Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji bagi Allah SWT,yang telah


memberikan rahmat dan karunianya sehingga Saya pada akhirnya dapat
menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmia ini dengan baik dan benar dimana
makalahnya menyajikan dalam bentuk yang sederhana adapun judul makalah ini
adalah JANGAN NODAI NAMAKU yang merupakan salah satu Tugas Besar
Akhir Semester pada mata kuliah Pancasila
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas atas
bimbingan dan dorongan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang
baik ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ade Malobassang SH. MH. sebagai dosen yang mengajar mata kuliah
ini.
2. Orang tua kami yang telah memberi dukungan materi dan moral sehingga dapat
menyelesaikan Tugas Ini.
3. Teman-teman kami yang telah memberi dukungan dan saling bertukar pendapat
guna menambah wawasan.

Makassar, 15 November 2014

Penulis.
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................... i


Daftar isi ................................................................... ii

BAB I Pendahuluan
a. Latar belakang ................................................... 1
b. Maksud Dan Tujuan .......................................... 2
c. Metode penelitian .............................................. 3

BAB II Pembahasan
A. Pandangan Pencemaran Nama Baik .................... 4
B. Dasar Hukum ........................... 36
C. Pengertian dan Unsur Tidak Pidana. ................. 41
D. Pengolongan Tindak Pidana...................................51
E. Grafik Cyber Crime Tahun 2013........................... 65
F Dampak Pencemaran Nama Baik............. 70
G. Aturan Hukum Pencmaran Nama Baik Di Jaringan
Sosial 72
H. Langkah Bagus Jika Nama Baik Di Cemarkan Di
Dunia Maya 74
I . Contoh Kasus 78
BAB III Penutup
1. Kesimpulan Dan Saran... 96
2. Daftar pustaka ................................................ 99
3. Daftar Riwat Hidup .. 104
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pencemaran Nama Baik yang semakin meningkat, memberikan dampak
positif maupun negatif bagi pihak yang menggunakannya. Dari sisi
positif, Jaringan Sosial dapat menembus batas ruang dan waktu, di mana antara
pengguna dan penyedia layanan dapat melakukan berbagai hal di internet tanpa
mengenal jarak dan perbedaan waktu. Sedang sisi negatif, pengaruh budaya luar
yang dapat mempengaruhi budaya pengguna internet itu sendiri.
Perkembangan kejahatan pun semakin luas dan beragam. Mulai dari
internet abuse, hacking, cracking, carding dan sebagainya. Mulai dari coba - coba
sampai dengan ketagihan / addicted, kejahatan di internet menjadi momok bagi
pengguna internet itu sendiri. Jika pada awalnya hanya coba - coba, kemudian
berkembang menjadi kebiasaan dan meningkat sebagai kebutuhan / ketagihan.
Akhir-akhir ini sering kita dengar kasus Pencemaran nama baik lewat
internet. Sebagai contoh pencemaran nama baik sebuah rumah sakit oleh seorang
pasien yang bernama Dokter ira mengejar keadilan ke MA.

b. Maksud Dan Tujuan


Sedangkan maksud penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang penulis dapat
selama belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang ( PNUP )
2. Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pancasila
3. Memberikan informasi tentang pembahasan pencemaran nama baik.
4. Mengembangkan pembahasan tentang cyber crime.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PANDANGAN PENCEMARAN NAMA BAIK


Sebelum kita mempelajari lebih dalam tentang pencemaran Nama Baik
Maka saya sebagai Penulis akan Menjelaskan pengerti tentang apa itu Pencemaran
nama Baik?, maka dalam buku ini saya akan membahas terlebih dahulu
Pandangan Pengertian Pencemaran Nama Baik Berbagai reverensi / Pandangan
dari berbagai Sumber.

1.1.Pandangan Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Islam.


Dalam hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya
terjaga. Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus
dilindungi, bebas dari tindakan pencemaran terhadapnya. Hukum Islam sebagai
Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan
kehormatan tiap manusia juga mengharuskan untuk menjaga kehormatan saudara-
saudaranya. Seperti memberi sanksi bagi seseorang yang menuduh orang lain
melakukan zina tanpa dapat menunjukkan bukti yang telah ditentukan dalam
hukum Islam
Dalam hukum Islam, aturan tentang larangan pencemaran nama baik ini
dapat kita temukan dalam berbagai jenis perbuatan yang dilarang oleh Allah
mengenai kehormatan, baik itu yang sifatnya hudud seperti jarimah qadzaf,
maupun yang bersifat tazir, seperti dilarang menghina orang lain, membuka aib
orang lain,dll. Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak
terpidana mengacu pada al-Quran yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu
perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.
Islam memasukkan pencemaran nama baik ini kepada kejahatan yang ada
hubungannya dengan pergaulan dan kepentingan umum yang mengakibatkan
pengaruh buruk terhadap hak-hak perorangan dan masyarakat yang begitu meluas
dan mendalam dampaknya karena hukum Islam sangat menjaga kehormatan
setiap manusia.
Maka hukum Islam selain menetapkan hukuman hudud bagi pelaku
qadzaf, juga menetapkan hukuman duniawi untuk jenis perbuatan lain yang
merendahkan kehormatan manusia yaitu berupa hukuman Tazir yang
pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada penguasa atau hakim atau mereka
yang mempunyai kekuasaan yudikatif. Selain menetapkan hukuman seperti
tersebut diatas, Islam juga mengancam para pelaku pencemaran nama baik orang
lain dengan ancaman Neraka diakhirat kelak, karena Islam sangat menjaga
kehormatan dan nama baik seseorang hambanya.
Islam mengajarkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Dengan majunya tekhnologi, maka Islam dengan ajaranya menjaga umatnya agar
hidup tentram dan merdeka dalam memanfaatkan tekhnologi.
Sehingga saat ini berkembang juga kejahatan pencemaran nama baik
dengan memanfaatkan tekhnologi. Oleh sebab itu dalam kasus pencemaran nama
baik tersebut sangat merugikan korban, karena harkat dan martabatnya jadi rusak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, bagaimana penegakan hukum terhadap kasus
pencemaran nama baik? Penelitian ini adalah kepustakaan atau disebut juga
library research, yaitu penggunaan data-data literatur yang berkaitan dengan tema
pencemaran nama baik dengan memanfaatkan tekhnologi Informasi.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif, yaitu
menganalisa data dengan menggunakan pendekatan melalui dalil atau kaidah
hukum Islam yang menjadi pedoman perilaku manusia. Setelah data terkumpul,
lalu data direduksi, disajikan dan diverifikasi, lalu dianalisis secara deskriptik
analitik, dengan proses berpikir deduktif dan induktif. Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui bahwa :
pertama, dikatakan bahwa Islam sangat mendukung kebebasan dalam
memanfaatkan tekhnologi informasi, namun tetap pada jalur yang sudah
ditetapkan al-Qur'an dan Hadis. Bukan kebebasan yang kebablasan. Pengesahan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan kepanjangan tangan Hukum
Islam. Artinya apa yang dilarang dalam Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan
Transaksi ELektronik adalah hal yang baik untuk mencegah semakin semaraknya
pencemaran nama baik di masyarakat;
kedua, larangan dalam Pasal 27 ayat 3 dapat dikatakan tindak pidana,
karena melihat dampaknya dapat merusak agama, nyawa, keturunan dan
sebagainya.
Adapun sanksinya menurut kepastian hukum Islam seperti apa yang telah
ditetapkan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang dalam
Pasal 45 ayat 1 bahwa hukuman bagi pelaku tindak pidananya dapat diancam
dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah,
Sedangkan penegakan hukum tindak pidana pencemaran nama baik dan sanksinya
dalam pandangan hukum Islam diqiyaskan dengan kajahatan berbagai macam
tindak pidana, bisa dihukum dengan hukuman, qazaf (menuduh zina), berita
bohong.
Sesuai dengan Al-Qur'an yaitu surat an-Nur ayat 11. Dengan demikian
kepastian hukum dalam hukum Islam terhadap pelaku tindak pidana pencemaran
nama baik dapat dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati
dan sanksi moral yakni tidak diterima kesaksiannya seumur hidup. Serta tetap
dengan mengedepankan asas-asas hukum dan keadilan yang beradab.
1.2. Pandangan pencemaran nama baik menurut kamus besar bahasa Indonesia

