Anda di halaman 1dari 21

PERIHAL KAEDAH HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. DISIPLIN HUKUM

Suatu disiplin adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

DISIPLIN HUKUM SECARA


UMUM

1. DISIPLIN 2. DISIPLIN
ANALITIS PRESKRIPTIF

Sistem ajaran yang menentukan


Sistim ajaran yang menganalisis, apakah yang seyogyanya atau
Contoh; Sosiologi, psikologi, Contohnya adalah hukum,
memahami, serta menjelaskan yang seharusnya dilakukan di
ekonomi, dan seterusnya filsafat, dan seterusnya
gejala-gejala yang dihadapi dalam menghadapi kenyataan
kenyataan tertentu

Apabila pembicaraan dibatasi pada disiplin hukum, maka secara umum disiplin
tersebut mencakup; 1. Ilmu-ilmu hukum

2. Politik hukum

3. Filsafat hukum

Ilmu-ilmu tentang kaedah hukum sebagai kumpulan dari pelbagai cabang ilmu
pengetahuan antara lain meliputi;

1. Ilmu tentang kaedah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah, atau sistim
kaedah-kaedah, dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
2. Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum,
seperti misalnya subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
hukum dan objek hukum.
3. Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap
tindak, yang antara lain mencakup(V. Aubert, 1975).
a. Sosiologi hukum yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitismempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lainnya(Soerjono Soekanto; 1975).
b. Antropologi hukum, yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola
sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun
sedang mengalami proses modernisasi(Ch. Winnick, 1975)
c. Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan daripada perkembangan jiwa manusia(J. Drever)
d. Perbandingan hukum yang merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
memperbandingkan sitem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau beberapa
masyarakat
e. Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul daripada sistim
hukum dalam suatu masyarakat tertentu.
B. ARTI HUKUM
Dalam uraian sebelumnya telah disampaikan bahwa yang menjadi obyek buku ini
adalah hukum sebagai kaedah. Di dalam hal ini akan diusahakan untuk
menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat, yaitu(Purnadi Purbacaraka);
1. Hukum sebagai ilmu pengeahuan
2. Hukum sebagai disiplin
3. Hukum sebagai kaedah
4. Hukum sebagai tata hukum
5. Hukum sebagai petugas(hukum)
6. Hukum sebagai keputusan penguasa
7. Hukum sebagai proses pemerintahan
8. Hukum sebagai perikelakuan ajeg atau sikap tindak yang teratur
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
C. PROSES TERJADINYA KAEDAH
Di dalam pola hidup terentu, manusia mengharapkan bahwa kebutuhan-kebutuhan
dasarnya akan dapat terpenuhi, diantaranya adalah(A. H. Maslow, 1954),
1. Food, shelter, clothing
2. Safety of self and property
3. Self esteem
4. Self actualization
5. Love
Apabila kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan
merasa khawatir dan puncaknya manusia merasa merasa tidak puas terhadap pola
yang telah ada yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya, sehingga dia mengkehendaki suasana yang baru.
Sudah diketahui bahwa kaedah merupakan patokan atau pedoman untuk hidup,
akan tetapi, hidup memiliki beberapa aspek. Secara umum terdapat 2 macam
aspek dalam hidup, yaitu;
1. Hidup pribadi
2. Hidup antara pribadi

Dalam masing-masing golongan dapat diadakan pembedaan antara 2 macan tata


kaedah, yakni;

1. Yang termasuk golongan aspek hidup pribadi yang mencakup;


a. Kaedah-kaedah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau
kehidupan ber-Iman
b. Kaedah-kaedah kesusilaan yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau
kebersihan hati nurani dan akhlak
2. Yang termasuk golongan aspek hidup antar pribadi yang meiputi;
a. Kaedah-kaedah sopan santun yang maksudnya adalah untuk kesedapan
hidup bersama
b. Kaedah-kaedah hukum yang tertuju pada kedamaian hidup bersama

BAB II

KAEDAH HUKUM DAN KAEDAH-KAEDAH ETIKA LAINNYA

A. TATA KAEDAH KEPERCAYAAN

Kaedah-kaedah kepercayaan termasuk tata kaedah dalam salah satu aspek hidup
pribadi dari manusia, yang tujuannya hanya untuk menguasai atau mengatur kehidupan
pribadi didalam mempercayai atau meyakini kekuasaan gaib, Tuhan Yang Maha Esa,
Dewa-dewa, dan lain sebagainya.

