Anda di halaman 1dari 19

FUNGSI HUKUM

Disusun oleh:

Rizkha Bayu Ardi Ananda (E0019371)

Tri Cahyono (E0019411)

Filsafat Hukum (F)

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum telah berusia sangat tua beriringan dengan adanya manusia, hal ini
diperlukan untuk mengatur perilaku dalam hubungan antar manusia yang satu dan
manusia yang lain. Perbedaan utama antara manusia dengan hewan terletak dalam
kenyataan bahwa hubungan antarmanusia itu merupakan akibat dari tindakan yang
dilatarbelakangi oleh pengertian (akal) dan kebebasan kehendak dan bukan digerakkan
oleh naluri semata. Oleh karena hal tersebut, tindakan masing-masing manusia akan
ditafsirkan oleh manusia yang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.

Dalam etik kita membedakan tindakan manusia (act of man) dari tindakan yang
manusiawi (human act). Dalam hukum pidana orang membedakan perbuatan yang
disengaja dari perbuatan yang merupakan akibat dari kelalaian. Tetapi, dalam kenyataan
sosial di masyarakat, orang yang menjadi sasaran dari suatu tindakan (tindakan baik
maupun buruk) pada umumnya tidak melakukan pembedaan itu. Orang hampir pasti akan
bereaksi jika mengalami suatu perlakuan yang merugikannya, terlepas dari soal apakah
perlakuan itu adalah tindakan manusiawi atau tindakan manusia, atau apakah perlakuan
itu disengaja atau tidak disengaja.

Hal itu berakibat, orang menghadapi suatu pengharapan masyarakat (social


expectation) yang mengharuskannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang bisa
diterima atau dikehendaki oleh masyarakat umum. Karena itu, manusia tidak bisa
membayangkan bahwa suatu masyarakat bisa hidup dengan membiarkan orang yang satu
memukuli orang lain menurut alasan dan seleranya sendiri menjadi suatu kebiasaan
sehari hari. Masyarakat manusia tidak mungkin tegak di atas kesewenang-wenangan
dalam suasana “homo homini lupus” seperti yang dinyatakan oleh Thomas Hobbes.
Selain itu, manusia juga tidak bisa membiarkan orang yang satu mengambil, merebut dan
menguasai hasil jerih payah kerja orang lain tanpa memberikan imbalan yang dianggap
pantas oleh kedua belah pihak.

Pada hakikatnya, dalam sejarah bahkan menunjukkan bahwa


masyarakat-masyarakat primitif juga telah mengenal prinsip resiprositas (bahwa jika
menginginkan suatu perlakuan yang baik dari orang lain, maka orang yang bersangkutan
tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap orang lain) antara hak dan
kewajiban, atau keseimbangan antara keharusan dan larangan dan menaatinya secara
luas. Karena pertimbangan-pertimbangan itulah bagi manusia, hukum paling sedikit
berfungsi untuk mencapai 2 (dua) target utama: ketertiban umum dan (yang pada
gilirannya menciptakan keadaan yang kondusif untuk mencapai) keadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi hukum sebagai Ketertiban Umum?
2. Bagaimana fungsi hukum sebagai Keadilan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Hukum sebagai Ketertiban Umum


Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib umum memiliki artian suatu
keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan,
supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Istilah lain yang digunakan untuk
mendefinisikan ketertiban umum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang
berbeda-beda, ada yang menyebutnya “keadaan damai”, ada juga yang menyebutnya
“kepastian hukum”. Apapun istilah yang digunakan untuk itu, ketertiban umum itu tidak
mungkin bisa terimplementasikan jatuh dari langit (tanpa partisipasi dari masyarakat). Hal ini
tentunya memerlukan sesuatu yang mampu memberikan pengaruh bahwa keadaan
masyarakat secara umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya. “...tata tertib hukum
sebenarnya merupakan kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam
masyarakat”. Hal ini, dapat diartikan apabila dibiarkan keadaan umum masyarakat itu bisa
saja menjadi tidak tertib.
Sebagai contoh, Dalam majalah Newsweek edisi tanggal 25 September 1995
diberitakan bahwa di Nairobi, ibukota Kenya, berkembang kebiasaan dimana pencuri-pencuri
jalanan yang tertangkap basah, dianiaya dengan segala cara sampai mati oleh
kelompok-kelompok penduduk yang bertindak main hakim sendiri. Dilaporkan bahwa
perkembangan itu terjadi karena tidak berfungsinya kepolisian, korupsi di kalangan
peradilan, serta merebaknya tindak kekerasan di kalangan politik Kenya.
Melalui kasus tersebut dapat dibuktikan (dan kemungkinan besar juga dalam banyak
kasus lain yang tidak terlaporkan) bahwa prioritas bagi rakyat adalah ketertiban umum.
Keadilan tampaknya secara empiris merupakan persoalan nomor dua setelah ketertiban.
Akibatnya, tindakan untuk menghukum pengganggu ketertiban umum bisa saja dilakukan
dengan cara yang tidak harus adil. Rakyat Nairobi tampaknya tidak memikirkan bahwa
pembunuhan seperti yang mereka lakukan sebenarnya merupakan kejahatan yang jauh lebih
serius bila dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan oleh maling-maling jalanan itu.
Fakta sosialnya adalah tindakan-tindakan pencuri jalanan itu tidak teratasi oleh aparat
keamanan Nairobi, sehingga logik yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat
adalah: kejahatan yang lebih berat dari pencurian-pencurian kecil tentunya akan lebih tidak
teratasi lagi oleh aparat keamanan.
Logik hukum rimba itu bila dibiarkan berlanjut akan membawa konsekuensi
disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarki. Sementara melalui hukum notabene manusia
hendak menghindarkan diri dan anarki, “Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah
bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Jadi, hukum merupakan
sarana pemecahan konflik yang rasional, karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan
alamiah belaka, melainkan menurut kriteria objektif yang berlaku umum”. Tampaknya,
Dennis Lloyd berpikir dalam kerangka yang sama, manakala dia menyimpulkan bahwa
keadilan adalah sedikit lebih dari ketertiban yang rasional: “... justice is a little more than the
idea of rational order and coherence and therefore operates as a principle of procedure
rather than of substance” Atau dengan kata lain, keadilan memang bukan saja belum tercapai
dengan adanya ketertiban, karena keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban, melainkan
juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang substansi.
Secara konseptual, ketertiban umum sebenarnya bisa dipahami sebagai manifestasi
dari suatu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu suatu tatanan dimana
manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan eksistensial yang individual itu hanya bisa
ada, jika ditempatkan dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Ketertiban umum
pada akhirnya merupakan manifestasi yang rasional dari penempatan kebebasan eksistensial
yang individual dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Daripada menggunakan
kebebasan semata-mata untuk terus-menerus melakukan ofensif guna mempertahankan diri
secara individual, adalah lebih rasional untuk mengalihkan sebagian dari kebebasan
eksistensial itu menjadi pembatasan ko-eksistensial guna memperoleh keamanan kolektif.
Usaha untuk menyelenggarakan pergaulan hidup yang mampu mewujudkan keamanan
kolektif itu rupanya memang mempunyai sejarah yang panjang, sarat dengan maju mundur
proses konsensus maupun konflik yang tidak tuntas.
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup
secara damai. Karena hukum menurut substansinya adalah sesuatu yang berlaku umum dan
tidak secara sebagian atau bersifat diskriminatif, tertib hukum menjadi tertib yang berlaku
umum. Hukum dapat mempertahankan perdamaian atau tertib hukum hanya jika dia berhasil
menjaga keseimbangan antar kepentingan manusia yang tidak selalu tidak bertentangan satu
sama lain. Artinya, tertib hukum itu hanya bisa ditegakkan, jika dia mendatangkan keadilan
bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu, karena hukum melindungi
kepentingan dan cita-cita dasar manusia yang sama seperti keamanan jiwa, kebebasan untuk
mengurus diri sendiri, bentuk-bentuk hak milik tertentu (yang sangat berbeda satu sama lain),
struktur-struktur kerja sama dan tukar-menukar yang adil, dan seterusnya. Jika tidak, pada
tingkat situasi yang ekstrem manusia akan berusaha untuk memperoleh keadilan bagi dirinya
sendiri dengan cara apa saja, yang kalau perlu dengan mengorbankan ketertiban umum itu.
Karena itu, kesimpulan Apeldoorn, tujuan hukum adalah “tata-tertib masyarakat yang damai
dan adil” Itulah sebabnya, mengapa pembahasan tentang ketertiban umum sebagai tujuan
dari hukum harus dilakukan sebagai usaha kembar untuk juga membahas masalah keadilan.
Prinsipnya adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi
ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi
tertib hukum hanya karena dia mengandung keadilan dalam kadar tertentu, sehingga
didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Tetapi, ketertiban umum tidak
niscaya mengandung keadilan, karena bisa saja ketertiban umum itu dipaksakan oleh suatu
kekuatan (misalnya: pemerintah yang otoriter) yang lebih berkepentingan terhadap suatu
keadaan yang tunduk kepadanya, daripada memberikan keadilan kepada masyarakat. Karena
itu, jika kita meneruskan alur pemikiran Apeldoorn, keadilan niscaya juga mengimplikasikan
tertib hukum. Konsekuensi yang lebih jauh adalah jika ketertiban umum harus merupakan
tertib hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi,
keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak
berlebihan jika kita tegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk
menegakkan keadilan. Berbagai tahapan dari ketertiban itu bisa kita petakan sebagai berikut:
Kejadian yang memperlihatkan bahwa pembiasaan toleransi terhadap ketidakadilan
dan pelecehan yang berlarut-larut terhadap hasrat untuk menegakkan keadilan pada akhirnya
bermuara dalam suatu anomali sosial. Dalam anomali sosial itu ketertiban umum menjadi
“barang mewah” yang mahal dan langka untuk diperoleh. Jika situasi seperti itu terjadi,
usaha untuk membangun suatu masyarakat yang tertib yang beradab dan adil kemungkinan
besar harus dimulai seperti dari titik nol lagi serta menjalani peta yang digambarkan di atas,
hampir dari yang paling bawah.
B. Fungsi Hukum sebagai Keadilan

