Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KEALPAAN (CULVA)

Di susun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Junaidi Abdullah, S.AG.,M.HUM

Di susun oleh :

1. Aldi Kurniawan (2020110104)

2. Fibry Helmalia Putri (2020110106)

3. Ummu Rohmatul Maghfiroh (2020110115)

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

2021
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr Wb

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Makalah hukum pidana ini dengan
tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya saya tidak dapat menyelesaikan Makalah ini.
Sholawat serta salam terlimpah curah kepada Nabi Muhammad SAW.

Adapun tujuan pembuatan makalah yang berjudul ”Kealpaan (culva)” adalah untuk
memenuhi salah satu tugas Hukum Pidana dan dengan adanya makalah ini bisa menambah
ilmu kita mengenai kealpaan (culva) dan dapat mengamalkan kealpaan (culva) dalam
kehidupan sehari-hari.

Tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang sudah memberikan tugas
makalah ini dan saya mohon maaf bila banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
harap Bapak dapat memakluminya.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Wassalamua’laikum Wr Wb

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kealpaan (culva)

2.2 syarat, unsur dan Bentuk – bentuk Kealpaan (culva)

2.3 pasal-pasal dalam KUHP tentang kelalain

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika kita berbicara tentang perkara Pidana, maka sudah barang tentu kita akan
dihadapkan kepada perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana (delik). Dalam
melakukan tindak pidana unsur subyektivitas dan unsur obyektivitas pastilah ada.
Dikatakan ada unsur subyektivitas sebab dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya
si pelaku ingin melakukan suatu tindak kejahatan dari jalan pikiran atau perasaan si
pelaku (unsur kesengajaan) ataupun keinginan untuk melakukan hal tersebut (tindak
pidana) karena desakan suatu pihak (unsur paksaan), atau bahkan si pelaku melakukan
suatu tindak pidana karena kealpaan-(culpa)-nya. Berarti dalam melakukan tindak
pidana ini ada keinginan dari pelaku untuk melakukan tindakan tersebut, baik itu
disengaja ataupun tidak. Sedangkan adanya unsur obyektivitas tentunya sudah jelas
sebab seseorang tidak akan melakukan suatu tindak pidana tanpa adanya obyek, baik
obyek tersebut berbentuk barang ataupun manusia.
Melihat kedua unsur di atas tentulah para penegak hukum akan
mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan kepada seorang pelaku yang melakukan
tindak pidana.

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini akan dikonsentrasikan kepada sejumlah pemetaan pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Pengertian Kealpaan (culva).
2. Syarat, unsur dan Bentuk-Bentuk Kealpaan (culva).
3. Pasal-pasal dalam KUHP tentang kelalaian.

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Pembaca mengetahui dan memahami Pengertian Kealpaan (culva).


2. Pembaca mengetahui dan memahami syarat, unsur dan bentuk-bentuk Kealpaan
(culva).
3. Pembaca mengetahui dan memahami temtang pasal-pasal dalam KUHP tentang
kelalaian

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kealpaan (culva)

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori


penjelasan (Memorie Van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak
antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culva itu dipandang lebih ringan
dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delik
culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana.
Bahwa culpa itu terletak antaara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-Suringa dikenal
pula di negara-negara Anglo-Saxon yang disebut per infortuninum the killing occured
accidently. Dalam memeori jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang
melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya
sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berati tidak
mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan.

Van Hamel membagi culpa atas dua jenis :

1. Kurang melihat ke depan yang perlu,

2. Kurang hati-hati yang perlu.

Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, dasarnya adalah
sama, yaitu:

3. Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,

4. Adanya kemampuan bertanggung jawab,

5. Tidak adanya kesalahan pemaaf.

Tetapi bentuknya lain. dalam kesengajaan sikap batin orang menantang. Dalam
kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan
menunjuk kepada adanya keadaan bathin yang tertentu, dan dilain pihak keadaan
bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian, maka culpa
(kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa
kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada
sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagian-
bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam
kealpaan.

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi
dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila
mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku
dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk
membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat
(culpa lata).

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam
arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa
menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian
membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu,
undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono
(teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang
diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan
yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya,
mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang
ditabrak tersebut mati.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan


berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah
dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh
simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat
dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada
tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.

Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan,
pada diri pelaku terdapat :

a. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.

b. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.

c. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.


2.2 Syarat, unsur dan bentuk-bentuk Kealpaan (culva)

Vos menyatakan bahwa kealpaan mempunyai dua unsur yaitu:

1. Pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya;


2. Pembuat “kurang berhati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab),
dengan kata lain: andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan
yang bersangkutan tidak dilakukan, atau dilakukannya secara lain.

Van hamel menyatakan Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Contohnya:

C menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya dan ternyata ada dan mengenai
orang lain.  

Pada umumnya, bentuk-bentuk kealpaan dibedakan atas :

1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)


Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya,
akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.
2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan
akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih
berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir
akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van
Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang
mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak
merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri
merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan
(bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus
disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

2.3 Pasal-pasal dalam KUHP tentang kelalaian

Masalah-masalah kealpaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


dijelaskan pada Bab XXI tentang Menyebabkan Mati atau Luka-luka karena Kealpaan
(Pasal 359 s.d 361 KUHP), yaitu:
1. Pasal 359 KUHP, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun”.
2. Pasal 360 Ayat (1) KUHP, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan Ayat (2),
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”.
3. Pasal 361 KUHP, “jika kejahatannya yang diterangkan dalam bab ini dilakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk 3 menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya
diumumkan”.
Dari pasal–pasal tersebut tercermin bahwa, sanksi pidana yang dapat
diberikan kepada pelaku tindak pidana adalah berupa pidana penjara paling lama 5
(Lima) tahun atau kurungan paling lama satu tahun, serta pencabutan hak bagi pelaku
yang sedang dalam masa jabatan atau pencarian.

Selain diatur dalam Undang–Undang Hukum Pidana tentang kelalaian,


masalah kealpaan yang mengakibatkan matinya orang karena kecelakaan dalam lalu
lintas juga diatur dalam Pasal 310 ayat (4) Undang–undang nomor 22 tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal
kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengkibatkan orang lain
meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam
satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan bathin
yang tertentu, dan dilain pihak keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika
dimengertikan demikian, maka culpa (kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam
arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa
dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang
disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini
tidak ada dalam kealpaan.

3.2 Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Jika ada kesalahan, baik dalam
bentuk penulisan maupun isinya kami mohon maaf. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah untuk
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, cet. III.

Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. VII.

Moeljatno, 1993, Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT. Rineka Cipta, jakarta.

http://scholar.unand.ac.id/20870/2/BAB%20I.pdf di akses pada 5/27/2021 jam 8:39 pm

http://samalovernosasa.blogspot.com/2014/05/kealpaankelalaian.html#:~:text=Kealpaan
%20yang%20disadari.&text=Contohnya%3A%20A%20mengendarai%20mobil
%20dengan,ia%20merasa%20dapat%20menghindari%20tabrakan. Di akses pada 5/27/2021
jam 8:52 pm

Anda mungkin juga menyukai