BAB I
PENDAHULUAN
A. DISIPLIN HUKUM
Suatu disiplin adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
1. DISIPLIN 2. DISIPLIN
ANALITIS PRESKRIPTIF
Apabila pembicaraan dibatasi pada disiplin hukum, maka secara umum disiplin
tersebut mencakup; 1. Ilmu-ilmu hukum
2. Politik hukum
3. Filsafat hukum
Ilmu-ilmu tentang kaedah hukum sebagai kumpulan dari pelbagai cabang ilmu
pengetahuan antara lain meliputi;
1. Ilmu tentang kaedah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah, atau sistim
kaedah-kaedah, dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
2. Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum,
seperti misalnya subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
hukum dan objek hukum.
3. Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap
tindak, yang antara lain mencakup(V. Aubert, 1975).
a. Sosiologi hukum yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitismempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lainnya(Soerjono Soekanto; 1975).
b. Antropologi hukum, yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola
sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun
sedang mengalami proses modernisasi(Ch. Winnick, 1975)
c. Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan daripada perkembangan jiwa manusia(J. Drever)
d. Perbandingan hukum yang merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
memperbandingkan sitem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau beberapa
masyarakat
e. Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul daripada sistim
hukum dalam suatu masyarakat tertentu.
B. ARTI HUKUM
Dalam uraian sebelumnya telah disampaikan bahwa yang menjadi obyek buku ini
adalah hukum sebagai kaedah. Di dalam hal ini akan diusahakan untuk
menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat, yaitu(Purnadi Purbacaraka);
1. Hukum sebagai ilmu pengeahuan
2. Hukum sebagai disiplin
3. Hukum sebagai kaedah
4. Hukum sebagai tata hukum
5. Hukum sebagai petugas(hukum)
6. Hukum sebagai keputusan penguasa
7. Hukum sebagai proses pemerintahan
8. Hukum sebagai perikelakuan ajeg atau sikap tindak yang teratur
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
C. PROSES TERJADINYA KAEDAH
Di dalam pola hidup terentu, manusia mengharapkan bahwa kebutuhan-kebutuhan
dasarnya akan dapat terpenuhi, diantaranya adalah(A. H. Maslow, 1954),
1. Food, shelter, clothing
2. Safety of self and property
3. Self esteem
4. Self actualization
5. Love
Apabila kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan
merasa khawatir dan puncaknya manusia merasa merasa tidak puas terhadap pola
yang telah ada yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya, sehingga dia mengkehendaki suasana yang baru.
Sudah diketahui bahwa kaedah merupakan patokan atau pedoman untuk hidup,
akan tetapi, hidup memiliki beberapa aspek. Secara umum terdapat 2 macam
aspek dalam hidup, yaitu;
1. Hidup pribadi
2. Hidup antara pribadi
BAB II
Kaedah-kaedah kepercayaan termasuk tata kaedah dalam salah satu aspek hidup
pribadi dari manusia, yang tujuannya hanya untuk menguasai atau mengatur kehidupan
pribadi didalam mempercayai atau meyakini kekuasaan gaib, Tuhan Yang Maha Esa,
Dewa-dewa, dan lain sebagainya.
Apabila pembicaraan dikhususkan pada hubungan antara masing-masing tata kaedah, maka
timbul pertanyaan, apakah manusia sudah dapat hidup pantas atau sayogya dengan adanya
tata kepercayaan,kesusilaan, dan sopan santun saja? Ternyata tidak, kaedah hukum harus ada
karena;
1. Ketiga tata kaedah yang lain daripada kaedah hukum, tidak cukup meliputi
keseluruhan kehidupan manusia, misalnya, pencatatan kelahiran, perkawinan ataupun
kematian, dan juga peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya.
2. Kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pasntas atau tidak sayogya, apabila hanya
diatur oleh ketiga tata kaedah tersebut. Misalnya;
a. Mencurigai seseorang bertentangan dengan kaidah kesusilaan;
b. Menunjukkan kecurigaan terhadap seseorang bertentangan dengan kaedah sopan
santun
c. Bagaimanakah bila terjadi pencurian? Sudah tentu ada yang perlu dicurigai.
Dari uraian tersebur di atas nyatalah, bahwa kaedah-kaedah hukum memang diperlukan,
walau pun ada kaedah-kaedah hukum yang isinya bertentangan dengan kaedah-kaedah
lainnya, demi kepantasan hidup secara menyeluruh.
BAB III
Dari uraian mengenai ajaran Kelsen, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah-kaedah hukum secara hierarkis
2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat diseederhanakan dari tingkat terbawah ke
atas, adalah;
a. Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum, terutama
pengadilan
b. Kaedah-kaedah umum di dalam undang-undang atau hukum kebiasaan,
c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi.
3. Sahnya kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung
atau ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih
tinggi.
Suatu kaedah universil bersifat konkrit; artinya bahwa kaedah-kaedah semacam itu
ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Contoh-contoh dari kaedah-kaedah individuil
adalah;
1. Yang ditentukan oleh pengadilan, misalnya seseorang dihukum atau wajib menjalani
hukuman selama 5 tahun, oleh karena telah melakukan pembunuhan.
2. Yang ditentukan oleh “bestuur” yaitu misalnya seseorang diberi izin untuk
mengimpor bahan makanan, atau seseorang diberi izin untuk mengemudikan
kendaraan bermotor.
3. Yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya seseorang diperintah untuk menghadap dan
memberi keterangan kepada polisi.
4. Yang ditentukan di dalam perjanjian, misalnya seseorang akan menyerahkan haknya,
atau seseorang harus melakukan kewajibannya yakni membayar sewa.
BAB IV
ISI DAN SIFAT KAEDAH HUKUM
Apabila ditinjau dari sudut isinya, maka dapat dikenal adanya tiga macam kaedah
hukum, yaitu;
1. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan(gebod)
2. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan larangan(verbod)
3. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan kebolehan (mogen)
Contoh dari kaedah hukum yang berisi suruhan dan berasal dari bidang hukum
tantra adalah, misalnya pasal 22 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945. Contoh lainnya dari
bidang hukum perdata misalnya pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1997 tentang
perkawinan, yaitu memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya. Pasal 8 dari
UU yang sama berisikan larangan, oleh karena didalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang dengan kondisi tertentu seperti
masih dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, dan lain-lain.
Contoh dari kaedah hukum yang berisikan kebolehan ada pada pasal 29 ayat 1
dari UU yang sama, pasal tersebut menyatakan bahwa fihak-fihak yang menikah
dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsunngkan, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
Mengenai sifat kaedah hukum dapatlah dibedakan antara
1. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat imperatif, kaedah yang didalam suatu
keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak. Hukum memaksa”dwingend recht”
2. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat fakultatif, kaedah hukum yang didalam
keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para
pihak. Hukum mengatur atau hukum menambah “regelend-recht”
Apabila isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifat kaedah hukum, maka
kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan adalah imperatif,
sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan bersifat fakultatif
BAB V
“Legal norms” menurut Kelsen, bukan merupakan pandangan, oleh karena bukan
merupakan pernyataan-pernyataan tentang suatu objek pemahaman.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa sanktum selalu disebabkan delik, akan
tetapi delik tidak selalu menyebabkan ssanktum.
Dari ajaran Kelsen, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai
berikut;
A. Kaedah hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum (“rule of law”) merupakan
pandangan hipotesis atau bersyarat(“hypothetical judgement”;”hypothetish
ooordeel”), sebagaimana dalil alam.
B. Perbedaan terletak pada hakekatnya, yaitu
1. Pada dalil alam, apabila terjadi sesuatu(sebagai sebab), makakejadian
tersebut akan diikuti kejadian lain yang merupakan akibat.