pencemaran nama baik juga dapat di golongkan dalam Fitnah, fitnah


dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perkataan bohong atau tanpa
berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti
menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Dan bila digunakan dalam
kata kerja berarti mempunyai makna menjelekkan nama orang (menodai nama
baik, merugikan kehormatan dan sebagainya).
Pengaturan fitnah dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dari
penjelasan di atas sudah barang tentu bahwa fitnah adalah termasuk tindakan
pidana. Yang berlaku hukum bagi siapa yang melakukannya.
Tindak pidana fitnah juga sudah ada dan juga diatur di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Disebutkan dalam BAB XVI
Penghinaan pasal 311 (1): Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Juga disebutkan dalam pasal 317 (1): Barang siapa dengan sengaja
mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara
tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau
nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
Pengaduan fitnah seperti dalam rumusan di atas, jika dirinci maka terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur objektif:
a. Perbuatan:
- Mengajukan pengaduan
- Mengajukan pemberitahuan.
b. Caranya:
- Tertulis
- Dituliskan
c. Objeknya tentang seseorang.
d. Yang isinya palsu.
e. Kepada penguasa.

f. Sehingga kehormatannya atau nama baiknya


terserang.
2. Unsur subjektif: Dengan sengaja
Ada dua bentuk tingkah laku dalam pengaduan fitnah, ialah mengadukan
pengaduan atau mengadukan, dan mengajukan pemberitahuan atau melaporkan.
Kedua perbutaan ini mempunyai sifat yang sama, ialah menyampaikan informasi
kepada penguasa tentang seseorang yang isinya palsu.
Perbedaan antara dua perbuatan itu diadakan berhubung dengan sistem KUHP
yang membedakan antara tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan
yang buasa disebut tindak pidana biasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan atau
pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan atau
melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian
disampaikan kepada pejabat/penguasa.
Mengajukan secara tertulis ini tidak saja berarti menyampaikan langsung oleh
si pembuat kepada penguasa, tetapi bisa juga disampaikan dengan perantaraan
kurir atau melalui kantor pos, atau telegram, bahkan juga dapat melalui pesan
SMS atau mengirimkan rekaman kaset.
Sedangkan yang dimaksud menyampaikan dengan dituliskan, ialah si
pembuat datang menghadap kepada penguasa yang berwenang. Kemudian
menyampaikan pengaduan atau pemberitahuan tentang seseorang yang disertai
permintaan pada pejabat tersebut agar supaya isi pengaduan atau
pemberitahuannya dituliskan.
Inisiatif untuk dituliskannya pengaduan atau pemberitahuan harus dari si
pembuat, bukan dari pejabatnya.
Tentang apa yang diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang
tertentu, bukan perbuatan seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau
tidak benar bukanlah perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan
atau diadukan itu yang palsu.
Misalnya ada pencurian, si A mengajukan pelaporan tentang adanya pencurian
dirumahnya dan dia menyebut si B sebagai pembuatnya, padahal diketahuinya
bukan si B, ini palsu karena yang benar adalah si C.
Tentu saja kehormatan atau nama baik si B tercemarkan karena itu. Bisa saja
terjadi bahwa pencurian yang dilaporkan memang benar-benar ada.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang memalukan
orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan itu tidaklah
harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat administratif,
asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan umum
diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau pemberitahuan
serta berwenang menanganinya Misalnya pejabat Kepala Desa.

1.3.Pandangan Pencemaran nama baik secara Umum


Secara umum pencemaran nama baik adalah tindakan mencermarkan nama
baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik melaui lisan ataupun tulisan.
pencemaran nama baik terbagi kedalam beberapa bagian :
a. Secara lisan, yaitu pencemaran nama baik yang diucapkan
b. Secara tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan melalui tulisan
Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari
perbuatan melawan hukum. Namun ada pula yang mengatakan perbuatan
melawan hukum ini disebut sebagai penghinaan.
Pencemaran nama baik dikenal juga dengan istilah penghinaan, yang
pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang
bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan.
Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi
keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang
kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikianjuga
menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat
tercemar.
Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik
sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan
penghinaan.
Dalam pencemaran nama baik, terdapat 3 catatan penting didalamnya,
yakni :
Pertama, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang
bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran sangat bergantung
pada pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik dalam
pencemaran merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang
berwenang jika ada pengaduan dari korban pencemaran.
Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran.
Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau
dilakukan di depan umum oleh pelaku.
Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh
suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus
diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Bagi bangsa indonesia, pasal pencemaran nama baik dianggap sesuai dengan
karakter bangsa ini yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur, pencemaran
nama baik dianggap melanggar norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma
agama jika yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.
Pencemaran nama baik sangat erat kaitannya dangan suatu kata penghinaan
dimana penghinaan itu sendiri memiliki pengertian perbuatan menyerang nama
baik dan kehormatan seseorang. Sasaran dalam pencemaran nama baik pun dapat
digolongkan menjadi :
a) Terhadap pribadi perorangan
b) Terhadap kelompok atau golongan
c) Terhadap suatu agama
d) Terhadap orang yang sudah meninggal

