Anda di halaman 1dari 7

Ringkasan Literasi 340 PUR p (3)

Perihal Kaedah Hukum


Oleh - Purnadi Purbacaraka, S.H.
- DR. Soerjono Soekanto, S.H, M.A.
15 Juli 2017

Suatu disiplin adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang
dihadapi. Secara umum suatu disiplin dibedakan menjadi 2 macam, yaitu disiplin
analitis dan disiplin preskriptif. Disiplin analitis berarti suatu sistem ajaran yang
harus melakukan analisa terhadap bidangnya serta pemahaman yang dalam sebelum
dapat menjelaskannya (contoh: sosiologi). Di lain pihak, disiplin preskriptif adalah
sistem ajaran untuk mengambil keputusan tentang apa yang pantas untuk dilakukan
dalam suatu situasi tertentu (contoh: hukum, filsafat, politik).
Dalam buku ini, penulis membahas perihal kaedah hukum yang mana tidaklah
akan jauh dari disiplin ilmu hukum itu sendiri. Berbicara tentang perihal kaedah
hukum, maka tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa arti kata “kaedah”
itu sendiri. Apabila ditinjau dari bentuk hakekatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau sikap tindak.
Misalnya, “barang siapa meminjam sesuatu, wajib untuk mengembalikannya” atau
“barang siapa ingin dihormati, maka ia harus menghormati orang lain”. Kaedah
tentunya hanya mengatur cara kita bersikap/bertindak dan BERBEDA dengan dalil
alam/hukum alam (air mendidih di suhu 100° celcius). Letak perbedaannya
sederhana, bahwa di dalam suatu kaedah akan mungkin terjadi suatu penyimpangan,
namun tidak pada suatu dalil alam/hukum alam.
Setelah mengetahui arti kaedah, penulis mengemukakan permasalahan baru,
yaitu darimanakah munculnya kaedah atau pandangan mengenai perikelakuan ini.
Banyak yang beranggapan bahwa kaedah itu muncul dari Tuhan YME, namun banyak
juga yang beranggapan munculnya kaedah adalah dari dalam diri masing-masing
manusia. Penulis beranggapan munculnya kaedah didorongkan oleh keinginan untuk
hidup pantas dari dalam manusia itu sendiri. Namun janganlah cepat untuk
beranggapan, karena sebetulnya pandangan akan hidup yang pantas dan bagaimana
cara menggapai hidup yang pantas adalah berbeda bagi tiap orang, masyarakat,
bangsa, bahkan terkadang di dalam diri kita sendiri sering timbul pandangan-
pandangan yang berlawanan (“tweestrijd”; “inner-conflict”). Dengan begitu
banyaknya pandangan mengenai hidup pantas yang berbeda, maka dibutuhkan suatu
pedoman, yang bertujuan untuk mencegah banyaknya pandangan mengenai hidup
pantas membuat kehidupan menjadi tidak pantas. Hal inilah yang disebut dengan
norma, pedoman, atau kaedah.
Berikutnya penulis juga mengungkapkan bahwa ada 2 macam aspek hidup :
1. Hidup pribadi
2. Hidup antar-pribadi
Dan juga diungkapkan bahwa tiap-tiap aspek hidup memiliki 2 kaedah yang ada di
dalamnya, menyebabkan pengelompokannya menjadi seperti :
1. Hidup pribadi
a. Kaedah-kaedah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup
pribadi atau kehidupan beriman
b. Kaedah-kaedah kesusilaan (“sittlichkeit” atau moral) bertujuan
pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani

2. Hidup antar-pribadi
a. Kaedah-kaedah sopan santun (“sitte”) yang bertujuan pada
kesedapan kehidupan bersama
b. Kaedah-kaedah hukum yang bertujuan pada kedamaian hidup
bersama.
Maka dapat dikatakan bahwa kaedah kepercayaan dan kesusilaan mengatur kehidupan
kita dengan tujuan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sedangkan kaedah sopan
santun dan hukum bertujuan untuk mengatur masyarakat secara singkatnya.
Setelah mengetahui macam-macam kaedah, penulis menjabarkan lagi secara
rinci apa maksud dan tujuan dari tiap-tiap kaedah, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
A. TATA KAEDAH KEPERCAYAAN
Mengatur kehidupan pribadi seseorang dalam aspek kepercayaan terhadap
kekuatan gaib (Tuhan YME, Dewa-Dewi,dll). Pada setiap kaedah pasti
memiliki pedoman/pandangan pokok terhadap kaedah tersebut “kaedah
fundamentil” atau groundnorm. Dalam hal ini, maka kaedah fundamentil
kehidupan beriman adalah :
(misal) “Manusia harus yakin, percaya, dan mengabdi kepada Tuhan
YME serta mentaati semua perintahNya”
Kaedah fundamentil tersebut bersifat universal, yang artinya menjadi tiap
dasar kehidupan beriman, baik dinyatakan maupun tidak. Namun tiap-tiap
agama memiliki cara-cara yang berbeda untuk menjalankan atau
mewujudkan kaedah fundamentil tersebut, dan kaedah-kaedah yang
menunjukan konkretisasi dari kaedah fundamentil, disebut “kaedah
aktuil”. Apabila kita mengambil kaedah aktuil dari Agama Nasrani atau
Kristen, maka akan berbunyi :
1. Mengasihi sesama
2. Menaati 10 Perintah Allah
3. Dsb.

B. TATA KAEDAH KESUSILAAN


Mengatur kehidupan pribadi seseorang dalam aspek etika. Seperti yang
sudah dikemukakan penulis sebelumnya, bahwa tiap individu pasti
memiliki hasrat untuk hidup pantas/sayogya, namun pandangan dan cara-
cara mengenai kehidupan pantas ini akan berbeda dari tiap orang,
masyarakat, bangsa, bahkan dalam diri sendiri seringkali mengalami
pandangan yang berlawanan, maka dari itu dibentuklah suatu pedoman
(kaedah) untuk melenyapkan ketidakseimbangan kehidupan pribadi.

Jika kaedah kesusilaan termasuk kaedah pribadi yang mematok pada hati
nurani atau patokannya ada pada hal-hal yang tidak bisa dilihat, seperti :
1. Tidak boleh curiga
2. Tidak boleh benci
3. Tidak boleh iri hati
Hal-hal diatas adalah hal-hal yang tidak bisa dilihat, contohnya, A
berteman baik dengan B, namun A selalu iri terhadap apa kepunyaan B.
dibuktikan bahwa iri hati adalah hal yang tidak bisa dilihat oleh sesama
dan dapat disembunyikan. Hal-hal diatas pula merupakan kaedah aktuil
dari kaedah kesusilaan, bilamana ada pertanyaan tentang apa kaedah
fundamentilnya, maka kaedah fundamentil dari kaedah kesusilaan adalah
“Orang harus memiliki hati/nurani yang bersih”.
Mengenai tata kaedah pribadi, bukan berarti tata kaedah kesusilaan dan
kepercayaan hanya berpengaruh dalam diri individu itu sendiri, namun sebenarnya
kedua kaedah tersebut ikut berperan antar-pribadi secara TIDAK LANGSUNG.

C. TATA KAEDAH SOPAN SANTUN


Seperti sepengetahuan kita semua, kaedah ini pasti bertujuan untuk
mencapai “kesedapan hidup bersama” (a pleasant living together).
Akan lebih tepat bahwa sebaiknya pengertian sopan santun tidak
dikacaukan dengan dengan adat maupun kebiasaan.
(misal) “seseorang memiliki kebiasaan untuk membaca pada malam
hari, jika orang lain tidak membaca pada siang hari atau tidak membaca
sama sekali, tidak akan menjadikan orang tersebut tidak sopan.”
Walaupun tidak dapat disangkal bahwa sopan santun timbul akibat dari
kebiasaan. Memang benar bahwa sikap yang bertujuan untuk
menyedapkan kehidupan bersama akan berbeda bagi tiap-tiap masyarakat,
namun apabila ada suatu sikap yang sudah dianggap baik maka sikap
tersebut akan menyedapkan kehidupan antar-pribadi di masyarakat yang
bersangkutan. Dengan begitu, kaedah sopan santun memiliki kaedah
fundamentil yang berbunyi “Orang harus memelihara kesedapan
kehidupan bersama”.
Mengenai kaedah aktuilnya mungkin akan berbeda di tiap masyarakat
dikarenakan perbedaan budaya satu dengan lainnya. Contoh kaeadah
aktuil :
1. Tidak memasuki ruangan lewat jendela
2. Tidak mengangkat kaki saat makan
3. Salim atau mencium tangan

D. TATA KAEDAH HUKUM


Menurut van Apeldoorn, Kaedah-kaedah hukum pasti tertuju kepada
pencapaian kehidupan yang damai “het recht wil de verde”. Suatu keadaan
bisa dikatakan damai bilamana terjadi ketertiban (“order”) dan ketenangan
(“rust”). Ketertiban merujuk kepada kehidupan antar
kelompok/masyarakat, sementara ketenangan merujuk kepada kehidupan
batiniyah.

