Anda di halaman 1dari 21

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
a. Teori Tanggung Jawab Hukum

Teori Tanggung Jawab Hukum merupakan teori yang menganalisis tentang


tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau perbuatan pidana untuk memikul biaya atau kerugian atau melaksanakan
pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya. Dalam Bahasa Indonesia, kata
tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (Salim HS dan
Erlies Septiana Nurbani, hlm.7) kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya). Menanggung diartikan sebagai bersedia memikul biaya
(mengurus, memelihara), menjamin, menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan
kewajiban. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989:899)
Menurut, hans kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan
bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau
bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti dia bertanggung jawab atas
suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan
bahwa (Hans Kelsen, 2006: 140):
“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut
kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari
kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhikarena mengantisipasi
dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”
Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari:
1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap
pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas
suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan
dengan tujuan menimbulkan kerugian;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab


atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya
atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain.
Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Menurut kamus hukum ada 2 (dua) istilah
pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state
or fact being responsible).
Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada
makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung
jawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk
kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal
yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi
yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang dengan segera atau pada
masa yang akan datang. Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan
atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan.

Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab ata Undang-Undang


yangdilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan
apapun yang telah ditimbulkannya.
Prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Liabibelity based on fault, beban pembuktian yang memberatkan penderita.
Ia baru memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya
unsur kesalahan pada pihak tergugat, kesalahan merupakan unsur yang
menentukan pertanggung jawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya
kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Pasal 1865
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa atas nama ia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peristiwa-peristiwa itu”.
b. Strict liability (tanggung jawab mutlak) yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian.
(Koesnadi Hardjasoemantri, 1988:334-335) Fungsi teori pada penelitian
tesis ini adalah memberikan arah atau petunjuk serta menjelaskan gejala
yang diamati, oleh karena itu, penelitiandiarahkan kepada ilmu hukum positif
yang berlaku, yaitu tentang tanggung jawab notaris terhadap akta yang
dibuatnya dalam hal tidak dipenuhi ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m,
undang-undang jabatan notaris.

Asas tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan merupakan asas umum yang
berlaku baik dalam hukum perdata maupun pidana. Asas ini dianut secara tegas dalam
KUH Perdata, khususnya dalam pasal 1366, 1367, dan 1365. Menurut asas ini, seseorang
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum kecuali ia telah melakukan suatu
kesalahan. Pasal 1365 KUHP yang juga dikenal sebagai “pasal tentang perbuatan melawan
hukum” mengatur bahwa empat syarat utama harus dipenuhi, yaitu: 1) Adanya perbuatan;
2) Adanya unsur kesalahan; 3) Adanya kerugian yang diterima; 4) Adanya hubungan
kausalitas antara kesalahan dan kerugian. b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung
Jawab (presumption of liability) Menurut asas ini, tergugat akan selalu dimintai
pertanggungjawaban sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Oleh karena
itu, tergugat menanggung beban pembuktian. Berdasarkan asas ini, beban pembuktian ada
pada tergugat. c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab
mutlak sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).
Profesi Notaris/PPAT tentunya memiliki bentuk tanggung jawab yang lahir karena
ada hubungan sebab akibat atas tindakan profesi jabatan yang dilakukannya berdasarkan
kewajiban dan kewenangannya. Tanggung jwab tersebut dapat berupa tanggung jawab
hukum maupun tanggung jawab moral. Tanggungjawab hukum dalam pembuatan akta
menuntut bertindak sesuai ketentuan normatif yang berlaku agar dalam menjalankan
profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan dengan tetap
merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi atau materi dari akta
sebab materi akta dan tanggungjawab atas isinya berbeda di pundak para pohak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang mengadakan perjanjian.


Namun, terkadang dalam suatu akta memuat konstruksi-konstruksi hukum tertentu
yang sebenarnya terdapat larangan untuk dilakukan di bidang hukum perjanjian. Sebagai
bentuk tanggungjawab hukum notaris dalam hal ini, notaris berkewajiban untuk
mengingatkan atau memberitahu kepada para pihak bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Hal inilah yang menekankan bahwa seorang Notaris dan
juga PPAT tidak hanya sebagai pembuat akta saja, namun juga wajib memberikan
konsultasi hukum terhadap para pihak yang menghadapnya, sebab hal ini akan berakibat
pada isi akta dan pertanggungjawabannya. Sedangkan tanggungjawab moral, dalam
menjalankan profesi dituntut agar selalu memperbaiki terhadap kekurangan yang ada
agar lebih lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang
dapat merasakan kebahagiaan. Prinsip-prinsip moral inilah yang menjadi dasar
norma kritis yang harus diletakkan dalam menjalankan profesi dalam keadaan yang
semestinya.
b.Teori Kepastian Hukum