B. TATA KAEDAH KESUSILAAN


Kaedah-kaedah kesusilaan yang dipakai dalam arti etika dalam arti sempit hanya
dapat dimengerti sebagai kaidah-kaidah kehidupan pribadi. Agar supaya dapat keluar
dari kesangsian atau kebingungan, sehingga hidupnya pantas atau sayogya kembali,
maka dalam hal demikian seseorang mencari pedoman. Maka pedoman itulah yang
dalam hal ini disebut kaedah-kaedah kesusilaan, yang termasuk aspek kehidupan
pribadi seseorang.
C. TATA KAEDAH SOPAN SANTUN
Tujuan daripada kaedah sopan santun adalah kesedapan hidup bersama, dan tidak lain
daripada keadaan semacam itu(dalam bahasa inggris”a pleasant living together”, dan
dalam bahasa belanda “het uitwendig verkeer onder de mensen te verfijnen, te
veraangenamen.
Kaedah sopan santun aktuil di Indonesia, adalah sebagai berikut;
1. Seseorang tidak boleh memasuki suatu ruangan melalui jendela
2. Orang yang lebih muda harus memberi saam lebih dahulu kepada orang yang
lebih tua.
3. Seorang muris harus memberi salam lebih dahulu kepada gurunya
D. TATA KAEDAH HUKUM
Dari uraian diatas, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa;
1. Kaedah-kaedah kepercayaan bertujuan ada kesucian hidup pribadi, atau agar
manusia menganut kehidupan ber-Iman
2. Kaedah-kaedah kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi
3. Kaedah-kaedah kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup antar
pribadi

Kedamaian atau damai adalah suatu keadaan yang sebagai pengertian


mencakup dua hal, yaitu ketertiban atau keamanan(orde) dan ketenteraman atau
ketenangan(rust). Dari berbagai penjelasan, Kelsen menghubungkan hal “stufenbau”
dan “groundnorm” dengan suatu negara tertentu, sehingga akibatnya dapat diambil
kesimpulan bahwa isi perumusan “groundnorm” negara yang satu boleh berbeda
dengan negara lainnya tergantung dari sifat negara masing-masing.

Secara teoritis, “grundnorm” tersebut dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa


kalau suatu tata kaedah hukum tidak lagi menjamin kedamaian hidup bersama, maka
tidak seharusnyalah warga-warga masyarakat bertingkah laku atau bersikap tindak
sesuai dengan tata kaedah hukum tersebut.
PERBEDAAN
KAEDAH HUKUM
PRIBADI DAN
ANTAR PRIBADI

1. Kaedah Hukum 2. Kaedah Hukum


Pribadi antar pribadi

Gunanya untuk kesayogyaan


Tujuannya untuk hidup diri pribadi bersama-sama
kesayogyanan orang pribadi lainnya, jadi untuk
seorang(diri pribadi) kepentingan diri sendiri dan
kepentingan sesama

Apabila pembicaraan dikhususkan pada hubungan antara masing-masing tata kaedah, maka
timbul pertanyaan, apakah manusia sudah dapat hidup pantas atau sayogya dengan adanya
tata kepercayaan,kesusilaan, dan sopan santun saja? Ternyata tidak, kaedah hukum harus ada
karena;

1. Ketiga tata kaedah yang lain daripada kaedah hukum, tidak cukup meliputi
keseluruhan kehidupan manusia, misalnya, pencatatan kelahiran, perkawinan ataupun
kematian, dan juga peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya.
2. Kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pasntas atau tidak sayogya, apabila hanya
diatur oleh ketiga tata kaedah tersebut. Misalnya;
a. Mencurigai seseorang bertentangan dengan kaidah kesusilaan;
b. Menunjukkan kecurigaan terhadap seseorang bertentangan dengan kaedah sopan
santun
c. Bagaimanakah bila terjadi pencurian? Sudah tentu ada yang perlu dicurigai.

Dari uraian tersebur di atas nyatalah, bahwa kaedah-kaedah hukum memang diperlukan,
walau pun ada kaedah-kaedah hukum yang isinya bertentangan dengan kaedah-kaedah
lainnya, demi kepantasan hidup secara menyeluruh.
BAB III

KAEDAH HUKUM YANG ABSTRAK DAN KONKRET

Dari uraian mengenai ajaran Kelsen, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah-kaedah hukum secara hierarkis
2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat diseederhanakan dari tingkat terbawah ke
atas, adalah;
a. Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum, terutama
pengadilan
b. Kaedah-kaedah umum di dalam undang-undang atau hukum kebiasaan,
c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi.

Ketigamacam kaedah tersebut dinamakan kaedah-kaedah positif. Diatas konstitusi


adalah tempatnya kaedah dasar hipotesis yang lebih tinggi dan bukan merupakan
kaedah yang dihasilkan oleh pemikiran yuridis.

3. Sahnya kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung
atau ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih
tinggi.

Secara tegasnya, dapatlah dinyatakan bahwa kaedah-kaedah umum bersifat abstrak,


artinya bahwa kaedah-kaedah semacam itu berlakunya tidak ditujukan kepada orang atau
pihak-pihak tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah-
kaedah umum, antara lain, dapat dilihat di dalam undang-undang atau traktat.

