Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN PUSTAKA

I. Kajian Teoritis
A. Teori Direct Liability
Direct Corporate Criminal Liability atau biasa disebut teori
identifikasi merupakan pertanggung jawaban pidana korporasi
secara langsung. Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan
sejumlah delik secara langsung melalui pengurus yang sangat
berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan atas
nama korporasi sehingga dipandang sebagai perusahaan itu
sendiri.1 Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu,
pertanggung jawaban korporasi bersifat pertanggung jawaban
pribadi.2
Menurut teori ini, tindak pidana koporasi dilakukan langsung
melalui senior officer dan diidentifikasi sebagai perbuatan koporasi
itu sendiri, dengan demikian perbuatan senior officer diartikan
sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori ini, dalam
membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi haruslah
diidentifikasi terlebih dahulu orang yang melakukan tindak pidana
tersebut. Pertanggung jawaban pidana dapat dibebankan kepada
korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakkan oleh orang
yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut.3
Hal ini juga dikemukakan oleh Richard Card; “ the acts and
state of mind of the person are the acts and state of mind of the
corporation” yang berarti tindakan atau kehendak direktur adalah
merupakan merupakan tindakan dan kehendak korporasi. 4 Pada

1
Amanda Pinto & Martin Evans, 2003, Corporate Criminal Liability, Sweet and Maxwell,
London, hlm. 46.
2
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 154.
3
Kristian Kristian, Urgensi Pertanggung Jawaban Pidana, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Volume. 44 (Nomor 4), 2014, hlm.
4
Ibid.
dasarnya, koporasi dapat dipertanggung jawabkan pidana layaknya
orang dalam hal korporasi melakukan tindak pidana yang
mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus. Pengadilan dalam
hal ini dapat memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan
sikap batin dari pejabat tertentu adalah perbuatan dan sikap batin
dari korporasi.
Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam teori ini harus
memperhatikan dengan teliti siapa yang benar-benar menjadi otak
atau pemegang kontrol korporasi tersebut, yang berwenang
mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama
korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana
korporasi apabila tindak pidana dilakukan oleh yang memiliki
kewenangan terhadap korporasi tersebut.5
B. Teori Vicarious Liability
Vicarious Liability Doctrine sering diartikan sebagai
pertanggung jawaban pengganti yakni pertanggung jawaban
hukum dimana seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh
orang lain.6 Teori ini menekankan pertanggung jawaban pengurus
korporasi sebagai agen perbuatan dari korporasi tersebut. Doktrin
ini biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan
melawan hukum yang berdasarkan doctrine of respondeat superior.
Dalam hal ini Maxim berpendapat “qui facit per alium facit per se”
yang berarti seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu.7
Teori ini bertolak pada respondent superior, berdasarkan
pada employment principle dan the delegation principle.
Employment principle adalah bahwa majikan (employer) yang
dalam hal ini adalah korporasi merupakan penanggung jawab
utama dari perbuatan para karyawannya. Paham ini dibatasi pada
5
Ibid.
6
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 249.
7
keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung
jawab atas perbuatan pekerjanya yang masih dalam lingkup
pekerjaannya.8 Jadi, vicarious liability hanya dapat diterapkan
apabila benar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan dan
bawahan antara majikan (korporasi) dengan karyawan yang
melakukan tindak pidana dan apakah tindak pidana yang dilakukan
oleh karyawan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya.
Pertanggung jawaban pengganti merupakan pengecualian
pertanggung jawaban individu yang dianut dalam hukum pidana
berdasarkan adagium nemo punitur pro alieno delicto (tidak ada
seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain). Hamzah
Hatrik dalam bukunya mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa
umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang
bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan
undang-undanglah yang menetapkan siapakah yang dipandang
bertanggung jawab sebagai pembuat.9
Dalam hal pengklasifikasian dengan strict liability, kedua
teori ini memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
bahwa dalam vicarious liability dan strict liability keduanya tidak
mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada subjek
hukum yang dituntut pidana. Perbedaannya terdapat pada strict
liability membebankan pertanggung jawabannya langsung kepada
pelaku tindak pidana, sedangkan vicarious liability membebankan
pertanggung jawabannya tidak langsung kepada pelaku melainkan
digantikan kepada orang lain.10 Dimana dalam beberapa
pandangan, hal ini dinilai bertentangan dengan nilai morar dan asas