e) Terhadap para pejabat yang meliputi pegawai negeri,


kepala negara atau wakilnya
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan
secara lisan (Pasal 310 ayat KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal
310 ayat KUHP).
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
1. Menista (Pasal 310 ayat [1] KUHP);
2. Menista dengan surat (Pasal 310 ayat [2] KUHP);
3. Memfitnah (Pasal 311 KUHP);
4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
5. Mengadu secara memfitnah (Pasal 317 KUHP); dan
6. Tuduhan secara memfitnah (Pasal 318 KUHP).
Dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan
sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, menurut R. Soesilo,
supaya dapat dihukum maka pencemaran nama baik itu harus dilakukan dengan
cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud
tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Oleh karena itu, tidak ada
ketentuan yang menyebutkan bahwa barang bukti berbentuk surat diperlukan
dalam membuktikan pencemaran nama baik secara lisan. Yang terpenting adalah
bahwa tuduhan tersebut dilakukan di depan orang banyak.
Ini berbeda dengan pencemaran nama baik dengan tulisan, dimana media
yang digunakan dalam melakukan pencemaran nama baik tersebut dapat berupa
tulisan (surat) atau gambar. Dalam hal pencemaran nama baik dengan tulisan,
maka surat atau gambar tersebut dibutuhkan sebagai bukti adanya pencemaran
nama baik tersebut.
Anda juga harus membedakan antara barang bukti dan alat bukti. Yang
termasuk ke dalam barang bukti sesuai Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana(KUHAP) adalah:
1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Sedangkan, yang termasuk alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1]
KUHAP) adalah:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan, Anda
dapat membuktikannya dengan keterangan saksi. Keterangan saksi yang
mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang memenuhi
kriteria keterangan saksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP,
yaitu:
1. Yang saksi lihati sendiri;
2. Saksi dengar sendiri;
3. Dan saksi alami sendiri;
4. Serta dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Akan tetapi, Anda harus membuktikan dengan 2 (dua) alat bukti
sebagaimana diharuskan oleh Pasal 183 KUHAP:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Penjelasan mengenai yang dimaksud dengan dua alat bukti yang sah
dapat kita lihat dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 283-284), yang mengatakan
bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:

1. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan


seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua
alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak
saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
2. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang
saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan
antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan
saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
Sedangkan, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan
tulisan, Anda dapat menggunakan surat tersebut sebagai barang bukti, yaitu benda
yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya. Dapat juga digunakan sebagai alat bukti, yaitu
termasuk alat bukti surat lain (yaitu surat yang bukan termasuk berita acara atau
surat resmi yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang,
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat
keterangan dari seorang ahli), sebagaimana terdapat dalam Pasal 187 huruf d
KUHAP. Dengan syarat bahwa surat lain tersebut hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan alat pembuktian yang lain.
Jadi, barang bukti berbentuk surat bukan suatu keharusan. Hal itu
bergantung kepada pencemaran nama baik seperti apa yang dilakukan oleh orang
tersebut.
1.4 Pandangan Pencemaran Nama Baik Menurut Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Meskipun masih dalam suatu proses perdebatan, ketentuan-ketentuan
tentang penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP dianggap
masih sangat relevan. Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan
sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Perkembangan awal pengaturan tentang hal ini telah dikenal sejak era 500
SM pada rumusan twelve tables di era Romawi kuno. Akan tetapi, pada saat itu
ketentuan ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian
dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era Kekaisaran
Agustinus (63 SM) peradilan kasus defamation (lebih sering disebut libelli
famosi) terus meningkat secara signifikan. Dan, penggunaan aturan ini kemudian
secara turun-temurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di negara-negara
lain, termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, serta Prancis sebagai
salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law).
Di Indonesia, pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dominan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Netherland
Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda
yang diberlakukan sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undang-
undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal-Prancis yang sangat
banyak dipengaruhi sistem hukum Romawi. Secara sederhana, dapat dikatakan
terdapat sebuah jembatan sejarah antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur
dalam KUHP Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang libelli famosi
di masa Romawi Kuno.
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang yang terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara
umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1)
dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan menghina, yaitu
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dimana yang diserang
biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai
kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksuil.
Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu :
1. menista secara lisan (smaad);
2. menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3. memfitnah (laster);
4. penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5. mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);

6. tuduhan secara memfitnah (lasterlijke


verdachtmaking).
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan
dari orang yang menderita / dinista / dihina (dalam hukum pidana dikenal dengan
istilah delik aduan), kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang
pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya secara sah dimana
untuk hal ini pada dasarnya tidak diperlukan atau dibutuhak aduan dari
korbannya.
Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan, maksudnya
bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk
dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal
khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau
Wakil Presiden) yang telah dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi,
serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di
Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana
harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan
yang tertentu, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).
Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum
seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut
cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan,
misalnya menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan
perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang
berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan,
apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu
dinamakan menista/menghina dengan surat (secara tertulis), dan dapat
dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan
(tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk
membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Patut atau
tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh
tersangka terletak pada pertimbangan hakim.
Untuk kejahatan memfitnah menurut Pasal 311 KUHP, tidak perlu dilakukan
dimuka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa ada maksud untuk
menyiarkan tuduhan tersebut. Jika penghinaan itu berupa suatu pengaduan yang
berisi fitnah yang ditujukan kepada Pembesar/pejabat yang berwajib, maka dapat
dikenakan pidana Pasal 317 KUHP.
Menurut Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro
bahwa yang bisa melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum
dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya,
direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum.
Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran
nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama,
penyampaian informasi itu ditujukan Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk
mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan informasi,
secaralisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa
tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya
penistaan atau fitnah.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal-pasal dalam Bab XVI
Buku I KUHP tersebut hanya mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik
terhadap seseorang (perseorangan/individu), sedangkan penghinaan atau
pencemaran nama baik terhadap instansi pemerintah, pengurus suatu
perkumpulan, atau segolongan penduduk, maka diatur dalam pasal-pasal khusus,
yaitu :
1. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal 137
KUHP), pasal-pasal ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Mahkamah Konstitusi;
2. Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP);
3. Penghinaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156
dan Pasal 157 KUHP);
4. Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP);
5. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan Pasal
208 KUHP).
Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), berkaitan dengan pencemaran nama baik juga diatur dalam UU No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Dalam UU No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :

Isi siaran dilarang :


a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Sedangkan dalam UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.

B. DASAR HUKUM
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11 tahun 2008
Pasal 27
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Pasal 28
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Pasal 36
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 sampai pasal 34
yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Pasal 51
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00(dua belas miliar rupiah)
Pasal 45
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Selain didalam UU ITE No. 11 tahun 2008, didalam KUHP pun terdapat pasal
pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik, berikut pasal pasal
tersebut
Pasal 310 :
1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan sengaja meyerang kehormatan atau nama baik sesorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukan atau ditempel dimuka umum, maka diancam karena pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Hubungan UU ITE No.11(pasal pencemaran nama baik) dengan HAM dan tujuan
negara RI.
Masalah muncul ketika banyak yang menginginkan UU ITE No. 11 tahun
2008 tersebut di revisi, dikarenakan mereka menganggap dengan adanya UU
tersebut akan membuat kebebasan menyatakan pendapat akan tersisihkan dan juga
tidak sesuai dengan tujuan negara RI, berkaitan dengan hal tersebut, kami akan
mengulas tentang keterkaitan UU ITE No. 11 tahun 2008(terutama pasal
pencemaran nama baik) dengan HAM dalam hal ini kebebasan berpendapat dan
tujuan RI.
Hal pertama yang menjadi masalah yaitu apakah tujuan dibuatnya UU ITE No. 11
tahun 2008 sejalan dengan tujuan negara RI,
Tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan
Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;
dan Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.