Suatu kaedah universil bersifat konkrit; artinya bahwa kaedah-kaedah semacam itu
ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Contoh-contoh dari kaedah-kaedah individuil
adalah;

1. Yang ditentukan oleh pengadilan, misalnya seseorang dihukum atau wajib menjalani
hukuman selama 5 tahun, oleh karena telah melakukan pembunuhan.
2. Yang ditentukan oleh “bestuur” yaitu misalnya seseorang diberi izin untuk
mengimpor bahan makanan, atau seseorang diberi izin untuk mengemudikan
kendaraan bermotor.
3. Yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya seseorang diperintah untuk menghadap dan
memberi keterangan kepada polisi.
4. Yang ditentukan di dalam perjanjian, misalnya seseorang akan menyerahkan haknya,
atau seseorang harus melakukan kewajibannya yakni membayar sewa.
BAB IV
ISI DAN SIFAT KAEDAH HUKUM
Apabila ditinjau dari sudut isinya, maka dapat dikenal adanya tiga macam kaedah
hukum, yaitu;
1. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan(gebod)
2. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan larangan(verbod)
3. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan kebolehan (mogen)
Contoh dari kaedah hukum yang berisi suruhan dan berasal dari bidang hukum
tantra adalah, misalnya pasal 22 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945. Contoh lainnya dari
bidang hukum perdata misalnya pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1997 tentang
perkawinan, yaitu memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya. Pasal 8 dari
UU yang sama berisikan larangan, oleh karena didalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang dengan kondisi tertentu seperti
masih dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, dan lain-lain.
Contoh dari kaedah hukum yang berisikan kebolehan ada pada pasal 29 ayat 1
dari UU yang sama, pasal tersebut menyatakan bahwa fihak-fihak yang menikah
dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsunngkan, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
Mengenai sifat kaedah hukum dapatlah dibedakan antara
1. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat imperatif, kaedah yang didalam suatu
keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak. Hukum memaksa”dwingend recht”
2. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat fakultatif, kaedah hukum yang didalam
keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para
pihak. Hukum mengatur atau hukum menambah “regelend-recht”

Apabila isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifat kaedah hukum, maka
kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan adalah imperatif,
sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan bersifat fakultatif
BAB V

PERUMUSAN KAEDAH HUKUM

Rumusan-rumusan yang dihasilkan oleh ilmu hukum yang mendeskripsikan


kaedah-kaedah disebut”rules of law” yang harus dibedakan dari “legal norms”
ysng diciptakan oleh para pejabat hukum, diterapkan oleh mereka, dan harus
ditaati oleh para subjek hukum.

Rules of law tersebut merupakanpandangan hipotesis (hypothetical judgements)


ysng menyatakan, bahwa menurut tata kaedah hukum nasional atau internasional,
akibat-akibat atau konsekwensi-konsekwensi tertentu harus terjadi sesuai dengan
tata kaedah tersebut.

“Legal norms” menurut Kelsen, bukan merupakan pandangan, oleh karena bukan
merupakan pernyataan-pernyataan tentang suatu objek pemahaman.

Dalam rule of law, dapat diformulasikan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu,


maka konsekwenssi-konsekwensi atau akibat-akibat tertentu harus(“ought”)
terjadi. Istilah harus disini dapat diartikan sebagai larangan, suruhan, atau pun
kebolehan, yang kemungkinan menjadi isi daripada kaedah hukum. Oleh karena
itu maka hubungan antara kondisi dengan konsekwensi atau akibat yang
diekspresikan dengan istilah”harus”, dinamakan”imputation”. Di dalam
pengertian imputasi tersebut terkandung apa yang dinamakan
pertanggungjawaban(“responsibility”).

Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa sanktum selalu disebabkan delik, akan
tetapi delik tidak selalu menyebabkan ssanktum.

Dari ajaran Kelsen, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai
berikut;

A. Kaedah hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum (“rule of law”) merupakan
pandangan hipotesis atau bersyarat(“hypothetical judgement”;”hypothetish
ooordeel”), sebagaimana dalil alam.
B. Perbedaan terletak pada hakekatnya, yaitu
1. Pada dalil alam, apabila terjadi sesuatu(sebagai sebab), makakejadian
tersebut akan diikuti kejadian lain yang merupakan akibat.
2. Pada kaedah hukum, apabila terjadi perikelakuan atau sikap tindak orang
tertentu, maka orang lain harus berperikelakuan atau bersikap tindak
menurut cara tertentu.
C. Pada dalil alam, tidak ada campur tangan manusia di dalam hubungan sebab-
akibat; sedangkan pada kaedah hukum, hubungan normatif diciptakan oleh
manusia
D. Hubungan sebab-akibat pada dalil alam merupakan mata rantai tanpa batas,
pada kaedah hukum, prinsip imputasi ada batasannya, Ilmu hukum
menjelaskan objeknya(yaitu hukum) dalam bentuk presepsi-presepsi yang
merumuskan keharusan-keharusan(“ought prepositions”).

Di dalam ketentuan-ketentuan undang-undang pidana biasanya diketemukan


rumusan-rumusan demikian, yang intinya adalah barang siapa berperikelakuan
atau bersikap tindak tertentu, akan di hukum setinggi-tingginya sekian tahun.

Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa tidaklah selalu perumusan pasal undang-
undang menggambarkan suatu pandangan hipotesis atau bersyarat. Misalnya pasal
3 UU No. 1 tahun 1974 yang dalam ayat 1 menyatakan;

“Pada azanya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Dari pasal tersebut jelas terlihat tak adanya pandangan hipotesis atau bersyarat;
tidak ada terlihat adanya hubungan antara kondisi dengan konsekwensi.
Perumusan semacam itu biasanya dinamakan pandangan kategoris.