2. Pada kaedah hukum, apabila terjadi perikelakuan atau sikap tindak orang
tertentu, maka orang lain harus berperikelakuan atau bersikap tindak
menurut cara tertentu.
C. Pada dalil alam, tidak ada campur tangan manusia di dalam hubungan sebab-
akibat; sedangkan pada kaedah hukum, hubungan normatif diciptakan oleh
manusia
D. Hubungan sebab-akibat pada dalil alam merupakan mata rantai tanpa batas,
pada kaedah hukum, prinsip imputasi ada batasannya, Ilmu hukum
menjelaskan objeknya(yaitu hukum) dalam bentuk presepsi-presepsi yang
merumuskan keharusan-keharusan(“ought prepositions”).
Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa tidaklah selalu perumusan pasal undang-
undang menggambarkan suatu pandangan hipotesis atau bersyarat. Misalnya pasal
3 UU No. 1 tahun 1974 yang dalam ayat 1 menyatakan;
“Pada azanya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Dari pasal tersebut jelas terlihat tak adanya pandangan hipotesis atau bersyarat;
tidak ada terlihat adanya hubungan antara kondisi dengan konsekwensi.
Perumusan semacam itu biasanya dinamakan pandangan kategoris.
Salah satu pemikiran Kant yang menonjol adalah untuk mengganti metode
psikologis dan empiris dengan metode kritis, dengan usaha untuk menempatkan
dasar rasionil dari kehidupan dan dunia pada kesadaran manusia.
Dari segala sesuatu yang telah dibicarakan mengenai perumusan kaedah hukum
dapat diketahui akan adanya dua macam pandangan, yaitu pandangan hipotesis
atau bersyarat dan pandangan kategoris. Kedua macam pandangan tersebut dapat
diketemukan dalam perumusan pasal undang-undang. Akan tetapi didalam
pandangan yuridisnya, Kelsen hanya mau mengetahui adanya pandangan hipotesis
sebagai hakekat kaedah hukum yang umum(“general norm”); hanya kaedah-
kaedah individuil yang mempunyai pandangan kategoris(Hans Kelsen, 1967).
BAB VI
Tugas kaedah hukum yang dua macam tersebut dikatakan sebagai dwitunggal,
oleh karena setiap kaedah hukum yang termasuk kaedah hukum yang
umum/abstrak, hendaknya dpat melaksanakan kedua tugas tersebut sekaligus.
Dari pasal 1338 B.W. dapatlah dikeahui apa yang dimaksud degan “wet” atau
undang-undang pada alinea pertama, yang harus diartikan sebagai kaedah hukum
individuil yang hanya mengikat pada pihak tertentu saja.
BAB VII
Kaedah hukum yanng imperatif adalah patokan atau pedoman yang secara a
priori harus ditaati atau dipatuhi, artinya, secara tidak bersyarat tidak boleh
menyimpang dari pedoman atau patokan, selain jikalau ada pengecualian-
pengecualian, hal mana akan dibicarakan kemudian.
Jadi kalaudiperhatikan, maka kaedah hukum fakultatif dan imperatif itu keduanya
merupakan patokan atau pedoman yang mewujudkan batas-batas perikelakuan
atau sikap tindak; sedangkan patokan atau pedoman tersebut merupakan suatu
pandangan”oordeel” dalam hakekatnya.
Jikalau dikatakan bahwa sesuatu mempunyai sifat yang memaksa, maka mungkin
hal ini maksudnya adalah;
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat memaksa dari kaedah
hukum adalah tidak esensil, sebaliknya dapat ditegaskan disini bahwa sifat
membatasi atau mematoki dari kaedah-kaedah hukum, adalah essensiil.
BAB VIII
PENYIMPANGAN TERHADAP KAEDAH HUKUM
Penyimpangan terhadap kaedah hukum dapat berupa pengecualian atau
penyelewengan. Kaedah-kaedah hukum sebagai patokan atau pedoman memberikan patokan
atau pedoman memberikan batas-batas kepada perikelakuan atau sikap tindak, dalam batas-
batas tersebut masih mungkin ada ruang gerak.
