan yang diajukan di awal pembahasan


sub bab ini. Tentang sifat melawan hukum perbuatan, maka perbuatan orangtua
yang memukul anaknya yang nakal dan orang yang menembak mati temannya
yang luka dan sekarat ditempat terpencil (Kutub Utara) itu bukan merupakan
tindak pidana, sehinggatidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini disebabkan sifat
melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tersebut di
atas dihapuskan, sesuai dengan ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam
fungsinya yang negatif, yang dianut oleh praktik peradilan Indonesia.27

4. Melawan Hukum
Seringkali dalam praktek sehari-hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan
melawan

hukum

tetapi

undang-undang

memandangnya

sebagai

diperbolehkanoleh hukum, jadi tidak berlaku pembelaan terpaksa untuk


melawannya. Misalnya perbuatan alat negara yang menangkap dan menahan
orang yang diduga keras telah melakukan delik. Disini jelas kelihatan
melanggar kebebasan bergerak orang. Tetapi undang-undang memandangnya
sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum, karena perbuatan tersebut
sesuai dengan undang-undang yaitu Pasal 21 KUHAP.28
Menurut Hazewinkel Suringa, pembelaan terpaksa (nood-weer) itu
merupakan dasar pembenar, oleh karena itu barangsiapa yang membela diri
mempunyai hak untuk itu. Jadi, tidak dibolehkan pembelaan terpaksa
(noodweer) terhadap pembelaan terpaksa (noodweer). Pembelaan terpaksa
hanya terjadi jika ada perbuatan membela diri terhadap serangan yang melawan
hukum.29

27

Ibid.,hlm.90

28

Andi Hamzah, op.cit, hlm.139

29

D.Hazewinkel Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, bewerk door
J.Remmelink, (Groningen:H.D.Tjeenk Willink B.V,1983),hlm.254

Kemudian, Indonesia lihat bahwa pengertian melawan hukum itu sendiri


bermacam-macam. Ada mengartikan sebagai tanpa hak sendiri (Zonder
eigen recht), bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht),
bertentangan dengan hukum obyektif (tegen het objectieve recht).
Menurut Hazewinkel Suringa, pilihan terhadap salah satu jenis tanpa hak
sendiri,bertentangan dengan hak orang lain,bertentangan dengan hukum
objektif tetap harus diperhatikan.
Diberi contoh,serangan tiba-tiba binatang buas. Menurut Van Hamel binatang
ini berbuat tanpa hak sendiri dan dengan demikian melawan hukum, dan
diperbolehkan pembelaan terpaksa. Tetapi Hoge Raad dan pengarang pada
umumnya, binatang itu tidak tunduk kepada hukum, jadi tidak mungkin
berbuat bertentangan dengan hukum objektif, dan oleh karenanya tidak
merupakan melawan hukum. Tertutuplah kemungkinan pembelaan terpaksa
Hoge Raad menerima sebagai keadaan darurat (noodtoestand).30
Karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, NoyonLangemeyer (1954) mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan
dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya.
Misalnya Hoge Raad dengan Arrestnya tanggal 28 Juni 1911, dalam
menerapkan Pasal 362 Ned:W.v.S. (=Pasal 378 KUHP) mengatakan de dader
geen eigen recht op de bevoordeling heeft terdakwa tidak mempunyai hak
sendiri untuk menikmati keuntungan itu.
Menurut Pompe melawan hukum dalam kasus tersebut berarti melawan
hukum tidak tertulis.31
Contoh lain, menurut Hoge Raad 31 Oktober 1932, N.J. 1933 hlm 321
melawan hukum menurut Pasal 522 KUHP yang mengancam pidana terhadap
30
31

D.Hazewinkel Suringa,Ibid.,hlm.254-255

W.P.J.Pompe,Handbock van het Nederlandse Strafrecht,(Zwolle:N.V.Uitgevemaatschappij W.E.


Tjennk Willink,1959),hlm.94

saksi, ahli atau juru bahasa yang tidak datang secara melawan hukum yang
dipanggil menurut undnag-undang berarti : Zonder geldige reden wegbleven,
indien de betrokkene ver plicht is te verschijnen (tanpa alasan yang tidak
wajar tidak datang, yang bersangkutan wajib menghadap).32
Dibedakan pula pengertian melawan hukum formil dan materiel. Menurut
Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrechtelijk) jadi
bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan undang-undang.
Dengan demikian, Pompe memandang melawan hukum sebagai yang
Indonesia maksud dengan melawan hukum materiel. Ia melihat kata on
rechtmatig, (bertentangan dengan hukum) sinonim dengan Wederhechtelijk
(melawan hukum) sesuai dengan Pasal 1365 BW. Sama dengan pengertian
Hoge Raad dalam perkara Cohen-Lindenbaum (HR 31 Januari 1919 N.J. 1919
hlm 161 W. 10365), yang juga meliputi perbuatan bertentangan dengan hukum
tidak tertulis, yang bertentangan dengan kepatutan, dipandang melawan
hukum.33
Sedangkan melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan
undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil..
Melawan hukum materiel harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau
tidak ada melawan hukum (materiel) maka merupakan dasar pembenar. Dalam
penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang
bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum
crimen sine lege stricta yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Melawan hukum sering merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya
tresebut secara jelas di dalam rumusan delik seperti lain-lain. Kadang-kadang
hanya tersirat di dalam rumusan delik. Artinya melawan hukum secara umum.
Misalnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan). Di sini melawan hukum sebagai
32

J.E.Jonkers,op.cit..,hlm.65

33

W.P.J.Pompe,op.cit.,hlm.104

unsur dapatnya di pidana, bukan bagian inti (bestanddeel) delik. Apabila pada
yang tersebut pertama, bagian inti melawan hukum tidak terbukti, maka
putusannya bebas (vrijspraak). Jadi, melawan hukum sebagai bagian inti harus
tercantunka dalam dakwaan, dan itulah yang harus dibuktikan.
Di muka telah dikemukakan putusan Hoge Raad 1946, N.J. 1946 No.548,
mengenai melawan hukum (yang bersifat umum) sebagai dapatnya dipidana
(starfbaarheid) suatu perbuatan. Jadi, penjatuhan pidana hanya terjadi jika
perbuatan dilakukan melawan hukum.
Sedangkan kalau melawan hukum hanya unsur (element) atau Hazewinkel _
Suringa menyebut ciri (kenmerk), maka tidak perlu dicantumkan dalam
dakwaan, dan tidak perlu dibuktikan. Dipandang unsur melawan hukum ada,
sampai dibuktikan sebaliknya, bahwa perbuatan itu tidak melawan hukum.
Jadi, putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam perkara korupsi, diterima oleh Jurisprudensi dalam perkara Machfus
Effendi MA 8 Januari 1966, Reg.No.42 K/Kr/1965, tidak melawan hukum
secara materiel (alasan pembenar) : suatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas
keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum. Juga putusan Mahkamah Agung dalam perkara Ir.Otjo Danuatmadja
(M.A.20 Maret 1977, Reg. No.81 K/Kr/1973) diputuskan hal sama : Tertuduh
sebagai insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang
tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengambil keuntungan bagi
dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah mobilitas serta untuk
kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikan,
serta secara materiel tidak melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk
dari rumusan delik yang bersangkutan.34

34

Andi Hamzah,op.cit.,hlm.142

Jadi karena telah mencocoki rumusan delik, maka telah melawan hukum secara
formil. Dalam kasus korupsi tersebut, Mahkamah Agung melepas dari segala
tuntutan hukum terdakwa yang berarti tidak melawan hukum secara materiel,
merupakan dasar peniadaan pidana di luar undang-undang.
5. Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Yurisprudensi Belanda
Kasus 1. Putusan HR 20 Februari 1933, yang terkenal dengan nama Vee-arts
arrest35 adalah putusan pertama yang menerapkan ajaran sifat melawan-hukum
materiel sebagai alasan pembenar.
Dalam pertimbangannya, HR menyatakan pembebasan bagi dokter hewan itu
sifat melawan hukum dari perbuatannya menjadi hilang dengan alasan bahwa :
Walaupun dokter hewan itu melanggar Pasal 82 Vee wet, tidaklah dapat
diterima bahw aia harus dihukum, akrena dia menurut pedoman-pedoman
secara ilmiah benar dan memperbaiki kesehatan ternak.36
Dari kata-kata menurut pedoman-pedoman secara ilmiah benar, itulah
disimpulkan bahwa HR telah menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiel
sebagai alasan pembenar sebab alasan yang disebut tadi tidak terdapat dalam
WvS, jadi berada di luar Bab 3 buku I.
Terhadap putusan tersebut ada keberatan-keberatan yang diajukan oleh para
pakar hukum pidana Belanda, diantaranya Hazewinkel Suringa, yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini : Men zou zelf kunnen zeggen dat de
veearts handelde in uitvoering van een wettelijk voorschrift.37 (Mungkin orang
akan berpendapat bahwa dokter hewan itu menjalankan kewajiban sesuai
dengan perturan perundang-undangan).
Sedangkan Van Bemmelen berpendapat ,
35

Infra, Kasus II, hlm.L.A.-2

36

Ibid.