8
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law (Second Edition), Sweet & Maxwell,
London, 1988, hlm.44.
9
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict
Liability dan Vicarious Liability, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.30.
10
Muladi dan Dwidja Prayitno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
STHB, Bandung, 1991, hlm. 13.
keadilan karena dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan
saja, tetapi juga unsur kesalahan.
Berlakunya vicarious liability sebagai suatu pengecualian
mewajibkan ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk
kejadian atau perkara tertentu yang ditentukan secara tegas oleh
undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Disatu sisi, penerapan vicarious liability diharapkan menjadi faktor
pencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh orang
perseorangan ataupun korporasi.
C. Teori Strict Liability
Strict Liability atau absolute liability disebut juga dengan
pertanggung jawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan non-
fault liability atau liability without fault. Dalam teori ini,
pertanggung jawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana. Bahwa
seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang ( actus reus)
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat
dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai
kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi orang yang melakukan tindak
pidana yang memenuhi rumusan undang-undang mutlak dapat
dipidana.11
Menurut Paul Dobson “These are some crimes for which with
regard to at least one element of the actus reus, no mens rea is
required.”12 Dalam hal ini, strict liability diartikan sebagai
pertanggung jawaban yang ketat menurut undang-undang.
Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada
alasan - alasan sebagai berikut:13

11
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Cetakan Kedua Edisi
Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 223.
12
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm. 154.
13
Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 140.
1. Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya
peraturan-peraturan penting tertentu yang
diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.
2. Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi
sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu
(dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana
ekonomi).
3. Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan
oleh perbuatan yang bersangkutan.
Strict liability menurut Russel Heaton diartikan sebagai suatu
perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan
pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.14 Jadi
dalam hal ini, strict liability merupakan pertanggung jawaban tanpa
kesalahan (liability without fault). Ada dua tujuan utama
memberlakukan strict liability; to protect the public from dangerous
actions by creating a higher standard of care dan regulate quasi-
criminal activities in as efficient manner possible .15
Dalam kaitannya dengan korporasi, dalam teori ini korproasi
dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana atas suatu tindak
pidana yang tidak harus dibuktikan unsur kesalahannya ( mens rea),
yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Namun, teori ini
menemukan permasalahan yang pada intinya adalah apakah tindak
pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan
yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut dapat
mengakomodir banyak kejahatan yang dilakukan oleh suatu
korporasi.
II. Kajian Umum Tentang Korporasi
A. Pengertian Korporasi
14
Russel Heaton, Criminal Law Textbook
15
Paul Dobson, Crimiinal Law (Eight Edition). Thomson Sweet and Maxwell, London,
2008, hlm. 27.
Secara etmiologi, menurut Soetan K.. Malikoel Adil, Korporasi
atau corporatie (Belanda) corporation (Inggris) atau korporation
(Jerman) berasal dari kata “corporation ” dalam bahasa Latin.
Seperti halnya dengan kata - kata lain yang berakhiran “ tio” maka
”corporatio” sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata
kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada abad
pertengahan atau sesudah itu. “corporare” sendiri berasal dari kata
“corpus” (badan dalam bahasa Indonesia), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian,
akhirnya “corporation ” itu berarti hasil dari pekerjaan
membadankan; dengan kata lain, badan yang dijadikan orang,
badan yang diperoleh oleh perbuatan manusia, sebagai lawan
terhadap badan manusia yang terjadi akibat alam. 16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korporasi diartikan
sebagai:
a. Badan usaha yang sah; badan hukum;
b. Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau
beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan
sebagai satu perusahaan yang besar.17
Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi sebagai suatu badan
hasil ciptaan hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu terdiri
dari “corpus” yaitu struktur fisiknya – mengarah pada fisiknya dan
“animus” yang diberikan hukum – membuat badan hukum itu
mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan
ciptaan hukum, kecuali penciptaannya – kematiannya pun
ditentukan oleh hukum.18 Dapat diartikan bahwa korporasi merujuk
pada badan hukum yang tercipta karena perbuatan manusia di

