Anda di halaman 1dari 11

PEPERTEMUAN 4 HUKUM WARIS ISLAM

KOPETENSI DASAR:

Mahasiswa mampu menjelaskan beberapa rukun, syarat dan sebab-sebab saling

mewarisi dalam Islam

ASPEK-ASPEK POKOK DALAM HUKUM WARIS ISLAM

RUKUN DAN SYARAT

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan

kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli

warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan

pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut

ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli

waris (Daud Ali, 1990:129). Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan

rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa

syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat ter

sebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri.

Dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh

para ulama, tiga syarat tersebut adalah:


1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya

dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.

2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal

dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing (Daud

Ali, 1990:40).

Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun

waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang

mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal

dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3

macam:

a) Mati Haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa

membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh

orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang

jelas dan nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).

Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian

yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa

pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan


sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Me

nurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat

itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat

ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertim

bangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)

berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul

perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati,

maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap

ibunya.

2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan

kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau

perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada

saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan

hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-

haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan

ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya

perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

Sebab-sebab saling mewarisi serta penghalang Waris


Indonesia sebagai sebuah negara hukum sangat menjunjung tinggi akan

pelaksanaan hukum secara universal. Hukum mengenai kewarisan (hak keban

daan) mendapat porsi dalam hukum di Indonesia. Dalam hal ini terdapat kajian

yang agak berbeda mengenai suatu ketentuan hukum yang diatur dalam hukum

Islam (hukum agama) dan hukum Perdata (hukum Nasional). Kalau dilihat dari

sumber hukum mengenai warisan, untuk hukum perdata mengacu pada KUH

Perdata buku ke-II mengenai benda. Sedangkan dari hukum Islam mengacu

pada al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 11, 12, dan 176. Dari kedua sumber yang

berbeda tersebut, tentulah pelaksanaannyapun berbeda pula. Disini akan kita

coba untuk melihat sejauhmana perbedaan yang ada, terkait dengan masalah

penyebab dan penghalang mewarisi.

A. Penyebab dan Penghalang Mewarisi dalam Perspektif Hukum Islam

Salah satu yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah

menyangkut waris yang secara gramatikal berarti “yang ditinggal atau yang

kekal”, berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang

ditinggalkan oleh si mati dan diistilahkan dengan “Ahli Waris”.

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam sebab seseorang itu

mendapat warisan dari si mayit dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Hubungan perkawinan

b. Hubungan kekerabatan

c. Hubungan memerdekakan budak


d. Hubungan agama (sesama Islam)1[1]

Ketika penyebab kewarisan ini dikemukakan Ahmad Azhar, sementara

Fatchurrahman dan Mahmud Yunus hanya mencakup pada tiga penyebab, Ali

Hasan mengemukakan dua penyebab.2[2] Memang pada prinsipnya sebab-

sebab mewarisi ada empat macam, tetapi dalam kasus tertentu dan waktu serta

geografis tertentu bisa dicukupkan pada dua macam saja.

a. Hubungan kekerabatan

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris

yang disebabkan oleh faktor kelahiran. Dalam kedudukan hukum Jahiliyah,

kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah

dewasa, kaum perempuan dan anak-anak tidak mendapat bagian. Setelah Islam

datang merevisi tatanan Jahiliyah, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan

sama dalam mewarisi, tak terkecuali pula anak yang masih dalam kandungan.

Adapun dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan

perempuan mempunyai hak yang sama :

‫ت َو ْاالَ ْق َرتُىْ َُ ٍِ ََّا‬ َ ‫َصيْةٌ ٍِّ ََا ت ََركَ ْا‬


ِ ‫ىىاىِ َد‬ ِ ّ ِ ‫ت َو ْاالَ ْق َرتُىْ َُ َوىِيِّْ َسإ‬
ِ ‫صيْةٌ ٍِّ ََا ت ََركَ ْاى َىاىِ َد ا‬
ِ َّ ‫ىِيرِّ َجا ِه‬

)7 : ‫َصيْثا ُ ٍَ ْفرُوْ ضًا (اىْسإ‬


ِ ّ ‫قَ َّو ٍِ ُْْٔ اَ وْ َمثُ َر‬

“Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut yang telah

ditentukan”.

)77 :‫ب هللا (االتفار‬


ِ ‫ْض فِى ِمتَا‬ ُ ‫َواُ وْ ىُىْ ْاالَرْ َحا ًِ يَ ِع‬
ٍ ‫ضهُ ٌْ اَ ْو ىى تِثَع‬

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah”.

b. Hubungan perkawinan (al-Mushaharah)

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling

mewarisi antara suami dan istri. Kriteria suami istri tetap saling mewarisi

disamping keduanya telah melakukan akad nikah secara syah menurut syariat,

juga antara suami istri belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari

keduanya meninggal dunia.3[3]

Adapun kedudukan istri-istri yang dicerai raj‟i dan suami lebih berhak

untuk merujuknya (perceraian pertama dan kedua) selama masa iddah, maka

iapun berhak menerima warisan.4[4]

Selain salah seorang dari suami istri menerima pusaka dari yang lain,

walaupun belum terjadi percampuran.5[5]

c. Hubungan memerdekakan budak (wala’)

Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan

hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong, namun sepertinya


sebab hubungan memerdekakan budak ini jarang dilakukan atau malah tidak

ada sama sekali.

