Anda di halaman 1dari 7

RESUME

PUNISHMENT (HUKUMAN)
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Ronaldi Silalahi (1191004012)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


KONSENTRASI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS BAKRIE
2020
PUNSIHMENT (HUKUMAN)

Dalam kehidupan kita sehari-hari kata “hukuman” sudah menjadi sesuatu yang biasa kita
dengar. Tentunya tidak tidak orang yang mendapat hukuman tanpa sebab ataupun tanpa
melakukan sebuah pelanggaran baik itu hukum/aturan. Dengan arti bahwa secara umum
hukuman itu berlaku ketika seseorang ataupun kelompok melanggar hukum/aturan yang berlaku.
Dalam aktivitas apapun kecuali yang berhubungan dengan perang, tentunya negara
mengekespresikan suatu paksaan yang begitu jelas dalam praktikum hukuman. Artinya bahwa
negara berhak menerapkan hal tersebut ketika adanya pelanggaran dalam praktik hukum dan
dalam legitimasi suatu negara bahwa suatu hukuman dapat dibedakan atas kekerasan sewenang.
Disamping itu, ada dua teori yang mendominasi tentang hukuman yaitu : retributivisme dan
konsekensialisme yang kemudian muncul kritik terhadap teori tersebut dimana untuk
Retributivisme mensyaratkan bahwa hanya yang bersalah mendapat hukuman (dihukum),
sedangkan dalam Konsekuensialisme bahwa hukuman yang dibenarkan jika ia memiliki efek
positif pada lingkungan dengan mengurangi tindakan kejahatan (misalnya melalui rehabilitasi,
pencegahan, dll).

Max Weber berpendapat bahwa “Negara” adalah suatu entitas yang koersif yang artinya
negara berhasil memerintahkan segala monopoli atas penggunaan kekerasan secara sah dalam
wilayah tertentu. Sangat jelas bahwa suatu negara menghukum warganya secara paksa
(memaksa) dan meskipun banyak orang tidak memiliki catatan kasus kriminal, akan tetapi
ancaman hukuman ini mempengaruhi dan mengkondisikan perilaku setiap orang. Disamping itu,
negara juga tetap mengkalim bahwa negara mempunyai hak untuk menghukum yang artinya
adalah bahwa hukuman tersebut tidak hanya sewenang-wenang diterapkan akan tetapi harus
tetap dipertimbangkan. Dalam penjelasan tersebut tentunya muncul pertanyaan, “mengapa
hukuman?, apa yang dibenarkan dan dibahas dalam hukuman?”

Memang ada perbedaan konsep yang diterapkan oleh para ahli teori politik mengenai
hukuman. Kita tahu bahwa hukuman sering sekali kita temukan dan di diskusikan dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa orang mungkin tidak mendefinisikan secara abstrak, akan tetapi
lebih menyamakan bahwa hukuman itu ibarat dengan sebuah penjara, atau dikenai denda atau
diharuskan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, meskipun banyak orang-orang
yang tidak ragu untuk menerima dan melakukannya, akan tetapi kadang-kadang ada orang yang
tidak melakukan kesalahan apapun atau tidak bersalah lalu dihukum dan hal tersebut sangat
keterlaluan. Hal tersulit dalam pembenaran untuk hukuman adalah mencegah kejahatan. Namun
jika kita memperhatikan, ada situasi dimana mencegah hukuman untuk orang yang tidak bersalah
mungkin akan dibenarkan (meskipun kebanyakan orang percaya bahwa dia bersalah, akan tetapi
fakta berbeda dengan kepercayaan) oleh karena itu suatu hukuman tidak bisa didefinisikan
sebagai suatu hukuman penderitaan dalam negara atas orang yang bersalah. Lalu bagaimana kita
dapat mendefinisikan hukuman yang sudah terikat dengan mengapa kita harus menghukum
dimana ada yang mengatakan bahwa kita tidak dapat beroperasi dengan defenisi hukum netral
yang secara moral dan sederhana.

Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat mempertimbangkan apa yang dapat


membenarkan suatu hukuman dengan perlakuan/perbuatan yang dilakukan dan bagaimana
prosesnya berlangsung. Secara tradisional, ada dua teori yang mendasar/mendomiasi tentang
hukuman yaitu : Retributivisme dan Konsekuensialisme.

