Anda di halaman 1dari 7

SYUKNI TUMI PENGATA. SH.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Tahun 2009. Melanjutkan studi di Program Magister Ilmu Hukum Bisnis Universitas Pancasila-Jakarta, pada Tahun 2010 - Angkatan 18. Saat ini bekerja sebagai Corporate Lawyer pada Warens & Partners Lawfirm. Kontak : WARENS & PARTNERS LAW FIRM Jl. Sisingamangaraja No.63, Kebayoran Baru, Jakarta 12120, Indonesia. Website : www.warenslaw.com Mobile : 085883714556 081287286164 Email : stpengata.advocates@gmail.com Twitter : @stpengata Pin : 205343fe

Disclaimer : Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di http://stpengataadvocates.blogspot.com/ tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum, namun hanya memberikan gambaran umum dan pendidikan hukum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi pembaca.

TEORI CONDITIO SINE QUA NON Von Buri mengawali diskursus tentang ajaran kausalitas dengan teorinya conditio sine qua non yang secara literal berarti syarat mana tidak (syarat mutlak). Teori ini tidak membedakan antara syarat dan sebab yang menjadi inti dari lahirnya berbagai macam teori dalam kausalitas. Menurut Buri, rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat
1

dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini dinamakan juga dengan teori ekuivalen. Dengan demikian, setiap sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab. Jika kita menerapkannya terhadap kasus selop, maka pendapat von Buri memiliki lingkup terlalu luas dalam mengidentifikasi sebab. Menurutnya, sebab tidak hanya tertuju kepada keadaan ataupun kejadian terdekat dengan terjadinya akibat seperti, adanya tulang kepala korban yang tipis ataupun pemukulan dengan sandal tebal, melainkan juga melibatkan rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya termasuk penjual atau pembuat sandal. Sebagai ilustrasi, A berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di
2

Rumah Sakit dan ditangani oleh dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B. Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia. Dalam perspektif conditio sine qua non yang tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan, salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adekuat dengan akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat tersebut turut mengakibatkan matinya korban. Rangkaian tak terputus dalam teori conditio sine qua non menjadi satu kelemahan tersendiri. Salah satu pembela teori ini, van Hamel, menyarankan agar penggunaan teori conditio sine qua non disertai dengan ajaran tentang kesalahan untuk melekatkan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dipandang paling potensial dalam menimbulkan akibat.
3

Teori conditio sine qua non disamakan dengan but-for test dalam literatur hukum anglo America. Lebih khusus lagi, pandangan van Hamel serupa dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hart dan Honor yang menggabungkan but-for cause dengan proximate cause dalam menentukan hubungan kausalitas. Menurutnya, pendekatan dua sisi, but-for cause dan proximate cause, sangat berguna untuk menjaring fakta-fakta yang berperan dalam terjadinya akibat yang dilanjutkan dengan pembatasan tanggung jawab. Lebih lanjut, Hart dan Honor menjelaskan bahwa kebanyakan ahli hukum mendasarkan pengertian sebab-akibat pada pengertian sehari-hari. Kerap kali masyarakat memandang sesuatu yang mengubah hal tertentu dari status quo sebagai bagian dari hubungan kausalitas. Dalam konteks ini, Hart dan Honor menganggap teori but-for sebagai cara yang sederhana dalam menentukan hubungan kausalitas antara pelaku dan kejahatan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu dapat terjadi tanpa adanya pelaku (agency). Jika kejahatan terjadi, maka barang kali pelaku bisa menjadi salah satu sebab atau bukan merupakan sebab dari kejahatan-kejahatan tersebut. Namun sebaliknya, apabila kejahatan tidak terjadi tanpa adanya pelaku, maka pelaku dipastikan menjadi
4

syarat yang relevan secara kausal dengan terjadinya akibat atau dalam bahasa minimalisme kausal disebut cause-in-fact dari kejadian tersebut. Honor sendiri menyadari bahwa cakupan teori but-for yang luas menyulitkan pemilihan syarat yang adekuat (sebab) dengan akibat. Terminologi kausalitas yang biasa digunakan dalam keseharian mereka serta penerapan mekanisme ilmu alam meniscayakan rentetan peristiwa tanpa putus sebelum terjadinya akibat. Dengan demikian, hukum menemui kesulitan dalam menentukan sebab yang adekuat dengan akibat lantaran rentetan syarat tersebut merupakan suatu keharusan (if and only if). Teori but-for juga menemukan kesulitan tatkala dihadapkan kepada kasus kausalitas di bawah tekanan (over determination) dan determinasi yang dilakukan secara bersamaan (joint determination). Salah satu contoh kasus overdetermination dapat ditemukan dalam kasus doen plegen yang menempatkan pelaku sebagai manus ministra. Seorang pegawai pos, misalnya, mengantar bungkusan berisi bom yang meledakkan rumah A. Pegawai pos tidak mengetahui isi bungkusan tersebut dan oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. But-for test memandang pengiriman sebagai sebab yang secara intuitif
5

menimbulkan akibat (ledakan bom). Namun atribusi pertanggungjawaban tidak dapat dilekatkan kepada pelaku sehingga tidak terjadi hubungan kausalitas. Berbeda dengan cause in fact yang didasari pengertian sehari-hari tentang kausalitas, pertanggungjawaban yang dilekatkan kepada pelaku didasarkan kepada pengertian hukum. Tanggung jawab ini membatasi cakupan cause in fact yang terlalu luas dan memutuskan adanya hubungan kausalitas berdasarkan atribusi tanggung jawab tersebut. Dalam perspektif monistis, pandangan ini tidak menemui kejanggalan, khususnya penganut teori conditio sine qua non yang memandang hubungan kausalitas terjadi manakala terdapat cause in fact dan pembatasan tanggung jawab yang tertuang dalam proximate cause yang bertujuan melakukan filterisasi atas ekuivalensi syarat dengan pembedaan syarat dan sebab. Dengan kata lain, syarat yang paling dekat dengan akibat adalah sebab. Kombinasi cause in fact dan proximate cause merupakan sebuah keharusan untuk membatasi rangkaian kausalitas tanpa batas yang dipahami oleh conditio sine qua non ataupun but-for test. Kendati terdapat kelemahan dalam teori conditio sine quo non terutama bagi pandangan dualistis,
6

teori ini sangat populer di Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam Model Penal Code (MPC) yang secara tegas menyatakan teori ini sebagai acuan dalam menentukan adanya kausalitas. MPC mendefinisikan but-for test sebagai conduct is the cause of a result when: (a) it is an antecedent but for which the result in question would not have occurred. . .. Sementara itu, pedoman proximate cause guna membatasi kausalitas ditegaskan dalam the Book of Approved Jury Instructions (BAJI) yang merekomendasikan standar instruksi bagi para juri dalam meutuskan hubungan kausalitas dan pertanggungjawaannya, yaitu A proximate cause of injury is a cause which . . . produces the injury and without which the injury would not have occurred.

Anda mungkin juga menyukai