37

Hazewinkel Suringa,op.cit.,hlm.302

Tindakan dokter hewan itu, menurut pandangan saya, juga dapat diuraikan
sebagai suatu tindakanm yang tidak bertentangan dengan ketelitian yang
sesuai dengan pandangan masyarakat terhadap orang lain dan milik orang
lain.38
Tetapi Van Been berpendapat :
Niet het ontbreken van materiele wederrechtelijkheid was hier aan de
orde, maar een beroeps-exceptie. Er moet worden aangenomen dat de
wetgever niet heeft willen ingrijpen en wat een beoefenaar van een aan
hoge eisen van opleiding en bekwaamheid beantwoordend beroep naar de
regels van zijn beroep te verrichten. Men zou kunnen spreken van de
diergeneeskundige exceptie.39
(Tidak benar ada hilangnya siat melawan hukum materiel: dibicarakan
disini, tetapi suatu eksepsi karena menjalakan pekerjaannya. Disini harus
diterima bahwa pembuat undang-undang tidak ingin menindak orang yang
melaksanakan pekerjaan/profesinya dan karena memenuhi tuntutan
pendidikan berbuat sesuai dengan tuntutan dari pekerjaan/profesinya.
Orang mungkin akan mengatakan tentang eksepsi pekerjaan dokter ahli
hewan).
Berbeda dengan pendapat-pendapat tadi, Schaffmeister dan Heijer mengatakan
:Het beschermde belang,dat in dit geval door de gedragwijze van de veearts
niet geschonden maar gedieno, ......(Dalam perkara ini kepentingan hukum
yang dilindungi tidak dilanggar, malah dilayani...........).
Putusan tentang dokter hewan ini adalah satu-satunya putusan yang dikatakan
telah menerapkan hilangnya sifat melawan hukum materiel sebagai alasan
pembenar. Akan tetapi, seperti disebutkan tadi, ternyata masih juga terdapat
38

Van Bemmelen J.M., Hukum Pidana I, Hukum pidana Material bagian umum, (Bandung:
Binacipta, 1984), hlm.102
39

Van Veen,Th.W.,dalam Van Bemmelen,J.M.,Ons Strafrecht, Het materiele strafrecht, algemene


deel, bewerk door Th.W.van Veen, (negende druk:Samsom H.D.Tjeenk Willink,Alphen aan Rijn,
1986), hlm.224

banyak keberatan. Dari beberapa putusan yang akan diuraikan dibawah ini,
ternyata ada keinginan-keinginan , terutama dari kalangan pengacara, agar
alasan pembenar ini diterapkan lagi, tetapi selalu kandas di Mahkamah Agung
(Hoge Raad) dengan penolakan-penolakan kasasi yang diajukan.
Kasus 2. Dalam kasus rokok, pengacara terdakwa dengan tegas mengajukan
bantahan dengan alasan bahwa dalam perkara ini perbuatan terdakwa dapat
dibenarkab berdasarkan alasan hilangnya sifat-sifat melawan hukum materiel.
Pengacara terdakwa tersebut mengajukan bahwa :
Benda-benda yang menajdi objek dalam perkara ini sebenarnya jatuh di
luar jangkauan peraturan distribusi karena merupakan suattu pelanggaran
yang tidak penting sebab situasi pada waktu itu sudah menunjukkan suatu
keadaan di mana persediaan rokok memperlihatkan gejala yang baik
(mulai banyak) .
Dalam kaitannya dengan sifat melawan hukum materiel, perbuatan
terdakwa tidak bertentangan dengan tujuan pembentukan peraturan itu,
bahkan menunjangnya.
Alasan Pngadilan Tinggi bahwa perbuatan terdakwa dianggap bertentanga
dengan ketertiban hukum, justru merupakan kerugian ideal dari ketertiban
hukum itu sendiri karena pengadilan tinggi hanya melihat dari pandangan
bahwa perbuatan terdakwa memang jatuh dalam perumusan delik dari
Undang-Undang Distribusi tersebut, padahal sesungguhnya apa yang
menjadi aptokan dari ketertiban hukum sangat tidak jelas dan tidak terlalu
pasti.40
Tetapi HR menolak alasan (keberatan) kasasi tersebut karena :
Jelas cara-cara penerimaan rokok-rokok tersebut melalui duane secara
teratur, dan penyampaian oleh pihak ketiga, yang menerima benda-benda
itu, telah memasuki bidang yang dikuasai oleh peraturan distribusi dan
dapat menerobos tujuan distribusi.41
40

Infra.Kasus III, hlm.-3-5

41

Ibid.,hlm.L.A.-5

Van Veen, dalam buku Van Bemmelen, seperti dikutip di atas, menyatakan
bahwa sebenarnya dia sependapat dengan kesimpulan Adv.Gen. dalam perkara
tersebut:
. . ., saya sependapat bahwa tidak adanya hal melawan hukum material
hanya boleh diterima jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam
rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan
keuntungan yang sedemikian rupa dapatdirasakan sehingga keuntungan ini
seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang
bertentangan dengan undang-undang.
Kasus 3. Kasus Krakers adalah tentang penghunian secara tidak sah dari
orang-orang (biasanya tunawisma) terhadap rumah-rumah kosong atau yang
tidak ada penghuninya.42 Mereka, para krakers, biasanya juga tidak ada
mengetahui atau tidak berusaha mencari tahu pemilik rumah, dan sepanjang
tidak mengganggu para krakers ini sepanjang tidak ada keluhan dari pemilik.
Dengan demikian, keberadaan para krakers ini dianggap tidak melawan
hukum.
Dalam kasus ini, terdakwa,H.J.K., ketahuan menghuni rumah kosong milik van
Dinter yang tidak dihuni oleh pemiliknya. Pemilik rumah melapor kepada yang
berwajib bahwa rumahnya telah dihuni oleh para krakers, padahal
pengosongan rumah oleh pemilik dilakukan karena rumah itu sedang
ditawarkan untuk dijual. Karena itu terdakwa dituduh melanggar Pasal 138
WvS (Pasal 167 KUHP).
Dalam perkara ini yang menarik perhatian penulis ialah dipersoalkannya
perkataan woning in gebruik yang merupakan salah satu unsur Pasal 138 WvS
tersebut yang tercantum dalam dakwaan jaksa.
Pengacara terdakwa pertama-tama mempersoalkan unsur woning in gebruik
tidak terbukti sehingga secara materiel unsur melawan hukum menjadi hilang.
42

Infra, Kasus IV, hlm.L.A.-6

Menurut ilmu bahasa, ketentraman rumah tangga yang hendak dilindungi oleh
pasal ini, ditujukan terhadap rumah yang berpenghuni, dan menurut pendapat
masyarakat di tengah suasana kekurangan perumahan, penghunian terhadap
rumah yang kosong dapat dibenarkan.
H.R, yang menyetujui pendapat pengadilan tinggi, menolak pendapat
pengacara terdakwa. Hal ini terutama didasarkan kepada kesimpulan PG, yang
menyatakan bahwa : niet iedere afwezigheid van de bewoners een woning zou
stempelen tot niet in gebruik.(tidak setiap ketidakberadaan pemilik dapat
dicap sebagai tidak dipakai). Adapun terhadap alasan bahwa secara materiel
sifat melawan hukum dalam perkara ini menjadi hilang,PG berkesimpulan
bahwa gagasan terdakwa mengemukakan alasan tersebut sebenarnya hanyalah
merupakan tekanan kepada pemerintah serta mendorong pemerintah agar
kegiatannya dalam bidang pengadaan perumahan diperluas. Jadi, penolakan
pengadilan tinggi atas permohonan banding para terdakwa tersebut dapat
dibenarkan karena perbuatan terdakwa merugikan orang lain. Alasan
menempati rumah kosong dengan alasan kekurangan erumahan, baru boleh
dipergunakan sebagai sarana melaksanakan tekanan kepada pemerintah apabila
tidak terdapat sarana-sarana lain yang sah baik langsung maupun tidak
langsung kepada pemerintah.43
Terhadap putusan ini Van Bemmelen memberikan beberapa komentar :
Dat het binnendringen en het wederrechttelijk vertoeven ini een
leegstaand huis dat door de eigenaar te koop wordt aangeboden niet op
grond van dit artikel gestraft kan worden.
(bahwa memasuki dan menempati sebuah rumah yang kosong secara
melawan hukum, yang ditawarkan oleh pemiliknya untuk dijual, tidak
jatuh dalam perumusan delik Pasal 138 Sr. Dan karena itu tidak dapat
dihukum berdasarkan pasal ini).

43

Ibid., hlm.L.A.-8

Sehingga menyimpulkan bahwa HR telah melakukan extensieve interpretatie


dengan menunjukkan bahwa dalam WvS mereka terdapat kekosongan
pengaturan yang membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak, jika
dibandingkan dengan Pasal 37 WvS yang disamping melindungi pemilik juga
melindungi keamanan berlallu lintas.
Dengan tegas Van Bemmelen menyatakan bahwa :
Het arrest van de H.R. is dus uitermate onpraktisch. Nu de H.R. aldus
beslist heeft zal de wetgever moeten ingrijpen en het wederrechtelijk
gebruik van belangrijke roerende en onrorende goederen strafbaar moeten
stellen.
(Putusan HR. Ini sangat tidak praktis. Karena HR menentukan demikian,
pembuat undang-undang harus bertindak dan penggunaan secara melawan
hukum benda-benda ergerak dan tidak bergerak harus dinyatakan sebagai
dapat dipidana).
Drilsma,memberikan catatan bahwa WvS tidak dapat menghukum para
krakers. Dengan membandingkan KUHP Belgia dan Jerman, Prancis dan Swiss
yang mengatur tentang perumahan (huisrecht), dapat dibedakan antara erbuatan
kraken dengan perlindungan terhadap pemilikan atas rumah, baik sebagai
pemilik, pemegang hak bezit, hak sewa, hak waris, sekalipun bangunan
tersebut dalam keadaan kosong.
6. Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Yurisprudensi Indonesia
Kasus 1. Kasus ini dapat dinamakan kasus Penyalahgunaan DO Gula,
Putusan MARI tanggal 8 Januari 1966, No.42K/Kr/1965.44
Suatu perbuatan yang umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundangundangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas
hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum; dalam perkara ini misalnya
44

