Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 5

MATA KULIAH
TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI & BISNIS
(STRICT LIABILITY DAN VICARIOUS LIABILITY)

Dosen : Dr. Anastasia Reni Widyastuti, SH., M.Hum

OLEH MAHASISWA :

GELMOK SAMOSIR
19.021.121.044

UNIVERSITAS DARMA AGUNG


PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
MEDAN
2021
LEMBAR JAWABAN TUGAS
Mata Kuliah Tindak Pidana Di Bidang Ekonomi & Bisnis
(Strict Liability Dan Vicarious Liability)

Soal & Jawab :


1. Jelaskan Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Doktrin Strict
Liability Dan Alasan Pemikirannya!
Jawab :
Di lihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggungjawab berdasarkan
kepada adanya unsur kesalahan (liability on fault or negligence atau fault
liability) Merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggungjawab mutlak
(no fault liability atau absolute/strict liability) yang berlaku pada jaman
masyarakat primitif.
Pada masa itu berlaku suatu rumus (formula) : ”a man acts at his peril”
berarti bahwa : perbuatan apapun yang dilakukan seseorang, bila merugikan
orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum.
Dengan perkataan lain seseorang bertanggungjawab untuk setiap kerugian
untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.
Jadi prinsip atau teori tanggung jawab mutlak lebih menitik beratkan pada
unsur ‘penyebabnya’ daripada ‘kesalahannya’.
Apabila perbuatan seseorang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, dia
diwajibkan memberi santunan (kompensasi) tanpa melihat ada atau tidak
adanya unsur kesalahan dari pelaku.
E. Sefullah Wiradipradja, menyatakan :
“Prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di
dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan ‘absolute liability’
atau ‘strict liability’. Dengan ‘prinsip tanggungjawab mutlak’ dimaksudkan
tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau
dengan perkataan lain,suatu prinsip tanggungjawab yang memandang
‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataannya ada atau tidak.”

1
Ungkapan atau frase ‘absolute liability’ dipergunakan untuk pertama kalinya
oleh John Salmond dalam bukunya berjudul The Law of Torts pada tahun
1907, sedangkan ungkapan ‘strict liability’ dikemukakan oleh W.H. Winfield
pada tahun 1926 dalam sebuah artikel yang berjudul ‘The Myth of Absolute
Liability’.
Barda Nawawi Arief menyatakan sering dipersoalkan, apakah strict liability
itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liablity merupakan absolute
liability.
Alasan atau dasar pemikirannya ialah :
Bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan
perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku
mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah
melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak
dapat dipidana.
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability,
artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-
undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Prinsip pertanggungjawaban
pidana mutlak ini menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan
terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban
umum atau kesejahteraan umum.
Termasuk ke dalam kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas ialah:
Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan,
“Criminal libel” atau “defamation” atau pencemaran nama baik seseorang,
dan “Public nuisance” atau mengganggu ketertiban masyarakat (umum).
Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
dalam undang-undang (statutory offence; regulatory offences; mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan
umum (public welfare offences).

2
Termasuk regulatory offences misalnya,penjualan makanan dan minuman
atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang
menyesatkan dan pelanggaran lalu-lintas

2. Jelaskan Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Doktrin Vicarious


Liability Dan Alasan Pemikirannya!
Jawab :
Selain doktrin strict liability dalam membahas masalah pertanggungjawaban
pidana korporasi juga dikenal sistem pertanggungjawaban pidana pengganti
adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi.
bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liablity is one where
in one person,though without personal fault,is more liable for the conduct of
another) Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan
“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts
of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.
Michael J.Allen, dalam bukunya Textbook on Criminal Law, menyatakan
pula sehubungan dengan pengertian ‘vicarious liability’ yaitu: “In the law tort
an employer is responsible for the tort of his employees acting in the course
of their employment.”
Menurut doktrin vicarious liability seseorang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban demikian
hampir semuanya ditujukan pada delik Undang-undang (statutory offences),
Dasarnya adalah : maksud pembuat undang-undang (sebagaimana dapat
dibaca dari ketentuan di dalamnya) bahwa delik ini dapat dilakukan baik
secara vicarious maupun secara langsung.
Dengan kata lain,tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious.
Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengenai hal ini.
Salah satunya adalah “employment principle” majikan( “employer”) adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang
melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya.

3
Di Australia tidak ada keraguan ,bahwa “the vicar’s criminal act”(perbuatan
dalam delik vicarious) dan “the vicar’s gulty mind” ( kesalahan/sikap batin
jahat dalam delik vicarious) dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat
(principal).
Berlawanan dengan di Inggris “a guilty mind” hanya dapat dihubungkan
(dengan majikan) apabila ada delegasi kewenangan dan kewajiban yang
relevan (a relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.
Selanjutnya dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah, bahwa
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya.
Hal ini terlihat dalam kasus R.v.Huggins (1730): Huggins (X) seorang sipir
penjara dituduh membunuh seorang narapidana (Y) yang sebenarnya dibunuh
oleh pelayan Huggins (Z). Dalam kasus ini Z yang dinyatakan bersalah,
sedangkan X tidak karena perbuatan Z itu dilakukan tanpa pengetahuan X.
Jadi dalam hal ini tetap berlaku prinsip mens rea. Perkecualian terhadap
ketentuan umum di atas, artinya seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan salah orang lain, ialah dalam hal tindak pidana terhadap public
nuisance (yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan gangguan substansial
terhadap penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan
dan harta benda). Dengan demikian seorang majikan (X)
dipertanggungjawabkan atas public nuisance yang disebabkan oleh
pelayannya (Y) sekalipun dalam melakukan perbuatannya itu Y tidak
mematuhi petunjuk atau perintah X.
Jadi pada prinsipnya, menurut Common Law: Seorang majikan tidak dapat
dipertanggungkjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
pelayannya. Namun ada perkecualiannya, yaitu dalam hal public nuisance dan
juga criminal libel. Dalam kedua tindak pidana ini, seorang majikan
bertanggungjawab atas perbuatan pelayan/buruhnya sekalipun secara personal
dan secara langsung tidak bersalah.

4
Menurut undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam
hal hal sebagai berikut : Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah
mendelagasian (the delegation principle). Seorang majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan
oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu
dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in
law).
Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materil/fisik (auctor fisicus) dan
majikan sebagai pembuat intelektual (auctor intellectualis).
Kasus Allen v. Whitehead (1930)
X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan
kepada Y (manajer). Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah
menginstruksikan/melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di tempat itu
yang ternyata dilanggar oleh Y.
X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act 1839 (Pasal
44). Konstruksi hukumannya demikian: “X telah mendelegasikan
kewajibannya kepada Y (manajer).
Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu kepada manajer,
maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah
makan itu”.

Sekian dan terimakasih.


Gelmok Samosir
NPM : 19.021.121.044

Anda mungkin juga menyukai