Anda di halaman 1dari 27

Kesalahan dan Pertanggungjawaban

Pidana;
Alasan Pemaaf;
dalam KUHP Nasional
Oleh:
Dr. Chairul Huda, SH., MH
(Dosen Hukum Pidana UMJ dan UNKRIS, Penasihat Ahli Kapolri dalam
bidang Hukum Pidana)
KUHP Nasional
UU No. 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
selanjutnya disebut KUHP Nasional, mengubah peradaban Bangsa
Indonesia, yang kini didalamnya tercermin “jatidiri baru”, yang:
• Merdeka (dekolonialisasi);
• Demokratis (demokratisasi hukum pidana);
• Tertib (konsolidasi hukum pidana); dan
• Responsif (adaptasi dan harmonisasi).
Demokratis
Sebagai bangsa yang demokratis, KUHP Nasional telah meninggalkan
konsepsi aliran pemikiran klasik (classical school), seperti yang dianut
WvS/KUHP (pemikiran abad 18), melainkan beralih pada aliran Neo
Klasik, yang lebih memperhatikan kesimbangan diantara berbagai faktor;
Diantaranya adalah menjaga kesimbangan antara faktor objektif
(perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin),
sehingga dapat dikatakan KUHP Nasional mengikuti ajaran dualistis.
Dengan dilengkapi dengan pendekatan terhadap korban (victim
approach), maka diadakan perubahan besar dalam perumusan tiga
masalah mendasar dalam hukum pidana (tindak pidana,
pertanggungjawaban pidan dan pemidanaan).
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai konsekuensi dianutnya ajaran dualistis, maka hal ihwal berkenaan dengan
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dipisahkan. Namun demikin,
ajaran tentang pertanggungjawaban berpangkal tolak dari ajaran tentang
perbuatan. Artinya, terdapat korelasi yang erat diantara keduanya, terutama
terkait ketercelaan (blameworthy). Dalam hal ini ketercelaan yang ada para
seseorang yang melakukan tindak pidana sehingga dapat dipertanggungjawabkan
dalam Hukum Pidana, berasal dari ketercelaan atas tindak pidana yang
dilakukannya;
Perbedaannya tentu pada kwalifikasi ketercelaan dimaksud, ketercelaan pada
perbuatan bersifat objektif, karena melekat pada kelakukan beserta akibatnya,
sedangkan ketercelaan pada orang yang melakukannya, berisifat subjektif, yaitu
menyangkut penilaian keadaan subjektif ketika melakukan tindak pidana tersebut.
Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Dengan definisi dan korelasi tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana tersebut,
maka pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP nasional meliputi:
1. Syarat pertanggungjawaban pidana (Pasal 36);
2. Strict Liability dan Vicarious Liability (Pasal 37);
3. Kekurangmampuan bertanggungjawab (Pasal 38);
4. Ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 39);
5. Usia Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 40 dan 41);
6. Daya paksa absolut dan relatif (Pasal 42);
7. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 43);
8. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wenang (Pasal 44);
9. Pertanggungjawaban pidana Korporasi (Pasal 45 sd 50).
Umum
Syarat Pertanggungjawban Pidana
Pasal 36 KUHP Nasional dinyatakan sebagai penegasan asas tiada pidana
tanpa kesalahan (dalam penjelasan). Starat dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang dalam hukum Pidana dalah adanya kesalahan. Sayangnya,
kesalahan dalam ketentuan ini, sebatas berbentuk “kesengajaan” dan
“kealpaan”, yang menunjukkan KUHP Nasional masih berpangkal tolak pada
ajaran kesalahan secara psikologis (psychologish Schuldbegrip);
Dalam hal ini adanya hubungan antara tindak pidana yang dilakukannya
dengan keadaan psikologisnya itu, yang kemudian diakumulasikan dalam dua
keadaaan, yaitu adanya kesengajaan (kesalahan umum) atau kealpaan
(kesalahan khusus). Dengan adanya kesengajaan atau kealpaan ketika
melakukan tindak pidana, maka pembuat dapat dinyatakan “bersalah” (guity).
Pertanggungjawaban pidana kemudian diorientasikan untuk mencari dan
membuktikan adanya kesengajaan dan kealpaan itu.
Normatief Schuldbegrip
Demikian pula, pertanggungawaban korporasi tidak termasuk
pertanggungjawaban berdasar kesalahan (liability based on fault), yang
sebenarnya telah diakui dalam praktek peradilan (putusan dr. Setyaningrum, dr
Ayu dkk) dan PERMA No. 13 Tahun 2016. Dalam hal ini kesalahan bukan hanya
berarti “kesengajaan” dan “kealpaan”, tetapi berbagai indikator lain yang
berbasis pada penilaian normatif atas perbuatan yang dilakukan (normatief
schuldbegrib);
Dalam hal ini, ajaran kesalahan normatif menggunakan pangkal tolak “keadaan
psikologis” pembuat dalam menentukan ada tidaknya kesalahan, tetapi hal itu
dilihat dalam ukuran-ukuran eksternal, sehingga bersifat “normatif”. Namun
demikian, kemudian kesalahan tidak semata-mata sebagai penilaian atas
keadaan psikologis manusia, tetapi juga indikator-indikator lainnya (indikator