Di dalam hal ini, maka perikelakuan atau sikap tindak tersebut lebih baik jangan
disebut hal kebijaksanaan, akan tetapi sikap tindak kewibawaan(gezag).
Kecuali sikap tindak kebijaksanaan dalam batas-batas patokan atau pedoman dan sikap tindak
kewibawaan sebelum atau tanpa adanya patokan, masih ada perikelakuan atau sikap tindak
menyimpang dari patokan pedoman, artinya merubah patokan pedoman yang sudah ada
sebelumnya.
A. Pengecualian atau dispensasi sebagai penyimpangan dari patokan atau pedoman
dengan dasar yang sah itu mengenal dua dasar yang berbeda, yakni;
1. Pembenaran(“rechtvaardigingsgrond”), misalnya dalam hukum pidana;
a. “noodtoestand”, umpamanya dua orang terapung di laut dengan sebilah papan.
b. “wettelijkvoorschrift”, umpamanya sebagaimana telah tercantum dalam pasal
50 KUHP ”Tiada boleh dihukum adalah ia yang melakukan peraturan
perundang-undangan.”
2. Bebas Kesalahan (“schuldopheffingsgrond”) yang contohnya adalah berat
lawan”overmatch” dalam hukum pidana.
Kedua dasar pengecualiantersebut di dalam ilmu hukum pidana dinamakan”
strafuitsluitingsgrond”, adalah
BAB IX
PENYATAAN KAEDAH HUKUM
Pernyataan atau perwujudan kaedah hukum merupakan kenyataan
hukum”rechtswerkelijkheid”. Hal tersebut oleh Logeman dibicarakan secara panjang lebar,
kurang lebih sebagai berikut(J.H.A. Logemann, 1954);
“Kaedah hukum didalam kenyataannya terwujud didalam pernyataan hukum, dimana kaedah
tersebut terwujud didalam pergaulan hidup manusia.”
Dari bermacam-macam perikelakuan atau sikap tindak maupun keputusan hukum
sebagaimana telah diketengahkan oleh Logeman, dapatlah dipahami bagaimana kaedah
hukum sebagai kenyataan ideal terwujud (=mengejawantah) menjadi kenyataan real, dan
membedakan yang mana merupakan penyataaan kaedah hukum individuil dan mana
merupakan kaedah hukum umum.
Ter Haar dianggap sebagai bapak “beslissingenleer” dalam ilmu hukum aday yang
kemudian diikuti oleh Logemann(didalam “bleslissingenleer” tersebut), akan tetapi dengan
memperluasnya sehingga juga mencakup Hukum Negara.
Dari beberpa hal yang dikemukakan Ter Haar, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut;
A. “Decision” yang diambil atau dilakukan oleh penguasa, kepala adat dan hakim, harus
dilihat sebagai kaedah hukum individuil yang menyimpulkan kaedah hukum umum
yang berlaku bagi kass-kasus yang sama(regal voor gelijke gevallen)
B. Mereka yanng berwenang untuk memberikan keputusan harus sadar akan
tanggungjawabnya turut membentuk hukum, dan memperlihatkan keputusan-
keputusan sebelumnya dari mereka yang berwenang pula.
C. Apabila setelah diselidiki tidak ada keputusan-keputusan terdahulu atau keputusan-
keputusan yang sebelumnya tidak dapat disesuaikan dengan kasus yang dihadapi,
maka setelah dipertimbangkan secara mantab, yang berwenang harus memberikan
keputusannya yang menurut hati nuraninya merupakan pernyataa kaedah hukum
individuil yang ah sebagai kaedah umum.