1. Retributivisme ( the crude version)

Dalam teori ini, adanya slogan yang digunakan oleh orang-orang “mata diganti
dengan mata dan gigi dengan gigi”. Bahwa hukuman adalah “payback” (membayar
kembali” atau dalam bahasa yang lebih filosofis yaitu “Restitusi” dimana sebuah kata
yang berfokus pada gagasan untuk membayar hutang. Asal mula doktrin mata diganti
dengan mata – merupakan sebuah doktrin yang yang dapat ditemukan dalam ajaran
agama monoteistik : Yudaisme, Kristen, dan Islam. Maksudnya adalah seharusnya tidak
boleh ada mata diganti dengan mata begitupun dengan gigi diganti dengan gigi. Karena
aturan mata diganti mata berarti bahwa suatu hukuman hanya dapat dijatuhkan oleh
otoritas yang dibentuk. Hukuman bukanlah menjadi masalah pribadi dan itu harus
proporsional serta dimaksudkan untuk mematahkan/menyelesaikan bukan malah untuk
melanjutkan terhadap siklus kekerasan. Dari teori ini kita memperoleh suatu konsep Lex
Talionis yaitu yang menjelaskan kesetaraan antara kejahatan dan hukumkan. Dalam versi
teori Retributivisme lebih canggih sehingga tidak perlu menggunakan identitas kualitatif :
bahwa hukuman tidak perlu membutuhkan ‘mata untuk mata’ secara harafiah. Bahkan
dalam klarifikasi ini, teori Retributivisme terlihat tidak hanya sekedear balas dendam
meskipun itu dilakukan oleh para otoritas yang tepat dan bukan oleh individu.
Contohnya adalah ganti rugi. Berpikir secara lgika, mengeksekusi seorang pembunuh
tentunya tidak akan bisa mengembalikan korban yang telah dibunuh. Selain itu tidak
adanya korelasinya natara kejahatan hukuman. Misalnya adalah bagaimana bisa anda
menghukum seorang yang berkhianat, atau pelanggaran kontrak? Tidak adanya padanan
antara tindak pidana dan hukuman.

2. Retributivisme (The Sophisticated Versions)

Imanuel Kant merupakan merupakan tokoh dalam pengembangan teori


Retributivisme (1724-1804) dan juga G.W.F Hegel (1770-1831).
Cara penyajian dalam teori Retributvisme dapat dilakukan dengan langkah :
membuat perbedaan antara egosime dan moralitas ; antara kekuatan publik dan tindakan
pribadi.

a. Egoisme versus moralitas dapat dilihat bagaimana seseorang bertindak untuk


suatu kepentingan baik untuk pribadi ataupun umum – ada alasan atau dari
‘hukum moral’, misalnya mencuri. Mengapa anda tidak melakukannya? Ada
jawaban : karena anda akan dihukum jika tertangkap. Hal tersebut merupakan
salah satu dari motivasi egoistik. Adapun jawaban alternatif dari pertanyaan
tersebut dengan alasan jika semua orang mencuri maka semua properti tidak
menjadi aman. (Anda ingin semua properti anda tetap aman, maka anda juga
harus menghargai properti orang lain. Jadi, anda bertindak berdasarkan hukum
yang anda berikan dalam hidup). Orang yang benar-benar mementingkan diri
sendiri bertindak secara tak terduga dimana dia tidak mampu ‘universalisasi’
tindakannya dan sedangkan orang yang berdasarkan motivasi moral benar-
benar rasional karena rasionalitas setara dengan kemampuan untuk berpikir
secara universal.

b. Kekuasaan Publik versus tindakan pribadi. Jika seseorang berusaha


mendobrak pintu untuk masuk ke rumah anda dan kemudian mencuri barang-
brang anda maka reaksi yang mungkin kita rasakan adalah bahwa hal tersebut
adalah serangan terhadap diri anda (serangan kolektif) dan meskipun anda
memiliki keluasan untuk membayar pihak kepolisian akan tetapi keputusan
untuk mengejar dan menuntut pelaku bukanlah milkmu/kekuasaanmu.
Disamping itu, adapaun hak untuk mengejar penjahat. Adapun tindakan
pribadi yang tentunya dapat dibenarkan dalam hak membela diri. Intinya
kekuasaan publik versus tindakan pribadi tidak mecerminkan secara lansgung
kekuatannya (adanya pembagian antara hukum pidana dan hukum perdata)

Dengan perbedaan tersebut, maka adapun langkah hukuman dalam teori


Retributivisme :
1. Kejahatan menuntut untuk egoisme (atas kepentingan pribadi secara murni)
dan hal ini mugkin muncul hanya sebagai sebagai konflik individu (ego) dan
masyarakat (moralitas). Kejahatan adalah tindakan pemaksaan.
2. Hukuman adalah suatu tindakan egois yang kriminal. Hukuman adalah
tindakan paksaan setelah kejahatan. Dan hal ini merupaka paksaan dari para
penjahat negara.
3. Bagaimanapun, langkah 2 tersebut bukanlah negasi dari langkah 1 (bukan
hanya sebagai mata untuk mata) dimana tindakan pemaksaan yang kedua
adalah bukanlah tindakan egoistiks, artinya tidak seperti kejahatan dan itu juga
bukan tindakan kekerasan akan tetapi adalah universalisasi kehendak penjahat
- penjahat tersebut secara tidak sadar menginginkan hukuman tersebut.