Mengenai kaedah fundamentil dari kaedah hukum, bisa diambil dari teori
Hans Kelsen, yakni :
“Reine Rechtslehre” atau “The Pure Theory of Law”. Teori tersebut
menjelaskan bahwa hukum atau ilmu hukum harus dipisahkan dari subjek-
subjek lain yang dapat mempengaruhinya (politik, sosiologi, filosofi).
Menjadikan hukum sebagai ILMU MURNI.

“stufentheorie”. Teori tersebut menjelaskan bahwa setiap tata hukum


terdiri dari susunan (“hierarki”) kaedah-kaedah (“stufenbau”) yang
berasal dari suatu kaedah dasar atau kaedah fundamentil (“grundnorm”)
yang bukan merupakan suatu kaedah positif, namun menjadi kaedah yang
dihasilkan dari pemikiran yuridis, dan aktualisasi di bawahnya menjadi
hukum positif.
Mengenai kaedah fundamentil hukum itu sendiri, kita kembali kepada
pernyataan bahwa tujuan hukum adalah membentuk ketertiban dan
kedamaian. Maka dapat dikatakan bahwa kaedah fundamentil dari tata
kaedah hukum adalah “Menjaga ketertiban dan kedamaian dalam
kehidupan bersama”. Mengenai kaedah aktuil dalam tata kaedah hukum,
akan mencangkup daerah yang sangat luas sekali.

Akan timbul perntanyaan tentang apakah manusia bisa hidup hanya dengan
kaedah kepercayaan, kesusilaan, dan sopan santun. Jawabannya adalah TIDAK,
karena :
1. Ketiga kaedah tersebut tidak akan mencangkup semua urusan dan
perkara dalam kehidupan manusia. Contoh : pembuatan KTP, Akta
kelahiran, dsb.
2. Ketiga kaedah tersebut tidak akan menjamin kehidupan menjadi
pantas atau sayogya tanpa adanya kaedah hukum. Contoh : terjadi
kasus pencurian, jika tidak ada kaedah hukum maka tidak boleh
mencurigai seseorang, karena bertentangan dengan kaedah
kesusilaan.
Dalam rangkuman di atas mengenai 4 tata kaedah, sering dijumpainya kata
“kaedah fundamentil” dan “kaedah aktuil”. Untuk dapat membedakanya, maka
bisa diibaratkan sebagai visi dan misi, bahwa kaedah fundamentil merupakan suatu
VISI dari kaedah yang bersangkutan, dan kaedah aktuil merupakan MISInya (cara
mencapai visi tersebut).

Kaedah Fundamentil, bagaimana seorang manusia harus bersikap tindak


menurut kaedah yang bersangkutan.

Kaedah Aktuil, memberikan pedoman terhadap sikap tindak.

Mengenai stufentheorie milik Hans Kelsen, dapat dikatakan bahwa di dalam


suatu negara, tata kaedah hukum dibuat bertingkat-tingkat (hierarkis) dengan suatu
grundnorm yang berupa hasil pemikiran yuridis yang membawahi stufenbau. Secara
sederhana akan timbul 3 macam kaedah hukum, yaitu : kaedah konstitusi, kaedah
umum, dan kaedah individuil. Kaedah-kaedah tersebut saling berurutan dan kaedah
yang ada dibawah tidak bisa melenceng atau menentang kaedah yang ada diatasnya.
Ketiga. Di atas kaedah konstitusi adalah kaedah dasar atau grundnorm yang bukan
merupakan hukum positif, namun pemikiran yuridis manusia yang menjadi dasar
pembuatan stufenbau. Maka dapat disimpulkan dengan gambar berikut
GRUNDNORM PANCASILA