Menurut Kelsen, mula-mula harus ada penyataan kaedah hukum umum terlebih
dahulu, baru akan ada penyataan kaedah hukum individuil, oleh karena penyataan kaedah
hukum umum merupakan dasarnya.Dri uraian penjelasan diatas terlihat perbedaan antara
pandangan Kelsen dan Ter Haar tentang penyataan kaedah hukum dalam masyarakat
hukum adat. Ajaran Kelsen tersebut hanya cocok untuk menggambarkan struktur hukum
negara-negara eropa tertentu saja.
Setelah membandingkan ajaran Kelsen dengan Ter Haar, maka akan dibicarakan
kembali ajaran Logeman, untuk meninjau hubungan antara penyataan kaedah hukum
dengan kebiasaan. Di dalam hal ini akan dicari suatu jawaban terhadap pernyataan;
apakah pernyataan kaedah hukum itu lebih dahulu, atau datang belakanga daripada
kebiasaan.
Dari beberapa uraian, dapat diketahui bahwa menurut Logeman, Ter Haar
memandang adanya penyataan kaedah hukum pada waktu pernyataan tersebut diberikan
oleh seorang pejabat hukum berdasarkan kebiasaan. Dengan perkataan lain, penyataan
atau pengejawantahan kaedah hukum terjadi sesudah ada kebiasaan.
Hal tersebut di atas tidaklah sesuai dengan selera Logeman, oleh karena menurut
pendapatnya, walau pun keputusan daripada yang berwenang adalah penting bagi
kehidupan kaedah huku, akan tetapi tidaklah boleh dianggap sebagai saat mulainya
penyataan atau pengejawantahan kaedah hukum tersebut.
Dari apa yang dikemukakan oleh Logeman dengan mengutip contoh dari Sholten,
dapatlah diketahui bahwa mungkin;
A. Penyataan kaedah hukum diikuti oleh kebiasaan , yaitu perikelakuan atau sikap tindak
yang ajeg, yang sesuai dengan isi kaedah hukum.
B. Kebiasaan yang mendahului penyataan kaedah hukum, yang merupakan perumusan
dari kebiasaan tersebut.
Pentingnya hal-hal terseut di atas adalah sebagai pegangan bagi petugas-petugas yang
mempunyai peranan menyatakan kaedah hukum, yaitu sebagai berikut;
A. Hal penyataan kaedah hukum untuk diikuti oleh kebiasaan, yaitu perikelakuan
atau sikap tindak yang ajeg, yang sesuai dengan isi kaedah hukum.
B. Kebiasaan yang mendahului pernyataan kaedah hukum, yang merupakan
perumusan dari kebiasaan tersebut.
Adapun A konstruktif dalam hal penyataan kaedah hukum umum yang secara
langsung maupun tidak langsung, sebagaimana dikemukankan oleh Ter Haar,
merupakan penyataan kaedah hukum individuil yang sekaligus merupakan penyataan
kaedah hukum umum.
BAB X
Di dalam suatu hal yang berhubungan erat dengan masalah penyataan kaedah hukum,
ialah mengenai tanda-tanda penyataan kaedah hukum. Di dalam ilmu mengenai kaedah
hukum, hal penyataan kaedah hukum di satu fihak dan tandanya di lain fihak, harus
ditunjukkan perbedaannya dengan tegas. Hal itu disebabkan oleh karena perbedaan tersebut
sangat penting artinya dan dengan tidak dipahaminya perbedaan tersebut, maka itu sungguh-
sungguh mempunyai konsekwensi yang akan dapat mengganggu kehidupan bersama yang
damai.
BAB XI
Yang dimaksudkan dengan hal berlakunya kaedah hukum atau kelakuan kaedah
hukum adalah apa yang disebut “geltung” dalam bahasa Jerman, atau “gelding” di dalam
bahasa Belanda.
Di dalam teori-teori hukum pada umumnya dibedakan antara tiga macam kelakuan
atau hal berlakunya kaedah hukum, yaitu;
A. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat
dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut;
1. Hans kelsen yang menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan
yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi
tingkatannya.