Adapun para fuqaha membagi hubungan wala‟ menjadi 2 bagian:

1. Walaaul „Itqi atau hubungan antara yang memerdekakan (mu‟tiq) dengan

yang dimerdekakan („atieq)

Menurut jumhur fuqaha menetapkan bahwa walaaul „itqi merupakan sebab

menerima pusaka, hanya golongan Khawarij yang tidak membenarkan hal itu.

2. Walaaul Muwalah, yaitu hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia.

Menurut golongan Hanafiyah dan Syi‟ah Imamiyah dipandang sebagai sebab

mewarisi, sedang menurut jumhur ulama tidak termasuk.6[6]

Adapun bagian orang yang memerdekakan budak (hamba sahaya) adalah

1/6 harta peninggalan. Namun kondisi modern ini, dengan tidak adanya hamba

sahaya, maka secara otomatis hubungan al-Wala‟ pun hapus dari hal ini

merupakan keberhasilan misi Islam.

Selain hal-hal yang menyebabkan adanya hak untuk mewarisi, maka

sebaliknya pula ada beberapa yang menghalangi seseorang untuk menerima

warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan

dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: 1) Karena halangan kewarisan dan

2) Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab7[7]

Karena halangan kewarisan


a. Pembunuhan

Islam adalah agama yang sangat menjunjung prinsip kemanusiaan

sehingga secara tegas melarang adanya pembunuhan. Dalam kaitannya dengan

hak waris mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat

hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini terdapat dalam hadits Rasul:

ٌ ‫ْس ىِقَا تِ ٍو ٍِ َرا‬


)‫ث ( روآ ٍيل وا حَد عِ عَر‬ َ ‫ىَي‬

“Tak ada pusaka bagi si pembunuh”.

Adapun mengenai jenis pembunuhan yang menjadi penghalang

kewarisan, diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Jenis-jenis pembunuhan

disini ada lima, yaitu pembunuhan secara hak dan tidak berlawanan hukum,

pembunuhan dengan sengaja dan terencana (tanpa adanya hak), mirip disengaja

(seperti sengaja), dan pembunuhan khilaf.

Dari jenis-jenis pembunuhan tersebut ada perbedaan pendapat diantara fuqaha:

Ø Syafi‟i : Ke-5 pembunuhan tersebut menjadi penghalang kewarisan.

Ø Malikiyah : Jenis yang menghalangi kewarisan hanya terbatas pada

pembunuhan yang disengaja, pembunuhan mirip sengaja, dan pembunuhan tak

langsung.

Ø Hanafiyah : Yang menghalangi yaitu: pembunuhan dengan sengaja, mirip

sengaja, karena khilaf, dan pembunuhan dengan khilaf.


Ø Hanabilah : Pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan mirip sengaja, karena

khilaf, dianggap khilaf, pembunuhan langsung, dan pembunuhan yang

dilakukan oleh orang yang belum mukalaf.8[8]

b. Beda agama

Berlainan agama menjadi penghalang mewarisi yaitu apabila ahli waris

atau muwaris salah satunya non muslim.

Dasar hukumnya:

)ٔ‫ث ْاى َُ ْسيِ ٌُ ْاى َنا فِ َر َواالَ ْاى َنا فِ ُر ْاى َُ ْسيِ ٌُ (ٍتفق عيي‬
ُ ‫ال َيَ ِر‬

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi

harta orang Islam”.

Nabi pun telah mempraktekkan pembagian warisan dimana perbedaan

agama menjadi penghalang mewarisi, yaitu pembagian waris dari Abu Thalib.

Adapun yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwaris beda

agama atau tidak adalah pada saat muwaris meninggal.

c. Pembudakan (al-„Abd)

Bukan karena status kemanusiaannya sehingga perbudakan menjadi

penghalang mewarisi, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai

hamba sahaya. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk

menerima warisan karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Firman Allah:
)77 : ‫ب هللا ٍَثَالً َع ْثدًا ٍَ َْيُىْ ًماالَيَ ْق ِد ُر َعيَى َشي ٍْئ (اىْحو‬
َ ‫ض َر‬
َ

“Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya)

yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun (an-Nahl 75, misi

Islam kenapa perbudakan menghalangi hak) mewarisi, karena Islam sangat

menganjurkan setiap budak untuk dimerdekakan”.

d. Berlainan negara

Berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila

antara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di negara yang berbeda

kriterianya. Apabila kedua negara tersebut muslim, maka tidak menjadi

penghalang mewarisi.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa meskipun negaranya berbeda tapi apabila

sama-sama negara muslim, maka tidak menjadi masalah.

Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab

Waris Islam mengenai pengelompokan ahli waris kepada beberapa

kelompok keutamaan, misal:

- Anak lebih utama daripada cucu

- Ayah lebih dekat kepada si anak daripada kakek. Kelompok keutamaan ini

juga dapat disebabkan kuatnya hubungan kekerabatan, misal:

- Saudara kandung lebih utama dari saudara seayah atau seibu

- Saudara seayah dan seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung,

yaitu ayah atau ibu saja.


Daftar pustaka

Ilmu Waris, Drs. Fatchur Rahman

Kompilasi Hukum Islam

Hukum Islam, Prof. Dr. Daud Ali

LATIHAN,

1. Sebutkan Rukun da syarat seseorang bisa menjadi Ahli Waris?

2. Apa saja yang bisa menyebabkan hak warisnya, Jelaskan!

Anda mungkin juga menyukai