Dan berikut uraian penting dalam Retributivisme :

1. Suatu hukuman tidak sepenuhnya analog dengan kejahatan. Sifatnya


ditentukan oleh kehendak umum. Dalam konsep Lex Talionis dikatakan
bahwa tidak perlu adanya kesetaraan yang ketat akan tetapi proporsionalitas :
dimana tidak ada denda terhadap pembunuh massal dan pengemudi yang
ngebut di jalan raya. Disamping itu, dikatakan juga bahwa kita tidak biadab,
artinya adalah karena seroang pembunuh ketika menyiksa korabn sampai mati
tidak berarti harus melakukan hal yang sama.
2. Suatu hukuman haru mempunyai karakteristik tertentu. Merupakan hasil dari
proses dan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang
yang kemudian akan di implementasikan.

3. Konsekuensialisme

Seorang konsekuensialis tentunya menilai suatu kebenaran dari tindakan


berdasarkan konsekuensi. Penerapan dalam hukuman, adanya hukuman untuk
mewujudkan konsekuensi yang baik atau akan menghindari /mengurangi yang
buruk. Dan istilah konsekuensialisme ini mencakup teori moral dan politik dimana
yang paing terkenal adalah Utilitarianisme yang merupakan bentuk maksimalisme
dari konsekuensialisme :

 Dalam versi utilitarian, konsekuensialisme menuntut pada hukum


dan politik serta institusi untuk memaksimalkan keseluruhan
tingkat kesejahteraa dari masyarakat.
 Utilitarian berbeda dengan utilitas. Contoh Utilitas adalah dapat
membandingkan berbgai hal sesuai kapasitas dalam menambah
atau mengurangi utilitas. Misalnya adalah anda dapat
membandingkan rasa sakit yang diderita penjahat ketika mereka
dihukum dengan perlakuan yang begitu sakit.

Selain itu, adapaun beberapa masalah dengan teori hukuman konsekuensialisme.


Pertama, segala pencegahan harus sama-sama dibenarkan. Hal ini akan membuka
skenario negara yang berupaya mengidentifikasi kejahatan sebelum dilakukan. Jika
kita berkaca pada fil-film, memang agak dibuat rumit dan kompleks akan tetapi hal
tersebut menunjukkan kemungkinan adanya peningkatan melakukan kejahatan.
Dalam hal ini tidak akan menghukum, akan tetapi akan mencegah kejahatan. Yang
kedua adalah, dalam konsekuensialismetidak perlu mempercayai intensionalitas.
Maksudnya adalah meskipun banyak sistem hukum dan ketika ada pelanggaran,
maka pengadilan tidak perlu membangun intensionalitas. Penolakan terhadap
intensionalitas tampaknya tidak sesuai dengan penghargaan terhadap kebebasan
manusia. Ketiga adalah bahwa konsekuensialitas memiliki masalah dengan ekuitas.
Sebagai contoh adalah satu orang mungkin menerima hukumkan penjara enam tahun
dan yang lainnya hukuman penjara satu tahun. Hukuaman kejahatan yang pada
dasarnya sama dengan alasan hukuman enam tahun bermaksud untuk menghalangi
orang lain. Artinya bahwa hal ini tidak kompatibel dengan perlakuan yang sama.
Keempat, konsekuensialisme hanya memiliki Lex talionis yang sangat lemah.
Mungkin beberapa kejahatn lebih sensitif terhadap pencegahan dan pelanggaran
mungkin lebih rentan terhadap pengurangan sebagai suatu akibat dari hukuman keras
dan sedangkan pembunuhan mungkin tidak.

Dalam perkembangan mengenai kegunaan hukuman sebagai instrumen dalam


rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma
rehabilitatif. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau
menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit,
kekurangan, bermasalah, atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan
perilaku tersebut dan oleh karena itu, melalui hukuman, orang tersebut pada dasarnya
hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan
perkembangan paradigma tersebut, bentuk-bentuk hukuman pun berkembang,
bervariasi, dan konon semakin manusiawi (Meliala, 2004: 91). Adapun pandangan
hukuman yang diberikan pada anak bahwa hukuman sendiri adalah tindakan yang
dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan
dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji
di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya (Indrakusuma, 1973: 147).

Anda mungkin juga menyukai