Mengenai pemahaman kepastian hukum menurut E. Utrecht, beliau menyatakan


“Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama, adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Dan yang kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu”. (Riduan Syahrani, 1999:23) Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir
manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang
diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi
sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi
sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut untuk menjadikannya
perbuatan yang nyata atau konkrit. Kepastian dalam atau dari hukum akan tercapai jika
hukum itu berdasarkan pada undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak ada
ketentuan yang saling bertentangan. Undang-undang tersebut dibuatberdasarkan
kenyataan hukum dan undang-undang tersebut tidak ada istilah-istilah hukum yang dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ditafsirkan secara berlain-lainan. Selain itu disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti
bahwa dalam hal kongkrit kedua pihak berselisih dapat menentukan kedudukan mereka.

Selanjutnya menurut Gustav Radbruch, “Hukum dinegara berkembang ada dua


pengertian tentang kepastian hukum yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian
dalam atau dari hukum. Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari
hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan-hubungan
kemasyarakatan adalah hukum yang berguna”. (E. Utrecht, 1959: 26)

Kepastian hukum juga sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu negara
yang mampu menjamin hak dan kewajiaban setiap warga negara. Kepastian hukum secara
normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguan dan logis
tidak menimbulkan benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan yang
lainnya. Kekaburan norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan hukum, dapat
terjadi multitafsir terhadap sesuatu dalam suatu aturan. Kepastian hukum merupakan
kesesuaian yang bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian
hukum merujuk pada pelaksana tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur,
konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang
sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat. Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bias dijawab secara normatif, bukan sosiologi. (Dominikus Rato, 2010:59)
Tokoh Gustav Radbruch mengemukakan terdapat 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: (Nur Agus Susanto, 2014:219)
a. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-
undangan;
b. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan;
c. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah dilaksanakan;
d. Hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Kepastian dalam pemahaman umum memiliki arti suatu ketentuan, atau ketetapan,
sedangkan jika kata kepastian itu digabung dengan kata hukum menjadi kepastian hukum,
yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu negara yang
mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. (Teddy Evert Donald, M
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022:25) Asas dalam negara hukum dalam perundangan
tersebut yaitu kepastian hukum dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu: Pertama,
kepastian hukum dari penyelenggaraan negara, berdasarkan asas legalitas, kepatutan, dan
keadilan. (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022:25-26) Kedua,
kepastian hukum dalam suatu aturan (kepastian norma) agar tidak menimbulkan kekaburan
norma ataupun konflik norma. (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci,
2022:26) Kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas yang dimaknai oleh Sudargo
Gautama dari dua sisi, yaitu: (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci,
2022: 26)
a. Dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya
dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum;
b. Dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan
perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan
bertindak negara.
Kepastian mempunyai arti bahwa dalam hal kongkrit kedua pihak berselisih dapat
menentukan kedudukan mereka. (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih
Suci, 2022:27) Pengertian tersebut bermakna keamanan hukum berupa perlindungan untuk
kedua belah pihak yang berselisih. Sedangkan kepastian oleh karena hukum dimaksudkan
bahwa hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu dengan pihak yang lain. (Teddy
Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022: 27) Tugas hukum menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan yang kedapatan dalam pergaulan
kemasyarakatan. (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022:27)
Pendapat dari Indroharto, bahwa kepastian hukum mengharuskan hukum objektif
yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati. (Teddy Evert Donald, M
Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022: 28) Hal tersebut lebih menekan pada kepastian
norma hukum. Kepastian norma hukum ini harus diciptakan oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan dengan berdasarkan asas legalitas, kepatutan, dan keadilan. (Teddy
Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022:28) Kepastian hukum dalam
perundang-undangan mengandung pengertian dalam hal substansi hukum dan dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

norma hukum agar perundang-undangan yang dibuat berkeadilan dan bermanfaat. (Teddy
Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022: 28)
Val Apeldorn mengemukakan dua pengertian mengenai kepastian hukum sebagai
berikut (Teddy Evert Donald, M Khoidin, Ivida Dewi Amrih Suci, 2022:28):
a. Kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-
masalah konkrit. Dengan dapat ditentukan masalah-masalah konkrit, pihak-pihak
yang berperkara sudah dapat mengetahui sejak awal ketentuan-ketentuan apakah
yang akan dipergunakan dalam sengketa tersebut;
b. Kepastian hukum berarti perlindungan hukum, dalam hal ini pihak yang bersengketa
dapat dihindari dari kesewenang-wenangan penghakiman.