non psikologis), sehingga kesalahan juga dapat diterapkan bagi korporasi.
Strict Liability and Vicarious Liability
Pasal 37 KUHP Nasional menentukan Strict Liability dan Vicarious Liability.
Dilihat dari penempatannya, kedua hal ini menjadi tidak identik dengan
pertanggungjawaban korporasi. Dengan strict liability maka terbuktinya
unsur-unsur tindak pidana telah dipandang cukup untuk memidana
terdakwa, tanpa memperhatikan adanya kesalahan;
Sedangkan dengan vicarious liability maka setiap atasan/majikan
bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya/orang
yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas
perintahnya, jika UU menentukannya. Persoalannya apakah UU harus
menentukan sebagai tindak pidana tersendiri yang diadakan untuk itu
(misalnya: command responsibility dalam pelanggaran ham berat) atau
justru memang suatu bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana.
Karena bukan ditempatkan dalam pengaturan tindak pidana korporasi,
dapatkah hal ini digunakan pada tindak pidana pada umumnya (misalnya
pertanggungjawaban pers).
Kurang Mampu Bertanggung Jawab
Pasal 38 KUHP Nasional merupakan hal baru terkait dengan
konsepsi pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini tindak pidana
yang dilakukan oleh orang yang mempunyai keadaan
mental/intelektual tertentu dapat dikurangi pidananya/dikenakan
tindakan. Dalam hal ini, yang perlu dibuktikan adalah bahwa yang
bersangkutan berada dalam kategori:
1. disabilitas mental meliputi: psikososial (skizofrenia, bipolar,
depresi, anxiety dan gangguan kepribadian) dan disabilitas
perkembangan (autis dan hiperaktif);
2. disabilitas intelektual meliputi: lambat belajar, disabilitas
grahita dan down syndrome.
Tidak Mampu Bertanggung Jawab
Pasal 39 KUHP Nasional merupakan pengaturan kemampuan bertanggung
jawab. Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa:
1. tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang menyandang disabilitas
mental yang sedang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai
dengan gambaran psikotik;
2. tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang menyandang disabilitas
intelektual derajat sedang atau berat;
Yang menyebabkan dirinya tidak dapat didipidana, tetapi dapat dikenakan
tindakan. Disini masalah penilaian disabilitas mental dan intelektualnya
wewenang psikiater dari segi medis, sedangkan penentuan
pertanggungjawaban pidananya wewenang hakim;
Mestinya pasal ini ditempatkan sebelum menentukan kesengajaan atau
kealpaan sebagai syarat pertanggung jawaban pidana.
Penilaian Kurang/Tidak Mampu Bertanggung
Jawab
Penilaian adanya keadaan disabilitas mental dan intelektualnya dilakukan
dari segi medis (menjadi wewenang psikiater).Berbeda dengan Pasal 44
KUHP, Pasal 38 dan 39 sebenarnya tidak tepat menjadi bagian masalah
pertanggungjawaban pidana. Mengingat hakim tinggal mengurangi/tidak
menjatuhkan pidana, jika dokter menyatakan adanya keadaan disabilitas
mental atau disabilitas intelektual pada diri terdakwa. Wewenang hakim
untuk menilai apakah hal itu menyebabkan terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana tidak ada lagi.
Sebenarnya Pasal 38 lebih tepat ditempatkan sebagai alasan peringan
pidana dan Pasal 39 merupakan alasan penghapus pidana, diluar masalah
pertanggungjawaban pidana yang memerlukan penilaian yuridis.
Alasan Pemaaf
Usia Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 40 KUHP Nasional merupakan pengaturan alasan pemaaf, terkait usia
pertanggungjawab pidana yang ditentukan 12 tahun. Anak dibawah 12 tahun
yang melakukan tindak pidana dimaafkan, yang dapat dipandang tidak memiliki
kesalahan sama sekali (avas) dan karenanya tidak akan dimintai
pertanggungjawaban pidana, tetapi tetap diproses oleh penyidik, pembimbing
kemasyarakatan dan pekerja sosial di luar peradilan pidana (out of court
settlement), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 KUHP Nasional;
Sayangnya tidak ada lagi pengaturan seperti Pasal 45 KUHP, dimana anak (12 sd
18 tahun) tidak dipidana jika dipandang belum mampu menentukan
“kesengajaannya”. Pasal 113 ayat (3) KUHP Nasional yang menyatakan anak
dibawah 14 tahun tidak dapat dikenakan pidana dan hanya dapat dikenakan
tindakan, bukan pengaturan pertanggung jawaban pidana tetapi terkait syarat
penjatuhan tindakan bagi anak semata.
Hakekat Alasan Pemaaf
Pada hakekatnya alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan
kesalahan. Perbuatannya tetap merupakan tindak pidana, tetapi
pembuatnya dimaafkan karena perbuatan terdorong oleh suatu keadaan
tertentu dari luar yang menekan kehendaknya (involuntary). Kenyataan
anak berusia dibawah 12 tahun yang melakukan tidak pidana, tidak
dipidana tentu bukan keadaan tertentu yang berada diluar yang menekan
kehendak bebas (free will) anak dimaksud;