C. PENGERTIAN DAN UNSUR TINDAK PIDANA


Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk
pada istilah Strafbaarfeit atau tindak pidana berikut ini akan kita bahas tentang
Tidndak pidana.
Sebagai salah satu masalah essensial dalam hukum pidana, masalah tindak
pidana perlu diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa sangat
Urgen oleh karena penjelasan tentang masalah ini akan memberikan pemahaman
kapan suatu perbuatan dapat dikwalisifikasikan sebagai perbuatan / tindak pidana
dan kapan tidak. Dengan demikian dapat diketahui dimana batasan-batasan suatu
perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan tindak pidana.
Secara doctrinal dalam hokum pidana dikenal adanya dua pandangan
tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan diuraikan
tentang batasan / pengertian tindak pidana yang diberikan oleh dua pandangan
dimaksud :

2.1.PANDANGAN MONISTIS :
Pandangan Monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat
untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan
ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian
perbuatan/tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang
(Criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana / kesalahan ( Criminal
responbility).

Ada beberapa batasan / pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut
pandangan Monistis :
1. D. SIMON :
Menurut D. Simon, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggung jawabkan atas tindakanya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan
seperti ini, maka menurut D. Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif ( berbuat) maupun
perbuatan Negatif ( tidak beruat )
2. diancam dengan pidana ;
3. melawan hukum;
4. dilakukan dengan kesalahan;
5. oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Dengan penjelasan seperti tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa
keseluruhan syarat adanya pidana teah melekat pada perbuatan pidana. D. Simon
tidak memisahkan antara criminal act dan Criminal responbility. Apabila diikuti
pandangan ini maka ada seseorang yang melakukan pembunuhan Eks Pasal 338
KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang melakukan itu adalah orang yang
tidak mampu beranggungjawab, misalanya karena orang tersebut Gila, maka
dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana. Secara gampang
bisa dijelaskan mengapa peristiwa tersebut tidak dapat disebut tidak pidana, sebab
unsur-unbsur dari tindak pidana tersebut tidak terpenuhi, yaitu unsur orang (
subyek hukum ) yang mampu bertanggungjawab. Oleh karena tidak ada tindak
pidana, maka tidak pula ada pidana ( pemidanaan ).
2. J. BAUMAN :
Menurut J. Bauman, perbuatan / tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan.
3. WIRYONO PROJODIKORO.
Menurut Wiryono Projodikoro, perbuatan/tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana.

2.2. PANDANGAN DUALISTIS :


Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat kesalahan syarat adanya
pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan
antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tinmdak pidana sudah
tercakup di dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut
pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan
Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan
dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak
pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan / pertanggungjawab pidana.
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis
mendefinisikan apa yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan
kita bahas mengenai batasan-batasan tentang tindak pidana, yang diberikan oleh
para sarjana yang menganut pandangan dualistis :
1. POMPE :
Menurut Pompe, dalam hukum positif Strafbaarfeit tidak lain adalah feit (
tindakan, pen ), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut
Pompe, dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah
syarat mutlak untuk adanya tindak pidana .
2. MOELYATNO :
Menurut Moelyatno, tperbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam
dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelan untuk
terjadinya perbuatan / tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan ( manusia );
2. yang memenuhi rumusana dalam undang-undang ( hal ini merupakan syarat
formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP ) ;
3. bersifat melawan hukum ( hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan
ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif ).
Dengan difinisi / pengertian, perbuatan / tindak pidana tersebut diatas,
dapat diambil kesimpula, bahwa dalam ppengertian tentang tindak pidana tidak
tercakkup pertanggungjawaban pidana (Crimnal responsibility ),
namun demikian, Moelyatno juga menegaskan, bahwa untuk adanya
pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa
mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu
bertanggungjawab atau tidak. Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi
apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar dipidana atau tidak,
akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan bagaimana hubungan bathin
antaraperbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila perbuatan yang terjadi itu
dapat dicelakan kepada orang itu, yang berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam
diri orang itu, maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.
Setelah diketahui dua pandangan tentang perbuatan pidana yaitu
pandangan Monistis dan pandangan dualistis, berikut ini akan kita bahas seberapa
jauh Urgensi pembedaan itu dalam hukum pidana.
Apabila dikaitkan dengan syarat adanya pidana atau syarat penjatuhan
pidana, kedua pandangan tersebut diatas sebenarnya tidak mempunyai perbedaab
yang mendasar. Dari kedua pandangan tersebut sama-sama mempersyaratkan,
bahwa untuk adanya pidana harus ada perbuatan / tindak pidana ( Criminal act )
dan pertanggungjawaban pidana ( Criminal responsibility ).
Yang membedakan adalah bahwa pandangan Monistis keseluruhan syarat
untuk adanya pidana dianggap melekat pada perbuatan pidana olehkarena dalam
pengertian tindak pidana tercakup baik Criminal Act maupun Criminal
responsibility, sementara dalam pandangan dualistis keseluruahn syarat untuk
adanya pidana tidak melekat pada perbuatan pidana, olehkarena dalam pengertian
tindak pidana hanya mencakup Criminal act tidak mencakup Criminal
responsibility. Ada pemisahan antara perbuatan ( pidana ) dengan orang yang
melakukan perbuatan ( pidana ) itu.
Secara Teoritis adanya pembedaan dalam dua pandangan tersebut haruslah
dicermati. Secara Konseptual dua pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam
memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti
salah satu pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.
Apabila diikuti pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan
telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi.
Sementara apabila diikitu pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak
pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut
pandangan dualistis tindak pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan
itu sendiri, yaitu sifat dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalah, padahal
syarat untuk adanya pidana mutlak harus ada kesalahan.
Batasan / pengertian dari dua pandangan tersebut haruslah dipahami oleh
semua praktisi hukum, karena tanpa memahami dari kedua pandangan tersebut
yaitu pandangan Monistis dan pandangan dualistis, akan mengantarkan kita
kedalam kerancuan secara sitematis dalam memahami suatu tindak pidana,
yang pada gilirannya akan menghasilkan pemahaman dan kostruksi piker yang
salah dalam memahami tindak pidana. Oleh karenanya, pemahaman terhadap
perbedaan dua pandangan tentang tindak pidana tersebut patut menjadi perhatian
bagi siapaun yang sedang mempelajari batas pengertian tentang tindak pidana.

