Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dengan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 19
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental
yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut
tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi
kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability,
vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in
causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek
tindak pidana. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas
culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya
terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pertanggungjawaban pidana?
2. Apa yang dimaksud kesalahan menurut pidana?
3. Apa saja bentul-bentuk kesalahan?
4. Apa saja teori-teori tentang kesengajaan (Dolus)?
5. Apa saja teori-teori tentang kealpaan (Culpa)?
6. Apa yang dimaksud kemampuan dan ketidakmampuan pertanggungjawaban?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam penjelasannya di kemukakan: tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru
bermakna manakala terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di pidana. Untuk dapat dipidana
harus ada pertanggungjawaban pidana.
4
subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai
pidana karena perbuatannya.
Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan
hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggung jawabkan
perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.
5
Dalam hukum pidana dikenal asas yang paling fundamental, yakni Asas "Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan" yang dikenal dengan "nulla poena sine culpa". Dari asas tersebut dapat
dipahami bahwa kesalahan menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dari suatu
subjek hukum pidana. Artinya, seseorang yang diakui sebagai subjek hukum harus
mempunyai kesalahan untuk dapat dipidana.
Adapun beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan yang pada
hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana. Pendapat-pendapat tersebut yaitu:
C. Bentuk-bentuk Kesalahan
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau
dolus dan kealpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP membuat kesalahan
dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di samping beberapa
6
tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan, misalnya saja pada Pasal 359 dan 360 KUHP
yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan
yaitu :
1. Kesengajaan (Dolus)
Dolus dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris disebut intention
yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan. Pertama-tama perlu
diketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) sendiri tidak merumuskan
apa yang dimaksud dengan opzet. Walaupun demikian, pengertisn opzet ini sangat penting,
oleh karena dijadikan unsur sebagian peristiwa pidana disamping peristiwa yang mempunyai
unsur culpa. (Kansil 2004:51)
KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan itu. Oleh
Memori van Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens
en watens yang artinya adalah menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui atau secara
agak lengkap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi
karena perbuatannya. Misal: seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya,
ia menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
2. Kealpaan (Culpa)
Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa
pada ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan
sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi. KUHP
tidak menegaskan apa arti kealpaan, sedang Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai
dua unsur yaitu:
1. Pengertian Kesengajaan
Kesengajaan (dolus/opzet) merupakan bagian dari kesalahan ( schuld ). Kesengajaan
pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibanding
7
dengan kelalaian (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu kesengajaan jauh lebih
berat, apabila dibandingkan dengan kelalaian. Isitilah kesengajaan dalam KUHP dapat
temui dalam beberapa pasal dengan penggunaan istilah yang berbeda namun makna yang
terkandung adalah sama yaitu sengaja/dolus/opzet. Beberapa contoh pasal tersebut antara
lain:
2. Teori Kesengajaan
Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang
berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
dapat disebut dua teori sebagai berikut:
8
Teori Membayangkan (Voorstellings-theorie)
Pada teori membayangkan/mengetahui ang dikemukakan oleh Frank
menjelaskan bahwa kesengajaan berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat
perbuatannya. Orang tak bisa menghendaki akibat, tapi hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau
dibayangkan oleh pelaku apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.
3. Sifat Kesengajaan
Sifat kesengajaan terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya si pelaku
melakukan tindak pidana yang melawan hukum, yaitu:
4. Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
9
menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan
diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai maksud
karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori bayangan,
sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud itu telah
mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.
Contoh: A menghendaki matinya B dengan tangannya sendiri, maka A
mencekik B hingga mati
Contoh Kasus:
Si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun
kalau dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi
Kasus peledakan kapal Thomas van Bremerhaven untuk mendapatkan uang
asuransi, namun akibat peledakan itu awak kapal mati. Meskipun kematian ini
tidak diinginkan, namun siapapun pasti tahu kalo akibat ledakan seseorang akan
mati.
10
kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang
semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut teori ini
untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
a. Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap diterima
untuk mencapai apa yang dimaksud.
Contoh kasus:
5. Macam Kesengajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal berbagai macam
kesenggajaan, antara lain:
a) Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak
pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang
lain.
b) Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
c) Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya
menghendaki matinya.
d) Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek,
misalnya menembak segerombolan orang.
e) Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan
lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
f) Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi
juga kepada akibat perbuatannya.
11
g) Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat
dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu
dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran,
seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini
berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).
1. Pengertian Kealpaan
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Tapi, para pakar
dan ahli hukum pidana membuat definisi kealpaan, yaitu “mengarahkan kehendak untuk
melakukan kejahatan, tetapi tidak mengarahkan kehendak untuk terwujudnya akibat dari
perbuatan tersebut, dan terjadinya akibat tadi merupakan hasil dari kesalahan pelanggar
karena ia dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat bahkan dapat mencegah
terjadinya akibat tersebut”.
Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan
adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada ksesengajaan. Tetapi dapat pula
dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bilaman dalam
kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul dari kehendak pelaku, maka dalam kealpaan,
justru akbiat dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya.
Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-siaft atau cirinya
adalah:
12
2. Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan
hukum.
Penjelasan tentang apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van Toelichthing
(MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang
Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan Rancngan itu terdapat penjelasan mengenai apa
yang dimaksud denga “kelalaian” adalah:
a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan
c. Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari
Di dalam peraturan atau hukum Mesir, kesalahan tidak disengaja atau kealpaan tidak
memiliki tanggung jawab pidana, kecuali pada beberapa hal. Sebagai contoh, jika
seorang polisi penjaga lalai dalam menjaga tahanan, kemudian tahanan tersebut kabur,
maka polisi penjaga tadi dikenakan sanksi pidana. Pada sanksi kesalahan ini, disyaratkan
terjadinya kejahatan dan adanya hubungan sebab-akibat, serta bahaya. Karena itu, jika
polisi penjaga lalai namun tidak menyebabkan tahanan kabur, maka penjaga terbebas
dari kesalahan pidana. Penyebab kealpaan diantaranya teledor, sembrono, lalai, tidak
hati-hati, dan lain-lain.
