MATA KULIAH
TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI & BISNIS
(STRICT LIABILITY DAN VICARIOUS LIABILITY)
OLEH MAHASISWA :
GELMOK SAMOSIR
19.021.121.044
1
Ungkapan atau frase ‘absolute liability’ dipergunakan untuk pertama kalinya
oleh John Salmond dalam bukunya berjudul The Law of Torts pada tahun
1907, sedangkan ungkapan ‘strict liability’ dikemukakan oleh W.H. Winfield
pada tahun 1926 dalam sebuah artikel yang berjudul ‘The Myth of Absolute
Liability’.
Barda Nawawi Arief menyatakan sering dipersoalkan, apakah strict liability
itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liablity merupakan absolute
liability.
Alasan atau dasar pemikirannya ialah :
Bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan
perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku
mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah
melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak
dapat dipidana.
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability,
artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-
undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Prinsip pertanggungjawaban
pidana mutlak ini menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan
terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban
umum atau kesejahteraan umum.
Termasuk ke dalam kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas ialah:
Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan,
“Criminal libel” atau “defamation” atau pencemaran nama baik seseorang,
dan “Public nuisance” atau mengganggu ketertiban masyarakat (umum).
Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
dalam undang-undang (statutory offence; regulatory offences; mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan
umum (public welfare offences).
2
Termasuk regulatory offences misalnya,penjualan makanan dan minuman
atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang
menyesatkan dan pelanggaran lalu-lintas
3
Di Australia tidak ada keraguan ,bahwa “the vicar’s criminal act”(perbuatan
dalam delik vicarious) dan “the vicar’s gulty mind” ( kesalahan/sikap batin
jahat dalam delik vicarious) dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat
(principal).
Berlawanan dengan di Inggris “a guilty mind” hanya dapat dihubungkan
(dengan majikan) apabila ada delegasi kewenangan dan kewajiban yang
relevan (a relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.
Selanjutnya dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah, bahwa
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya.
Hal ini terlihat dalam kasus R.v.Huggins (1730): Huggins (X) seorang sipir
penjara dituduh membunuh seorang narapidana (Y) yang sebenarnya dibunuh
oleh pelayan Huggins (Z). Dalam kasus ini Z yang dinyatakan bersalah,
sedangkan X tidak karena perbuatan Z itu dilakukan tanpa pengetahuan X.
Jadi dalam hal ini tetap berlaku prinsip mens rea. Perkecualian terhadap
ketentuan umum di atas, artinya seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan salah orang lain, ialah dalam hal tindak pidana terhadap public
nuisance (yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan gangguan substansial
terhadap penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan
dan harta benda). Dengan demikian seorang majikan (X)
dipertanggungjawabkan atas public nuisance yang disebabkan oleh
pelayannya (Y) sekalipun dalam melakukan perbuatannya itu Y tidak
mematuhi petunjuk atau perintah X.
Jadi pada prinsipnya, menurut Common Law: Seorang majikan tidak dapat
dipertanggungkjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
pelayannya. Namun ada perkecualiannya, yaitu dalam hal public nuisance dan
juga criminal libel. Dalam kedua tindak pidana ini, seorang majikan
bertanggungjawab atas perbuatan pelayan/buruhnya sekalipun secara personal
dan secara langsung tidak bersalah.
4
Menurut undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam
hal hal sebagai berikut : Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah
mendelagasian (the delegation principle). Seorang majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan
oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu
dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in
law).
Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materil/fisik (auctor fisicus) dan
majikan sebagai pembuat intelektual (auctor intellectualis).
Kasus Allen v. Whitehead (1930)
X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan
kepada Y (manajer). Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah
menginstruksikan/melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di tempat itu
yang ternyata dilanggar oleh Y.
X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act 1839 (Pasal
44). Konstruksi hukumannya demikian: “X telah mendelegasikan
kewajibannya kepada Y (manajer).
Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu kepada manajer,
maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah
makan itu”.