D. JENIS-JENIS / PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA


Pada Pembahasan yang Diatas sudah saya jelaskan bagian-bagian khusus
atau ketentuan-ketentuan khusus yang memuat aturan-aturan tentang perbuatan-
perbuatan mana yang dapat dipidana serta menentukan ancaman pidananya.
Ketentuan-ketentuan ini terdapat baik dalam KUHP maupun diluar KUHP. Dalam
KUHP ketentuan ini terdapat dalam buku Ke-II tentang Kejahatan dan Buku III
tentang pelanggaran.
Perbuatan / tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku-II KUHP terdiri
dari XXXII Bab dan Buku ke- III terbagi menjadi IX Bab. Secara umum tindak
pidana dapat dibedakan kedalam beberapa pembagian.

3.1 Tindak pidana dimaksud dapat dibedakan secara Kualitatif atas Kejahatan dan
Pelanggaran :
1. KEJAHATAN :
Secara doktrin Ketajahatan adalah Rechtdelicht, yaitu perbuatan perbuatan
yang ebrtentangan dengan kedailan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak. sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik
dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini
jugasering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dukualisifikasikan sebagai Rechtdelicht dapat disebut anatara lain pembunuhan,
pencurian dan sebagainya.

2. PELANGGARAN :
Jenis tindak pidana ini disebut Wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan
yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-
undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari
sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang
mengancamnya dengan sanksi pidana. tindaka pidana ini disebut juga mala qui
prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualisifikasikan sebagai sebagai
wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir mobil disebelah kanan jalan,
berjalan dijalan raya disebelah kanan dan sebagainya.
Dalam perkembangannya pembagian tindak pidana secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas tidak diterima. Penolakan
terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut bertolak dari
kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru disadari sebagai tindak pidana
oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam undang-undang pidana. Dengan
demikian tidak semua Kejahatan merupakan perbuatan yang benar-benar telah
dirasakan mnasyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terdapat juga pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kedailan, sekalipun
perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-undang.

3.2. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Formil dan tindak pidana
Materiil :
1. Tindak pidana Formil :
Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Perbuatan
yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Formil
adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi/selesai dengan telah
dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa
mempersoalkan akibat. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana Formil dapat disebut misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal
362 KUHP, penghasutan sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHP dan
sebagainya.

2. Tindak pidana Materiil :


Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Akibat
yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Materiil
adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi , atau dianggap telah selesai
apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Jadi jenis pidana ini
mempersyaratkan terjadionya akibat untuk selesainya. Apabila belum terjadi
akibat yang dilarang, maka belum bisan dikatakan selesai tindak pidana ini, yang
terjadi baru percobaan . Sebagai contoh misalnya tindak pidana pembunuhan
pasal 338 KUHP dan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP dan sebagainya.

Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Formil
dan Tindak Pidana Materiil. berikut ini akan diberikan ilustrasi sebagai berikut :
Contah I :
Terdorong keingan untuk memiliki Sepeda motor, Sia A berniat mencuri
Sepeda motor Tentangganya yang disimpan diteras rumahnya. Ketika ada
kesempatan, diambilah Sepeda motor milik tentangga si A tersebut. Namun ketika
Si A sudah mengambil dan membawa sepeda motor tersebut, ia diketahui /
kepergok pemiliknya ketika tetangganya sedang keluar dari pintu rumahnya ,
seketika itu dimintalah kembali Sepeda motor miliknya itu dari Si oleh A .
Contah II :
Si A merasa dendam dengan temannya yang bernama Gondang, karena
Gondang sering mengejeknya, Karena merasa dendam itu, ia berniat membunuh
Gondang. Dengan membawa alat berupa sebilah pedang , menunggulah si A
ditempat dimana Gondang akan lewat. Setelah lewat, dibacoklah tubuh Gondang
dengan sebilah pedang yang sudah dipersiapkan oleh Si A. Namun bacokan itu
tidak tepat sasaran, hingga bacokan itu hanya mengakibatkan Gondang
mengalami luka-luka saja, dan tidak sampai meninggal dunia.
Pada contoh I tersebut telah memberikan ilustrasi delik Formil. Meskipun
akibat dari pencurian itu belum terjadi, yaitu dimilikinya sepeda motor itu oleh Si
A, tetapi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap sudah terjadi
atau sudah selesai. Pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap telah selesai,
dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana
pencurian yaitu mengambil, tanpa perlu dipersoalkan akibat dari pengambilan itu.
Pada contoh II diilustrasikan delik / tindak pidana Materiil. Dalam kasus
ini sekalipun Si Gondang melakukan pembacokan dengan niat membunuh, tetapi
karena akibat pembacokan itu belum terjadi, yaitu kematian, maka Si Gondang
tidak dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Dalam hal ini oleh karena
akibat kematian atau hilangnya nyawa sebagai syarat mutlak dalam delik Materiil
belum terjadi, maka juga berarti tindak pidana pembunuhan itu belum terjadi.
Dalam kasus ini yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.

3.3. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik Comissionis, delik
Omisionis dan delik Comisionis per omnisionis :

1. Delik Comissionis :
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat
sesuatu yang dilarang misalnya melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan
sebagainya.
2. Delik Omissionis :
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, yaitu berbuat
sesuatu yang diperintah misalnya tidak menghadap sebagai saksi dimuka
persidangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.
3 Delik Comissionis per Omissionis Comissa.
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi
dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Contohnya : Seorang ibu yang membunuh anaknya dengan cara tidak
memberi air susu ( pelanggaran terhadap larangan untuk membunuh sebagaimana
diatur dalam pasal 338 atau 340 KUHP ).

3.4.Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Kesengajaan dan tindak pidana
kealpaan ( delik dolus dan delik Culpa ):
1. Tindak pidana kesengajaan / delik dolus adalah delik yang memuat unsur
kesengajaan.
Misalnya : Tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338 KUHP, tindak
pidana pemalsuan mata uang sebagaimana diatur dalam pasal 245 KUHP dan
sebagainya.
2. Tindak pidana kealpaan / delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur
kealpaan.
Misalnya : Delik yang diatur dalam pasal 359 KUHP, yaitu karena
kealpaannya mengakibatkan matinya orang, delik yang diatur dalam pasal 360
KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka dan sebagainya.

3.5.Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik tugal dan delik ganda :
1. Delik Tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan.
Artinya delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.
Misalnya : Pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain sebagainya .
2. Delik Ganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan..
Misalnya : Untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana / delik dalam
pasal 481 KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam beberapa kali. Apabila
hanya satu kali terjadi, maka masuk kualifikasi pasal 480 KUHP ( Penadahan
biasa ).
3.6.Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung terus dan
tindak pidana yang tidak berlangsung :
1. Tindak pidana berlangsung terus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri,
bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan demikian
tindak pidananya berlangsung terus menerus.
Misalnya : Tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak
pidana merampas kemerdekaan orang. Dalam tindak pidana ini, selama orang
yang dirampas kemerdekaannya itu belum dilepas ( misalnya disekap didalam
kamar ), maka selam itu pula tindak pidana itu masih berlangsung.

2. Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah yang mempunyai ciri, bahwa
keadaan / perbuatan yang terlarang itu tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana
ini akan selesai setelah denmgan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau
telah timbulnya akibat.
Misalnya : Tindak pidana pencurian, pembunuhan penganiayaan dan
sebagainay.