2. A. Zevenberg menyatakan bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang
telah ditetapkan,
3. Logeman, bahwa secara yuridis kaedah hukum mengingat, apabila
menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
4. Gustav Radbrunch
B. Kelakuan sosiologis atau hal berlakunya secara sosiologis,yang intinya adalah
evektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama.
1. Teori kekuasaan yang pokoknya menyatakan, bahwa kaedah hukum
mempunyai kelakuan sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
2. Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan
kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka
kepada siapa kaedah hukum tadi dituju
C. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa
kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi, misalnya Pancasila, Masyarakat adil dan makmur, dan seterusnya.
Selain dari teori pembedaan kelakuan kaedah hukum sebagaimana diuraikan di atas,
maka masih ada satu ajaran dari Logeman yang juga membedakan kelakuan kaedah
hukum, yaitu ajaran yang disebut”gebiedsleer”. Inti teori atau ajaran ini menyatakan
bahwalingkup laku kaedah hukum adalah keadaan/bidang dalam mana kaedah
berlaku, dan dibedakan antara empat bidang, yaitu
BAB XII
KESIMPULAN
Apabila diperhatikan sistematika buku ini, maka titik tolaknya adalah suatu uraian
tentang kaedah pada umumnya, yang kemudian dijelaskan satu persatu dan disertai dengan
contoh-contoh.
Dengan penjelasan mengenai disiplin hukum, diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang
ruang lingkupnya yang sedemikian luas. Salah satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa
ilmu-ilmu hukum tidak hanya mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengertian belaka, akan tetapi
juga mencakup ilmu kenyataan.
Kaedah diperlukan oleh manusia oleh karena manusia mempunyai hasrat untuk hidup
pantas dan teratur. Berdasarkan aspek-aspek hidup yang diaturnya, maka dapatdiadakan
pembedaan antara dua macam tata kaedah hukum yang selanjutnya dapat diperinci sebagai
berikut
Kaedah hukum ditinjau dari sudut daya cakup mau pun hierarkinya mencakup kaedah
abstrak atau umum dan kaedah konkret atau individuil. Struktur kaedah yang sedemikian itu
mungkin berisikan suruhan, larangan, pembolehan, serta dapat bersifat imperatif maupun
fakultatif.
Perihal perumusan kaedah hukum yang bertolak pada pendapat Hans Kelsen ada dua
macam, yaitu pandangan hipotesis/bersyarat dan pandangan kategoris yang kedua-duanya
dapat ditemukan dalam perumusan pasal-pasal undang-undang.
Di dalam pembahasan tentang kaedah hukum telah diuraikan perihal tujuan kaedah
hukum, yaitu kedamaian hidup antar pribadi. Hubungan antara tujuan kaedah hukum dengan
tugasnya adalah bahwa pemberian kepastian hukum tertuju pada ketertiban, sedangkan
pemberian kesebandingan hukum tertuju pada ketenangan atau ketentraman.
Sifat memaksa dari kaedah hukum adalah tidak essensil, sedangkan sifat membatasi
dan mematoki dari kaedah hukum adalah essensil. Hal ini disebabkan oleh karena;
1. Diri sendiri
2. Fihak lain
Kaedah hukum adalah mengenai tanda-tanda penyataan kaedah hukum yang dalam
ilmu kaedah hukum harus ditunjukkan dengan tegas perbedaannya. Hal itu disebabkan oleh
karena konsekwensinya akan dapat mempengaruhi kehidupan bersama yang damai.
Hal terakhir yang dibahas adalah mengenai kaedah hukum yang bertitik tolak pada
ajaran Radbrunch dan Logemann. Perbedaannya adalah, bahwa ajran Radbrunch menelaah
landasan kaedah hukum, sedangkan Logemann meninjau sasaran dari kaedah hukum sebagai
penutup, maka dapatlah diperoleh suatu keragka dasar sebagai titik tolak bagi studi dan
penterapan kaedah hukum.