B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Notaris
Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris yang dikenal sekarang ini merupakan
pejabat umum yang berwenang untuk memuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang. Setelah mengetahui pengertian Jabatan Notaris, juga
perlu diketahui mengenai perkembangan notariat sampai dengan masuknya lembaga
notariat ke Indonesia.
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-
11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di
Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri Notaris yang
diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima
uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Namun untuk mengetahui asal
dari lembaga notariat, para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian
sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan pendapat
mengenai hal itu. (G.H.S.Lumban Tobing, 1983:3-4)
Notariat di Italia sebagai pengabdian kepada masyarakat umum. Namun
notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu “Notarius” yang merupakan golongan
orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Sebelum
penggunaan nama notarius, ada beberapa nama yang pernah digunakan, yaitu:
(G.H.S.Lumban Tobing, 1983:3-4)
a. Notariil
Pada abad ke-2 dan ke-3 sesudah masehi sebelum nama notarius, dikenal
dengan nama “Notarii” yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian untuk
mempergunakan tulisan cepat atau sekarang ini dikenal sebagai “Stenografen”.
Nama Notarii awalnya diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau
menuliskan pidato yang dahulu diucapkan oleh Cato dalam senaat Romawi
dengan menggunakan tanda-tanda kependekan, yang lalu berkembang menjadi
menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan dalam konsorsium kaisar pada rapat
yang membahas tentang kenegaraan.
b. Tabeliones
Selain nama Notarii, pada permulaan abad ke-3, juga dikenal dengan nama
“Tabeliones”, yang dalam pekerjaannya mempunyai beberapa persamaan yaitu untuk
membuat akta-akta dan lain-lain surat untuk kepentingan masyarakat umum, walaupun
jabatan atau kedudukan mereka tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak
ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan suatu formalitas yang
ditentukan oleh undang- undang. Akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh tabeliones
tidak mempunyai kekuatan sebagai akta otentik sehingga hanya mempunyai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan.
c. Tabulari
Nama “Tabulari”, juga dikenal sebagai pegawai negeri yang mengadakan
dan memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan pengawasan terhadap arsip-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

arsip dari mengisrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada, hal ini
menimbulkan persaingan dengan tabeliones. Para tabeliones yang diangkat
menjadi Notarii mempunyai kedudukan yang lebih terhormat di mata rakyat
sehingga banyak tabeliones yang menjadi Notarii walaupun tanpa pengangkatan,
maka nama “Tabelio” menjadi “Notarius”.
Lembaga Notariat yang berada di Italia Utara, dibawa ke Perancis dan pada
abad ke-13 mencapai puncak perkembangannya. Raja Lodewijk De Heilige banyak
berjasa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang Notariat, hal
tersebut dapat dilihat dengan diundangkannya undang-undang di bidang Notariat pada
tanggal 16 Oktober 1791 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang 25 Ventosa
an XI (16 Maret 1803). Sejak diundangkannya undang-undang tersebut, Notaris
menjadi “ambtenaar” dan berada di bawah pengawasan “Chamber Des Notaires”.
Pelembagaan Notariat yang pertama ini, dimaksudkan untuk memberi jaminan
yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh karena tidak boleh dilupakan,
bahwa Notariat mempunyai fungsi yang harus diabaikan bagi masyarakat umum dan
tidaklah dimaksudkan oleh undang- undang untuk memberikan suatu kedudukan yang
kuat bagi notariat itu sendiri, akan tetapi untuk kepentingan umum. Peraturan
kelembagaan Notariat di Perancis kemudian dibawa ke Belanda dan berlaku di
Belanda berdasarkan dua dekrit kaisar, dimana pada saat itu Belanda berada dalam
kekuasaan Perancis sehingga peraturan perundang-undangan mengenai Notariat juga
berlaku di Belanda.
Setelah lepas dari kekuasaan Perancis pada Tahun 1813 peraturan tersebut tetap
ada. Adanya desakan dari rakyat Belanda maka dibentuklah suatu peraturan
perundang-undangan nasional tentang Notariat yang sesuai dengan masyarakat
Belanda maka dikeluarkanlah Undang-Undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned.Stb. No. 20)
tentang Jabatan Notaris namun isinya merupakan perubahan-perubahan dari peraturan-
peraturan “Ventosewet”.
Lembaga Notariat masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke 17 dari
Belanda. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah Notaris pertama di Indonesia yaitu
“Melchior Kerchem” oleh Gubernur Belanda saat itu yaitu Jan Pieterz Coen, setelah
pengangkatan Notaris pertama di Indonesia pada tahun 1620, lambat laun jumlah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Notaris di Indonesia terus bertambah. Sejak masuknya Notariat di Indonesia sampai