3.7.Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan
aduan :
1. Tindak pidana Aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan
apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan / korban.
Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut
tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam
dua jenis yaitu :
a. Tindak Pidana Aduan Absolut :
Adalah tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolute adanya
pengaduan untuk penuntutannya.
Misalnya : Tindak pidana perzinaan dalam pasal 284 KUHP, tindak pidana
pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP dan sebagainya. Jenis tindak
pidana ini menjadi aduan, karena sifat dari tindak pidananya relative.
b.Tindak Pidana Aduan Relatif :
Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah merupakan jenis tindak
pidana aduan. Jadi dasarnya tindak pidana aduan relative merupakan tindak
pidana laporan ( tindak pidana biasa ) yang karena dilakukan dalam lingkungan
keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.
Misalnya : Tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal 367
KUHP, tindak pidana penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP dan
sebagainya.
2. Tindak pidana bukan aduan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan
adanya pengaduan untuk penuntutannya :
Misalnya : Tindak pidana pembunuhan, pencurian penggelapan, perjudian dan
sebagainya.

3.8 Tindak pidana Biasa ( dalam bentuk pokok ) dan tindak pidana yang
dikualisifikasikan :
1. Tindak pidana dalam bentuk pokok adalah bentuk tindak pidana yang
paling sederhana, tanpa adanya unsure yang bersifat memberatkan.
2. Tindak pidana yang dikualifikasikan yaitu tidak pidana dalam bentuk
pokok yang ditambah dengan
adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih
berat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut :
Tindak pidana dalam pasal 362 KUHP merupakan bentuk pokok dari
pencurian, sedangkan tindak pidana dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP
merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana pencurian dalam
bentuk pokok ( pasal 362 KUHP ).

Tindak pidana dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari
penggelapan, sedangkan tindak pidana dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP
merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana penggelapan dalam
bentuk pokok ( pasal 372 KUHP ).

F. DAMPAK PENCEMARAN NAMA BAIK


Dampak Positif dan Negatif Pencemaran Nama Baik .
- Dampak Positif
a Orang lain akan lebih berhati lagi dalam
melakukan aktifitas di jejaring sosial
b Aturan yang dibuat akan membuat pengguna
jejaring social akan berfikir dua kali untuk
melakukan sesuatu yang membuat orang lain
merasa terhina.
c Berkurangnya orang yang ingin mencela di jejaring
social
d. Hanya mengakses yang penting-penting saja

- Dampak Negatif
a Membunuh karakter seseorang dengan mencitrakan
seseorang dengan kata-kata yang memalukan yang
terkadang tidak begitu baik jika dibaca oleh banyak
orang
b Dapat mengganggu mental seseorang yang menjadi
korbannya
c Banyak yang melakukan posting yang tidak
seharusnya di posting
d Banyak orang yang tidak mengetahui dampak dari
postingan yang membuat orang lain tersinggung
e. Banyak orang yang tidak mengerti akan UU ITE yang berlaku sehingga banyak
yang tidak perduli kalau mau melakukan yang menyimpang dijejaring social.

G. ATURAN HUKUM PENCEMARAN NAMA BAIK DI JEJARING


SOSIAL

Hati-hatilah mem-posting informasi atau suatu dokumen melalui jejaring


sosial seperti twitter atau facebook. Karena jika ada pihak yang merasa dirugikan
dan merasa terhina atasposting tersebut maka dirinya berhak mengadukan
perbuatan Anda sebagai pencemaran nama baik.
Sebagaimana pernah dijelaskan, berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP,
pencemaran nama baik atau penghinaan adalah perbuatan yang dapat dipidana
jika dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang
tertentu yang maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Cara
penyebaran penghinaan ini berdasarkan KUHP ada secara lisan dan tulisan.
Kemajuan teknologi saat ini memunculkan juga kebutuhan akan regulasi
yang melindungi seseorang dari perbuatan penghinaan atau fitnah yang
kemungkinan disebar melalui jejaring sosial.
Sejak tahun 2008, Indonesia telah mengatur pencemaran nama baik di
dunia maya, yang tentunya temasuk jejaring sosial. Melalui UU Nomor 11
Tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27 ayat
(3) UU ITE menyebutkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Sehingga, jika ada orang yang melakukan perbuatan sengaja menyebarkan
info atau dokumen yang menghina seseorang, maka diancam pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun, serta denda maksimal satu miliar rupiah. Hal ini
sebagaimana ketentuan pada Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi : "Setiap
orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ada banyak jejaring sosial yang gemar digunakan masyarakat Indonesia


dalam interaksi dengan sesama, seperti facebook, twitter, google + dan program
lainnya. Melihat ketentuan di atas, setidaknya ada tiga unsur yang harus dicermati
yaitu:

1) Unsur kesengajaan dan tanpa hak;


2) Unsur mendistribusikan, mentransmisikan, membuat
dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen
Elektronik; dan
3) Unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik
Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi maka sang pengirim informasi dapat
dijebloskan ke penjara.
H. LANGKAH BAGUS JIKA NAMA BAIK DICEMARKAN DI DUNIA
MAYA

Ada 2 (dua) langkah yang dapat diambil jika nama baik kita tercemar di
dunia maya seperti Facebook:

1. mengirimkan surat elektronik (e-mail) langsung yang ditujukan ke


bagian Privacy Policy Facebook dengan menginformasikan adanya pihak lain
yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama teman Anda dengan
serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah, serta
meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi
dapat mengulangi perbuatannya, dan
2. melaporkan kepada pihak berwajib atas dugaan tindak pidana
pencemaran nama baik dan penghinaan.
Terkait dengan laporan kepada pihak yang berwajib, ada 2 (dua) dasar
hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar laporan yaitu pencemaran nama baik
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dan penghinaan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang pada prinsipnya dapat digabungkan.
Penghinaan Berdasarkan KUHP
Jika UU IT mengatur mengenai pencemaran nama baik, KUHP mengatur
tentang pasal penghinaan.
Pasal 310 KUHP, yang dikutip sebagai berikut :
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sehingga dari ketentuan Pasal 310 KUHP tersebut di atas, harus
dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut :
a) Unsur kesengajaan;
b) Unsur menyerang kehormatan dan nama baik;
c) Unsur di muka umum.
Untuk membuktikan kedua dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk
mengajukan bukti-bukti mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya (cyber
crime). Namun demikian, bukti permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil
cetakan (print-out) yang menunjukkan pencemaran nama sekolah tersebut,
sehingga penyidik dapat melakukan olah data dan informasi lebih lanjut. Untuk
lebih meyakinkan, sangat diperlukan kehadiran ahli di bidang informasi dan
teknologi yang dapat membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut
menjadi fakta hukum.
Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat
diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan
Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikutip sebagai berikut:
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian
kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No.