a. Hukum dan Keadilan Menurut Hans Kelsen

Keadilan merupakan sebuah pokok permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Hukum
ada sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan pokok permasalahan keadilan tersebut.
Sehingga hukum merupakan alat untuk menciptakan atau mencapai keadilan. Hukum dan
keadilan merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun demikian, hukum dan keadilan saling
memiliki keterikatan.
Hans Kelsen memberikan gambaran mengenai keadilan dalam bukunya yang berjudul
Das Problem der Gerechtigeit (Masalah Keadilan). Menurutnya, keadilan merupakan norma
moral dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hubungan antar manusia tersebut, suatu
perbuatan manusia terhadap manusia lain memperoleh ‘nilai keadilan’. Artinya, perbuatan
seseorang dianggap tidak adil apabila ada norma yang menyatakan bahwa perbuatan
seseorang tersebut merupakan perbuatan yang tidak adil. Dalam kehidupan manusia, norma
tentang keadilan tersebut sering ditetapkan sebagai hukum positif yang semata-mata
bersumber dari akal budi manusia. Hal ini tidak tepat karena dalam keadaan tersebut dapat
terjadi risiko norma keadilan bertentangan dengan hukum positif. Sehingga atas dasar
tersebut nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum.

Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia berpendapat
bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu yang bermakna
hadirnya sebuah kondisi sosial dimana setiap orang mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan
secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki makna yang sangat identik dengan
kebahagiaan umum. Menurut kelsen, hukum adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan.
Kesalahan besar yang dilakukan oleh pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan
keadilan termasuk dalam cita-cita hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi
dimana setiap orang dapat merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan
menjadikan keadilan tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter
hukum yang hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum,
melanggar atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan
mustahil diwujudkan melalui hukum.

Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi kehidupan
bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut kelsen bukan pada
persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan atau tidak. Masalah hukum
adalah murni masalah tentang sebuah teknik sosial. Validitas dan efektifitas hukum dalam
pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika kita berbicara tentang hukum sebagai sebuah
norma. Validitas yang dimaksudkan adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah
norma hukum atau tidak. Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang
mengatur tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai dengan norma
hukum yang diterapkan.

Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih ditentukan oleh
sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Dengan kata lain,
untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum, posisi hukum itu
sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu. Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran
hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada
konsekuensi berikut: Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum
alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme
dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu
adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah
norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Itulah sebabnya mengapa ajaran
hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum sebaliknya bersifat monistik,
karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum
positif yang ditetapkan oleh manusia.

b. Keadilan Individu dan Keadilan Sosial

Persoalan tentang adil dan tidak adil hanya dapat muncul sebagai akibat dari rangkaian
aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial. Karena itu, aspek
hubungan antar manusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk
suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.

Magnis-Suseno menggunakan istilah keadilan sosial dan membedakannya dari istilah


keadilan individual. Ada dua contoh yang diberikannya. Masalah keadilan individual terjadi
jika seorang pengajar memberikan angka yang lebih baik untuk suatu prestasi yang sama
kepada seorang mahasiswa tertentu dibanding kepada mahasiswa yang lain semata-mata
karena favoritisme. Dalam kasus tersebut yang terjadi adalah ketidakadilan yang lahir dari
pertimbangan subjektif belaka. Jadi, yang relevan di sini adalah keadilan atau ketidakadilan
yang subjektif, dan bukan keadilan atau ketidakadilan yang individual. Karena ada keadilan
atau ketidakadilan yang subjektif, maka ada juga keadilan atau Fungsi Hukum ketidakadilan
yang objektif.
Magnis-Suseno memperlihatkan masalah keadilan sosial dalam kasus, di mana seorang
pengusaha karena rasa keadilannya mau memberikan gaji yang memenuhi syarat hidup
minimum kepada buruhnya, tetapi tidak mampu melakukannya, karena struktur politik
sosial-ekonomi tidak memungkinkannya. Ketidakadilan sosial itu disebutnya ketidakadilan
struktural, karena ketidakadilan itu tidak terjadi karena lahir dari kebebasan individual,
melainkan karena paksaan struktural masyarakat yang merupakan kenyataan objektif.
Artinya, masalah keadilan sosial adalah masalah keadilan struktural (dan masalah struktural
adalah masalah objektif).

Berbeda dengan Magnis-Suseno, Rawls merumuskan keadilan sosial sebagai "the way in
which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine
the division of advantages from social cooperation.” Dengan major social institutions itu
dimaksudkan nya "the political constitution and the principal economic and social
arrangements". Menurut Rawls ketidakadilan sosial itu lebih merupakan akibat dari proses
legislasi parlementer yang gagal melaksanakan distribusi dari berbagai sumber daya,
ketimbang konsekuensi dari struktur politik-sosial-ekonomi yang tidak kondusif. Dengan
demikian Rawls cenderung untuk memahami keadilan sosial sebagai keadilan distributif.
Konsekuensinya adalah, keadilan bukan hanya ditegakkan jika semua manfaat
didistribusikan secara merata, tetapi juga jika distribusi yang tidak merata itu berdampak
memberi manfaat yang sama bagi semua orang. Karena itu, ketidakadilan untuk Rawls juga
menjadi soal yang sederhana "Injustice, then, is simply inequalities that are not to the benefit
of all.” Artinya, jika ketidakadilan itu dialami oleh semua orang, keadaan seperti itu
menghasilkan keadilan juga. Itulah konsekuensi final dari konsep iustitia distributiva sebagai
salah satu paham keadilan seperti yang sudah lebih dulu diajukan oleh Thomas Aquinas.

