Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dengan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Tangerang Selatan, Mei 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 3

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 4

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ................................................................. 4


B. Kesalahan Menurut Pidana ..................................................................................... 5
C. Bentul-bentuk Kesalahan ........................................................................................ 6
D. Teori-teori Tentang Kesengajaan (Dolus) .............................................................. 7
E. Teori-teori Tentang Kealpaan (Culpa) .................................................................... 12
F. Kemampuan dan Ketidakmampuan Pertanggungjawaban ..................................... 15

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 19

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental
yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut
tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi
kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability,
vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in
causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek
tindak pidana. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas
culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya
terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak


pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut
mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam
hukum pidana: “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non
facit reum nisi mens sir rea)”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pertanggungjawaban pidana?
2. Apa yang dimaksud kesalahan menurut pidana?
3. Apa saja bentul-bentuk kesalahan?
4. Apa saja teori-teori tentang kesengajaan (Dolus)?
5. Apa saja teori-teori tentang kealpaan (Culpa)?
6. Apa yang dimaksud kemampuan dan ketidakmampuan pertanggungjawaban?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan


teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak
dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa


pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang
memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau
dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau
kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah


diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku,
secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat
dikenai pidana karena perbuatannya itu.

Konsep rancangan KUHP Baru Tahun 2005/2005, di dalam pasal 34 memberikan


definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat di jatuhi hukuman pidana karena perbuatannya
itu.

Di dalam penjelasannya di kemukakan: tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru
bermakna manakala terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di pidana. Untuk dapat dipidana
harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggung jawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang


objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara

4
subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai
pidana karena perbuatannya.

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat


padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya
yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya,
tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai
istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena
bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.

Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan
hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggung jawabkan
perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.

Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan


ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggungjawab
pidana,dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi. Untuk terciptanya
tujuan tersebut, hukuman harus:

1. Memaksa seseorang untuk tidak melakukan ulang perbuatannya.


2. Menghalangi keinginan manusia untuk melakukan hal serupa, karena bayangan yang
ditimbulkan atas hasil perbuatannya akan diterimanya sebagai sesuatu yang sangat
merugikan dirinya.
3. Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus pula bersesuaian dengan hasil
perbuatannya.
4. Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukan serajat manusia.
5. Hukuman harus diterima jarimah, tidak diberati dan tidak memberati, selain pembuat
jarimah karena adanya pertalian geneokologis, kekeluarga.

B. Kesalahan Menurut Pidana


Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan keadaan jiwa
dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya. Mengenai
keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan
bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu
merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

5
Dalam hukum pidana dikenal asas yang paling fundamental, yakni Asas "Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan" yang dikenal dengan "nulla poena sine culpa". Dari asas tersebut dapat
dipahami bahwa kesalahan menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dari suatu
subjek hukum pidana. Artinya, seseorang yang diakui sebagai subjek hukum harus
mempunyai kesalahan untuk dapat dipidana.

Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan keadaan jiwa


dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya. Mengenai
keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan
bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu
merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

Adapun beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan yang pada
hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana. Pendapat-pendapat tersebut yaitu:

1. MEZGER mengatakan: kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar


untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana.
2. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal ethisch” dan
mengatakan antara lain: “Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum
pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap
perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”.
3. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan
pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya
unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab
dalam hukum”.
4. VAN HATTUM berpendapat: “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua
unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap
perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang
terdapat dapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya”.

C. Bentuk-bentuk Kesalahan

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau
dolus dan kealpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP membuat kesalahan
dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di samping beberapa

6
tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan, misalnya saja pada Pasal 359 dan 360 KUHP
yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan
yaitu :

1. Kesengajaan (Dolus)

Dolus dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris disebut intention
yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan. Pertama-tama perlu
diketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) sendiri tidak merumuskan
apa yang dimaksud dengan opzet. Walaupun demikian, pengertisn opzet ini sangat penting,
oleh karena dijadikan unsur sebagian peristiwa pidana disamping peristiwa yang mempunyai
unsur culpa. (Kansil 2004:51)

KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan itu. Oleh
Memori van Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens
en watens yang artinya adalah menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui atau secara
agak lengkap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi
karena perbuatannya. Misal: seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya,
ia menghendaki dan sadar akan perbuatannya.

2. Kealpaan (Culpa)

Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa
pada ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan
sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi. KUHP
tidak menegaskan apa arti kealpaan, sedang Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai
dua unsur yaitu:

a) Kemungkinan pendugaan terhadap akibat


b) Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.

D. Teori-teori Tentang Kesengajaan (Dolus)

1. Pengertian Kesengajaan
Kesengajaan (dolus/opzet) merupakan bagian dari kesalahan ( schuld ). Kesengajaan
pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibanding

7
dengan kelalaian (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu kesengajaan jauh lebih
berat, apabila dibandingkan dengan kelalaian. Isitilah kesengajaan dalam KUHP dapat
temui dalam beberapa pasal dengan penggunaan istilah yang berbeda namun makna yang
terkandung adalah sama yaitu sengaja/dolus/opzet. Beberapa contoh pasal tersebut antara
lain:

1. Pasal 338 KUHP menggunakan istilah “dengan sengaja”


2. Pasal 164 KUHP menggunakan istilah “mengetahui tentang”
3. Pasal 362,378,263 KUHP menggunakan istilah “dengan maksud”
4. Pasal 53 KUHP menggunakan istilah “niat”
5. Pasal 340 dan 355 KUHP menggunakan istilah “dengan rencana lebih dahulu”

2. Teori Kesengajaan
 Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang
berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
dapat disebut dua teori sebagai berikut:

 Teori Kehendak (Wilstheorie)


Pada teori ini, “kehendak” merupakan hakikat dari kesengajaan itu. Kesengajaan yang
dilakukan adalah berdasarkan kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak tersebut
menimbulkan akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang
menjadi maksud dari tindakan tersebut.

Teori tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:


 Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak
bebas. Manusia melakukan suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal,
baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
 Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi,
yang menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan
dipengaruhi oleh bakat dan milieu, manusia dapat menentukan kehendaknya
secara bebas.

8
 Teori Membayangkan (Voorstellings-theorie)
Pada teori membayangkan/mengetahui ang dikemukakan oleh Frank
menjelaskan bahwa kesengajaan berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat
perbuatannya. Orang tak bisa menghendaki akibat, tapi hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau
dibayangkan oleh pelaku apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.

3. Sifat Kesengajaan
Sifat kesengajaan terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya si pelaku
melakukan tindak pidana yang melawan hukum, yaitu:

 Kesenggajaan berwarna (gekleurd)


Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan
mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi
harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya
perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berartidolus malus, artinya sengaja untuk
berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu
bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang.

 Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)


Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa
untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang
dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan hukum.
Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui
bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.

4. Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:

 Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan.


Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku
atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi
tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada yang

9
menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan
diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai maksud
karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori bayangan,
sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud itu telah
mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.
Contoh: A menghendaki matinya B dengan tangannya sendiri, maka A
mencekik B hingga mati

 Kesengajaan dengan Sadar Kepastian.


Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila sipelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari
perbuatan pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi akibat
perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana akibat
perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya akibat
perbuatan itu.

Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat, yaitu:


1) Akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan delik tersendiri atau
bukan.
2) Akibat yang tidak diinginkan tapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai
tujuan dalam akibat pertama.

Contoh Kasus:
 Si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun
kalau dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi
 Kasus peledakan kapal Thomas van Bremerhaven untuk mendapatkan uang
asuransi, namun akibat peledakan itu awak kapal mati. Meskipun kematian ini
tidak diinginkan, namun siapapun pasti tahu kalo akibat ledakan seseorang akan
mati.

 Kesengajaan dengan Kemungkinan.


Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan dilakukannya
perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa adaya

10
kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang
semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut teori ini
untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
a. Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap diterima
untuk mencapai apa yang dimaksud.

Contoh kasus:

 Terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia


menyadari bila sebilah pedang ditebaskan pada bagian badan manusia akan
menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si
korban akan kehabisan darah, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya.
Apalagi bila pedang itu mengandung racun.
 Kasus pengiriman kue tart beracun di kota Hoorn pada tahun 1911 untuk
membunuh musuhnya. Meski akhirnya yang meninggal adalah bukan musuh yang
dimaksud namun istrinya tapi terdakwa sudah memperkirakan kemungkinan akan
ada korban lain yakni istri atau siapapun yang memakan kue taart beracun tersebut.

5. Macam Kesengajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal berbagai macam
kesenggajaan, antara lain:
a) Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak
pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang
lain.
b) Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
c) Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya
menghendaki matinya.
d) Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek,
misalnya menembak segerombolan orang.
e) Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan
lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
f) Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi
juga kepada akibat perbuatannya.

11
g) Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat
dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu
dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran,
seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini
berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).

E. Teori-teori Tentang Kealpaan (Culpa)

1. Pengertian Kealpaan
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Tapi, para pakar
dan ahli hukum pidana membuat definisi kealpaan, yaitu “mengarahkan kehendak untuk
melakukan kejahatan, tetapi tidak mengarahkan kehendak untuk terwujudnya akibat dari
perbuatan tersebut, dan terjadinya akibat tadi merupakan hasil dari kesalahan pelanggar
karena ia dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat bahkan dapat mencegah
terjadinya akibat tersebut”.

Dalam Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,


diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.”

Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan
adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada ksesengajaan. Tetapi dapat pula
dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bilaman dalam
kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul dari kehendak pelaku, maka dalam kealpaan,
justru akbiat dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya.

Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-siaft atau cirinya
adalah:

1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan


ingatan/ otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-
baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah suatu tindakan
aktif (pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.

12
2. Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan
hukum.

Penjelasan tentang apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van Toelichthing
(MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang
Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan Rancngan itu terdapat penjelasan mengenai apa
yang dimaksud denga “kelalaian” adalah:
a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan
c. Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari

Keterangan resmi pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga


diancam dengan pidana, walaupun dengan ringan, adalah bahwa berbeda dengan
kesengajaan atau dolus yang sifatnya menentang larangan justru dengan melakukan
perbuatan yang dilarang. Beberapa pakar memberikan pengertian atau syarat culpa
sebagai berikut:

Menurut Simons mempersyaratkan dua hal :


1. tidak adanya kehati-hatian
2. kurangnya perhatian terhadap kaibat yang mungkin terjadi.

Menurut Van Hamel ada dua syarat yaitu :


1. tidak adanya penduga-duga yang diperlukan
2. tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.(Teguh Presetyo 2011:106)

Di dalam peraturan atau hukum Mesir, kesalahan tidak disengaja atau kealpaan tidak
memiliki tanggung jawab pidana, kecuali pada beberapa hal. Sebagai contoh, jika
seorang polisi penjaga lalai dalam menjaga tahanan, kemudian tahanan tersebut kabur,
maka polisi penjaga tadi dikenakan sanksi pidana. Pada sanksi kesalahan ini, disyaratkan
terjadinya kejahatan dan adanya hubungan sebab-akibat, serta bahaya. Karena itu, jika
polisi penjaga lalai namun tidak menyebabkan tahanan kabur, maka penjaga terbebas
dari kesalahan pidana. Penyebab kealpaan diantaranya teledor, sembrono, lalai, tidak
hati-hati, dan lain-lain.

13
Beberapa pakar hukum pidana berpendapat tidak adanya pertanggungjawaban
pidana pada kejahatan atau tindak pidana tidak disengaja, hal ini karena pelanggar tidak
menginginkan/berkehendak akibat. Akan tetapi, faktanya bahwa kehendak manusia
dalam kejahatan itu tidak terlepas dari dosa atau kesalahan. Karena manusia diharuskan
menjauhi segala keadaan atau kesalahan yang dapat menyebabkan bahaya terhadap orang
lain. Oleh sebab itu, sebagain pakar hukum berpendapat bahwa pelanggar memiliki
tanggung jawab pidana.

2. Bentuk Kealpaan
 kealpaan yang disadari (bewuste schuld): Kealpaan yang disadari terjadi apabila
si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya
suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk
mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
 kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld): Kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan
kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi
seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu
akibat tersebut.

3. Jenis-jenis Kealpaan
 Kealpaan berat dan kealpaan ringan
 Kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut
dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa
kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti
dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP
 Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para
ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena
sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran
Buku III KUHP.

 Kealpaan materi dan kealpaan teknis


Kealpaan materi maksudnya adalah tidak memperhatikan keharusan untuk
berhati-hati atau tidak memperhatikan larangan yang ditekankan pada seseorang.
Seperti seorang dokter yang sedang memeriksa pasien dan dokter tersebut

14
dalam keadaan mabuk/kurang hati-hati, kemudian dokter tersebut salah
memberikan obat pada pasien, atau ketika operasi lupa mengeluarkan alat
operasi dari tubuh pasien.

Kealpaan teknis adalah kesalahan yang dilakukan oleh para ahli dalam
bidang tertentu. Seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien namun tidak
mengikuti prosedur yang ada, atau seorang arsitek tidak melakukan prosedur
pembangunan yang ada sehingga terjadi keruntuhan. Pembagian ini juga
ditentang para ahli hukum.

F. Kemampuan dan Ketidakmampuan Pertanggungjawaban


Kemampuan pertanggungjawaban didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa
(geestelijke vergomens) dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir
(Vansranselijke vergomens). KUHP tidak memberikan rumusan yang jelas tentang
pertanggungjawaban pidana, namun ada satu pasal yang mengarah pada
pertanggungjawaban pidana, terdapat dalam pasal 44 yang berbunyi:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi,
dan Pengadilan Negeri.

1. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus
terpenuhi dalam mengetahui atau memastikan pelaku tindak pidana dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat dipidana. Dalam hal ini Kemampuan
bertanggungjawab pada umumnya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana,
yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada ketika melakukan tindak
pidana. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

15
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan perbuatan yang baik dan yang buruk,
yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
dan buruknya perbuatan.
Dalam KUHP terkait dengan kemampuan bertanggungjawab seseorang bisa
dilihat pada Pasal 44 ayat (1). Selain yang diatur dalam KUHP juga ada yang diatur
dalam undang-undang lainnya yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu
bertanggung jawab, misalanya anak dibawah umum, ingatannya terganggu, daya paksa,
pembebanan yang melampui batas.