23).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915
No 73)
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

I. CONTOH KASUS
4.1. Kasus Prita Mulyasari
Semua pasti sudah mengetahui kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari,
ibu rumah tangga yang di tahan di LP wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009
karena melakukan pencemaran nama baik melalui internet terhadap Rumah Sakit
OMNI Internasional Tangerang.
Kami akan coba jelaskan kasus yang menyita banyak perhatian semua
kalangan, kasus tersebut bermula ketika Prita menyebarkan e-mail kepada
sepuluh orang temannya yang berisi keluhannya terhadap Rumah Sakit tersebut.
Email tersebut kemudian menyebar luas ke mailing list, isinya hanya
menggambarkan pengalamannya bersinggungan dengan rumah sakit OMNI
internasional. Hal tersebut diklaim pihak rumah sakit sebagai tindakan
pencemaran nama baik yang menyebabkan kerugian dalam bentuk materil
maupun dalam bentuk immateril. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku
pencemaran nama baik di internet tersebut dapat di kategorikan sebagai
suatu tindakan pidana karena telah mengganggu ketertiban umum dan adanya
pihak yang dirugikan dari adanya tindakan pencemaran nama baik melalui
internet tersebut.
Berikut kronologis kasus Prita Mulyasari yang harus berurusan dengan
pihak berwenang akibat mengirim email keluhan :

7 Agustus 2008
Prita memeriksa kesehatan ke Rumah Sakit Omni Internasional yang berada
didaerah Serpong Tangerang dengan keluhan pusing dan panas. Dari hasil
pemeriksaan didapati hasil Thrombosit 27.000 (normal 200.000) dengan suhu
badan 39 derajat. Kemudian langsung dirawat di rumah sakit dengan di diagnosa
menderita penyakit demam berdarah.

8 Agustus 2008
Prita mendapat revisi hasil pemeriksaan kemarin yang awalnya 27.000 tapi
sekarang berubah jadi 181.000. kemudian prita mulai mendapat banyak suntikan
obat.

9 Agustus 2008
Prita mendapatkan suntikan obat lagi. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara.
Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena
tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak
disuntik lagi.

10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian
lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan
mata kiri.

11 Agustus 2008
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita
memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis
yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi
thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000.
Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat
inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya
memang tidak valid.
Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia
terserang virus yang menular.

15 Agustus 2008
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak
rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain
dengan judul Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra. Emailnya menyebar
ke beberapa milis dan forum online.

30 Agustus 2008
Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca Detik.com.

5 September 2008
Rumah Sakit Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal
Khusus.

22 September 2008
Pihak Rumah Sakit Omni International mengirimkan email klarifikasi ke seluruh
costumernya.
8 September 2008
Kuasa Hukum Rumah Sakit Omni Internasional menayangkan iklan berisi
bantahan atas isi email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia.
24 September 2008
Gugatan perdata masuk.

11 Mei 2009
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata Rumah Sakit
OMNI. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan Rumah Sakit
OMNI. Prita divonis membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai
pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril.
Prita langsung mengajukan banding.

13 Mei 2009
Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga
dilaporkan oleh OMNI.

2 Juni 2009
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima
keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.

3 Juni 2009
Megawati dan JK mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI meminta MA
membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan dan bisa berkumpul
kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.

4 Juni 2009
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN
Tangerang.
Info terakhir, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi gugatan
perdata Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional. Dengan
keluarnya vonis tersebut Prita dibebaskan dari seluruh ganti rugi.
Majelis Hakim tingkat kasasi pada tanggal 29 September 2010 telah
menjatuhkan putusan yang pada pokoknya Mengabulkan permohonan kasasi dan
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten.
Majelis Hakim tingkat Kasasi dalam putusannya adalah menolak seluruh
gugatan dari Para Penggugat. Yang menarik dari perkara Prita Tersebut ada
beberapa kaidah hukum yang bisa ditarik, yaitu diantaranya sebagai berikut :
Bahwa mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah
dialami selama menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di
rawat inap maupun tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang
dituangkan dalam sebuah email lalu disebar luaskan melalui email ke alamat
email kawan-kawannya, tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai
perbuatan melawan hukum;
Bahwa tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan
tersebut kepada kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah penghinaan,
oleh karena hal tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang pribadi seseorang
atau instansi, melainkan hal tersebut adalah merupakan sebuah kenyataan atau
fakta tentang apa yang dialami berkenaan dengan pelayanan medis;
Bahwa email adalah merupakan sebuah media komunikasi yang bersifat
personal dan tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses
dan membacanya, dengan demikian bukan merupakan media yang bersifat umum
dimana setiap orang dapat membuka dan membacanya, seperti media umum
lainnya;
Bahwa mengeluh sebuah pelayanan medis dengan menggunakan surat
elektronik terbuka pada sebuah situs (customer@banksinarmas.com), lalu
mengirimkan hal tersebut kepada kawan-kawannya melalui email, masih
dianggap dan dinilai dalam batas-batas kewajaran dalam kerangka penyampaian
informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia;
Bahwa hak untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media,
secara konstitusional telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang
menentukan bahwa " setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'
Bahwa adanya putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa dibebaskan
dari tindak pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata, putusan
pidana tersebut dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu dasar / alasan
untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah sifat
melawan hukum, sehingga dapat membebaskan dirinya dari adannya tuntutan
ganti rugi secara perdata atas gugatan pencemaran nama baik/perbuatan melawan
hukum.

Prita Jilid II, Dokter Ira Mengejar Keadilan ke MA

Jakarta Masyarakat Indonesia masih terngiang drama keadilan Prita


Mulyasari. Hal ini terulang dalam email curhat dr Ira Simatupang tentang perilaku
atasannya. Dokter yang pernah bertugas di RUSD Tangerang ini pun mengejar
keadilan ke Mahkamah Agung (MA).
Tindakan pemohon kasasi dilakukan dalam kondisi di luar kesadaran
serta dalam kondisi tekanan mental yang sangat besar akibat berlarut serta bertubi-
tubinya permasalahan yang dialami, kata kuasa hukum dr Ira, Slamet Yuwono
saat berbincang dengan detikcom,

Senin (18/3/2013).
Permasalahan yang dia alamai dia tumpahkan dalam email yang dia kirim periode
23 April hingga September 2010. Emailnya berisi curhat apa yang dialami di
kantornya, terutama perilaku tak senonoh atasannya. Email ini membuat orang
yang digunjing merasa tidak nyaman dan mempolisikan hal tersebut.

Pada 17 Juli 2012, PN Tangerang menghukum dr Ira pidana percobaan selama 10


bulan. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi perbuatannya maka langsung
masuk penjara selama 5 bulan.

Putusan ini dikuatkan dan hukumannya diperberat oleh Pengadilan Tinggi


(PT) Banten pada 29 November 2012. dr Ira malah divonis menjadi hukuman
percobaan 2 tahun. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi maka akan langsung
dipenjara selama 8 bulan.

Merasa banyak kejanggalan, dr Ira pun mengejar keadilan lewat kasasi ke


MA. Atas Putusan Pengadilan Tinggi Banten No 151/Pid/2012/PT.BTN tersebut
dr Ira Simatupang melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis pada 17 Januari 2013
telah menyatakan kasasi sekaligus mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan
Negeri Tangerang, cetus Slamet.

Kasus ini mengingatkan masyarakat atas apa yang dialami oleh Prita
Mulyasari. Meski akhirnya Prita dibebaskan di tingkat Peninjauan Kembalil (PK)
MA, namun Prita sempat merasakan dinginnya penjara karena email curhat yang
dia sebar soal keluhan layanan rumah sakit.

Harapan kami MA bisa memeriksa secara obyektif perkara ini karena


lagi-lagi terkait Pasal tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di
mana pemeriksaannya harus bener-benar ditangani oleh hakim agung yang
mengetahui dan ahli tentang UU ITE, pungkas alumnus Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya,
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di dunia ini banyak hal yang memiliki dualisme yang kedua sisinya saling
berlawanan. Seperti teknologi informasi dan komunikasi, hal ini diyakini sebagai
hasil karya cipta peradaban manusia tertinggi pada zaman ini. Namun karena
keberadaannya yang bagai memiliki dua mata pisau yang saling berlawanan, satu
mata pisau dapat menjadi manfaat bagi banyak orang, sedangkan mata pisau
lainnya dapat menjadi sumber kerugian bagi yang lain, banyak pihak yang
memilih untuk tidak berinteraksi dengan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagai manusia yang beradab, dalam menyikapi dan menggunakan


teknologi ini, mestinya kita dapat memilah mana yang baik, benar dan bermanfaat
bagi sesama, kemudian mengambilnya sebagai penyambung mata rantai kebaikan
terhadap sesama, kita juga mesti pandai melihat mana yang buruk dan merugikan
bagi orang lain untuk selanjutnya kita menghindari atau memberantasnya jika hal
itu ada di hadapan kita.

Bahwa mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang


telah dialami selama menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama
di rawat inap maupun tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang
dituangkan dalam sebuah email lalu disebar luaskan melalui email ke alamat
email kawan-kawannya, tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai
perbuatan melawan hukum;

Saran
Cybercrime adalah bentuk kejahatan yang mestinya kita hindari atau kita
berantas keberadaannya. Cyberlaw adalah salah satu perangkat yang dipakai oleh
suatu negara untuk melawan dan mengendalikan kejahatan dunia maya
(cybercrime) khususnya dalam hal kasus cybercrime yang sedang tumbuh di
wilayah negara tersebut. Seperti layaknya pelanggar hukum dan penegak hukum.
Pencemaran nama baik (Defamation) adalah tindakan mencermarkan nama
baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik melaui lisan ataupun tulisan.
Demikian makalah ini kami susun dengan usaha yang maksimal dari tim
kami, kami mengharapkan yang terbaik bagi kami dalam penyusunan makalah ini
maupun bagi para pembaca semoga dapat mengambil manfaat dengan
bertambahnya wawasan dan pengetahuan baru setelah membaca tulisan yang ada
pada makalah ini.
Namun demikian, sebagai manusia biasa kami menyadari keterbatasan
kami dalam segala hal termasuk dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu
kami mengharapkan kritik atau saran yang membangun demi terciptanya
penyusunan makalah yang lebih sempurna di masa yang akan datang. Atas segala
perhatiannya kami haturkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno. 1990. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga;
-----------. 1997. Mass Media dan Hukum, cet.2. Jakarta: Erlangga;
Ali, Chaidir. 1991. Badan Hukum, Cet 2. Bandung: Alumni;
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika;
Anwar. H. A. K. Moh. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1.
Bandung: Citra Aditya Bakti;
Arief, Barda Nawawi. 1990. Perbandingan Hukm Pidana. Jakarta: Rajawali Pers;
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Hlm. 75
Anoname.2011. Majalah Interaksi Acuan Hukum dan Kemasyarakatan. Diambil dari
: http://berita.kafedago.com/kirimkomentar.asp (24 April 2012 pukul 22.32)
Andi hamzah, Boedi D. Marsita.1987.Aspek- aspek Pidana dibidang komputer. Jakarta
:Sinar Grafika.
Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bag. 2. Penafsiran Hukum Pidana,
Dasar Peniadaan Pidana, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan,
Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada;
Halim et.al, 2009. Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik. Jakarta: LBH Pers;
Harahap, M. Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika;
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50a9eddf4ab16/barang-bukti-pencemaran-
nama-baik
http://robot-jaringan.blogspot.com/2012/10/tinjauan-hukum-islam-terhadap.html
http://ajigoahead.blogspot.com/2013/11/finah-tuduhan-palsu.html
Hukum Anak Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm.2-3.
http://www.baliorange.web.id/kasus.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/06/17/dosen-fisip-ui-jadi-tersangka-
pencemaran-nama-baik
http://rakyatsulsel.com/jadi-tersangka-pencemaran-nama-baik-arsyad-minta-perlindungan-
kpjkb.html
http://ilmuta.weebly.com/computer-crime/e-procurement
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/06/17/dosen-fisip-ui-jadi-tersangka-
pencemaran-nama-baik
http://rakyatsulsel.com/jadi-tersangka-pencemaran-nama-baik-arsyad-minta-perlindungan-
kpjkb.html
http://ilmuta.weebly.com/computer-crime/e-procurement
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/06/17/dosen-fisip-ui-jadi-tersangka-
pencemaran-nama-baik
http://www.gresnews.com/berita/tips/8039-aturan-hukum-pencemaran-nama-baik-di-
jejaring-sosial/
http://rajawalinews.com/11178/langkah-bagus-jika-nama-baik-dicemarkan-di-dunia-maya/
http://www.lnassociates.com/articles-libel-law-in-indonesia.html
http://budi.insan.co.id Diakses 24 April 2012 pukul 22.48
http://www.gatra.com/2004-10-13/. Cybercrime di Era Digital. Diakses 24 April 2012
pukul 22.10
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing;
Junaedhie, Kurniawan. 1991. Ensiklopedia Pers Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama;
Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka;
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta:
Pradnya Paramita;
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika
Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. 2. Bandung: Sinar
Baru;
Marpaung, Leden. 1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan
Penerapannya. Jakarta: PT Grafindo Persada;
-------------, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana, Buku 2. Jakarta: Sinar
Grafika;
Mudzakir. 2004. Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat
Publik, Dictum 3;
Muis, A. 1996. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi,
Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: PT. Mario Grafika;
Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT.
Refika Aditama;
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armico;
Setiyono, H. 2001. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing;
Soedarto. 1975. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
-----------.1990. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press;
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
Soesilo, R. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentarnya Pasal Demi
Pasal. Bogor: Politeia;
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia;
Sugandhi, R. 2001. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional;
Syahdeini, Remy. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafitipers;
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Wiryawan, Hari. 2007. Dasar-dasar Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;

Anda mungkin juga menyukai