dengan Tahun 1822, Notariat hanya diatur dengan dua Reglemen yaitu Tahun 1625
dan Tahun 1765, lalu pada Tahun 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie Voor De
Notarissen In Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal, yang merupakan resume dari
peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Pada Tahun 1860, pemerintah Belanda
menganggap sudah waktunya bagi bangsa Indonesia untuk sedapat mungkin
menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai Jabatan Notaris maka diundangkanlah
Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) Tanggal 26 Januari 1860 (Stb. No.
3) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1860.
Peraturan-peraturan yang mengatur mengenai Notaris di Indonesia tersebut
setelah sekian lama dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, oleh karena itu, perlu untuk diadakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang
yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum,
yang berlaku bagi semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru maka
peraturan-peraturan yang mengatur mengenai Notaris dicabut dan dinyatakan sudah
tidak berlaku lagi, peraturan-peraturan tersebut adalah: (Pasal 91 Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)
a. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah
diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
b. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris;
c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 700);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
2. Tinjauan Tentang Akta Notaris
Akta sebagai surat bukti yang sengaja diadakan sebagai alat pembuktian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat modern ini, dimana
akta sebagai dokumen tertulis yang dapat memberikan bukti akan peristiwa hukum
yang menjadi dasar dari hak atau perikatan.
a. Definisi Akta
Menurut S. J. Fachema Andreae, kata akta berasal dari bahasa latin “acta”
yang berarti “geschrift” atau surat. (Suharjono, 1995:128) Menurut R. Subekti dan
R. Tjitro Sudibio, kata akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak
dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-
perbuatan. (Suharjono, 1995:128) Menurut A. Pitlo, seorang ahli hukum,
mengemukakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk
keperluan siapa surat itu dibuat. Perbuatan hukum yang dimuat dalam Akta Notaris
bisa mengandung cacat yuridis, yang dapat mengakibatkan kebatalan Akta tersebut
dan tanggung jawab Notaris baik yang bersumber dari Undang-Undang Jabatan
Notaris, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. (Milena Trgovcevic, 2011:138)
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. (Sudikno
Mertokusumo, 1981:110) Dari beberapa pengertian mengenai akta oleh para ahli
hukum, maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi
syarat-syarat: (Suharjono, 1995:129-130)
a. Surat tersebut harus ditandatangani, hal ini untuk membedakan akta yang satu
dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Tanda tangan
berfungsi untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah akta;
b. Surat harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau peristiwa,
yaitu pada akta harus berisi suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang
diperlukan;
c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti, maksudnya dimana di dalam
surat tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang
dapat menimbulkan hak atau perikatan.
b. Macam-macam Akta
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ada dua macam akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan, yang
menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1867 KUHPerdata yaitu pembuktian
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-
tulisan di bawah tangan. Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut,
sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bahwa akta otentik merupakan sebutan
yang diberikan kepada pejabat tertentu dikualifikasikan sebagai pejabat umum,
seperti akta otentik tidak saja dibuat oleh notaris, misalnya juga oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat lelang, dan pegawai kantor catatan sipil.
(Habib Adjie, 2013)
Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk
dapat suatu akta memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi
ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu
:
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan) seorang
pejabat umum, yang berarti akta-akta Notaris yang isinya mengenai
perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan Notaris sebagai
pejabat umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta
tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditanda-tangani oleh para
penghadap (comparanten);
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang Notaris
hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya didalam daerah hukum
yang telah ditentukan baginya. Jika Notaris membuat akta yang berada di
luar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
Notaris mempunyai 4 (empat) kewenangan sehubungan dengan pembuatan
akta, yaitu: (Suharjono, 1995:40)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang


dibuatnya. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat akta akan tetapi
seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta tertentu yang ditugaskan
atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk
kepentingan siapa akta tersebut dibuat. Seorang Notaris tidak berwenang
untuk membuat akta yang ditujukan kepada Notaris sendiri,
istrinya/suaminya, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa batas, serta garis
keturunan ke samping derajat ke tiga, serta menjadi pihak untuk untuk diri
sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun perantaraan kuasa, hal
tersebut untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan
jabatan;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat. Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah
jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan Notaris berwenang
untuk membuat akta otentik sedangkan akta yang dibuat di luar daerah
jabatannya maka aktanya menjadi tidak sah;
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuat akta itu.
Sebab Notaris tidak berwenang untuk membuat akta apabila Notaris masih
cuti atau telah dipecat dari jabatannya serta sebelum melaksanakan sumpah
jabatan Notaris tidak berwenang untuk membuat akta.

3. Syarat-syarat Aspek Formal dalam Pembuatan Akta


Dalam pembuatan perjanjian yang terjadi melalui akta tentunya akan dihadapkan
oleh pejabat yang mengurus mengenai perjanjian tersebut. pejabat berwenang dalam
membuat perjanjian tersebut adalah Notaris. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan dari Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris yang (Selanjutnya disebut UUJN) “Notaris merupakan Pejabat umum yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berwenang untuk membuat Akta Autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam UndangUndang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya”.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang UUJN
Akta Notaris atau Akta Autentik adalah Akta yang dibuat dihadapan Notaris dengan tata
cara atau bentuk berdasarkan Undang-Undang. Akta Autentik sendiri sudah atur juga di
dalam Burgelijk Wetboek yang selanjutnya akan disebut BW pada Pasal 1868 “Akta
Autentik ialah suatu Akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk di tempat
dimana Akta dibuatnya. Akta Autentik sendiri dibuat untuk menciptakan adanya kepastian
hukum maupun perlindungan hukum bagi para pihak. Adapun Unsur-unsur yang terdapat
didalam Pasal 1868BW:
a. Bahwa Akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut Hukum;
b. Bahwa Akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; dan
c. Bahwa Akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat
dimana dibuat.
Akta sendiri memilik 2 (dua) bentuk, bentuk pertama adalah Akta yang Autentik
yang kedua Akta dibawah tangan. Akta Autentik berisikan kebenaran yang sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh para pihak kepada notaris. Notaris wajib membuat Akta
Autentik yang sesuai dengan keinginan para pihak. Ghansan Anand dan Agus Yudha
Hernoko, 2017: 16).
Akta Autentik sendiri memiliki sifat pembuktian yang kuat secara formill, lahiriah,
maupun materiil. Yang dimaksud dengan kekuatan hukum formil adalah Tanggal dan
tempat Akta dibuat serta keaslian tanda tangan dalam Akta adalah benar dan berlaku bagi
setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Kekuatan materill maksudnya adalah isi
dari Akta tersebut adalah benar dan berlaku bagi setiap orang. Kekuatan secara lahiriah
maksudnya adalah Keterangan dalam Akta Autentik tersebut adalah benar dan berlaku
bagi setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Dalam Menjalankan tugasnya
membuat Akta Autentik, seorang notaris wajib menjalankan ketentuan dalam Undang
Undang Jabatan Notaris. Notaris diwajibkan untuk bertindak jujur, seksama, mandiri,
tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak terkait dalam perbuatan hukum sesuai
dengan pasal 16 ayat (1) UUJN. Oleh karena itu notaris dalam membuat Akta notaris
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tersebut harus bertindak hati-hati dan menjalakan sesuai prosedur yang ada dan juga harus
sesuai syarat yang ada.(Tan Khong Kie, 2007: 44).
Prosedur yang dimaksud dalam pembuatan Akta notaris adalah meminta dokumen-
dokumen atau surat-menyurat yang diperlukan untuk dituangkan dalam Akta. Akta
autentik sendiri memiliki 2 (dua) syarat yaitu syarat formil maupun syarat materiil, syarat
formil sebuah akta sendiri sudah diatur didalam Pasal 38 UUJN, sedangan syarat
materiilnya harus sesuai dengan syarat sah sebuah perjanjian yaitu di Pasal 1320 BW. Jika
ada salah satu syarat formil tidak dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 41 UUJN, Akta
tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian dibawah tangan. Jika syarat materilnya
tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat dibatalkan maupun batal demi hukum Mengenai
akibat hukum Akta Notaris apabila terjadi cacat pada Akta tersebut, maka terdapat
beberapa akibat yang dapat terjadi pada Akta tersebut, yaitu Akta tersebut dapat
dibatalkan, batal demi hukum, Akta terdegradasi, atau bisa saja menganganti ganti rugi.
(Pitlo, 1986: 55)
Adapun syarat formil pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut (Endang
Purwaningsih, 2015: 16-17) :
(1) dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
(2) dihadiri oleh para pihak
(3) kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat
(4) dihadiri oleh 2 orang saksi
(5) menyebut identitas notaris, penghadap dan para saksi
(6) menyebut tempat, dan waktu pembuatan akta
(7) notaris membacakan akta di hadapan penghadap dan saksi-saksi
(8) ditandatangani semua pihak
(9) penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagan penutup
akta
(10) kedudukan Notaris didaerah kabupaten atau kota; dan adapun syarat materil
pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut:
a. berisi keterangan kesepakatan para pihak
b. isi keterangan mengenai perbuatan hukum
c. pembuatan akta sengaja dibuat untuk pembuktian.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sudah dijelaskan sebelumnya suatu Akta dianggap autentik apabila :