Argumentasi dari Magnis-Suseno bagi penanggung jawab atas situasi ketidakadilan


struktural sangat jelas: karena paksaan yang timbul dari struktur politik-sosial-ekonomi
mengatasi kebebasan individu untuk membuat keputusan yang secara etis bisa
dipertanggungjawabkan, tanggung jawab itu dicabut dari si individu dan beralih kepada
pemerintah. Hal ini karena pemerintah memang ditugaskan untuk membangun suatu struktur
politik-sosial-ekonomi yang sedemikian rupa, sehingga tidak menghasilkan ketidakadilan
struktural (ketidakadilan objektif). Dalam kasus yang diajukan oleh Hart yang lalu
dirumuskan oleh Rawls, tanggung jawab itu sudah menjadi lebih jelas lagi, dan tidak sekadar
terletak pada negara, melainkan pada rakyat sendiri sebagaimana mereka (seharusnya)
diwakili dalam parlemen. Sebaliknya, penanggung jawab bagi penyebab 'ketidakadilan
individual' Kembali kepada individu yang menyebabkannya, karena individu membuat
keputusan yang kemudian melahirkan keadilan individual atau ketidakadilan individual
(yang lebih tepat disebut sebagai keadilan subjektif atau ketidakadilan subjektif) berdasarkan
kebebasan dan akalnya sendiri, individu yang bersangkutan juga memikul tanggung jawab
etis itu sendiri. Jadi korelat bagi persoalan ketidakadilan struktural sebagai ketidakadilan
objektif (atau yang umumnya disebut ketidakadilan sosial) itu adalah ketidak adilan subjektif
(dan bukannya ketidakadilan individual). Pada akhirnya, baik keadilan sosial sebagai
keadilan struktural yang objektif di satu sisi dan keadilan individual' sebagai keadilan
subjektif di sisi yang lain, sama-sama memiliki esensi etik.

Berdasarkan rumusan-rumusan keadilan di atas, masalah yang sering timbul apabila


menyangkut mengenai hukum adalah bahwa pada umumnya hukum positif yang ada belum
mampu mengakomodasi keadilan struktural atau keadilan objektif (keadilan sosial). Di
negara-negara yang otoriter, hukum yang berlaku di negara tersebut seringnya hanya bersifat
legal saja namun tidak legitimate. Artinya hukum tersebut dibuat sesuai dengan prosedur atau
legislasi yang berlaku, namun tidak mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

c. Aspek-Aspek Keadilan

a) Partinensi Keadilan

Pertinensi keadilan adalah keterkaitan antara keadilan individual dan keadilan sosial.
Thomas Aquinas memberikan gagasan mengenai keadilan ke dalam 4 kontekstual yaitu :

1. Keadilan distributif (iustitia distributiva) diterangkannya sebagai keadilan yang


berkenaan dengan pembagian jabatan, pembayaran pajak, dan sebagainya.

2. Keadilan legal (iustitia legalis) adalah yang menyangkut pelaksanaan hukum


umum.
3. Keadilan tukar-menukar (iustitia commutativa) adalah yang berkenaan dengan
transaksi seperti jual-beli, dan yang diletakkannya diametral dengan

4. Keadilan balas dendam (iustitia vindicativa), yang (di masa itu) berlaku dalam
hukum pidana.

Di era modern, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat hukum dan
hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan pembedaan aspek keadilan
yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi :

1. Iustitia commutativa (Verkehrsgerechtigkeit, keadilan timbal balik) yang menurutnya


terjadi apabila warga masyarakat melakukan transaksi kontraktual, dihadapkannya
pada ausgleichende Gerechtigkeit, yaitu keadilan yang terjadi pada suatu pemulihan
dari keadaan cidera hak, misalnya manakala dilakukan tindakan ganti rugi kepada
penderita yang mengalami perlakuan yang telah merugikannya.