2. Ketidakmampuan Bertanggungjawab

Dalam KUHP, tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab.
Menurut Moeljatno, yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab ialah
Pasal 44 Ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang hal tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan-tindakannya, yang berbunyi:

“Niet strafbaar is hij die een feit begaat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkleing
of ziekelijke storing zijner verstandelijke vermorgens niet kan worden toerekend”

yang artinya : “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan


yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan akal sehatnya
yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”

Dalam KUHP terjemahan Moeljatno, bunyi Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah sebagai
serikut :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya,


disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau
terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.”

Menurut Memorie van Toelichting (MvT), definisi dari tidak mampu bertanggung
jawab, yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah:

 Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau tidak
berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah – dengan kata lain :
dalam hal perbuatan yang dipaksa.

16
 Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak
mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis (patologische drift), gila, pikiran
tersesat, dan sebagainya).

Mengacu kepada MvT, menurut Van Hammel, seperti yang dikutip oleh Jan
Remmelink, kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) adalah suatu
kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup 3 (tiga) kemampuan lainnya,
yakni (1) memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri; (2) kesadaran bahwa
tindakan tersebut secara sosial dilarang; (3) adanya kehendak bebas berkenaan dengan
tindakan tersebut

Menurut Kanter dan Sianturi, seseorang mampu bertanggung jawab


(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya:

Keadaan jiwanya :

 Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair);


 Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbicile, dan sebagainya); dan
 Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh
bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena
demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain, dia dalam
keadaan sadar.

Kemampuan jiwanya :

 Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya,


 Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan
atau tidak, dan
 Dapat mengetahui ketercelaan dari perbuatan tersebut.

Menurut Moeljatno, dalam merumuskan ketidakmampuan bertanggung jawab


(ontoerekeningsvatbaarheid) sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat
menempuh 3 (tiga) jalan, yaitu:

a. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.

Menurut sistem ini, apabila psychiater telah menyatakan bahwa terdakwa adalah
gila (insane) atau tidak sehat pikirannya (unsound mind), maka hakim tidak boleh

17
menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinakamakan sistem deskriptif
(menyatakan).

b. Menyebutkan akibatnya saja; penyatkitnya sendiri tidak ditentukan.

Disini, yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya
atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan
dengan hukum. Perumusan ini luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem
ini dinamakan normatif (mempernilai). Disini hakimlah yang menentukan.

c. Gabungan 1 dan 2 (deskriptif normatif).

Cara ini yang sering dipakai untuk Pasal 44 Ayat (1) KUHP. Untuk menentukan
bahwa terdakwa tidak mampu bertanggung jawab tidak cukup ditentukan
oleh psychiater atau hakim sendiri, tapi harus ada kerja sama antara psychiater dan
hakim. Psychiater menentukan adanya penyakit; sedangkan hakim mempernilai
bahwa penyakit yang ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya.

M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus


pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri


orang itu (inwendig), yakni :
a) Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44
KUHP)
b) Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia
dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan
penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar


orang itu (uitwendig), yaitu:
a) Daya paksa atau overmacht
b) Pembelaan terpaksa atau noodweer
c) Melaksanakan Undang-undang
d) Melaksanakan perintah jabatan

18
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang


dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang.

Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka


tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung
unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil
akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam
tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan
unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.

Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu
melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau
tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak
pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan
pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya,
selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang
dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.

19
DAFTAR PUSTAKA
http://makalah2107.blogspot.com/2016/05/makalah-fiqh-jinayah-tentang_13.html

http://www.gresnews.com/berita/tips/81864-pengertian-kesalahan-menurut-hukum-pidana/

http://triyadipkn.blogspot.com/2013/07/1pengertian-kesalahan-dalam-hukum-pidana.html

http://wardahcheche.blogspot.com/2014/11/kesalahan-dalam-tindak-pidana.html

http://www.negarahukum.com/hukum/culpa-kealpaan.html

http://cahayailmu-syarifahnazwah.blogspot.com/2016/10/makalah-kesengajaan-dolus-dan-
hukum.html

https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/

http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/kesalahan-dan-pertanggungjawaban-pidana.html

https://kanggurumalas.com/2016/02/15/gangguan-kejiwaan-dan-pertanggungjawaban-pidana-
sebuah-pemahaman-mengenai-pasal-44-ayat-1-kuhp/

http://jintujuh.blogspot.com/2014/05/kesalahan.html

20

Anda mungkin juga menyukai