1) Jika Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang;
2) Akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang;
3) Pejabat umum itu berwenang untuk membuat Akta tersebut sesuai dengan tempat
dimana Akta itu dibuat.
Terdapat beberapa akibat hukum mengenai Akta notaris yang mengalami cacat
hukum yaitu:
1. Akta tersebut batal demi hukum;
2. Akta tersebut dapat dibatalkan;
3. Akta Terdegradasi atau Akta menjadi Akta dibawah tangan.
Batal Demi Hukum disini maksudnya adalah Perbuatan hukum yang dilakukan
tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut, dalam pratiknya
batal demi hukum didasarkan oleh putusan pengadilan yan telah memiliki kekuatan
hukum tetap. Menurut Pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang diperbolehkan. Keduanya sering disebut sebagai syarat
objektif untuk sahnya sebuah perjanjian. Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak
dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan atau tidak dapat dinilai dengan
uang, atau tidak mungkin dapat dilakukanm menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang
jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Akta Notaris
wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang hal ini merupakan
karakter dari sebuah Akta Notaris. Sedangkan dapat dibatalkan adalah perbuatan hukum
yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana
pembatalan atau pengesahan perbuatan tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang
menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat
dibatalkan tetap berlaku dan mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap yang membatalkaan Akta tersebut.

4. Kewajiban Notaris dalam Pembuatan Akta PPJB

Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan


negara di bidang hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (Akta
Notaris). Dalam pembuatan Akta Notaris baik dalam bentuk Partij akta maupun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Relaas Akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap Akta yang dibuatnya


mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di
Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para
pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut sangat penting
agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki otentisitasnya sebagai
akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.
Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu: (Mudofir Hadi, 1991:142-
143)
a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat
diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya
salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta
asli;

b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat berita
acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat;
c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang
menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata
kemudian tidak benar.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan
dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai
alat bukti. Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut batal
demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Suatu Akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat dituntut
untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena
kesalahan Notaris namun dalam hal pembatalan Akta Notaris oleh pengadilan tidak
merugikan para pihak yang berkepentingan maka Notaris tidak dapat dituntut untuk
memberikan ganti rugi walaupun kehilangan nama baik. Seorang Notaris baru dapat
dikatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum apabila akta otentik yang dibuatnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan atau dibuat dihadapannya telah memenuhi syarat formil.