Yurisprudensi Indonesia tahun 1972, diterbitkan oleh Mahkamah Agung

faktor-faktor; negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan


terdakwa sendiri tidak mendapat untung.45
Kaidah tersebut di atas ditarik dari putusan Mahkaah Agung tanggal 8 Januari
1966 No.42/K/Kr/1965, dalam perkara Machroes Effendi yang dituduh oleh
Pengadilan Ngeri Singkawang, dan terbukti melakukan tindak pidana :
Sebagai pegawai negeri memakai kekuasaan yang diperoleh dari jabatannya
melakukan penggelapan berulang kali, seperti dirumuskan dalam Pasal 372 jo
Pasal 64(1) KUHP.
Singkat perkaranya adalah :
Terdakwa sebagai Patih pada Kantor Bupati/Kepada Daerah Tingkat II
sambas, pada kira-kira bulan Juni 1962, telah mengeluarkan D.O. gula
insentif padi yang menyimpang dari tujuannya. Sesungguhnya gula
insentif tadi hanya boleh dikeluarkan dalam rangka pembelian padi untuk
pemerintah

dari para petani dan menjual gula kepada mereka yang

menjual padi kepada pemerintah. Ternyata terdakwa telah mengeluarkan


D.O. gula insentif padi tersebut kepada seorang pemborong,P.K.P.N.
Singkawang, keperluan Hari Natal, para pegawai Kabupaten, untuk Front
Nasional, KODIM, dan untuk keperluan-keperluan lain, seperti untuk
ongkos pengangkutan, giling, buruh, dan jasa-jasa lain. Kelebihan harga
penjualannya oleh terdakwa digunakan untuk pembangunan-pembangunan
daerah diantaranya untuk menyelesaikan rumah milik Pemerintah
Daeerah.
Pengadilan Negeri Singkawang, dalam putusannya tanggal 24 September 1964
No.6/1064/Tolakan menghukum terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan,
tetapi Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya tanggal 27 Januari 1965
No.146/1964 PT.Pidana melepaskan terdakwa dari segala tuntuan hukum, dan
Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan Tinggi.

45

Ibid., hlm.39

Dalam pertimbangannya pengadilan tinggi berpendapat bahwa :


Pengeluaran-pengeluaran D.O. di atas sesungguhnya merupakan tindakantindakan tredakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan yang
berwajib.
Akan tetapi perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, jika ditinjau dari sudut
kemasyarakatan, yang dengan perbuatan terdakwa tersebut mendapat
pelayanan, menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang
menguntungkan
kepentingan

masyarakat

umum,

daerah

meskipun

yang

itu

dan

karenanya

mendapat

melayani

pelayanan

bukan

kepentingan yang dimaksud.


Kebijaksanaan semacam itu, mengingat akan keadaan di sementara daerah,
yang dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, yang dihadapi oleh
aparatur pemerintah daerah, kadang-kadang terpaksa ditempuh demi
kelancaran pembangunan daerah atau demi kepentingan ,asyarakat daerah,
sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan ersebut tidak
menguntungkan Pemerintah Daerah.
Tidak terbukti bahwa terdakwa mengambil atau mendapatkan keuntungan
dari perbuatannya itu.
Tidak pula trebukti bahwa negara mendapat kerugian dari perbuatanperbuatan terdakwa tersebut, yang dapat dibuktikan dari fakta :
1. Pembelian padi untuk pemerintah tidak menajdi kurang oleh tindakan
terdakwa tersebut;
2. Gula yang oleh terdakwa diberikan kepada orang-orang yang tidak
haknya, tidak dijual dengan melanggar harga resmi.
Faktor-faktor kepentingan umum yang terlayani serta faktor-faktor tidak
adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku terdakwa dan akhirnya
faktor tidak dideritanya kerugian negara, merupakan aktor-faktor yang
mempunyai nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan
dengan hukum pada perbuatan-perbuatan terdakwa, yang terbukti formil
masuk dalam rumusan tindak pidana.46
46

Ibid., hlm.47

Dalam putusan Mahkamah Agung yang menyetujui pertimbangan Pengadilan


Tinggi Jakarta tersebut ditegaskan bahwa :
Bukanlah pengadilan tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor
tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya 3 faktor tadi dianggap
menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan terdakwa.
Mahkamah Agung pada asasnya dapat membenarkan pendapat dari
Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asasasas keadilan atau asas-asas hukumyang tidak tertulis dan bersifat umum
sebagaimana misalnya 3 faktor tersebut di atas yang oleh Pengadilan
Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti
dilakukan oleh terdakwa itu.
Berhubung

dengan

pertimbangannya

itu

dengan

menyatakan

tepat

Pengadilan

perbuatan-perbuatan

Tinggi
yang

dalam
terbukti

dilakukan oleh terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana.47


Kasus 2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juni 1970 No.30K/Kr/1969
(Kasus Jual Beli Vespa Bekas).48
Duduk perkaranya :
Terdakwa, seorang pedagang kelontong, bersama-sama dengan seorang
temannya membeli sebuah Scooter Vespa No.Pol.B 4627 W, dipasar
umum, tempat jual beli sepeda motor bekas. Seperti lazimnya jual beli
sepeda motor bekas, vespa itupun dilengkapi dengan surat-surat kendaraan
motor tersebut secara lengkap, serta kwitansi blanko sebanyak 3 helai.
Tetapi kemudian trenyata bahwa scooter vespa tersebut berasal dari
kejahatan (pencurian). Karena itu terdakwa dituduh telah melakukan
tindak pidana pencurian.
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta telah menghukum terdakwa dengan
hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun yang dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
47

Ibid., hlm.44

48

Yurisprudensi Indonesia, tahun 1970, diterbitkan oleh Mahkamah Agung

Mahkamah Agung melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.


Pertimbangan hukum pengadilan negeri, antara lain :
Pengadilan tidak bisa menentukan jual beli sudah sah dengan adanya
blanko kwitansi. Kwitansi bisa diisi semuanya menurut kehendak
pemegang. Jadi belum tentu kalau itu kwitansi jual beli scooter.
Para terdakwa selain mengatakan menurut kebiasaan jual beli scooter
sudah sah dengan adanya 3 helai blanko kwitansi tetapi juga merupakan
kebiasaan kaau surat-surat scooter masih atas nama bukan penjual, maka
pembeli terlebih dahulu mengadakan checking kepada nama-nama yang
tertera di dalam surat-surat scooter.49
Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta, antara lain :
. . . dari kenyataan bahwa surat-surat vespa tidak atas nama si penjual
tetapi atas nama orang lain, pada waktu itu seharusnya terdakwa
mengetahui atau menduga bahwa vespa yang dibelinya berasal dari suatu
kejahatan.50
Di dalam pertimbangannya Mahkamah Agung mengatakan :
Bahwa dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan
hukum dari perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam rumusan delik
tidak selalu dicantumkan.
Bahwa walaupun perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepada para
terdakwa telah terbukti semuanya, akan tetapiMahkamah Agung
berpendapat bahwa perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana
penadahan karena sifat melawan hukumnya tidak ada sama sekali.
Bahwa sifat melawan hukum tersebut itu tidak ada, dapat terlihat dari
keadaan-keadaan antara lain : terdakwa membeli (tukar tambah) scooter
tersebut di pasar yang umumnya memperdagangkan kendaraan-kendaraan
bermotor, kwitansi blanko yang telah ditanda tangani pemilik, surat-surat
scooter lengkap.51
49

Ibid.,hlm.57

50

Ibid.,hlm.52

51

Ibid.,hlm.49

Kasus 3. Putusan Mahmakah Agung tanggal 27 Mei 1972 No.72K/Kr/1970


(Kasus Penarikan Cek Kosong Caltex).52
Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formal, namun Hakim
secara materiel harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan
dari terdakwa-terdakwa atas dasar mana mereka tak dapat dihukum
(materiele wederrechttelijkheid).53
Duduk perkaranya adalah :
Dua orang terdakwa, Mohammad Toha Iljas dan Wilson Hutauruk,
masing-masing Pengawas Accounting dan Wakil Kepala Bagian
Pembukuan pada PT.Caltex Pasific Indonesia, dituduh melakukan tindak
pidana Penarikan Cek Kosong, padahal Undang-Undang tentang hal
tersebut yaitu Undang-Undang No.17/1964, pada waktu itu telah dicabut.
Para terdakwa mengeluarkan cek pada Bank BNI Unit I Pekanbaru sebesar
Rp. 3.260.000,00 untuk biaya pabean, padahal pada BNI Unit I tersebut
tidak tersedia dana yang cukup. Dana yang cukup sesungguhnya ada pada
BNI Unit III, tetapi para terdakwa lalai dalam mengisi ceknya sehingga
tertulis BNI Unit I, sedangkan maksud para terdakwa (dalam pikiran para
terdakwa) yang ditulisnya adalah BNI Unit III yang mempunyai dana lebih
dari cukup.
Pengadilan Negeri Ekonomi Pekanbaru dalam putusannya tanggal 20 Mei 1968
No.1/Pid/Ek/1968 menjatuhkan pidana percobaan selama 2 bulan, sedangkan
pengadilan tinggi memperbaikinya sekadar mengenai pidananya, dengan
pidana denda masing-masing sebesar Rp 1.000.0000,00.
Pertimbangan hukum Pengadilan Ekonomi Pekanbaru, antara lain :
Bahwa kesalahan tersangk-tersangka mengenal perbuatan yang dituduhkan
kepada mereka yaitu : menarik suatu cek sedangkan mereka mengetahui
atau pataut harus menduga bahwa sejak saat harus ditariknya untuk cek
52

Yurisprudensi Indonesia tahun 1972, diterbitkan oleh Mahkamah Agung

53

Ibid., hlm.1

tersebut tidak tersedia dana yang cuku pada bank atas nama cek tersebut
ditarik (cek kosong), telah terbukti dengan sah dan menyakinkan menurut
undang-undang.54
Pertimbangan Pengadilan Tinggi Ekonomi Padang, antara lain :
Alasan tertuduh-tertuduh yang mengatakan bahwa mereka tidak mendapat
keuntungan dalam penarikan cheque tersebut hanya dapat digunakan
sebagai alasan untuk mengentengkan seperlunya hukuman yang dijatuhkan
kepada tertuduh-tertuduh.
Hakim pertama dalam pertimbangannya dalam putusan a quo putusan
mana oleh Pengadilan Tinggi disetujui dan dijadikan sebagai alasan-alasan
sendiri, telah dengan tepat menyatakan bahwa perbuatan yang dituduhkan
kepada para tertuduh dan kesalahannya terhadap perbuatan-perbuatan itu
telah dengan sah dan menyakinkan akan tetapi kurang tepat dalam
menjatuhkan hukuman denda kepada tertuduh-tertuduhm sehingga oleh
karena itu Pengadilan Tinggi memperbaikinya.55
Para terdakwa mengajukan permohonan kasasi, yang diterima oleh Mahkamah
Agung dan dipertimbangkan :
Meskipun Undang-Undang No.17/1964 tersebut merupakan delik formil,
namun Hakim secara materiel harus memperhatikan juga adanya
kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas mana mereka tak dapat
dihukum (materiele wederrechtelijkheid).
Tujuan dari pada undang-undnag tersebut adalah ditujukan kepada adanya
kesengajaan untuk manipulasi, oleh karena mana diberikan sanksi yang
berat yaitu hukuman mati dan sebagainya.
PT.Caltex Pasific Indonesia adalah merupakan suatu perusahaan raksasa
yang mempunyai nilai bermilyar-milyar rupiah sehingga memang aneh
kalau para tertuduh dengan sengaja mengeluarkan cek kosong sebanyak
Rp. 3.000.000,00.
54

Ibid.,hlm.24

55

Ibid.,hlm.9

Disamping itu memang ada 2 bank rekening, yaitu BNI Unit I dan BNI
Unit III, dimana pada BNI Unit I saldonya kurang, sedangkan pda BNI
Unit III saldonya cukup. Jadi adalah sangat mungkin adanya kelalaian
tanpa sengaja mengeluarkan cek atas nama BNI Unit I.
Bahwa yurisprudensi pada waktu sekarang ini jelas menganut materiele
wederrechtelijkheid (Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966
No.42K/Kr/1965).56
7. Catatan Perbandingan Kasus Belanda dan Indonesia
Dari uraian kasus-kasus, baik kasus Belanda maupun kasus Indonesia, tampak
bahwa titik tolah ajaran sifat melawan hukum materiel adalaj ketidakpuasan
hakim dalam menerapkan alasan-alasan pembenar yang ada dalam undangundang. Akan tetapi, perkembangan penerapan ajaran di kedua negara tersebut
menjadi berbeda.
Satu-satunya kasus yang menerapkan hilangnya sifat melawan hukum materiel
sebagai alasan pembenar, yaituu dalan Veearts arest masih juga mengundang
pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, hilangnya sifat melawan huku
materiel tidak pernah lagi digunakan karena sifat seperti dikemukakan oleh Van
Veen :
Dengan tepat sekali Th. Van Veen dalam catatannya dalam Themis 1971,
memperingatkan, bahwa hakim harus berhati-hati sekali sebelum
mengambil keputusan dari tuntutan hukum berdasarkan tidak adanya hal
melwan hukum materiel. Dengan menerima tidak adanya hal melawan
hukum materiel dala sutau peristiwa tretentu, hakim sebetulnya mengambil
tempat yang diduduki oleh pembuat undag-undang. Dengan ini hakim
mengesampingkan undang-undang. Hakim hanya boleh melakukan ini,
jika ia berpendapat, bahwa kalau pembuat undang-undang sendiri
menghadapi persoalan ini sudah pasti dibuatnya kekecualian,.......57
56

Ibid.,hlm.5

57

Van Bemmelen,op.cit., hlm.104

Dari kasus-kasus Belanda lainnya tampak adanya keinginan masyarakat,


terutama kalangan advokat di Belanda, untuk kembali memakai sifat melawan
hukum materiel ini sebagai alasan pembenar. Hal ini diungkapkan dari
keadaan-keadaan kemasyarakatan yang berubah dan berkembang dari satu
situasi lain yang berbeda dibandingkan dengan keadaan pada waktu suatu
undang-undang dibentuk. Dalam kasus Sigaret, kasus Aroeba, Kruisraketten,
Spoorwegwerken, bahkan tidak ada suatu akibat konkret yang dirugikan. Tetapi
Mahkamah Agung Belanda melihat ada kepentingan hukum idiel yang
dlindungi yang dirugikan oleh perbutaan terdakwa . kepentingan hukum idiel
itu adalah ketertuban hukum (rechtsorde).
Walaupun demikian, hilangnya sifat melawan hukum materiel sebagai alasan
pembenar bukanlah satu-satunya alasan pembenar tidak tretulis di luar undangundang. Mahkamah Agung Belanda telah menyatakan bahwa medische
exeptie, beroepsrecht, tuchrecht, toestemming, adalah alasan-alasan pembenar
yang tidak tertulis diluar undang-undang. Hal ini disebabkan oleh para hakim
menggunakan penafsiran restriktif dan meluaskan penggunaan overmacht
dalam arti noodtoestand sebagai alasan pembenar. Selain itu sangat sering
digunakan interprestasi sejarah perundang-undangan, akan tetapi karena
keadaan yang terjadi sudah jauh berbeda dengan keadaan pada saat undangundang itu dibuat, maka para hakim Belanda menciptakan interprestasi kreatif
dan interprestasi bernuansa. Walaupun demikian penafsiran-penafsiran tersebut
digunakan secara kasuistis.
Mahkamah Agung Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda. Sifat
melawan hukum materiel tampaknya adalah satu-satunya alasan pembenar
tidak tertulis diluar undang-undang. Oleh karena itu, Mahkamah Agung telah
melakukan penafsiran secara luas (extensieve interpretatie) sebagai upaya
menerapkan sifat melawan hukum materiel sebagai alasan pembenar dalam
berbagai kasus.

Penerapan secara generalis ini menyebabkan pengadilan bawahan menjadikan


sifat melawan hukum materiel berfungsi secara pisitif.
Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dilukiskan dalam bagan
sebagai berikut :58
Tertulis

Di Belanda
Noodtoestand/overmacht-art

Di Indonesia
Daya paksa / keadaan

40 WvS

darurat

Pasal

48

KUHP
Wettelijk voor schrift art. 42
WvS ambtelijk bevel art. 43

Pasal 50 KUHP

(1) WvS
Tidak tertulis / di luar Ontbreken van het materiele

Pasal 51(1) KUHP


Hilangnya
sifat

Undang-Undang

melawan hukum

wederrechttelijkheid
Tuchtrecht
medische

beroepsrecht
exeptie

toestemming

8. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum


Sesungguhnya penafsiran arti sifat melawan hukum, sangat bergantung kepada
pandangan terhadap arti serta tujuan dari hukum, khususnya hukum pidana.
Apabila di Belanda ajaran sifat melawan hukum mteriel hanya pernah
digunkaan dalam kasus Veearts Arrest adalah disebabkan karena sikap hakim
Belanda yang tidak hendak menginjakkan kakinya pada daerah wewenang
pembuat undang-undang. Dalam pandangan pakar hukum pidana di Belanda,
penggunaan ajaran sifat melawan hukum materiel sebagai alasan pembenar
berarti para hakim telah mengubah unsur-unsur perumusan delik, padahal tugas
58

Komariah Emong Spardjaja, ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam hukum Pidana
Indonesia ,Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,
(Bandung:Alumni,2002), hlm.184

ini adalah wewenang pembuat undang-undang. Bahkan, pendapat yang lebih


keras menyatakan bahwa jika memang suatu dakwaan yang telah dapat
dibuktikan memenuhi perumusan delik yang didakwakan, karena alasan yang
dibenarkan dengan hilangnya sifat melawan hukum materiel, jadi perbuatan
dan sekaligus dakwaan/perumusan tindak pidana itu tidak bersifat melawan
hukum lagi, harus dicabut oleh pembuat undang-undang.
Para pakar hukum pidana Belanda sendiri sesungguhnya menanggapi secara
sinis sijap Mahkamah Agungnya. Hal ini terungkap dari pernyataan-pernyataan
mereka yang menyatakan bahwa ajaran sifat melawan hukum yang hanya
pernah dipergunakan dalam kasus Veearts Areest itu sebenarnya hanya ada
dalam teori saja dan tidak pernah lagi terjadi dalam praktik. Padahal keinginan
untuk menerapkan ajaran itu diungkapkan dalam pembelaan-pembelaan kasuskasus, terbukti dalam kasus-kasus yang diungkapkan terdahulu.
Karena itu, muncul jenis-jenis alasan pembenar tidak tetulis lainnya yaitu
antara lain : toestemming, beroepsrecht, tuchtrecht. Medische exeptie/medische
behandeling, yng diterapkan secara kasus demi kasus.
Sebagai alasan pembenar yang umum digunakan adalah overmacht, dan dalam
arti sempit keadaan darurat( noodtoestand), terutama secara psikis. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa Mahkamah Agung Belanda telah kembali kepada
ajaran formal. Ajaran materiel hanya diterima sepanjang mengenai tidak
dicantumkannya unsur terebut dalam perumusan delik, dengan perkataan lain
unsur tersebut secara diam-diam tetap dianggap selalu ada dalam setiap tindak
pidana atau selalu dipurbangsangkakan.
Hal ini berkaitan dengan sikap hati-hati dari para hakim agung untuk tidak
dituduh mengambil wewenang pebuat undang-undang, dan juga karena
pandangan untuk meetapkan adanya sifat melawan hukum ini bertitik tolak
pada kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat suatu undnagudang ditetapkan (schutznorm). Karena itu pula penafsiran sejahrah perundang-

undangan mendapat tempat utama. Hal ini terungkap dalam Krakers Arrest,
Deep Throat Aresst dan Euthanasie Arrest, pada waktu majelis hakim dalam
pertimbangan hukumnya menafsirkan kata-kata woning ingebruik, perbedaan
antara kata levens benemen dan levens beroven. Majelis hakim menoleh kepada
sejarah ketika perumusan delik-delik tadi diperdebatkan dalam parlemen
Belanda.
Jika dihubungkan dengan teori Radbruch yang dikemukakan sebagai
permasalah

filsafat,

tampaknya

hakim-hakim

Belanda

yang

lebiih

menggunakan penafsiran retriktif tadi hendak menempatkan kepastian hukum


di atas dua kutub lain dari cita hukum, karena ...,justice and legal certainty,
are above the conflicts between views of law and the state. 59 Hal ini
dibuktikan

dalam

putusan-putusan

Rokok,

Leidse

MOB,

Aruba

Kruisrakattern, Spoorwegwerken, yang menurut Radbruch : The existence of


legal order is more important than its justice and expediency.60
Dengan demikian penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel di Belanda,
menurut pendapat Prof. Dr. Komariah Emong Supardjaja,61 tidak pernah lagi
berkembang walaupun alasan pembenar di luar undang-undang, jadi menurut
hukum (tidak tertulis), sering dipergunakan secara kasus demi kasus.
Penafsiran secara kasus demi kasus (kasuistis) di Belanda ini mempunyai
kesamaan dengan penafsiran kasus-kasus di Amerika Serikat. Perbedaan
terletak hanya pada sistem hukum mereka, karena memang Amerika Serikat
adalah negara case law.
Berbeda dengan keadaan di Indonesia. Sejak putusan Mahkamah Agung
tanggal Januari 1966 No.42K/Kr/1965, dalam kasus Penyalahgunaan DO Gula
di Kalimantan Selantan itu, ajaran sifat melawan hukum materiel sebagai alsan
pembenar telah dipakai berulang0berulang setidak-tidaknya dalam kasus-kasus
59

Gustav Radbruch, Legal Philosophy, terjemahan Kurt Wijk, (Cambridge:Harvard University


Press,1950),hlm.108
60
Ibid.
61
Komariah Emong Supardjaja, Op.Cit. hlm 186

yang dibahas mengenai kasus Indonesia, walaupun dalam berbagai kasus


penerapannya keliru.
Penerapan secara generalis terhadap semua kasus (terutama dalam perkara
korupsi), memperkuat dugaan bahwa Mahkamah Agung Indonesia mempunyai
pendapat bahwa alasan pembenar yang tidak tertulis, jadi di luar undangundang, hanyalah sifat melawan hukum materiel ini.
Hal ini membuktikan, bahwa Mahkamah Agung Indonesia telah menggunakan
penafsiran yang luas (extensieve interpretatie), seperti terlihat dalam kasus
Menderes Pohon Karet, kasus Komisi Dokter Hewan, Kasus Deposito PN
Telkom, dan bahkan melakukan konstruksi analogi dalam kasus-kasus Bank
Bumi Daya, Mega Eltra, dan Bank Duta.
Sehubungan dengan sifat melawan hukum materielm penggunaan secara positif
terlihat dalam kasus Bank Bumi Daya dan Bank Duta. Khususnya dalam
perkara-perkara korupsi, memang dimungkinkan oleh undang-undang sendiri,
yang dirumuskan dalam Pasal 1 :
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah :
(1)a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan .....
Dalam penjelasan dinyatakan :
Dengan mengemukakan sarana melawan hukum, yang mengandung
pengertiann formil maupun materiel, maka ....,
Walaupun dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a disebutkan : ayat ini tidak
menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum, melainkan melawanhukum adalah sarana untuk melakukan perbuatan
yang dapat dihukum yaitu ....
Hal ini berarti unsur melawan hukum harus selalu dimuat dalam dakwaan jaksa
dan karenanya pula jaksa berkewajiban untuk membuktikannya. Pada
gilirannya hakim akan menafsirkan arti melawan hukum dari fakta yang
terungkap di muka sidang pengadilan.

Dengan demikian, pencantuman unsur melawan hukum dalam perumusan


tindak pidana yang menurut Memorie van Toelichting dan menjadi doktrin
dalam hukum pidana, adalah untuk menghindarkan orang yang mempunyai hak
akan terkena oleh pasal yang bersangkutan sehingga dengan demikian tidak
perlu lagi dibuktikan oleh jaksa tentang adanya sifat melawan hukum dari
perbuatan yang didakwakan, telah menjadikan beban bagi hakim untuk selalu
menafsirkan unsur ini dalam setiap tindak pidana korupsi. Padahal perbuatan
korupsi, apapun motivasinya, tetaplah perbuatan tercela. Jadi secara materiel
pun melawan hukum.
Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh David
Downes,
The pradigm now constitued a problem rather than a solution : not
waiving but downing. The public presecutorial executive had reorganiezed and re-oriented the criminal justice process from a case to a
policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal
justice sphere.62
Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan
kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Adil apabila
yang sama diperlakukan secara sama pula. Dalam hal ini membuktinya malalui
perbedaan perlakuan terhadap kasus PN Telkom dan perlakuan terhadap kasus
Bank Duta.
Tetapi karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang independen,
maka perbedaan pendapat antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya
tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, sesungguhnya perbedaan ini dapat
dihindarkan apabila para hakim terhindar dari ketunaan ilmu hukum sebagai
ilmu pengetahuan yang selalu berkembang mengikuti arus perkembangan
zaman, dalam arti ilmu pengetahuan yang bebas dari tekanan (politik).
Jika dikaitkan dengan teori Schaffmeister dalam mengkonkretkan arti sifat
melawan hukum, hakim-hakim Indonesia lebih sering berada dalam lingkaran
kedua dan ketiga. Contohnya dapat trelihat dalam putusan perkara Menderes
62

David Downes, Contrasts In Tolerance,(Oxford:Claredon Press,1988),hlm.195

Pohon Rambung yang lebih menitikberatkab pertimbangan kedudukan


tanahnya (dan ini sebenarnya tugas hakim perdata), daripada meluruskan unsur
pencuriannya. Dalam kasus-kasus lainnya selalu dikaitkan dengan konteks
kemasyarakatan, karena dipandang tidak patut menurut pandangan/nilai susila
masyarakat. Ini berarti lebih sering menggunakan penafsiran yang luas di luar
hukum pidana.
Berbeda dengan hakim Belanda yang lebih sering berada dalam lingkaran
pertama dengan menggunakan penafsiran yang sempit (restriktif) karena
menerapkan ajaran kepentingan hukum yang dilindungi (schutznorm theorie,
atau leer van het beschermde belang).
Lili

Rasjidi,

mengutip

kepentingan-kepentingan

pendapat

Roscoe

Puond,

mengklasifikasikan

yang dilindungi oleh hukum dalam 3 kategori

pokok : public interest (kepentingan umum), social interest (kepentingan


masyarakat), private interest (kepentingan pribadi).63
Perbedaan pandangan tentang kepentingan hukum, terjadi karena pandangan
hakim terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi, di Belanda dan
Indonesia, sangat berbeda. Sesuai dengan nilai-nilai hukum yang dianut oleh
Belanda kepentingan hukum orang perseorangan lebih diutamakan, sedangkan
di Indonesia lebih ditujukan kepada kepentingan hukum masyarakat banyak.
Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, ada beberapa hal yang ingin
dibuktikan yaitu :
Pertama : penerapan ajaran sifat melawan hukum oleh hakim-hakim pidana di
Indonesia bersifat luas, tidak saja dalam fungsinya yang negatif, tetapi juga
positif;
Kedua : pertimbangan-pertimbangan hukum putusan-putusan pengadilan yang
tidak konsisten tadi menyebabkan timbulnya dugaan bahwa penerapan asas
hukum Indonesia tidak ajek;
63

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu ?, (Bandung:Remadja Karya CV,1988),
hlm.228

Ketiga : menimbulkan prasangka bahwa KUHP dan penerapannya tidak lagi


menjamin kepastian hukum dan keadilan;
Keempat : menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.64
Keempat hal tersebut di atas didasarkan pada hal-hal sebagai berikut .
Ada anggapan bahwa hakim pidana dalam rangka menerapkan Pasal 14
ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Jo Pasal
5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, ia boleh dan harus selalu
menemukan hukum. Hakim Indonesia seolah-olah memberikan arti yang
sangat besar terhadap penemuan hukum ini. Akan tetapi, apakah dalam
rangka penemuan hukum, lalu undang-undang dan kepastian hukum boleh
disingkirkan ?
Bagi hakim pidana penemuan hukum dalam rangka penerapan ajaran sifat
melawan hukum materiel dalam fungsi negatif, ia boleh melepaskan
pidana bagi seseorang yang tidak melakukan tindak pidana.
Penemuan hukum yang dapat diartikan membuat fungsi sifat melawan
hukum melawan hukum materiel menjadi positif, dapat dikatakan sebagai
gejala yang tidak sehat, satu sama lain mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum, yang pada gilirannya berpengaruh
pula terhadap kepercayaan masyarakat tentang kepastian hukum. Sirnalah
kepastian hukum ini apabila hakim dengan bebas mengenyampingkan
undang-undang yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Dalam hal ini
kesewenang-wenanganlah yang akan terjadi. Memang hakim tidak dapat
dipaksa untuk menerapkan hukum yang menurut pendapatnya tidak adil,
tetapi dalam kebebasannya ia tetap terikat pada undang-undang. Ajaran
sifat melawan hukum materiel memberikan kebebasan kepada hakim
pidana untuk menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis dalam
masyarakat. Akan tetapi, tidak berarti bahwa nilai-nilai hukum tidak
tertulis ini dapat menjadi dasar penuntutan, kecuali tindak pidana adat,
itupun terbatas sepanjang tidak adanya padanannya dalam KUHP.65Hal ini
64

Komariah Emong Sapardjaja,op.cit.,hlm.210

65

Ibid.,hlm.211-212

sejalan dengan Pasal 5 b Undang-Undang Drt No. 1 Tahun 1951 dapat juga
dilihat dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) RUU KUHP 2012.
Ada beberapa dugaan, mengapa hakim pidana di Indonesia menerapkan ajaran
sifat melawan hukum materiel ini secara positif.
Pertama, merujuk pada pedapt Sudarto : sehubungan dengan kenyataan
bahwa teks resmi KUHP itu masih dalam bahsa Belanda, maka sebenarnya
apabila Indonesia hendak menerapkan KUHP secara tepat, maka orang
harus mengerti bahasa Belanda.66
Dugaan kedua, kesalahan ada pada pembuat undnag-undang sendiri, yaitu
tidak memberikan penjelasan yang jelas terhadap suatu naskah perundangundangan atau tidak membuat catatan-catatan yang baik terhadap
pembicaraan-pembicaraan rancangan undang-undang. Ini menyulitkan
penelusuran

sejarah

perundang-undangan,

yang

pada

gilirannya

menyulitkan pula penerapan metode penafsiran sejarah perundangundangan (wetsinterpretatie).


Di lain pihak

sistem perundang-undangan pidana Indonesia sekarang

banyak dikacaukan oleh keluarnya undang-undang tindak pidana khusus


yang diundangkan di luar KUHP. adanya undang-undang tindak pidana
khusus, yang seharusnya hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu,
orang-orang tertentu, ataupun keadaan tertentu, sering memberikan
peluang bagi penerapan yang menyimpang. Sebagai contoh adalah
undnag-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undangundang ini jaksa agung diberi hak untuk melakukan penahanan terhadap
terdakwa selama satu tahun tanpa perlu mengadakan perpanjangan
panahanan.
Hal ini tidak akan terjadi apabila tindak pidana korupsi diatur dalam
KUHPidana.
Sebaliknya di masa yang akan datang pembentukan undang-undang
khusus dibatasi. Semua tindak pidana harus dirumuskan dalam
66

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian terhadap Pembaharuan


Hukum Pidana,(Bandung:Sinar Baru,1983),hlm.68

KUHPidana dengan jalan melakukan penambahan (amandemen) terhadap


KUHPidana tersebut. Keadaan ini sesungguhnya pernah dilakukan oleh
Undang-Undang No.4 Tahun 1976, bertalian dengan perluasan berlakunya
Pasal 3 KUHPidana dan penambahan pasal-pasal yang berkenaan dengan
kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana
penerbangan, Pasal 479a sampai dengan Pasal 479r.
Dugaan ketiga adalah aliran pemikiran yang pragmatis telah merasuki
jalan pikiran para hakim Indonesia sehingga dengan alasan mengisi
kekosongan hukum atau desakan akan kebutuhan hukum, hakim
menerapkan hukum secara keliru. Sikap pragmatis ini dapat memberikan
peluang pada masuknya wawasan pribadi hakim dalam menyusun serta
menentukan putusannya. Wawasan pribadi ini mungkin terjadi dari dalam
dirinya sendiri, mungkin juga dari lingkungannya.
Pragmatisme bukanlah suatu sikap yang buruk, sebab seperti dikatakan oleh
Friedman : How the rules of law work, not what they are on paper, .....67
Selanjutnya :
To study the law as it works and functions means investgating the social
factors that make the law on the law on the one hand and the social result
of law on the other.68
Walaupun demikian, pragmatisme ini tidak boleh bertentangan dengan asasasas hukum. Dalam kaitan dengan masalah yang dibahas dalam disertasi ini,
cara berfikir pragmatis tidak boleh menjadikan sifat melawan hukum materiel
berfungsi positif, walaupun ada ketentuan yang menyatakan bahwa hakim tidak
boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada
ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Karena itu, seorang hakim
pidana dalam mengambil putusannya, di samping berbekal akal budi yang
sehat serta moral yang luhur, juga harus berbekal pengetahuan hukum (teoretis)
67

W.Friedman, Legal Theory, fourth edition, (London: Steven & Sons,1960),hlm.248

68

Ibid.

yang kuat, serta kaya pengalaman (empiris) sebab yang dipertaruhkan dalam
suatu perkara pidana adalah nyawa, kemerdekaan, kehormatan, kekayaan
seseorang,

di

samping

kepentingan-kepentingan

negara,

bangsa,

dan

masyarakat umum, yang keseluruhannya dilindungi secara berjenjang oleh


hukum pidana.
Memang ada orang mengharapkan terlalu banyak dari hukum pidana. Tetapi
sebagaimana harapan idiil dari cita hukum pada umumnya, yaitu keadilan,
kepastian, dan kegunaan, padahal ketiga kutub cita hukum tersebut acap kali
saling bertentangan seperti di dalilkan oleh Radbruch, hakim tetap masih dapat
menimbang ketiga hal tadi.
Dalam memandang teori Radbruch tadi, Bangsa Indonesia, melalui Tim
Perancang Indonesiab Undang-Undang Hukum Pidana Baru telah menetapkan
bahwa :
Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak
dalam penerapan pada peristiwa-peristiwa nyata. Dengan menyadari hal
tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya
hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.69
Juga dengan menetapkan dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiel
dalam R KUHP Baru, kepastian hukum dan keadilan tidak perlu
dipertentangkan lagi. Setidak-tidaknya, kepastian hukum yang diwakili oleh
Pasal 1 ayat 1 dan menerapkan hilangnya sifat melawan hukum materiel
sebagai alasan pembenar, untuk memberikan keadilan dapat terjembatani.
Demikian juga halnya Barda Nawawi arief, dalam disertasinya menyoroti
kebijaksanaan pada tahap penetapan pidana penjara oleh pembuat undangundang,70 bahwa penetapan kepentingan hukum yang dilindungi pada waktu
suatu undnag-undnag pidana dibuat, juga termasuk dalam kebijakan legislatif
69
70

Naskah Rancangan Indonesiab Undang-Undang Hukum Pidana (Baru).,Pasal 18

Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-undangan dalam Rangka
Usaha Penanggulangan Kejahatan, Disertasi,(Bandung:Univesitas Padjajaran,1986),hlm.376

karena pada saat itu pulalah pembuat undang-undang menetapkan sifat


melawan hukum dari perbuatan atau setidak-tidaknya secara formal sudah
memandang demikian.
Dengan demikian, apabila sampai saat ini untuk menetapkan adanya suatu
tindak pidana adalah : Tinjauan dari segi formal, ini perlu berhubung dengan
asas legalitas .. ,71 dan :
Tinjauan dari segi materiel sebaliknya diperlukan, oleh karena baru dengan
adanya ini, aturan-aturan hukum mempunyai isi atau mandapat arti, dan
bukan suatu pengertian dalam lisan atau tulisan belaka. Jang kami maksud
dengan ini, adalah segi pergaulan masjarakat dalam mana, atau untuk
siapa, aturan-aturan hukum itu berlaku.72
Bahwa pada tahap pertama, kepentingan hukum yang hendak dilindungi
(Schutznorm) hendaknya menjadi syarat mutlak untuk menetapkan adanya sifat
melawan hukum, disamping kedua syarat yang disebut oleh Muljatno tersebut.
Ada beberapa manfaat yang dapat diraih dengan memperhatikan kepentingan
hukum yang dilindungi ini.
Pertama,dengan demikian penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan
hukum materiel dapat dihindarkan. Ini berarti menghindaro juga
penafsiran analogi yang sering terselubung dalam panafsiran ekstensif.
Seperti diketahui penafsiran analogi adalah penafsiran yang dilarang bagi
hukum pidana. Penegasan larangan ini tampak dengan dicantumkannya
oleh pembuat undnag-undang KUHP Baru dalam R KUHP Baru, Pasal 1
ayat (2). Di pihak lain penafsiran sejarah perundang-undangan akan
dapat berkembang.
Kedua,juga dengan demikian hakim pidana tidak akan menginjakkan
kakinya pada daerah kekuasaan pembuat undnang-undang, sebab dengan
71

Muljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawab dalam Hukum Pidana ,(Jogjakarta:
Universitas Gajah Mada,1969), hlm.18
72

Ibid.

menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiel secara positif hakim


pidana telah menambahkan unsur-unsur baru dalam perumusan delik,
yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang.
Dengan memperhatikan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembuat undnag-undnag, kepastian hukum akan tetap terjamin. Dengan
demikian fungsi dan peranan asas legalitas lebih dipertajam.
Ketiga,apabila kepentingan-kepentingan hukum yang hendak dilindungi
oleh pembuat undang-undang ini mendapat perhatian sepenuhnya dari
para hakim pidana, dengan putusan-putusannya akan membentuk jenjang
kepentingan-kepentingan hukum itu. Hakim dapat mengetahui bila suatu
kepentingan hukum lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan
lainnya, dari studi, pengalaman dan renungannya sendiri, yang pada
gilirannya menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
Ajaran sifat melawan hukum materiel sebagai alasan penghapus pidana,
dengan tetap memperhatikan kepentingan hukum yang hendak dilindungi
oleh pembuat undang-undang, akan tetap dapat menyesuaikan dengan
SOBURAL73 masyarakat. Dengan demikian sifat kenisbian, kotekstual
dan aktualitasnya, tetap dapat menyangga nilai-nilai keadilan yang ada
dalam masyarakat, sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Keempat,Indonesia tidak boleh mengandalkan hanya kepada politicak
will

dari

pemerintah

belaka,

tetapi

harus

disertai

dengan

adanya/dibuatnya undang-undang yang diperlukan. Memang selama ini


Indonesia selalu merasakan bahwa pembuatan undang-undang di negara
Indonesia sangat lamban. Kesalahan ini menyebabkan kesulitan bagi para
hakim apabila dihadapkan pada kasus-kasus kejahatan baru yang sudah
jauh lebih kompleks permasalahannya. Pengandalan kepada kehendak
politik pemerintah, suatu ketika apabila tidak dapat dikontrol lagi, justru
73

J.E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar.

akan menimbulkan malapetaka pada kehidupan hukum Indonesia yaitu


tirani penguasa, dan ketiadaan kepastian hukum.
Kepastian hukum disini, diartikan sebagai sesuatu yang dapat diketahui dan
dapat diperhitungkan sebelumnya. Bukan saja karena orang, jika terjadi suatu
kesukaran dapat mengetahui hak dan kewajibannya, tetapi karena hubungannya
dengan ketertiban karena hkum adalah tatanan dalam kehidupan Indonesia
sehari-hari.
Dikatakan oleh Bregstein
Men schijnt heden ten dage voor conservatief te worden versleten als
men als jurist de rechtzekerheid nog durft te noemen en verdedigen,
(orang sekarang tampaknya dituduh kolot apabila sebagai yuris masih
berani serta mempertahankan kepastian hukum).74
Terutama dalam suasana Indonesia sedang mencari kemitraan global, Indonesia
harus memberikan jaminan kepastian hukum ini, karena kepastian hukum
adalah tuntutan dari terutama dunia utara. Hukum baru dapat dipahami,
setidak-tidaknya oleh mereka, apabila memberi jaminan kepastian hukum.
Karena itu, perumusan delik pun haruslah dapat dibuat sedemikian rupa, dalam
arti, dirumuskan dalam kata-kata yang terang, jelas, dan tidak bermakna ganda
sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain apa yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang. Hal ini akan memudahkan pekerjaan hakim dalam
mempertimbangkan suatu putusan. Suatu putusan tidak boleh dibuat secara
kebetulan atau sewenang-wenang. Putusan selalu menuntut suatu analisis yang
teliti dari semua faktor yang bersangkutan, justru dari faktor huku positif.
Putusan yang adil, adalah putusan yang tidak menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat. Masyarakat disini hendaknya ditafsirkan dalam arti luas, termasuk
juga masyarakat ilmuwan, sehingga kontroversi timbul, sudah tiba saatnya
hakim mengkaji kembali kaidah yang tercipta dalam putusan terdahulu dan
kemudian diikuti oleh putusan-putusan berikutnya itu. Juga badan pembuat
74

M.H.Bregstein, De betrekkellijke waarde der wet,(Zwolle:Tjeenk Willink,1952),hlm.8

undang-undang mengkaji apakah undang-undangnya sendiri masih ataukah


telah tidak memenuhi lagi tuntutan kebutuhan yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam masyarakat yang berkembang pesat dan semakin kompleks Indonesia
membutuhkan hukum yang berdayaguna dan proporsional serta lahir sebagai
penjabaran aspirasi masyarakat yang bersangkutan, demikian menurut
Soedjono.75
Tetapi sangatlah sulit untuk selalu menciptakan hukum, lebih tepatnya undnagundang, yang tetap selalu aktual dengan aspirasi masyarakat.
it is now probably universally admitted that no code of law can be without
gaps, demikian kata Von Hayek.76 Hukum akan tetap selalu tertinggal dari
perkembangan masyarakat. Karena itu, hakim diberi kesempatan melalui
metode

penafsiran

mengaktualisasikan

hukum

dengan

perkembangan

masyarakat. Namun, tidakkah hal itu akan bertentangan dengan kepastian


hukum ? Jawabannya terletak pada due process of law , yang menurut
Mardjono Reksodiputro mempunyai arti : adalah lebih luas dari sekadar
penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formil.77
Suasana adat, selalu membayangi hakim di Indonesia, acapkali menumbuhkan
putusan jalan tengah.78 Walaupun Soepomo sendiri, yang mengutip pendapat
Logemann, mengingatkan bahwa : juga pada putusan yang bersifat jalan
tengah, tentu terdapat anasir-anasir yang relevant bagi hukum murni (strikt
75

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Pidana dan Gelagat Kriminalitas Masyarakat Pasca Industri,
Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, (Bandung,21 Desember 1991),hlm.18
76

F.A.Hayek,Rules and Order, Law Legislation and Liberty,(London:Routledge&Kegan


Paul,1982),hlm.117
77

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Melihat kepada kejahatan dan penegakan
hukum dalam batas-batas toleransi), Pidato Pengukuhan diucapkan pada Upacara Penerimaan
Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,(Jakarta:30 Oktober 1993,hlm.6
78

Soepomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat,(Jakarta:Pradya Paramita,1972),hlm.45

recht). Jika tidak, putusan itu akan bersifat suatu putusan atas sesukanya hakim
sendiri (willekeur).79 Namun, selanjutnya dikatakan : bahwa tiap-tiap putusan
jalan tengah, pada hakikatnya adalah putusan yang membentuk peraturanperaturan hukum baru berdasarkan atas fakta-fakta baru yang mengharuskan
hakim untuk menyimpang dari strikt recht yang telah ada.80
9. Batas Penafsiran Yudisial dalam Hukum Pidana
Dari analisis kasus Indonesia serta uraian-uraian seperti yang telah
dikemukakan di atas, tampak bahwa Mahkamah Agung, setidak-tidaknya, telah
membuat dua putusan yang sangat penting karena telah menafsirkan tentang
arti sifat melawan hukum materiel, sedangkan putusan kedua , yaitu
No.275K/Pid?1982, memberi arti tentang sifat melawan hukum materiel,
setidak-tidaknya dalam perkara korupsi.
Terutama putusan yang kedua telah berdampak luas, karena dengan putusan
itu, Mahkamah Agung yang telah merinci unsur perbuatan merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dengan negara dirugikan,
kepentingan umum tidak dilayani, dan terdakwa mendapat untung. Unsurunsur itu adalah kebalikan dari kaidah yang didapat/ditarik dari putusan
pertama. Rincian unsur-unsur tadi dengan sendirinya telah memberi peluang
kepada suatu penafsiran yang lebih luas lagi terhadap Pasal 1 Undang-undang
No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti telah
dibuktikan dalam kasus Bank Duta. Penafsiran yang sangat luas dan bahkan
menganalogikan sangat berbahaya bagi kepastian hukum.
Penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut, mengingatkan
pada kebiasaan di bidang ketatanegaraan tentang perubahan kontitusi.
Wheare menulis tentang bagaimana suatu konstitusi dapat berubah, yaitu
melalui :
79

Ibid,.hlm.47

80

Ibid.

1. Some primary forces,


2. Formal amandement,
3. Judicial interpretation,
4. Usage and convention.81
Khususnya

yang

berkenaan

dengan

judicial

interpretation,

Wheare

mengatakan : A Constitutions is part of law and it therefore falls within the


purview of jugdes.82 Jadi apabila Undang-Undang Dasar yang selalu
merupakan hukum dasar tertinggi dalam suatu negara dapat diubah, undangundang pun, yang derajatnya dibawah undang-undang dasar, melalui
interpretasi yudisial dapat di ubah.
Di bidang ketatanegaraan dikenal terminologi judicial review, yang seringkali
diterapkan di negara-negara dengan sistem Anglo Saxon, walaupun tidak
jarang pula diterapkan oleh negara-negara dengan sistem kontinental. Di
bidang hukum lain interpretasi yudisial dipergunakan di negara manapun di
dunia

ini,

karena

padar

dasarnya

hampir

setiap

undang-undang

mempergunakan bahasa yang sangat umumdan kadang-kadang tidak jelas


sehingga memerlukan penafsiran.
Dikatakan La Fave :
Where the languge the criminal statute is plain and admits of buat one
meaning, it is generally said that courts must give effect to that meaning,
although courts some times refuse to do so in order to avoid a harsh or
foolish result.83
Hanya masalahnya apakah penafsiran itu boleh mengubah undang-undang.
Sudah sangat dienal bahwa dalam sistem Anglo Saxon : Judge made law,
bahkan dengan sistem stare decisis-nya di negara-negara dengan sistem
81

K.C.Wheare,ModernConstitution,third impression,(London:OxfordUniversity,1976),hlm.67-121

82

Ibid.,hlm.100

83

Wayne R.La Fave, and Austin W.Scott,Jr.,Handbook on Criminal Law,(St.Paul Minnesota:West