Dengan dimasukkannya Pasal 40 KUHP sebagai alasan pemaaf, maka


konsepsi hal itu mesti disesuaikan, karena bukan lagi keadaan lingkungan
seputar tindak pidana yang normal saja, yang menyebabkan seseorang
dikatakan tidak memiliki alasan pemaaf.
Daya Paksa
Pasal 42 KUHP Nasional menentukan alasan pemaaf, daya paksa
(overmacht), yang terdiri atas:
1. Dipaksa oleh keluatan yang tidak dapat ditahan (daya paksa
absolut), sehingga pelaku tidak memiliki free will untuk
bertindak;
2. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang
tidak dapat dihindari (daya paksa relatif), yaitu jika ancaman,
tekanan atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat
dilawan, dimana kepentingan yang dikorbankan seimbang atau
sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan.
Pembelan Terpaksa yang melampaui batas
Pasal 43 KUHP Nasional menegaskan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas sebagai alasan pemaaf, sehingga pembuat delik
tidak dipidana;
Dalam hal ini pembelaan terpaksa ini telah tidak proporsional
apabila dibandingkan dengan serangan, baik kekerasan maupun
ancaman kekerasan atau serangkan lainnya yang diterimanya atau
diterima orang lain, baik terhadap diri, kehormatan maupun harta
benda. Namun demikian, pembuat tetap dimaafkan karena hal itu
semata-mata karena kegoncangan jiwa yang hebat akibat
serangkan atau ancaman serangan itu.
Perintah Jabatan yang diberikan tanpa wenang
Pasal 44 KUHP Nasional menentukan bahwa perintah jabatan yang
diberikan tanpa wewenang, jika dilakukan dengan itikad baik
mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaanya dalam lingkup pekerjaannya, dikategorikan sebagai
alasan pemaaf, sehingga pembuat delik tidak dipidana;
Dalam hal ini pelaksana perintah jabatan yang tidak sah (tanpa
wewenang) tidak dipidana, jika:
1. Pembuat dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang
diterimanya sah. Misalnya: karena sebelumnya telah menerima
perintah serupa dari atasannya; dan
2. Tindakan yang dilakukan masih dalam ruang lingkup tugasnya,
sehingga seperti pelaksanaan tugas pada umumnya.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana
Pasal 45 KUHP Nasional menegaskan tentang korporasi sebagai
subjek tindak pidana. Dalam hal ini yang dimaksud korporasi
adalah:
1. badan hukum (perseroan terbatas, yayasan koperasi,
BUMN/BUMD, perkumpulan berbadan hukum atau yang
disamakan dengan itu);
2. perkumpulan tidak berbadan hukum (badan usaha firma, CV,
atau yang disamakan dengan itu).
Tidak jelas betul apakah partai politik atau organisasi terorisme
dapat digolongkan kedalam pengertian korporasi.
Tindak Pidana oleh Koporasi
KUHP Nasional hanya mengenal tindak pidana oleh korporasi (crime by corporation), yaitu
tindak pidana yang dilakukan oleh:
1. Pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, yaitu
orang yang mempunyai wewenang mewakili, mengambil keputusan, dan menerapkan
pengawasan terhadap korporasi tersebut, termasuk kedudukan sebagai orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana, turut serta melakukan, menggerakan orang lain supaya
melakukan tindak pidana atau membantu tindak pidana tersebut (Pasal 46),
2. Orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak
untuk dan atas nama koporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi tersebut (Pasal
46);
3. Pemberi perintah dalam korporasi (Pasal 47);
4. Pemegang kendali korporasi, setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai
penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya (Pasal 47);
5. Pemilik manfaat korporasi, yang berada di luar struktur organisasi tetapi mengendalikan
korporasi (Pasal 47).
Pembatasan Pertanggungjawaban Korporasi
Namun demikian, Pasal 49 KUHP Nasional hanya mengenakan
pertanggungjawaban korporasi kepada:
1. Pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional;
2. Pemberi perintah dalam korporasi;
3. Pemegang kendali korporasi;
4. Pemilik manfaat korporasi.

