KOMPETENSI DASAR :
Sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman
Jahiliyah. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tata
ngan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga
yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul
perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang
dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam
dengan yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Selain itu
perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian ber
saudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat wa
risan sebesar 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah
sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan
untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempu
nyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia
harus laki-laki.
Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para
anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selan
jutnya suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim. Perempuan dan
anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum
Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun
firman-Nya ; bagi laki-laki ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak,
dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta
peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai
menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan
kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum
kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang
terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah
mendapat sambutan dengan tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk
diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab,
tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa oleh VOC
tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat.
Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa soal
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat di
bagi dalam dua periode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode
Islam sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah
pangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi
pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum
kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu de
ngan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der
Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah
teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru
berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh
ini merupakan reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya
terlihat dalam IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang
berbunyi: ”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan
diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka meng
hendakinya”.
dak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebu
saan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui
umum.
Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para
ceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sede
kah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut
tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama
mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan
610 untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk
Kalimantan Selatan.
pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak
sebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat. Hal
ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa soal kewa
risan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat di
bagi dalam dua periode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode
Islam sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah
pangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi
pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum
der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie
adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam
baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori
Teori ini merupakan reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya
terlihat dalam IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang
berbunyi: ”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan
diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka
menghendakinya”.
tidak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis
sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelang
asaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui
umum.
gama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para
Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor
116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk
Kalimantan Selatan.
pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak
Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan ke
pada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan
hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih
bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan),
selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat,
agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh
Pengadilan Negeri).
Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor
sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan
prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum
waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui
takan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem
bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional
yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.
kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan
hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu
kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum
ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara
nusia.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang
timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini
disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam,
yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di
satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat
An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau
aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka
aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat
ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak
menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk
Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa
rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris
(Q.S. An-Nisa’: 7). “Ini adalah ketetapan dari Allah.” (Q.S. An-Nisa’: 11).
“Syariat yang benar-benar dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 12). “Itu adalah
supaya kamu tidak sesat.” (Q.S. An-Nisa’: 176). Hukum waris adalah wajib,
seseorang. Warisan merupakan wasiat (syariat) dari Allah. Wasiat, apa pun
bentuknya, dan siapa pun yang berwasiat, wajib dilaksanakan. Apalagi ini, yang
Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-
bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan
sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada
(perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal
dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6
warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah),
1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat
ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-
laki maupun perempuan). Pada akhir surat An-Nisa', yaitu ayat 176, Allah
menyebutkan angka pecahan juga, yaitu 1/2 dan 2/3. Dari ketiga ayat ini,
diperoleh enam macam angka pecahan: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Secara
matematis, keenam macam angka pecahan ini memiliki sifat keunikan tersendiri
karena memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi pembahasan tentang hal ini
Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal
yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris
seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan
budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para
sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian
besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits,
maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti.
dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali
Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang
masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih
harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak
tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari
yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an.
Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris
untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang
mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang
maupun „ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah
berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam
susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan
orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak
boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut,
cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian
tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini
hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum
waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional
Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal
hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah,
kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan
budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak
angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan
kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam
kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum
waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau
hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau
hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-
anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini
waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan
ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat.
Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya
Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang
dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak
diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian
warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang
pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat
melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang
berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris.
“Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda
Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang
mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli
perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah.
Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang
serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku
dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah
SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut
penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang
lain.
warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang
beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti
hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum
ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai
ciptaan Allah.
sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat
dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia,
sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan
harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta
dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum
buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan
mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah
hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti
Daftar pustaka,
Latihan,
kemerdekaan?
2. Apa kelebihan kewarisan Islam dengan hukum Waris yang lain, jelaskan!