16
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggung Jawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, hlm. 12.
17
Departemen Pendidikan Nasional: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ke-4, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 735.
18
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum (Edisi revisi), Alumni, Bandung, hlm. 110.
dalamnya membentuk suatu organ (layaknya manusia) dan tunduk
kepada hukum yang berlaku.
Kejahatan Korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh
korporasi yang dapat dihukum oleh negara baik melalui hukum
administrasi, hukum perdata, dan/atau hukum pidana. Kejahatan
korporasi dilakukan oleh mereka yang meiliki posisi penting dalam
suatu korporasi. Jika berbicara tentang kejahatan korporasi tidak
terpisah dengan kejahatan kerah putih ( white collar crime) yang
mana berarti kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kedudukan atau jabatan tertentu yang patut dihormati.
Ketika kejahatan korporasi dilakukan maka mutatis mutandis terjadi
juga kejahatan kerah putih, begitupun sebaliknya.
Perlu diketahui pula, bahwa ketika berbicara mengenai
kejahatan korporasi paling tidak ada tiga gradasi hukum. Pertama,
crimes for corporation. Kedua, crimes against corporation. Ketiga,
criminal corportions. Pada dasarnya crimes for corporation inilah
yang disebut sebagai kejahatan korporasi. Dalam hal ini dapat
dikatakan corporate crime are clearly commited for the corporate,
and not against. Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan
korporasi bukan sebaliknya. Sementara itu crimes against
corporation adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengurus
korporasi itu sendiri (employes crime). Dalam hal ini korporasi
sebagai korban dan pengurus sebagai pelaku. Sedangkan criminal
corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk untuk
melakukan kejahatan. Kosa kata lainnya adalah korporasi hanya
dijadikan sebagai “topeng” untuk menyembunyikan wajah asli
korporasi sebagai pelaku kejahatan.19

B. Korporasi sebagai subjek hukum pidana

19
Muladi dan Diah Sulistyani R.S, 2015, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi
(Corporate Criminal Responsibility), Alumni, Bandung, hlm. 20-24
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum tidak semulus
pengakuan pada pengakuan pada manusia. Banyak rintangan dan
tantangan secara teoritis atas ide atau gagasan bahwa korporasi
dapat menjadi subjek hukum. Pemikiran tentang korporasi sebagai
subjek hukum dikemukakan oleh Eddy O.S Hiariej. Menurut Eddy,
pada awalnya pembuat undang-undang berpandangan hanya
manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana. Hal
ini dapat dilihat dari sejarah perumusan Pasal 59 KUHP, terutama
dari cara bagaimana delik dirumuskan dengan adanya frasa “ hij
die” yang berarti barangsiapa. Dalam perkembangannya, pembuat
undang-undang ketika merumuskan delik turut memperhitungkan
kenyataan bahwa manusia terkadang melakukan tindakan di dalam
atau melalui organisasi dalam hukum keperdataan, sehingga
muncul pengaturan terhadap badan hukum atau korporasi sebagai
subjek hukum dalam hukum pidana.20
Korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana dari
zaman ke zaman mengalami perubahan dan perkembangan secara
bertahap, yang dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu: 21
a. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik
yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.
Pandangan ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere
non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana. Pandangan ini dianut oleh KUHP yang
sekarang berlaku di Indonesia.
b. Tahap Kedua
Tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak
pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggung jawabkan
secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata
20
Eddy O.S Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hlm. 156-157.
21
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 23.
memimpin korporasi tersebut, asal dengan tegas
dinyatakan demikian dalam peraturan itu.
c. Tahap ketiga
Tahap ini memulai adanya tanggung jawab langsung dari
korporasi, memungkinkan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggung jawabannya menurut hukum
pidana. Hal ini dikarenakan apabila pidana hanya
dijatuhkan kepada pengurusnya saja, sanksi tersebut
tidak mungkin seimbang dan hanya memidana pengurus
juga tidak menjamin bahwa koporasi tidak akan
mengulangi delik tersebut.
Di Indonesia, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum
yang dapat dipertanggung jawabkan pidana sejak tahun 1951.
Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi telah mengamini
korporasi sebagai subjek hukum. Hingga saat ini, pengakuan
korporasi sebagai subjek hukum secara tersurat belum ada di
KUHP, namun terdapat di peraturan perundang-undangan lain di
luar KUHP.