Ketentuan ini mengecualikan pertangungjawban pidana bagi “orang yang


berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak untuk dan atas nama koporasi atau bertindak demi
kepentingan korporasi tersebut” (pegawai korporasi atau orang yang
dipekerjakan oleh korporasi).
Sifat Pertanggungjawaban Korporasi
Pertaggungjawaban pidana atas tindak pidana oleh korporasi dapat
dimintakan:
1. Pengurusnya saja (korporasi sebagai pelaku dan pengurus yang
bertanggung jawab);
2. Korporasinya saja (korporasi sebagai pelaku dan juga sebagai yang
bertanggung jawab);
3. Pengurus dan korporasinya.

Tidak jelas betul apa yang menjadi kriteria sehingga pidana dan
pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan secara kumulatif kepada
pengurus dan korporasinya sekaligus;
Syarat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Syarat pertaggungjawaban pidana atas tindak pidana oleh korporasi ditentukan
dalam Pasal 48 KUHP Nasional, yaitu hanya dapat dimintakan tanggung jawab
pidana jika:
a. Termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
b. Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
c. Diterima sebagai kebijakan korporasi;
d. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak
pidana; dan/atau
e. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
Syarat…
Pasal 48 KUHP Nasional menggabungkan antara kriteria tindka pidana
sebagai tindak pidana oleh korporasi (huruf a dan c) dan syarat
pertanggungjawaban pidana korporasi ( huruf b, d dan e). Dalam hal ini
KUHP Nasional dapat dipnadang masih menganut ajaran monistis;
Padahal jika ajaran kesalahan normatif diterima dalam hal ini,
kesalahan korporasi berupakan indicator non mental element, yaitu
pelanggaran atas:
a. Standard of care (membiarkan terjadinya tindak pidana);
b. Standard operating procedure (tidak melakukan pencegahan dan
memastikan kepatuhan terhadap hukum);
c. Standard of liability (mendapatkan keuntungan dari tindak pidana);
Alasan Pembenar dan Pemaaf bagi Korporasi
Alasan pembenar dan alsan pemaaf yang diajukan oleh pengurus
yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah,
pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat dapat juga diajukan
oleh Korporasi sepanjang berhubungan langsung dengan tindak
pidana yang didakwakan kepada koporasi (Pasal 50 KUHP
Nasional);

Penerapan ketentuan ini tentunya harus dipilah secara selektif,


alasan pembenar dan alasan pemaaf dari orang perseorangan
seperti apa yang kemudian relevan untuk juga dipandang sebagai
alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi.
Sekian
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai