Suatu disiplin adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang
dihadapi. Secara umum suatu disiplin dibedakan menjadi 2 macam, yaitu disiplin
analitis dan disiplin preskriptif. Disiplin analitis berarti suatu sistem ajaran yang
harus melakukan analisa terhadap bidangnya serta pemahaman yang dalam sebelum
dapat menjelaskannya (contoh: sosiologi). Di lain pihak, disiplin preskriptif adalah
sistem ajaran untuk mengambil keputusan tentang apa yang pantas untuk dilakukan
dalam suatu situasi tertentu (contoh: hukum, filsafat, politik).
Dalam buku ini, penulis membahas perihal kaedah hukum yang mana tidaklah
akan jauh dari disiplin ilmu hukum itu sendiri. Berbicara tentang perihal kaedah
hukum, maka tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa arti kata “kaedah”
itu sendiri. Apabila ditinjau dari bentuk hakekatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau sikap tindak.
Misalnya, “barang siapa meminjam sesuatu, wajib untuk mengembalikannya” atau
“barang siapa ingin dihormati, maka ia harus menghormati orang lain”. Kaedah
tentunya hanya mengatur cara kita bersikap/bertindak dan BERBEDA dengan dalil
alam/hukum alam (air mendidih di suhu 100° celcius). Letak perbedaannya
sederhana, bahwa di dalam suatu kaedah akan mungkin terjadi suatu penyimpangan,
namun tidak pada suatu dalil alam/hukum alam.
Setelah mengetahui arti kaedah, penulis mengemukakan permasalahan baru,
yaitu darimanakah munculnya kaedah atau pandangan mengenai perikelakuan ini.
Banyak yang beranggapan bahwa kaedah itu muncul dari Tuhan YME, namun banyak
juga yang beranggapan munculnya kaedah adalah dari dalam diri masing-masing
manusia. Penulis beranggapan munculnya kaedah didorongkan oleh keinginan untuk
hidup pantas dari dalam manusia itu sendiri. Namun janganlah cepat untuk
beranggapan, karena sebetulnya pandangan akan hidup yang pantas dan bagaimana
cara menggapai hidup yang pantas adalah berbeda bagi tiap orang, masyarakat,
bangsa, bahkan terkadang di dalam diri kita sendiri sering timbul pandangan-
pandangan yang berlawanan (“tweestrijd”; “inner-conflict”). Dengan begitu
banyaknya pandangan mengenai hidup pantas yang berbeda, maka dibutuhkan suatu
pedoman, yang bertujuan untuk mencegah banyaknya pandangan mengenai hidup
pantas membuat kehidupan menjadi tidak pantas. Hal inilah yang disebut dengan
norma, pedoman, atau kaedah.
Berikutnya penulis juga mengungkapkan bahwa ada 2 macam aspek hidup :
1. Hidup pribadi
2. Hidup antar-pribadi
Dan juga diungkapkan bahwa tiap-tiap aspek hidup memiliki 2 kaedah yang ada di
dalamnya, menyebabkan pengelompokannya menjadi seperti :
1. Hidup pribadi
a. Kaedah-kaedah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup
pribadi atau kehidupan beriman
b. Kaedah-kaedah kesusilaan (“sittlichkeit” atau moral) bertujuan
pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani
2. Hidup antar-pribadi
a. Kaedah-kaedah sopan santun (“sitte”) yang bertujuan pada
kesedapan kehidupan bersama
b. Kaedah-kaedah hukum yang bertujuan pada kedamaian hidup
bersama.
Maka dapat dikatakan bahwa kaedah kepercayaan dan kesusilaan mengatur kehidupan
kita dengan tujuan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sedangkan kaedah sopan
santun dan hukum bertujuan untuk mengatur masyarakat secara singkatnya.
Setelah mengetahui macam-macam kaedah, penulis menjabarkan lagi secara
rinci apa maksud dan tujuan dari tiap-tiap kaedah, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
A. TATA KAEDAH KEPERCAYAAN
Mengatur kehidupan pribadi seseorang dalam aspek kepercayaan terhadap
kekuatan gaib (Tuhan YME, Dewa-Dewi,dll). Pada setiap kaedah pasti
memiliki pedoman/pandangan pokok terhadap kaedah tersebut “kaedah
fundamentil” atau groundnorm. Dalam hal ini, maka kaedah fundamentil
kehidupan beriman adalah :
(misal) “Manusia harus yakin, percaya, dan mengabdi kepada Tuhan
YME serta mentaati semua perintahNya”
Kaedah fundamentil tersebut bersifat universal, yang artinya menjadi tiap
dasar kehidupan beriman, baik dinyatakan maupun tidak. Namun tiap-tiap
agama memiliki cara-cara yang berbeda untuk menjalankan atau
mewujudkan kaedah fundamentil tersebut, dan kaedah-kaedah yang
menunjukan konkretisasi dari kaedah fundamentil, disebut “kaedah
aktuil”. Apabila kita mengambil kaedah aktuil dari Agama Nasrani atau
Kristen, maka akan berbunyi :
1. Mengasihi sesama
2. Menaati 10 Perintah Allah
3. Dsb.
Jika kaedah kesusilaan termasuk kaedah pribadi yang mematok pada hati
nurani atau patokannya ada pada hal-hal yang tidak bisa dilihat, seperti :
1. Tidak boleh curiga
2. Tidak boleh benci
3. Tidak boleh iri hati
Hal-hal diatas adalah hal-hal yang tidak bisa dilihat, contohnya, A
berteman baik dengan B, namun A selalu iri terhadap apa kepunyaan B.
dibuktikan bahwa iri hati adalah hal yang tidak bisa dilihat oleh sesama
dan dapat disembunyikan. Hal-hal diatas pula merupakan kaedah aktuil
dari kaedah kesusilaan, bilamana ada pertanyaan tentang apa kaedah
fundamentilnya, maka kaedah fundamentil dari kaedah kesusilaan adalah
“Orang harus memiliki hati/nurani yang bersih”.
Mengenai tata kaedah pribadi, bukan berarti tata kaedah kesusilaan dan
kepercayaan hanya berpengaruh dalam diri individu itu sendiri, namun sebenarnya
kedua kaedah tersebut ikut berperan antar-pribadi secara TIDAK LANGSUNG.
Mengenai kaedah fundamentil dari kaedah hukum, bisa diambil dari teori
Hans Kelsen, yakni :
“Reine Rechtslehre” atau “The Pure Theory of Law”. Teori tersebut
menjelaskan bahwa hukum atau ilmu hukum harus dipisahkan dari subjek-
subjek lain yang dapat mempengaruhinya (politik, sosiologi, filosofi).
Menjadikan hukum sebagai ILMU MURNI.
Akan timbul perntanyaan tentang apakah manusia bisa hidup hanya dengan
kaedah kepercayaan, kesusilaan, dan sopan santun. Jawabannya adalah TIDAK,
karena :
1. Ketiga kaedah tersebut tidak akan mencangkup semua urusan dan
perkara dalam kehidupan manusia. Contoh : pembuatan KTP, Akta
kelahiran, dsb.
2. Ketiga kaedah tersebut tidak akan menjamin kehidupan menjadi
pantas atau sayogya tanpa adanya kaedah hukum. Contoh : terjadi
kasus pencurian, jika tidak ada kaedah hukum maka tidak boleh
mencurigai seseorang, karena bertentangan dengan kaedah
kesusilaan.
Dalam rangkuman di atas mengenai 4 tata kaedah, sering dijumpainya kata
“kaedah fundamentil” dan “kaedah aktuil”. Untuk dapat membedakanya, maka
bisa diibaratkan sebagai visi dan misi, bahwa kaedah fundamentil merupakan suatu
VISI dari kaedah yang bersangkutan, dan kaedah aktuil merupakan MISInya (cara
mencapai visi tersebut).
KAEDAH UUD
KONSTITUSI 1945
KAEDAH UNDANG-
UMUM/ABSTRA UNDANG
K
KETETAPAN-
KETETAPAN
KAEDAH
INDIVIDUIL/KONKRET KEPUTUSAN
PENGADILAN
Dari gambar tersebut kita dapat melihat bentuk fisik dari stufentheorie beserta
contohnya dengan parameter Negara Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Grundnorm = Pancasila
Karena grundnorm merupakan keputusan yuridis dari hasil pemikiran
manusia yang bukan bentuk dari hukum positif, namun membawahi
hukum-hukum positif (pedoman bangsa).
Kaedah hukum yang bersifat imperatif, artinya kaedah hukum yang secara à
priori harus ditaati, seperti kaedah hukum yang berisi gebod (suruhan) dan verbod
(larangan). Maka, kaedah hukum yang bersifat imperatif berarti juga bahwa tidak
dapat dikesampingkan oleh sebuah perjanjian. Sebaliknya, kaedah hukum yang
bersifat fakultatif berarti kaedah hukum yang boleh ditaati dan boleh tidak, atau dapat
dibilang tidak secara à priori harus ditaati, seperti kaedah hukum yang berisi mogen
(kebolehan).
Sampai di paragraf ini, dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum bertujuan untuk
memberikan deskripsi perihal fakta tentang hukum itu, dan kaedah hukum mengatur
hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Di dalam perumusan oleh ilmu hukum
yang menjelaskan tentang kaedah hukum, menghasilkan “Rules of Law” yang harus
dibedakan dari “Legal Norms”. Menurut Kelsen, rules of law adalah hasil pemikiran
yang tersusun secara hipotesis (bersyarat) dan mengandung PRINSIP IMPUTASI
(pertanggungjawaban), yang tidak mengatur hubungan antara kondisi dan
konsekuensi. Jadi dapat disimpulkan bahwa rules of law adalah pandangan orang pada
umumnya mengenai kaedah hukum itu sendiri. Sedangkan legal norms adalah
putusan pejabat hukum yang harus ditaati oleh subjek hukum, yang mengatur
hubungan antara kondisi dan konsekuensi. Dapat disimpulkan kembali bahwa legal
norms merupakan kaedah yang dibuat oleh pejabat hukum yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
Mengenai prinsip imputasi, dapat dijelaskan sebagai berikut :
“Jika seseorang melakukan tindakan tertentu, maka orang lain harus
bertindak menurut cara tertentu”
Misalnya, A menabrak mobil B (tindakan tertentu), maka B bisa saja meminta
pertanggung jawaban atau membiarkan A pergi (bertindak menurut cara tertentu).
Namun prinsip imputasi memungkinkan suatu subjek hukum untuk terhindar dari
konsekuensi hukum tertentu karena diakibatkan oleh satu dan lain hal, seperti
gangguan jiwa, belum cukup umur, adanya unsur paksa, situasi darurat, dan
menjalankan mandat.
Selain itu, mengenai hal ini Kelsen memberikan perbandingan antara kaedah
hukum yang dirumuskan oleh rules of law dengan dalil alam, sehingga diperoleh
kesimpulan :
1. Kaedah hukum yang dirumuskan oleh rules of law adalah hasil
pemikiran/pandangan hipotesis, sebagaimana juga dengan dalil alam.
2. Perbedaan terletak pada hakekatnya, bahwa
a. Pada dalil alam, bila terjadi suatu kejadian (sebab), maka akan
disusul dengan suatu kejadian lain atau menimbulkan suatu keadaan
tertentu (akibat). Ini dinamakan dengan hukum sebab-akibat.
b. Dalam kaedah hukum, jika seseorang melakukan tindakan tertentu,
orang lain harus bertindak menurut cara tertentu (prinsip imputasi).
3. Pada dalil alam tidak hadir campur tangan manusia dalam hubungan
sebab-akibat; sedangkan dalam kaedah hukum, hubungan normatif
dilakukan oleh manusia.
4. Hubungan sebab-akibat dalam dalil alam bersifat tak terbatas; namun
dalam kaedah hukum, prinsip imputasi memiliki batasnya.