5. Tinjauan Tentang Kode Etik Notaris
Pengertian etika berasal dari kata “etos” yang berarti kesusilaan, yang berasal
dari suara batin manusia yang memberi pengaruh keluar dan etika adalah filsafat moral
yang berasal dari kata “mores” yaitu adat istiadat, dimana adat istiadat berada di luar
manusia serta memberi pengaruh ke dalam sehingga secara umum arti etika adalah
prinsip-prinsip tentang sikap hidup dan perilaku manusia dan masyarakat. (F.Sukemi,
1988:154)
Kode etik Notaris adalah tuntutan atau pedoman moral atau kesusilaan Notaris
baik selaku pribadi maupun pejabat umum yang diangkat pemerintah dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kode Etik Notaris
adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar keputusan kongres
perkumpulan dan atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh
setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris
Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.
Pengaturan mengenai Kode Etik Notaris diperlukan sebab untuk mencegah atau
dapat dikatakan sebagai pegangan Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebab
seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya sering mendapat banyak tantangan
seperti ingin cepat memperoleh uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, hal
tersebut akan berpengaruh terhadap setiap akta yang dibuatnya dan juga berpengaruh
terhadap masyarakat yang menggunakan jasa Notaris.
Notaris berkewajiban untuk mempunyai sikap, perilaku, perbuatan atau
tindakan yang menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga Notariat dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat Notaris, dan dilarang melakukan yang
sebaliknya yang dapat menurunkan citra, wibawa maupun harkat dan martabat Notaris.
Pengawasan dan penegakan Kode Etik Notaris dilakukan dengan cara sebagai berikut:
(F.Sukemi, 1988:7-9)
a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kehormatan Daerah yaitu pada tingkat kota atau kabupaten yang bertugas untuk:
1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota
dalam menjunjung Kode Etik;
2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan
Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada
tingkat pertama;
3. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Daerah atas
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Wilayahyaitu pada tingkat propinsi, dengan tugas :
1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota
dalam menjunjung Kode Etik;
2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan
Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada
tingkat banding dan dalam keadaan tertentu pada tingkat pertama;
3. Memberikan saran atau pendapat kepada Majelis Pengawas Wilayah dan/atau
Majelis Pengawas Daerah atas dugaan pelanggaran Kode Etik.
c. Pada tingkat akhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Pusat, yaitu pada tingkat nasional, yang bertugas:
1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota
dalam menjunjung Kode Etik;
2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan
Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada
tingkat akhir dan bersifat final.
3. Memberikan saran atau pendapat kepada Majelis Pengawas serta dugaan
pelanggaran Kode Etik.
Jika terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris maka akan dijatuhkan
sanksi yang disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh anggota. Pasal 1 ayat (8) Kode Etik Notaris INI menegaskan bahwa bila
notaris melakukan pelanggaran kode etik maka akan ditindak lanjuti oleh penegak
Kode Etik Notaris INI yaitu Dewan Kehormatan Notaris. (Latifah, 2021:146)
Sanksi yang dikenakan dapat berupa: (F.Sukemi, 1988:11)
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari anggota perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari anggota perkumpulan.
Adanya Kode Etik Notaris diharapkan Notaris dalam menjalankan jabatannya
mempunyai perilaku yang baik dan tidak tercela, tidak mengabaikan keluhuran martabat
serta melakukan kesalahan-kesalahan lain baik di dalam maupun diluar tugas menjalankan.

C. Kerangka Berpikir
Pasal 28 D Ayat 1
UUD 1945

Pihak
Pihak Pihak Notaris.
Penjual 1
Penjual 2 Pembeli

Pembuatan akta perjanjian pengikatan


jual beli oleh Notaris Tidak
sesuai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Undang-Undang
Perubahan Jabatan
Notaris

Apa aspek formal yang dilanggar Apa akibat hukum Akta Notaris
dalam pembuatan akta Notaris yang tidak memenuhi aspek formal
dalam Studi Putusan perdata pembuatan akta
no.28/pdt.G/2022/PN.Krg ?

Teori Tanggung
Teori Kepastian Hukum
Jawab Hukum

AKIBAT
HUKUM

Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran


Keterangan:
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 Ayat (1) huruf d
menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Berasal dari ketentuan pasal
tersebut, yang membuat Penulis mengkaji bahwa adanya ketidaksesuaian yang terjadi. Pihak
Penjual 1, Pihak Penjual 2, serta Notaris diduga bersekongkol merugikan Pihak Pembeli terhadap
jual beli tanah serta bangunan yang ditindaklanjuti pembuatan Akta Pengikatan Perjanjian Jual
Beli yang dibuat oleh Notaris.
Akta Pengikatan Perjanjian Jual Beli yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak sesuai dengan
Undang-Undang Jabatan Notaris. Ketidaksesuain itu membuat Penulis lebih mengkaji terkait
pertanggungjawaban Notaris terhadap pembuatan Akta Pengikatan Perjanjian Jual Beli dan akibat
hukum terhadap Akta Pengikatan Perjanjian Jual Beli yang memuat keterangan tidak benar.

Anda mungkin juga menyukai