C. Pertanggung jawaban pidana korporasi


Roscoe Pound mengungkapkan bahwa “ That I shall use the
simple word “liability” for the situation whereby one may exact
legally and the other is legally subjected to the exaction. ”22 Bahwa
di dalam pertanggung jawaban atau liability terkandung makna
suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima
oleh pelaku dari seorang yang terlah dirugikan. Pandangan ini
kemudian diadopsi oleh Romli Atmasasmita yang mengatakan
bahwa, ganti rugi bergeser kedudukannya dari “hak istimewa”

22
Roscoe Pound, 1922, An Introduction to the Philosophy of Law, Oxford University
Press, London, hlm. 147
kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Oleh karena itu, konsep
pertanggung jawaban berubah dari compotition for vengeance
menjadi reparation for injury.23
Mengenai pertanggung jawaban pidana korporasi, dapat
ditemukan tiga model pertanggung jawaban. 24 Pertama, pengurus
korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung
jawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum
tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana, karena
penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik
tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang
bertanggung jawab. Model ini menyadari bahwa korporasi sebagai
pembuat namun untuk pertanggung jawabannya diserahkan
kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga
sebagai yang bertanggung jawab. Model ini memperhatikan
perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan
menetapkan pengurus yang bertanggung jawab, tidaklah cukup.
Di Indonesia, dewasa ini pemidanaan terhadap korporasi
mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi yang pada intinya menerangkan pemidanaan
terhadap korporasi secara komprehensif, seperti dalam Pasal (4)
Ayat (2) PERMA No. 16 Tahun 2013:
“(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim
dapat menilai kesalahan korporasi sebagaimana ayat (1) antara
lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat
dari tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan
Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
23
Romli Atmasasmita, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm.
79
24
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 211-212
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah
dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana”
Selain itu, penegakan hukum pidana oleh korporasi juga seringkali
berpegangan pada Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No.
PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara
Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi.
III. Kajian Umum Tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan hidup adalah
semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya
manusia dan tingkat perbuatannya, yang terdapat dalam ruang
dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup
serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.
Menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup adalah ruang yang
ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup tak
hidup di dalamnya. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 Ayat (1)
UUPLH, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup atau Delik Lingkungan
adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek
hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi
pidana, antara lain pemenjaraan dan denda dengan tujuan untuk
melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-
unsur dalam lingkungan hidup seperti satwa, lahan, dan air serta
manusia. Delik lingkungan hidup tidak hanya ketentuan pidana
yang dirumuskan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), tetapi
juga ketentuan pidana yang dirumuskan ke dalam peraturan
perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itui
ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan
atau bagian-bagiannya.25
Ketentuan pidana dalam UUPLH diatur dalam Pasal 97
sampai dengan Pasal 120. Delik lindungan dalam undang-undang
ini memuat rumusan delik materil dan delik formil.

25
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2011, hlm. 221.

Anda mungkin juga menyukai