Salah satu pemikiran Kant yang menonjol adalah untuk mengganti metode
psikologis dan empiris dengan metode kritis, dengan usaha untuk menempatkan
dasar rasionil dari kehidupan dan dunia pada kesadaran manusia.

Dari segala sesuatu yang telah dibicarakan mengenai perumusan kaedah hukum
dapat diketahui akan adanya dua macam pandangan, yaitu pandangan hipotesis
atau bersyarat dan pandangan kategoris. Kedua macam pandangan tersebut dapat
diketemukan dalam perumusan pasal undang-undang. Akan tetapi didalam
pandangan yuridisnya, Kelsen hanya mau mengetahui adanya pandangan hipotesis
sebagai hakekat kaedah hukum yang umum(“general norm”); hanya kaedah-
kaedah individuil yang mempunyai pandangan kategoris(Hans Kelsen, 1967).
BAB VI

TUGAS KAEDAH HUKUM

Didalam pembicaraaan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai


tujuan kaedah tersebut, yaitu kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut
meliputi dua hal, yaitu;

A. Ketertiban ekstern antar pribadi


B. Ketenangan intern pribadi
Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum
yang bersifat dwi-tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang
bersitegang, yaitu
A. Memberikan kepastian dalam hukum (certainly;zekerheid)
B. Memberikan kesebandingan dalam hukum (equity, billijkheid,
evenredigheid)

Hubungan antara tujuan hukum dengan tugasnya adalah, pemberian kepastian


hukum tertuju kepada ketertiban, dan pemberian kesebandingan hukum tertuju
pada ketenangan atau ketentraman. Artinya, kehidupan bersama dapat tertib
hanya jika ada kepastian dalam hubungan manusia; dan, pribadi akan tenang
jikalau dapat menerima apa yang sebanding dengan segala perikelakuan atau
sikapnya.

Tugas kaedah hukum yang dua macam tersebut dikatakan sebagai dwitunggal,
oleh karena setiap kaedah hukum yang termasuk kaedah hukum yang
umum/abstrak, hendaknya dpat melaksanakan kedua tugas tersebut sekaligus.

Dari pasal 1338 B.W. dapatlah dikeahui apa yang dimaksud degan “wet” atau
undang-undang pada alinea pertama, yang harus diartikan sebagai kaedah hukum
individuil yang hanya mengikat pada pihak tertentu saja.

Apabila kaedah-kaedah hukum yang umum dan yanng individuil dihubungkan


dengan tugas hukum, maka kaedah hukum yang umum lebih mengutamakan
kepastian, sedangkan kaedah hukum individual lebih mementingkan
kesebandingan.
Hubungan antara dwi-tunggal tugas kaedah hukum dengan kepentingan umum
dan kepentingan pribadi adalah siapa saja yang didalam kehidupan bersama
berperikelakuan atau bersikap tindak tertentu, dapat dijatuhi hukuman tertentu.
Oleh karena itu, maka tidak ada kesangsian lagi, bahwa adanya kepastian hukum
mempertinggi jaminan terhadap kepentingan umum.

Mengenai arti atau maksud perumusan setinggi-tingginya sekian


tahun(=hukuman yang boleh dijatuhkan) sebagaimana telah dijelaskan, adalah
untuk memberikan kesebandingan terhadap diri pribadi yang berperikelakuan
atau bersikap tindak.

BAB VII

ESSENSIALIA DARIPADA KAEDAH HUKUM

Suatu kaedah, sebagaimana telah dijelaskan, merupakan patokan atau pedoman


berperikelakuan atau bersikap tindak. Kaedah hukum yang fakultatif merupakan
patokan atau pedoman yang tidak secara a priori mengikat, artinya masih
diperbolehkan untuk berperikelakuan atau bersikap tindak di luar pedoman atau
patokan tersebut, hal mana bukan merupakan pengecualian atau pun pelanggaran.

Kaedah hukum yanng imperatif adalah patokan atau pedoman yang secara a
priori harus ditaati atau dipatuhi, artinya, secara tidak bersyarat tidak boleh
menyimpang dari pedoman atau patokan, selain jikalau ada pengecualian-
pengecualian, hal mana akan dibicarakan kemudian.

Jadi kalaudiperhatikan, maka kaedah hukum fakultatif dan imperatif itu keduanya
merupakan patokan atau pedoman yang mewujudkan batas-batas perikelakuan
atau sikap tindak; sedangkan patokan atau pedoman tersebut merupakan suatu
pandangan”oordeel” dalam hakekatnya.

