PUNISHMENT (HUKUMAN)
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Ronaldi Silalahi (1191004012)
Dalam kehidupan kita sehari-hari kata “hukuman” sudah menjadi sesuatu yang biasa kita
dengar. Tentunya tidak tidak orang yang mendapat hukuman tanpa sebab ataupun tanpa
melakukan sebuah pelanggaran baik itu hukum/aturan. Dengan arti bahwa secara umum
hukuman itu berlaku ketika seseorang ataupun kelompok melanggar hukum/aturan yang berlaku.
Dalam aktivitas apapun kecuali yang berhubungan dengan perang, tentunya negara
mengekespresikan suatu paksaan yang begitu jelas dalam praktikum hukuman. Artinya bahwa
negara berhak menerapkan hal tersebut ketika adanya pelanggaran dalam praktik hukum dan
dalam legitimasi suatu negara bahwa suatu hukuman dapat dibedakan atas kekerasan sewenang.
Disamping itu, ada dua teori yang mendominasi tentang hukuman yaitu : retributivisme dan
konsekensialisme yang kemudian muncul kritik terhadap teori tersebut dimana untuk
Retributivisme mensyaratkan bahwa hanya yang bersalah mendapat hukuman (dihukum),
sedangkan dalam Konsekuensialisme bahwa hukuman yang dibenarkan jika ia memiliki efek
positif pada lingkungan dengan mengurangi tindakan kejahatan (misalnya melalui rehabilitasi,
pencegahan, dll).
Max Weber berpendapat bahwa “Negara” adalah suatu entitas yang koersif yang artinya
negara berhasil memerintahkan segala monopoli atas penggunaan kekerasan secara sah dalam
wilayah tertentu. Sangat jelas bahwa suatu negara menghukum warganya secara paksa
(memaksa) dan meskipun banyak orang tidak memiliki catatan kasus kriminal, akan tetapi
ancaman hukuman ini mempengaruhi dan mengkondisikan perilaku setiap orang. Disamping itu,
negara juga tetap mengkalim bahwa negara mempunyai hak untuk menghukum yang artinya
adalah bahwa hukuman tersebut tidak hanya sewenang-wenang diterapkan akan tetapi harus
tetap dipertimbangkan. Dalam penjelasan tersebut tentunya muncul pertanyaan, “mengapa
hukuman?, apa yang dibenarkan dan dibahas dalam hukuman?”
Memang ada perbedaan konsep yang diterapkan oleh para ahli teori politik mengenai
hukuman. Kita tahu bahwa hukuman sering sekali kita temukan dan di diskusikan dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa orang mungkin tidak mendefinisikan secara abstrak, akan tetapi
lebih menyamakan bahwa hukuman itu ibarat dengan sebuah penjara, atau dikenai denda atau
diharuskan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, meskipun banyak orang-orang
yang tidak ragu untuk menerima dan melakukannya, akan tetapi kadang-kadang ada orang yang
tidak melakukan kesalahan apapun atau tidak bersalah lalu dihukum dan hal tersebut sangat
keterlaluan. Hal tersulit dalam pembenaran untuk hukuman adalah mencegah kejahatan. Namun
jika kita memperhatikan, ada situasi dimana mencegah hukuman untuk orang yang tidak bersalah
mungkin akan dibenarkan (meskipun kebanyakan orang percaya bahwa dia bersalah, akan tetapi
fakta berbeda dengan kepercayaan) oleh karena itu suatu hukuman tidak bisa didefinisikan
sebagai suatu hukuman penderitaan dalam negara atas orang yang bersalah. Lalu bagaimana kita
dapat mendefinisikan hukuman yang sudah terikat dengan mengapa kita harus menghukum
dimana ada yang mengatakan bahwa kita tidak dapat beroperasi dengan defenisi hukum netral
yang secara moral dan sederhana.
Dalam teori ini, adanya slogan yang digunakan oleh orang-orang “mata diganti
dengan mata dan gigi dengan gigi”. Bahwa hukuman adalah “payback” (membayar
kembali” atau dalam bahasa yang lebih filosofis yaitu “Restitusi” dimana sebuah kata
yang berfokus pada gagasan untuk membayar hutang. Asal mula doktrin mata diganti
dengan mata – merupakan sebuah doktrin yang yang dapat ditemukan dalam ajaran
agama monoteistik : Yudaisme, Kristen, dan Islam. Maksudnya adalah seharusnya tidak
boleh ada mata diganti dengan mata begitupun dengan gigi diganti dengan gigi. Karena
aturan mata diganti mata berarti bahwa suatu hukuman hanya dapat dijatuhkan oleh
otoritas yang dibentuk. Hukuman bukanlah menjadi masalah pribadi dan itu harus
proporsional serta dimaksudkan untuk mematahkan/menyelesaikan bukan malah untuk
melanjutkan terhadap siklus kekerasan. Dari teori ini kita memperoleh suatu konsep Lex
Talionis yaitu yang menjelaskan kesetaraan antara kejahatan dan hukumkan. Dalam versi
teori Retributivisme lebih canggih sehingga tidak perlu menggunakan identitas kualitatif :
bahwa hukuman tidak perlu membutuhkan ‘mata untuk mata’ secara harafiah. Bahkan
dalam klarifikasi ini, teori Retributivisme terlihat tidak hanya sekedear balas dendam
meskipun itu dilakukan oleh para otoritas yang tepat dan bukan oleh individu.
Contohnya adalah ganti rugi. Berpikir secara lgika, mengeksekusi seorang pembunuh
tentunya tidak akan bisa mengembalikan korban yang telah dibunuh. Selain itu tidak
adanya korelasinya natara kejahatan hukuman. Misalnya adalah bagaimana bisa anda
menghukum seorang yang berkhianat, atau pelanggaran kontrak? Tidak adanya padanan
antara tindak pidana dan hukuman.
3. Konsekuensialisme