Publishing Co.,1972),hlm.69

common law tersebut putusan pengadilan yang lebih tinggi mengikat


pengadilan bawahan dan pengadilan yang setingkat.
Khususnya yang berkenaan dengan penafsiran, Sri Soemantri mengatakan, . . .
tidak dapat dibenarkan adanya kemungkinan perubahan Undang-Undang Dasar
1945 melalui penafsiran,84 selanjutnya : oleh karena perubahan undangundang dasar 1945 melalui penafsiran tidak sesuai dengan sistem
ketatanegaraan yang dianutnya.85
Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa penafsiran yudisial tidak dapat
mengubah undang-undang. Demikian juga penafsiran yang dibuat oelh hakim,
terlebih-lebih lagi dalam bidang hukum pidana.
Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh hakim
pidana seperti tampak dalam putusan No.275K/Pid/1982 tadi, selain telah
berulang-ulang

diikuti

oleh

pengadilan

bawahannya

juga

didiamkan

(dibenarkan) oleh Mahkamah Agung. Penanggulangan kaidah inipun


mengingatkan pada konvensi ketatanegaraan, yang menurut Bagir Manan, telah
terjadi juga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.86 Walupun demikian,
menurut Bagir Manan pula, konvensi semacam ini tidak adaat diterapkan
dalam bidang hukum pidana.
Apabila dalam praktik ketatanegaraan, menurut Sri Soemantri : masalah
perubahan undang-undang dasar termasuk dalam bidang hukum yang
mengandung aspek politik,87 maka hakim pidana, sebagai pelaksana
kekuasaan yudikatif, seharusnya menjalankan kekuasaannya secara mandiri
tanpa pengaruh apapun. Akan tetapi, seperti terlihat dalam putusan-putusan
krupsi, seperti yang telaj diduga dalam uraian sebelumnya, pengaruh politik
dalam membarantas tindak pidana korupsi tampak jelas.
84

R.H.Soemantri M, Prosedur dan sistem Perubahan Kontitusi, (Bandung:Alumni,1979),hlm.190

85

Ibid.

86

Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan,(Bandung:Armoci,1987),hlm.57

87

Sri Soemantri.,op.cit.,hlm.129

Dapatlah dimengerti apabila Belanda hanya pernah menerapkan ajaan sifat


melawan hukum materiel dalam satu kasus saja dan menampilkan metode
penafsiran lain.
Khususnya karena sifat relatif dari sifat melawan hukum, Lankhorst menulis
dalam kesimpulan disertasinya : The question of relativiteit is mainly a
question of teological interpretation.88 Walaupun demikian tetap saja bagi
hukum pidana, penafsiran teologis ini hanya dapat dipakai apabila belum ada
suatu ketentuan undnag-undnag yang mengatur secara tegas perbuatan yang
dilanggar oleh seseorang sebagia akibat adanya perkembangan baru dalam
bidang-bidang teknologi. Seperti contoh pencurian dengan menggunakan
teknologi komputer yang telah pernah terjadi berulang-ulang di Indonesia.
Akan tetapi, apabila sudah ada katentuan undang-undang yang mengaturnya,
penafsiran restriktiflah yang harus digunakan.
La Feve mengatakan :
If the statute is ambiguous, then courts must determine the intention of the
legislature, and to accomplish this they resory to a number of rules and
maxims of statuteory construction. Because the requirement that criminal
statute give fair warming of what conduct i criminal, these rules and
maxims usually operate to narrow scope of the statute.89
Walaupun penafsiran itu dimungkinakn : but the trend is away from upholding
a defendants conviction on this basis.90demikian kata La Fave selanjutnya.
Khususnya bagi Indonesia, walaupun penafsiran itu dimungkinkan, bahkan
karena mngingat keadaan perundang-undangan pidana Indonesia sekarang
kadang-kadang diperlukan untuk mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan baru,
tetapi penafsiran ekstensif ini perlu dibatasi.
88

G.H.Lankhorst, De relativiteit van de onrechtmatige daad, disertasi untuk meraih gelar Doktor
pada Universitas Leiden,(Leiden:Kluwer-Deventer,1992),hlm.249
89

La.Fave.,op.cit.,hlm.69

90

Ibid.

Hendaknya untuk membatsi penafsiran ekstensif tentang arti sifat melawan


hukum, setidak-tidaknya untuk menetapkan hilangnya sifat melawan hukum
sebagai alasan pembenar, secara umum harus dilihat apakah perbuatan
terdakwa :
1. mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undangundang;
2. melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana
yang dilanggarnya;
3. mempunyai nilai bagi masyarakat dibandingkan dengan kepentingan
dirinya sendiri.91
G. Waktu dan Tempat Terjadinya Tindak Pidana
Mengenai ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat ang
telah diuraikan di atas, harus dibedakan dari tempat terjadinya suatu tindak
pidana (locus delicti). Untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal
suatu tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya
tindak pidana itu.
Ketentuan tentang waktu diperlukan untuk menentukan apakah undang-undang
yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana itu, sedang
ketentuan tentang tempat diperlukan untuk menetapkan apakah undang-undang
pidana Indonesia dapat diberlakukan dan juga pengadilan mana yang
berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut
(kompetensi relatif). Untuk menentukan locus delicti tidaklah semudah seperti
kelihatannya.
Contoh Kasus :
Seseorang mengirim paket berisi bom waktu dari Singapura yang
ditujukan kepada orang la in di Jakarta. bom meledak di Jakarta dan
91

Komariah Emong Sapardjaja,op.cit., hlm.226

mengenai orang tersebut sehingga mati. Dalam hal ini dimanakah


terjadinya tindak pidana ?92
Untuk menetapkan locus delicti ada 3 (tiga) teori, yaitu :
a. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah);
b. Teori akibat;
c. Teori instrument (alat).93
Ad. a. Teori Perbuatan Materiil
Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak
pidana (locus delicti) adalah tempat dimana perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana itu dilakukan. Dengan kata lain, tempat terjadinya tindak
pidana (locus delicti) adalah tempat, dimana pelaku melakukan perbuatan
materiilnya dari tindak pidana yang bersangkutan.
Contoh Kasus :
A menipu B dengan berbagai rayuan dan kata-kata bohong di Jakarta.
tetapi B baru menyerahkan sejumlah uang yang diminta setelah sampai di
Bogor.
Apabila diikuti teori perbuatan materiil di atas, maka locus delicti dari tindak
pidana penipuan yang dilakukan A terhadap B adalah di Jakarta. tetapi hal ini
menimbulkan persoalan, sebab akibat yang dilarang dalam tindak pidana
penipuan justru baru terjadi di Bogor. Dengan demikian, tindak pidana
penipuan itu hakikatnya baru terjadi di Bogor. Sehingga untuk mencari locus
delicti dari tindak pidana penipuan di atas, teori perbuatan materiil tidak dapat
digunakan.
Teori perbuatan materiil ini cocok digunakan untuk menentukan locus delicti
ketika tindak pidana yang terjadi adalah jenis tindak pidana formil (delik
formil) yaitutindak pidana yang sudah dianggap terjadi/selesai dengan telah
dilakukannya perbuatan yang dilarang. Untuk mengatasi kelemahan teori
92

Tri Andrisman, op.cit., hlm.60

93

Ibid., hlm.61-62

perbuatan materiil tersebut, perlu dipakai teori lainnya sebagaimana dijelaskan


dibawah ini.
Ad. b. Teori Akibat
Menurut teori ini yang harus dianggap locus delicti adalah tempat, dimana
akibat dari perbuatan pidana itu terjadi. Jadi, tidak melihat di mana perbuatan
dilakukan, tetapi melihat dimana akibat dari perbuatan itu terjadi. Teori ini
biasanya lebih tepat untuk menentukan locus delicti dalam tindak pidana
materiil (delik materiil), yaitu jenis tindak pidana yang mempersyaratkan
terjadinya akibat untuk terjadinya/selesainya suatu tindak pidana.
Dalam kasus penipuan yang dicontohkan di atas, teori perbuatan materiil tidak
dapat memecahkan masalah locus delicti dalam kasus penipuan di atas dengan
teorinya, sehingga perlu dipakai teori lain. Teori yang dapat dipakai untuk
memecahkan masalah locus delicti dalam penipuan tersebut adalah teori akibat.
Di mana dalam contoh kauss penipuan di atas, walaupun rayuan dan kata-kata
bohong dilakukan di Jakarta, namun penyerahan sejumlah uang dilaksanakan
di Bogor. Berdasarkan teori akibat, locus delicti dari penipuan tersebut adalah
terjadi di Bogor.
Ad. c. Teori Instrument (Alat)
Menurut teori ini yang harus dianggap sebagai locus delicti adalah tempat di
mana instrument atau alat digunakan untuk melakukan tindak pidana itu
menimbulkan akibat.
Contoh Kasus :
A mengirim kue taart beracun dari Bandar Lampung kepada B di Jakarta.
Setelah B makan kiriman kue taart beracun dari A tersebut, kemudian B
mati.
Disini yang dianggap instrument / alat untuk melakukan tindak pidana adalah
kue taart beracun. Walaupun kue taartberacun tersebut dibuat di Bandar
Lampung, namun bekerjanya instrument (kue taart) tersebut di Jakarta. yaitu

ketika di makan oleh B. Jadi menurut teori instrument, locus delicti-nya adalah
di Jakarta, sebab di Jakartalah instrument/alat yang digunakandalam tindak
pidana itu menimbulkan akibat, yaitu akibat memakan kue taart tersebut
menyebabkan B mati.
Dengan adanya berbagai teori tentang locus delicti di atas, pertanyaannya
adalah teori manakah yang bisa digunakan untuk menentukan locus delicti ?
menurut penulis, penggunaan teori tersebut harus kaku menganut salah satu
teori, namun fleksibel disesuaikan dengan kasus In concreto yang terjadi.94

94

Ibid., hlm.62

Anda mungkin juga menyukai