2. Iustitia distributiva (austeilende Gerechtigkeit, keadilan dalam pembagian)


dinyatakannya sebagai berlaku dalam hukum perdata, terutama di bidang hukum
kebendaan maupun hukum keluarga. Jika ada orang yang memecahkan jambang
bunga di toko, dia akan harus mengganti harganya, tidak peduli apakah dia hartawan
atau orang gembel. Keadilan distributif juga sangat menonjol dalam bidang hukum
waris. Perlu dikemukakan bahwa untuk Hart yang bertradisi Inggris, iustitia
distributiva itu relevan justru dalam kerangka keadilan sosial, karena langsung
bertautan dengan 'public good atau 'common good", yang oleh Lloyd didefinisikan
sebagai "the greatest happiness of the greatest number.

3. Strafgerechtigkeit, yaitu keadilan pidana, yang terutama ditentukan oleh dasar serta
tujuan dari pengenaan hukuman pidana. Pertim bangan itu tunduk pada asas nulla
poena sine lege praevia.”

4. Keadilan hukum acara (Verfahrensgerechtigkeit, keadilan dalam proses hukum).


Keadilan hukum acara ditentukan terutama oleh dua syarat: kesempatan yang sama
bagi semua pihak yang berperkara untuk menegaskan posisinya, serta hakim yang
tidak berat sebelah. Zippelius menganggap keadilan hukum acara sebagai kemajuan
besar terhadap hukum acara dari Zaman Pertengahan, ketika hakim adalah jaksa
sekaligus. Keadilan hukum acara zaman baru dilambangkan oleh suatu peribahasa
Jerman yang berbunyi: Jika tiada penggugat, maka tiada juga hakim.

5. Keadilan konstitusional (Verfassungsgerechtigkeit). Keadilan konstitusional


mengemuka dalam hal penentuan syarat-syarat untuk pemangkuan jabatan
kenegaraan. Dalam praktek kenegaraan yang modern, penentuan syarat-syarat itu
dilakukan secara demokratis, terutama melalui pemilihan umum."

d. Rasa keadilan
Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk antara lain
meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari
persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang berlaku umum
tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian, karena setiap
pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan yang mampu
memandang sesuatu sebagai benar atau tidak benar.
Sebagai contoh, ketika seorang hakim meyakinkan seorang kreditur bahwa
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak mampu (atau
sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan hukum, sebagai suatu
bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, justru
karena percaya kepada rasa keadilannya yang timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar
mana keduanya paling sedikit berasumsi bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu
harus dilunasi.
Dari ilustrasi contoh diatas, diperlukan Kesamaan asumsi yang menjamin tegaknya a
well-ordered society. Karena “a shared conception of justice” niscaya memajukan “a
well-ordered society”, tetapi sebaliknya “a well-ordered society” tidak niscaya memajukan “a
shared conception of justice, misalnya karena ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur.
Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata
terhadap bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Akan menjadi
sulit ketika seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan adalah
pencurian, selagi pada saat yang sama tetangganya menganggap itu bukan pencurian.
Persoalannya adalah dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya:
korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.
Zippelius menggunakan pendekatan sosio-biologi untuk menerangkan adanya instansi
moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan melalui
contoh-contoh seperti: kasih ibu, pantangan insest, penolakan terhadap kebiasaan perilaku
yang menyesatkan, rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya. Kelsen
mengabstraksikannya sebagai dua arti dan perasaan keadilan:

● Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak menghendaki
perlakuan yang tidak adil.
● Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan adil atau
menolak perlakuan yang tidak adil.