Jikalau dikatakan bahwa sesuatu mempunyai sifat yang memaksa, maka mungkin
hal ini maksudnya adalah;

1. Tidak dapat dielakkan atau dilanggar.


Kenyataannya, kaedah-kaedah hukum imperatif mungkin dapat dilanggar.
2. Melakukan paksaan.
Apakah mungkin bahwa kaedah-kaedah sebagai pandangan dapat melakukan
paksaan? Ini jelas tidak mungkin; orang yang dikuasai oleh kaedah tersebut
mungkin mempunyairasa takut, akan tetapi bukanlah pada kaedahnya.
Kalau demikian, siapakah yang mengadakan paksaan? Paling sedikit
kemungkinan ada 2, yaitu;
1. Diri sendiri
2. Pihak lain yang karena kaedah hukum diberi peranan untuk melakukan
paksaan, misalnya, polisi, jaksa, hakim, dan seterusnya.

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat memaksa dari kaedah
hukum adalah tidak esensil, sebaliknya dapat ditegaskan disini bahwa sifat
membatasi atau mematoki dari kaedah-kaedah hukum, adalah essensiil.

BAB VIII
PENYIMPANGAN TERHADAP KAEDAH HUKUM
Penyimpangan terhadap kaedah hukum dapat berupa pengecualian atau
penyelewengan. Kaedah-kaedah hukum sebagai patokan atau pedoman memberikan patokan
atau pedoman memberikan batas-batas kepada perikelakuan atau sikap tindak, dalam batas-
batas tersebut masih mungkin ada ruang gerak.
Di dalam hal ini, maka perikelakuan atau sikap tindak tersebut lebih baik jangan
disebut hal kebijaksanaan, akan tetapi sikap tindak kewibawaan(gezag).
Kecuali sikap tindak kebijaksanaan dalam batas-batas patokan atau pedoman dan sikap tindak
kewibawaan sebelum atau tanpa adanya patokan, masih ada perikelakuan atau sikap tindak
menyimpang dari patokan pedoman, artinya merubah patokan pedoman yang sudah ada
sebelumnya.
A. Pengecualian atau dispensasi sebagai penyimpangan dari patokan atau pedoman
dengan dasar yang sah itu mengenal dua dasar yang berbeda, yakni;
1. Pembenaran(“rechtvaardigingsgrond”), misalnya dalam hukum pidana;
a. “noodtoestand”, umpamanya dua orang terapung di laut dengan sebilah papan.
b. “wettelijkvoorschrift”, umpamanya sebagaimana telah tercantum dalam pasal
50 KUHP ”Tiada boleh dihukum adalah ia yang melakukan peraturan
perundang-undangan.”
2. Bebas Kesalahan (“schuldopheffingsgrond”) yang contohnya adalah berat
lawan”overmatch” dalam hukum pidana.
Kedua dasar pengecualiantersebut di dalam ilmu hukum pidana dinamakan”
strafuitsluitingsgrond”, adalah

1. Dalam “schuldopheffingsgrond” adalah orang atau pribadi lain yang dapat


dipersalahkan, yaitu dalam contoh di atas adalah orang yang menolong.
2. Dalam “rechtvaardigingsgrond” tidak ada orang atau pribadi lain yang dapat
dipersalahkan, Di dalam contoh di atas adalah dua orang yang terapung dal algoo,
siapakah yang harus dipersalahkan.
B. Delict adalah penyimpangan dari patokan atau pedoman yang tidak memiliki dasar
yang sah.
Perihal sanktum terhadap delict, sudahlah menjadi suatu kenyataan baik pada
perikehidupan sederhana maupun yang sudah modern, bahwa dikehendaki adanya
sanktum terhadap mereka yang telah melakukan delict.
Sanktum dalam arti sempit adalah hukuman(dalam arti luas). Sanktumdalam arti luas
ada tiga macam, yaitu;
A. Sebagai pemulihan keadaan, yang antara lain dapat dijumpai dalam bidang hukum
perdata.
B. Sebagai pemenuhan keadaan, yang contohnya juga diambil dari bidang hukum
perdata, yaiyu dimana x berjual beli dengan y.
C. Sebagai hukuman dalam arti luas, yaitu tindakan yang tidak digolongkan kedalam
salah satu macam sanktum tersebuut di atas, dan istilah hukuman tersebut juga
perlu dipergunakan dalam arti luas, karena tidak hanya meliputi bidang hukum
pidana, akan tetapi juga mencakup hukum perdata dan hukum tata usaha negara,
misalnya;
1. Dalam bidang hukum perdata contohnya adalah hal ganti rugi tambahan yang
seringkali digandengkan dengan sanktum pemulihan keadaan atau pemenuhan
keadaan
2. Dalam bidang hukum atta usaha negara, yaitu berupa pemecatan dari jabatan
atau skorsing terhadap seorang pegawai, pencabutan izin usaha, pencabutan
Surat Izin Mengemudi, dan seterusnya.
3. Dalam bidang hukum pidana, sepertinya tidak akan asing lagi disebut
hukuman, tetapi didalam uraian ini lebih baik dinamakan hukum pidana.
Hukuman dalam arti yang sempit inin dimaksudkan sebagai siksaan yang
dibedakan antara
a. Siksaan riil atau materil
b. Siksaan idiil atau moril