KAEDAH UUD
KONSTITUSI 1945

KAEDAH UNDANG-
UMUM/ABSTRA UNDANG
K
KETETAPAN-
KETETAPAN
KAEDAH
INDIVIDUIL/KONKRET KEPUTUSAN
PENGADILAN

Dari gambar tersebut kita dapat melihat bentuk fisik dari stufentheorie beserta
contohnya dengan parameter Negara Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Grundnorm = Pancasila
Karena grundnorm merupakan keputusan yuridis dari hasil pemikiran
manusia yang bukan bentuk dari hukum positif, namun membawahi
hukum-hukum positif (pedoman bangsa).

2. Kaedah Konstitusi = UUD1945


Kaedah hukum tingkatan tertinggi, menjadi pedoman bagi kaedah-kaedah
hukum di bawahnya dan tidak dapat ditentang.

3. Keaedah Umum = Undang-Undang


Merupakan kaedah hukum yang bersifat abstrak, artinya berlaku bagi
setiap orang.

4. Kaedah Individuil = Ketetapan-Ketetapan dan Keputusan Pengadilan


Merupakan kaedah hukum yang bersifat konkret, artinya berlaku hanya
bagi orang-orang tertentu yang berada dalam ruang lingkupnya.

Setelah menjelaskan mengenai stufentheorie secara mendalam dan memberikan


perspektif penerapannya di dalam suatu negara, penulis menjelaskan secara lebih
lanjut mengenai isi dan sifat dari kaedah hukum. Menurut penulis, kaedah hukum
memiliki 3 isi di dalamnya, yaitu :
1. Gebod, berisi tentang suruhan mengenai suatu hal
Contoh : UUD 1945 pasal 30, yang berisi tentang KEWAJIBAN bela
negara.

2. Verbod, berisi tentang larangan mengenai suatu hal


Contoh : UU RI no. 32 tahun 2010, yang berisi tentang LARANGAN
merokok di kawasan bebas rokok.

3. Mogen, berisi tentang kebolehan mengenai suatu hal, yang berarti


dilakukan atau tidak, tidak akan melanggar hukum
Contoh : Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, bahwa pihak yang
melakukan perkawinan boleh mengadakan perjanjian tertulis, asal tidak
melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan

Mengenai sifat, kaedah hukum dapat dibedakan menjadi :


1. Kaedah hukum yang bersifat Imperatif
2. Kaedah hukum yang bersifat Fakultatif

Kaedah hukum yang bersifat imperatif, artinya kaedah hukum yang secara à
priori harus ditaati, seperti kaedah hukum yang berisi gebod (suruhan) dan verbod
(larangan). Maka, kaedah hukum yang bersifat imperatif berarti juga bahwa tidak
dapat dikesampingkan oleh sebuah perjanjian. Sebaliknya, kaedah hukum yang
bersifat fakultatif berarti kaedah hukum yang boleh ditaati dan boleh tidak, atau dapat
dibilang tidak secara à priori harus ditaati, seperti kaedah hukum yang berisi mogen
(kebolehan).
Sampai di paragraf ini, dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum bertujuan untuk
memberikan deskripsi perihal fakta tentang hukum itu, dan kaedah hukum mengatur
hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Di dalam perumusan oleh ilmu hukum
yang menjelaskan tentang kaedah hukum, menghasilkan “Rules of Law” yang harus
dibedakan dari “Legal Norms”. Menurut Kelsen, rules of law adalah hasil pemikiran
yang tersusun secara hipotesis (bersyarat) dan mengandung PRINSIP IMPUTASI
(pertanggungjawaban), yang tidak mengatur hubungan antara kondisi dan
konsekuensi. Jadi dapat disimpulkan bahwa rules of law adalah pandangan orang pada
umumnya mengenai kaedah hukum itu sendiri. Sedangkan legal norms adalah
putusan pejabat hukum yang harus ditaati oleh subjek hukum, yang mengatur
hubungan antara kondisi dan konsekuensi. Dapat disimpulkan kembali bahwa legal
norms merupakan kaedah yang dibuat oleh pejabat hukum yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
Mengenai prinsip imputasi, dapat dijelaskan sebagai berikut :
“Jika seseorang melakukan tindakan tertentu, maka orang lain harus
bertindak menurut cara tertentu”
Misalnya, A menabrak mobil B (tindakan tertentu), maka B bisa saja meminta
pertanggung jawaban atau membiarkan A pergi (bertindak menurut cara tertentu).
Namun prinsip imputasi memungkinkan suatu subjek hukum untuk terhindar dari
konsekuensi hukum tertentu karena diakibatkan oleh satu dan lain hal, seperti
gangguan jiwa, belum cukup umur, adanya unsur paksa, situasi darurat, dan
menjalankan mandat.
Selain itu, mengenai hal ini Kelsen memberikan perbandingan antara kaedah
hukum yang dirumuskan oleh rules of law dengan dalil alam, sehingga diperoleh
kesimpulan :
1. Kaedah hukum yang dirumuskan oleh rules of law adalah hasil
pemikiran/pandangan hipotesis, sebagaimana juga dengan dalil alam.
2. Perbedaan terletak pada hakekatnya, bahwa
a. Pada dalil alam, bila terjadi suatu kejadian (sebab), maka akan
disusul dengan suatu kejadian lain atau menimbulkan suatu keadaan
tertentu (akibat). Ini dinamakan dengan hukum sebab-akibat.
b. Dalam kaedah hukum, jika seseorang melakukan tindakan tertentu,
orang lain harus bertindak menurut cara tertentu (prinsip imputasi).
3. Pada dalil alam tidak hadir campur tangan manusia dalam hubungan
sebab-akibat; sedangkan dalam kaedah hukum, hubungan normatif
dilakukan oleh manusia.
4. Hubungan sebab-akibat dalam dalil alam bersifat tak terbatas; namun
dalam kaedah hukum, prinsip imputasi memiliki batasnya.