Di samping itu, Kelsen berpandangan bahwa instansi moral itu juga bertumpu pada
pengalaman empiris, manakala manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari kita memang
tidak pernah dapat bebas dari keputusan untuk menyetujui dan menerima perilaku orang lain
yang benar, pantas, masuk akal, atau bisa juga sebaliknya: tidak menyetujui dan menolak
perilaku yang tidak benar, tidak pantas, tidak masuk akal. Ada kalanya instansi moral itu
bangkit justru ketika orang mengalami keadaan yang negatif. Zippelius mengungkapkannya
dengan mengutip Riezler yang mengatakan bahwa “ketidakadilan adalah motivator dari rasa
adil yang paling kuat”.
Meskipun demikian, rasa keadilan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang mutlak
dan akan senantiasa bersifat relatif. Artinya, rasa keadilan itu punya keterkaitan spatial dan
temporal, sehingga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum
yang pasti hadir dalam konteks yang spatial dan temporal. Akibatnya, sebagai pribadi
manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka tata nilai, baik tata
nilai yang diperolehnya sejak lahir (acquired), maupun tata nilai yang diperolehnya karena
belajar (achieved).
Rasa keadilan yang relatif seperti itu sulit untuk dapat diterapkan dan diberlakukan
secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan perbuatan
yang adil dari yang tidak adil. Sedangkan, dalam hubungan antarmanusia diperlukan suatu
tatanan objektif yang diterima secara umum, agar rasa keadilan perseorangan itu tidak pecah
sebagai diskrepansi dalam rasa keadilan antar perseorangan, atau lebih parah lagi,
persilangan dalam rasa keadilan antar perseorangan. Karena itu, paling minimal diperlukan
suatu kesepakatan mengenai rambu-rambu rasa keadilan supaya lalu lintas antar rasa
keadilan itu tidak saling bertumbukan.
Zippelius berdasarkan konsensus tersebut, mengamati warga dari suatu masyarakat
yang sama dapat sepakat untuk menerapkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang yang
terlibat dalam suatu kasus yang (hipotetis adalah) sama dengan memberlakukan
norma-norma yang sama. Asas tersebut mirip dengan prinsip “Treat like cases alike and
different cases differently” (Perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan kasus
yang berbeda secara berbeda). Tetapi, justru Hart mengamati keterbatasan dari rasa keadilan
itu, karena dalam kenyataan tidaklah ada dua kasus yang persis sama satu dengan yang
lainnya. Sedangkan, Rawls berpendapat bahwa “Treating similar cases similarly is not a
sufficient guarantee of substantive justice” (memperlakukan kasus serupa dengan cara yang
sama bukanlah jaminan yang cukup untuk keadilan substantif). Itulah sebabnya dalam
kerangka masyarakat, rasa keadilan perseorangan yang bersifat subjektif harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi rasa keadilan yang dapat dirasakan secara
umum. Dengan perkataan lain, agar dapat diterima sebagai rasa keadilan yang umum, rasa
keadilan perseorangan yang subjektif harus diimpersonalisasikan.
Dalam kerangka normatif seperti itulah Zippelius menilai praktek hukum di Inggris
sebagai suatu model yang memperlihatkan, betapa kebiasaan untuk menetapkan keadilan
berdasarkan case law yang diletakkan dalam rangkaian praktek reasoning from case to case
(menalar dari kasus ke kasus) melahirkan prinsip “ex aequo et bono” yang sebenarnya sudah
dikenal oleh orang Romawi.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengamatan yang dilakukan oleh Zippelius
dicerminkan oleh hakim yang dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan
juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dicerminkan dalam keputusan
keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim yang mengacu kepada
pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami
oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya berpeluang untuk ikut menghayati (sharing)
rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang
diketengahkan hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan oleh masyarakat.
Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko guru dari konsep the rule of
law, Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan yang menganga di antara rasa keadilan yang
hidup dalam diri hakim di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat di sisi
lain, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan
karena dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan
benteng dari hukum yang harus (dan ingin) dihormati demi kepentingan mereka sendiri,
timbul juga risiko bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum.
Reaksi masyarakat ketika tidak sejalan dengan keputusan Pengadilan mengenai suatu
perkara sebenarnya merupakan fenomena yang mencemaskan, karena dengan begitu tercipta
situasi di mana “rakyat berhadapan dengan pengadilan”. Jika para hakim tidak mawas diri
dan memajukan pengetahuan kehakimannya, logika ini bisa berlanjut dan pada gilirannya
bisa tercipta situasi di mana rakyat merasa perlu “mengadili pengadilan yang tidak adil”.
Kemungkinan lain yang tidak kalah mencemaskannya adalah berkembangnya kebiasaan
untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan bermuara dalam anarki. Padahal, salah
satu misi utama dari politik melalui pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan
timbulnya anarki. Karena itu kejelasan dalam hubungan antara hukum dan politik menjadi
kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Rasa keadilan pada prinsipnya adalah kesadaran akan nilai buah dari keselarasan dan
keseimbangan diantara semua pihak untuk menikmati kesempatan berperan atau fasilitas
yang menjadi haknya. Rasa keadilan pada umumnya muncul dari sanubari kita apabila justru
dirasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Ketika keadilan itu terlaksana dan semua
pihak telah menerima hak atas peluang berperan dan fasilitas yang ada biasanya rasa
kedamaian dan kebahagiaan lah yang dirasakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum diperlukan untuk mengatur perilaku dalam hubungan antar manusia yang
satu dan manusia yang lain. Hukum paling sedikit berfungsi untuk mencapai 2 (dua) target
utama yaitu: ketertiban umum dan (yang pada gilirannya menciptakan keadaan yang
kondusif untuk mencapai) keadilan. Keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban,
melainkan juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang
substansi. Suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi ketertiban umum
belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi tertib hukum hanya
karena dia mengandung keadilan dalam kadar tertentu, sehingga didukung oleh masyarakat
sebagai subjek hukum umum. Tetapi, ketertiban umum tidak niscaya mengandung keadilan,
karena ketertiban itu bisa saja dipaksakan oleh suatu kekuatan (misalnya: pemerintah yang
otoriter).
Keadilan dan hukum merupakan dua hal yang berbeda. Dimana keadilan merupakan
suatu keadaan dimana setiap orang mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan secara umum.
Hukum disisi lain merupakan suatu teknik sosial yang bertujuan untuk mengatur tata perilaku
masyarakat. Keadilan yang hendak dicapai melalui hukum adalah keadilan sosial atau
keadilan struktural. Hal ini karena hukum merupakan produk dari pemerintah atau negara,
dan keadilan sosial atau keadilan struktural merupakan tanggung jawab dari pemerintah atau
negara.
B. Saran
Hukum perlu dirancang sedemikian rupa dengan berdasarkan norma keadilan yang
mampu membawa ketertiban umum dan juga rasa keadilan itu sendiri bagi masyarakat.
Keadilan bagi masyarakat tersebut adalah keadilan yang sosial atau keadilan struktural.
Keadilan struktural tersebut adalah keadilan yang mencakup keadilan ekonomi-sosial-politik.
Aspirasi masyarakat harus dapat terakomodasi baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik.
Karena apabila masyarakat merasakan aspirasinya terakomodasi dalam proses
politik-sosial-ekonomi maka dengan sendirinya masyarakat merasa tidak perlu meletupkan
kemarahannya yang tentu akan mengakibatkan (kerusuhan). Ketertiban umum yang hendak
dicapai sebaiknya juga mengedepankan keadilan sosial yang diwujudkan melalui hukum
sebagai teknik rekayasa sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono Kusumohamidjojo. 2011. Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil.
Bandung. Mandar Maju.

Fardiansyah, A. R. (2011, September 17). Gagasan Hans Kelsen Tentang Hukum Dan
Keadilan. Diambil kembali dari kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/ryzafardiansyah/550ade378133117713b1e3f6/gagasan-han
s-kelsen-tentang-hukum-dan-keadilan
Emmanuel Astokodatu (2015, Juni 25). Rasa Keadilan. Diambil dari kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/astokodatu/550ead26a33311b42dba8447/rasa-keadilan#:~:t
ext=Rasa%20keadilan%20pada%20prinsipnya%20adalah,sesuatu%20yang%20kurang%
20pada%20tempatnya

Anda mungkin juga menyukai