13
Beberapa pakar hukum pidana berpendapat tidak adanya pertanggungjawaban
pidana pada kejahatan atau tindak pidana tidak disengaja, hal ini karena pelanggar tidak
menginginkan/berkehendak akibat. Akan tetapi, faktanya bahwa kehendak manusia
dalam kejahatan itu tidak terlepas dari dosa atau kesalahan. Karena manusia diharuskan
menjauhi segala keadaan atau kesalahan yang dapat menyebabkan bahaya terhadap orang
lain. Oleh sebab itu, sebagain pakar hukum berpendapat bahwa pelanggar memiliki
tanggung jawab pidana.
2. Bentuk Kealpaan
kealpaan yang disadari (bewuste schuld): Kealpaan yang disadari terjadi apabila
si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya
suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk
mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld): Kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan
kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi
seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu
akibat tersebut.
3. Jenis-jenis Kealpaan
Kealpaan berat dan kealpaan ringan
Kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut
dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa
kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti
dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP
Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para
ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena
sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran
Buku III KUHP.
14
dalam keadaan mabuk/kurang hati-hati, kemudian dokter tersebut salah
memberikan obat pada pasien, atau ketika operasi lupa mengeluarkan alat
operasi dari tubuh pasien.
Kealpaan teknis adalah kesalahan yang dilakukan oleh para ahli dalam
bidang tertentu. Seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien namun tidak
mengikuti prosedur yang ada, atau seorang arsitek tidak melakukan prosedur
pembangunan yang ada sehingga terjadi keruntuhan. Pembagian ini juga
ditentang para ahli hukum.
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi,
dan Pengadilan Negeri.
1. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus
terpenuhi dalam mengetahui atau memastikan pelaku tindak pidana dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat dipidana. Dalam hal ini Kemampuan
bertanggungjawab pada umumnya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana,
yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada ketika melakukan tindak
pidana. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:
15
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan perbuatan yang baik dan yang buruk,
yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
dan buruknya perbuatan.
Dalam KUHP terkait dengan kemampuan bertanggungjawab seseorang bisa
dilihat pada Pasal 44 ayat (1). Selain yang diatur dalam KUHP juga ada yang diatur
dalam undang-undang lainnya yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu
bertanggung jawab, misalanya anak dibawah umum, ingatannya terganggu, daya paksa,
pembebanan yang melampui batas.
2. Ketidakmampuan Bertanggungjawab
Dalam KUHP, tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab.
Menurut Moeljatno, yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab ialah
Pasal 44 Ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang hal tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan-tindakannya, yang berbunyi:
“Niet strafbaar is hij die een feit begaat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkleing
of ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens niet kan worden toerekend”
Dalam KUHP terjemahan Moeljatno, bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah sebagai
serikut :
Menurut Memorie van Toelichting (MvT), definisi dari tidak mampu bertanggung
jawab, yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah:
Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau tidak
berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah – dengan kata lain :
dalam hal perbuatan yang dipaksa.
16
Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak
mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis (patologische drift), gila, pikiran
tersesat, dan sebagainya).
Mengacu kepada MvT, menurut Van Hammel, seperti yang dikutip oleh Jan
Remmelink, kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) adalah suatu
kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup 3 (tiga) kemampuan lainnya,
yakni (1) memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri; (2) kesadaran bahwa
tindakan tersebut secara sosial dilarang; (3) adanya kehendak bebas berkenaan dengan
tindakan tersebut
Keadaan jiwanya :
Kemampuan jiwanya :
Menurut sistem ini, apabila psychiater telah menyatakan bahwa terdakwa adalah
gila (insane) atau tidak sehat pikirannya (unsound mind), maka hakim tidak boleh
17
menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinakamakan sistem deskriptif
(menyatakan).
Disini, yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya
atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan
dengan hukum. Perumusan ini luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem
ini dinamakan normatif (mempernilai). Disini hakimlah yang menentukan.
Cara ini yang sering dipakai untuk Pasal 44 Ayat (1) KUHP. Untuk menentukan
bahwa terdakwa tidak mampu bertanggung jawab tidak cukup ditentukan
oleh psychiater atau hakim sendiri, tapi harus ada kerja sama antara psychiater dan
hakim. Psychiater menentukan adanya penyakit; sedangkan hakim mempernilai
bahwa penyakit yang ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu
melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau
tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak
pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan
pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya,
selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang
dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://makalah2107.blogspot.com/2016/05/makalah-fiqh-jinayah-tentang_13.html
http://www.gresnews.com/berita/tips/81864-pengertian-kesalahan-menurut-hukum-pidana/
http://triyadipkn.blogspot.com/2013/07/1pengertian-kesalahan-dalam-hukum-pidana.html
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/11/kesalahan-dalam-tindak-pidana.html
http://www.negarahukum.com/hukum/culpa-kealpaan.html
http://cahayailmu-syarifahnazwah.blogspot.com/2016/10/makalah-kesengajaan-dolus-dan-
hukum.html
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/
http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/kesalahan-dan-pertanggungjawaban-pidana.html
https://kanggurumalas.com/2016/02/15/gangguan-kejiwaan-dan-pertanggungjawaban-pidana-
sebuah-pemahaman-mengenai-pasal-44-ayat-1-kuhp/
http://jintujuh.blogspot.com/2014/05/kesalahan.html
20