Pembahasan penulis mengenai kaedah hukum tidak berhenti sampai


perumusannya saja, namun penulis juga menjabarkan tugas kaedah hukum yang
bersifat dwi-tunggal. Sebelumnya, penulis juga membahas bahwa tujuan dari kaedah
hukum adalah memberikan ketertiban antar-pribadi dan ketenangan pribadi. Kedua
hal itulah yang berhubungan dengan sifat tugas kaedah hukum, yakni dwi-tunggal
yang berisi :
1. Memberikan kepastian dalam hukum (“certainity”; “zekerheid”)
2. Memberikan kesebandingan dalam hukum (“equity”; “bilijkheid”;
“evenredigheid”)
Selain pasangan nilai di atas, ada 2 pasangan nilai yang juga memiliki hubungan
dalam hukum, yaitu :
1. Nilai kepentingan rohani (“spiritualism”) dengan nilai kepentingan
jasmani (“materialism”).
2. Nilai kebaruan dan nilai kelanggengan.
Namun, pasangan nilai yang dibahas oleh penulis hanyalah pasangan pertama, yaitu
memberikan kepastian dalam hukum dan memberikan kesebandingan dalam
hukum.
Sebelumnya, tugas kaedah hukum tersebut dikatakan sebagai dwi-tunggal
supaya kaedah hukum yang bersifat abstrak/umum dapat menjalankan kedua tugasnya
tersebut. Marilah kita ambil contoh dari hukum pidana yang biasanya berbunyi :
“Barangsiapa yang bersikap tindak tertentu, akan dihukum setinggi-tingginya
sekian tahun”
Maka dapat dikatakan bahwa
1. STABILO KUNING menunjukan kepastian dalam hukum
Kepastian dalam hukum ditunjukan dengan kalimat tersebut yang berarti,
siapapun yang bertindak salah atau melanggar akan dikenakan sanksi atau
hukuman.
2. STABILO BIRU menunjukan kesebandingan dalam hukum
Kesebandingan dalam hukum dijelaskan dengan adanya perbandingan di
dalam kalimat tersebut (setinggi-tingginya). Kalimat tersebut menjadi
pembanding antara sikap tindak terdakwa dengan tinggi rendahnya
hukuman yang diberikan. Hal ini digunakan untuk menghindari pencuri
sepatu dengan harga Rp200.000,00 (2 ratus ribu rupiah) dengan koruptor
yang mencuri hingga Rp2.000.000.000.000,00 (2 triliyun rupiah) tidak
mendapatkan hukuman yang sama ringannya atau sama beratnya.

Anda mungkin juga menyukai