BAB IX
PENYATAAN KAEDAH HUKUM
Pernyataan atau perwujudan kaedah hukum merupakan kenyataan
hukum”rechtswerkelijkheid”. Hal tersebut oleh Logeman dibicarakan secara panjang lebar,
kurang lebih sebagai berikut(J.H.A. Logemann, 1954);
“Kaedah hukum didalam kenyataannya terwujud didalam pernyataan hukum, dimana kaedah
tersebut terwujud didalam pergaulan hidup manusia.”
Dari bermacam-macam perikelakuan atau sikap tindak maupun keputusan hukum
sebagaimana telah diketengahkan oleh Logeman, dapatlah dipahami bagaimana kaedah
hukum sebagai kenyataan ideal terwujud (=mengejawantah) menjadi kenyataan real, dan
membedakan yang mana merupakan penyataaan kaedah hukum individuil dan mana
merupakan kaedah hukum umum.
Ter Haar dianggap sebagai bapak “beslissingenleer” dalam ilmu hukum aday yang
kemudian diikuti oleh Logemann(didalam “bleslissingenleer” tersebut), akan tetapi dengan
memperluasnya sehingga juga mencakup Hukum Negara.
Dari beberpa hal yang dikemukakan Ter Haar, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut;
A. “Decision” yang diambil atau dilakukan oleh penguasa, kepala adat dan hakim, harus
dilihat sebagai kaedah hukum individuil yang menyimpulkan kaedah hukum umum
yang berlaku bagi kass-kasus yang sama(regal voor gelijke gevallen)
B. Mereka yanng berwenang untuk memberikan keputusan harus sadar akan
tanggungjawabnya turut membentuk hukum, dan memperlihatkan keputusan-
keputusan sebelumnya dari mereka yang berwenang pula.
C. Apabila setelah diselidiki tidak ada keputusan-keputusan terdahulu atau keputusan-
keputusan yang sebelumnya tidak dapat disesuaikan dengan kasus yang dihadapi,
maka setelah dipertimbangkan secara mantab, yang berwenang harus memberikan
keputusannya yang menurut hati nuraninya merupakan pernyataa kaedah hukum
individuil yang ah sebagai kaedah umum.

Kegunaan memahami kesimpulan diatas adalah, bahwa kemungkinan timbulnya


penyataan kaedah hukum individuil dan kaedah huukum umum pada saat yang
bersamaan. Atau dengan perkataan lain, kesimpulan adanya pernyataan kaedah hukum
umum dapat ditarik dari pernyataan kaedah hukum individuil, ataupun pernyataan hukum
individuil yang menyimpulkan kaedah hukum umum, sehingga dapatlah dikatakan
timbulnya kaedah hukum umum melalui penyataan kaedah hukum individuil.

Menurut Kelsen, mula-mula harus ada penyataan kaedah hukum umum terlebih
dahulu, baru akan ada penyataan kaedah hukum individuil, oleh karena penyataan kaedah
hukum umum merupakan dasarnya.Dri uraian penjelasan diatas terlihat perbedaan antara
pandangan Kelsen dan Ter Haar tentang penyataan kaedah hukum dalam masyarakat
hukum adat. Ajaran Kelsen tersebut hanya cocok untuk menggambarkan struktur hukum
negara-negara eropa tertentu saja.

Setelah membandingkan ajaran Kelsen dengan Ter Haar, maka akan dibicarakan
kembali ajaran Logeman, untuk meninjau hubungan antara penyataan kaedah hukum
dengan kebiasaan. Di dalam hal ini akan dicari suatu jawaban terhadap pernyataan;
apakah pernyataan kaedah hukum itu lebih dahulu, atau datang belakanga daripada
kebiasaan.

Dari beberapa uraian, dapat diketahui bahwa menurut Logeman, Ter Haar
memandang adanya penyataan kaedah hukum pada waktu pernyataan tersebut diberikan
oleh seorang pejabat hukum berdasarkan kebiasaan. Dengan perkataan lain, penyataan
atau pengejawantahan kaedah hukum terjadi sesudah ada kebiasaan.

Hal tersebut di atas tidaklah sesuai dengan selera Logeman, oleh karena menurut
pendapatnya, walau pun keputusan daripada yang berwenang adalah penting bagi
kehidupan kaedah huku, akan tetapi tidaklah boleh dianggap sebagai saat mulainya
penyataan atau pengejawantahan kaedah hukum tersebut.

Dari apa yang dikemukakan oleh Logeman dengan mengutip contoh dari Sholten,
dapatlah diketahui bahwa mungkin;

A. Penyataan kaedah hukum diikuti oleh kebiasaan , yaitu perikelakuan atau sikap tindak
yang ajeg, yang sesuai dengan isi kaedah hukum.
B. Kebiasaan yang mendahului penyataan kaedah hukum, yang merupakan perumusan
dari kebiasaan tersebut.
Pentingnya hal-hal terseut di atas adalah sebagai pegangan bagi petugas-petugas yang
mempunyai peranan menyatakan kaedah hukum, yaitu sebagai berikut;

A. Hal penyataan kaedah hukum untuk diikuti oleh kebiasaan, yaitu perikelakuan
atau sikap tindak yang ajeg, yang sesuai dengan isi kaedah hukum.
B. Kebiasaan yang mendahului pernyataan kaedah hukum, yang merupakan
perumusan dari kebiasaan tersebut.

Pentingnya hal-hal tersebut adalah sebagai pegangan bagi petugas-petugas yang


mempunyai peranan menyataan kaedah hukum, yaitu sebagai

A. Hal pernyataan kaedah hukum untuk diikuti oleh kebiasaan. Syarat-syaratnya


antara lain
1. Berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran
2. Membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
3. Memanfaatkan sementara unsur pola tradisionilan tersebut
4. Memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan pernyataan
kaedah hukum tersebut
5. Menggairahkan partisipasi dari golongan tersebut
6. Memberikan teladan
B. Hal kebiasaan yang mendahului penyataan kaedah hukum. Janganlah secara serta
merta menyatakan kaedah yang dengan begitu saja bertujuan untuk
menghapuskan kebiasaan tersebut.Apabila demikian, maka bukanlah tidak
mungkin bahwa penyataan kaedah hukum tersebut mendapatkan tantangan nyata
atau diam-diam, sehingga kaedahnya tidak ditaati sama sekali. Kemungkinan
tersebut dapat terjadi apabila golongan sasaran memiliki karakteristik sebagai
berikut;
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak
lain(tepa slira)
2. Tingkat aspirasi yang sangat rendah
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk menguasai negara
4. Ketidakmampuann untuk menahan pemuasan suatu kebutuhan.
5. Tidak mempunyai daya inovatif

Kalau demikian halnya, tindakan-tindakan apa yang seyogyanya diambil?


1. Menghilangkan atau mengurangkan sebab-sebab tidak baik, misalnya, dalam
uang ada jasa yang sekedarnya
2. Kalau ada kebiasaan hidup yang mengarah pada penggangguan hidup
bersama, umpamanya apabila ada orang kaya baru yang dengan seenaknya
memburu uang, sehingga harga barang kebutuhan melambung tinggi.

Pada pokoknya, sifat penyataan kaedah tersebut adalah;

A. Mungkin konstruktif atau kreatif


B. Eksekutif

Adapun A konstruktif dalam hal penyataan kaedah hukum umum yang secara
langsung maupun tidak langsung, sebagaimana dikemukankan oleh Ter Haar,
merupakan penyataan kaedah hukum individuil yang sekaligus merupakan penyataan
kaedah hukum umum.

Adapun B. Eksekutif sifatnya penyataan kaedah hukum di dalam hal penyataan


kaedah hukum di dalam hal penyataan kaedah hukum individuil yang berdasarkan
kaedah hukum umum.

BAB X

TANDA-TANDA PENYATAAN KAEDAH HUKUM

Di dalam suatu hal yang berhubungan erat dengan masalah penyataan kaedah hukum,
ialah mengenai tanda-tanda penyataan kaedah hukum. Di dalam ilmu mengenai kaedah
hukum, hal penyataan kaedah hukum di satu fihak dan tandanya di lain fihak, harus
ditunjukkan perbedaannya dengan tegas. Hal itu disebabkan oleh karena perbedaan tersebut
sangat penting artinya dan dengan tidak dipahaminya perbedaan tersebut, maka itu sungguh-
sungguh mempunyai konsekwensi yang akan dapat mengganggu kehidupan bersama yang
damai.

Sebagai dasar utama pembedaannya, dapatlah tanda-tanda penyataan kaedah hukum


tersebut dibagi ke dalam dua golongan, yaitu;

A. Tanda-tanda yang berwujud


B. Tanda-tanda yang tidak berwujud

Adapun tanda-tanda yang berwujud antara lain;


1. Bahan-bahan resmi yang tertulis, misalnya UU, PERPU, PP, traktat, vonnis, surat-
surat, dst.
2. Rambu-rambu lalu lintas
3. Benda benda
4. Kebiasaan yang merupakan perikelakuan atau sikap tindak tertentu yang diulang-
ulang dengan bentuk dan cara yang sama
Adapun tanda-tanda yang tidak berwujud, seperti misal;
1. Tanda-tanda yang berupa bunyi suara, seperti klakson, sirene, peluit polisi
2. Hikmat kata-kata yang dirumuskan secara lisan
3. Peritah-perintah lisan.

BAB XI

HAL BERLAKUNYA KAEDAH HUKUM

Yang dimaksudkan dengan hal berlakunya kaedah hukum atau kelakuan kaedah
hukum adalah apa yang disebut “geltung” dalam bahasa Jerman, atau “gelding” di dalam
bahasa Belanda.

Di dalam teori-teori hukum pada umumnya dibedakan antara tiga macam kelakuan
atau hal berlakunya kaedah hukum, yaitu;

A. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat
dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut;
1. Hans kelsen yang menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan
yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi
tingkatannya.
2. A. Zevenberg menyatakan bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang
telah ditetapkan,
3. Logeman, bahwa secara yuridis kaedah hukum mengingat, apabila
menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
4. Gustav Radbrunch
B. Kelakuan sosiologis atau hal berlakunya secara sosiologis,yang intinya adalah
evektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama.
1. Teori kekuasaan yang pokoknya menyatakan, bahwa kaedah hukum
mempunyai kelakuan sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
2. Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan
kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka
kepada siapa kaedah hukum tadi dituju
C. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa
kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi, misalnya Pancasila, Masyarakat adil dan makmur, dan seterusnya.

Selain dari teori pembedaan kelakuan kaedah hukum sebagaimana diuraikan di atas,
maka masih ada satu ajaran dari Logeman yang juga membedakan kelakuan kaedah
hukum, yaitu ajaran yang disebut”gebiedsleer”. Inti teori atau ajaran ini menyatakan
bahwalingkup laku kaedah hukum adalah keadaan/bidang dalam mana kaedah
berlaku, dan dibedakan antara empat bidang, yaitu

A. “Ruimtegebied” atau lingkup laku wilayah yang mengenai ruang terjadinya


peristiwa yang diberi batas-batas atau dibatasi oleh kaedah hukum
B. “Personegebeied” atau lingkup laku pribadi yang menunjukkan siapa atau apa
yang oleh kaedah hukum dipatoki peranannya.
C. “Tjidsgebied” atau lingkup laku masa yang berhubungan dengan jangka waktu
bilamana suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaedah hukum.
D. “Zaaksgebied”(G.J. Resink) atau lingkup laku ikhwal, ialah yang bersangkutan
dengan hal apa saja yang menjadi objek kaedah hukum.

BAB XII

KESIMPULAN

Apabila diperhatikan sistematika buku ini, maka titik tolaknya adalah suatu uraian
tentang kaedah pada umumnya, yang kemudian dijelaskan satu persatu dan disertai dengan
contoh-contoh.

Dengan penjelasan mengenai disiplin hukum, diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang
ruang lingkupnya yang sedemikian luas. Salah satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa
ilmu-ilmu hukum tidak hanya mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengertian belaka, akan tetapi
juga mencakup ilmu kenyataan.
Kaedah diperlukan oleh manusia oleh karena manusia mempunyai hasrat untuk hidup
pantas dan teratur. Berdasarkan aspek-aspek hidup yang diaturnya, maka dapatdiadakan
pembedaan antara dua macam tata kaedah hukum yang selanjutnya dapat diperinci sebagai
berikut

A. Tata kaedah hidup pribadi;


1. Kaedah-kaedah kepercayaan
2. Kaedah-kaedah kesusilaan
B. Tata kaedah aspek hidup antar pribadi
3. Kaedah-kaedah sopan santun
4. Kaedah-kaedah hukum

Kaedah hukum ditinjau dari sudut daya cakup mau pun hierarkinya mencakup kaedah
abstrak atau umum dan kaedah konkret atau individuil. Struktur kaedah yang sedemikian itu
mungkin berisikan suruhan, larangan, pembolehan, serta dapat bersifat imperatif maupun
fakultatif.

Perihal perumusan kaedah hukum yang bertolak pada pendapat Hans Kelsen ada dua
macam, yaitu pandangan hipotesis/bersyarat dan pandangan kategoris yang kedua-duanya
dapat ditemukan dalam perumusan pasal-pasal undang-undang.

Di dalam pembahasan tentang kaedah hukum telah diuraikan perihal tujuan kaedah
hukum, yaitu kedamaian hidup antar pribadi. Hubungan antara tujuan kaedah hukum dengan
tugasnya adalah bahwa pemberian kepastian hukum tertuju pada ketertiban, sedangkan
pemberian kesebandingan hukum tertuju pada ketenangan atau ketentraman.

Sifat memaksa dari kaedah hukum adalah tidak essensil, sedangkan sifat membatasi
dan mematoki dari kaedah hukum adalah essensil. Hal ini disebabkan oleh karena;

A. Maksud dari sifat memaksa adalah


1. Tidak dapat dielakkan atau dilanggar (sedang dalam kenyataannya kaedah hukum
mungkin atau dapat dilanggar)
2. Mwlakukan paksaan (tidak mungkin kaedah sebagai pandangan menilai, melakukan
paksaan).

B. Fihak-Fihak yang mengadakan paksaan yakni

1. Diri sendiri
2. Fihak lain

Penyimpangan terhadap kaedah-kaedah hukum dapat berupa pengecualian atau


penyelewengan, oleh karena kaedah hukum merupakan patokan yang daam batas-batas
tertentu memberikan ruang gerak.

Kaedah hukum adalah mengenai tanda-tanda penyataan kaedah hukum yang dalam
ilmu kaedah hukum harus ditunjukkan dengan tegas perbedaannya. Hal itu disebabkan oleh
karena konsekwensinya akan dapat mempengaruhi kehidupan bersama yang damai.

Hal terakhir yang dibahas adalah mengenai kaedah hukum yang bertitik tolak pada
ajaran Radbrunch dan Logemann. Perbedaannya adalah, bahwa ajran Radbrunch menelaah
landasan kaedah hukum, sedangkan Logemann meninjau sasaran dari kaedah hukum sebagai
penutup, maka dapatlah diperoleh suatu keragka dasar sebagai titik tolak bagi studi dan
penterapan kaedah hukum.

Anda mungkin juga menyukai