Makalah Fungsi Hukum PDF
Makalah Fungsi Hukum PDF
Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum telah berusia sangat tua beriringan dengan adanya manusia, hal ini
diperlukan untuk mengatur perilaku dalam hubungan antar manusia yang satu dan
manusia yang lain. Perbedaan utama antara manusia dengan hewan terletak dalam
kenyataan bahwa hubungan antarmanusia itu merupakan akibat dari tindakan yang
dilatarbelakangi oleh pengertian (akal) dan kebebasan kehendak dan bukan digerakkan
oleh naluri semata. Oleh karena hal tersebut, tindakan masing-masing manusia akan
ditafsirkan oleh manusia yang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.
Dalam etik kita membedakan tindakan manusia (act of man) dari tindakan yang
manusiawi (human act). Dalam hukum pidana orang membedakan perbuatan yang
disengaja dari perbuatan yang merupakan akibat dari kelalaian. Tetapi, dalam kenyataan
sosial di masyarakat, orang yang menjadi sasaran dari suatu tindakan (tindakan baik
maupun buruk) pada umumnya tidak melakukan pembedaan itu. Orang hampir pasti akan
bereaksi jika mengalami suatu perlakuan yang merugikannya, terlepas dari soal apakah
perlakuan itu adalah tindakan manusiawi atau tindakan manusia, atau apakah perlakuan
itu disengaja atau tidak disengaja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi hukum sebagai Ketertiban Umum?
2. Bagaimana fungsi hukum sebagai Keadilan?
BAB II
PEMBAHASAN
Keadilan merupakan sebuah pokok permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Hukum
ada sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan pokok permasalahan keadilan tersebut.
Sehingga hukum merupakan alat untuk menciptakan atau mencapai keadilan. Hukum dan
keadilan merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun demikian, hukum dan keadilan saling
memiliki keterikatan.
Hans Kelsen memberikan gambaran mengenai keadilan dalam bukunya yang berjudul
Das Problem der Gerechtigeit (Masalah Keadilan). Menurutnya, keadilan merupakan norma
moral dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hubungan antar manusia tersebut, suatu
perbuatan manusia terhadap manusia lain memperoleh ‘nilai keadilan’. Artinya, perbuatan
seseorang dianggap tidak adil apabila ada norma yang menyatakan bahwa perbuatan
seseorang tersebut merupakan perbuatan yang tidak adil. Dalam kehidupan manusia, norma
tentang keadilan tersebut sering ditetapkan sebagai hukum positif yang semata-mata
bersumber dari akal budi manusia. Hal ini tidak tepat karena dalam keadaan tersebut dapat
terjadi risiko norma keadilan bertentangan dengan hukum positif. Sehingga atas dasar
tersebut nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum.
Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia berpendapat
bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu yang bermakna
hadirnya sebuah kondisi sosial dimana setiap orang mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan
secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki makna yang sangat identik dengan
kebahagiaan umum. Menurut kelsen, hukum adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan.
Kesalahan besar yang dilakukan oleh pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan
keadilan termasuk dalam cita-cita hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi
dimana setiap orang dapat merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan
menjadikan keadilan tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter
hukum yang hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum,
melanggar atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan
mustahil diwujudkan melalui hukum.
Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi kehidupan
bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut kelsen bukan pada
persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan atau tidak. Masalah hukum
adalah murni masalah tentang sebuah teknik sosial. Validitas dan efektifitas hukum dalam
pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika kita berbicara tentang hukum sebagai sebuah
norma. Validitas yang dimaksudkan adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah
norma hukum atau tidak. Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang
mengatur tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai dengan norma
hukum yang diterapkan.
Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih ditentukan oleh
sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Dengan kata lain,
untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum, posisi hukum itu
sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu. Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran
hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada
konsekuensi berikut: Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum
alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme
dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu
adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah
norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Itulah sebabnya mengapa ajaran
hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum sebaliknya bersifat monistik,
karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum
positif yang ditetapkan oleh manusia.
Persoalan tentang adil dan tidak adil hanya dapat muncul sebagai akibat dari rangkaian
aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial. Karena itu, aspek
hubungan antar manusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk
suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.
Berbeda dengan Magnis-Suseno, Rawls merumuskan keadilan sosial sebagai "the way in
which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine
the division of advantages from social cooperation.” Dengan major social institutions itu
dimaksudkan nya "the political constitution and the principal economic and social
arrangements". Menurut Rawls ketidakadilan sosial itu lebih merupakan akibat dari proses
legislasi parlementer yang gagal melaksanakan distribusi dari berbagai sumber daya,
ketimbang konsekuensi dari struktur politik-sosial-ekonomi yang tidak kondusif. Dengan
demikian Rawls cenderung untuk memahami keadilan sosial sebagai keadilan distributif.
Konsekuensinya adalah, keadilan bukan hanya ditegakkan jika semua manfaat
didistribusikan secara merata, tetapi juga jika distribusi yang tidak merata itu berdampak
memberi manfaat yang sama bagi semua orang. Karena itu, ketidakadilan untuk Rawls juga
menjadi soal yang sederhana "Injustice, then, is simply inequalities that are not to the benefit
of all.” Artinya, jika ketidakadilan itu dialami oleh semua orang, keadaan seperti itu
menghasilkan keadilan juga. Itulah konsekuensi final dari konsep iustitia distributiva sebagai
salah satu paham keadilan seperti yang sudah lebih dulu diajukan oleh Thomas Aquinas.
c. Aspek-Aspek Keadilan
a) Partinensi Keadilan
Pertinensi keadilan adalah keterkaitan antara keadilan individual dan keadilan sosial.
Thomas Aquinas memberikan gagasan mengenai keadilan ke dalam 4 kontekstual yaitu :
4. Keadilan balas dendam (iustitia vindicativa), yang (di masa itu) berlaku dalam
hukum pidana.
Di era modern, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat hukum dan
hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan pembedaan aspek keadilan
yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi :
3. Strafgerechtigkeit, yaitu keadilan pidana, yang terutama ditentukan oleh dasar serta
tujuan dari pengenaan hukuman pidana. Pertim bangan itu tunduk pada asas nulla
poena sine lege praevia.”
d. Rasa keadilan
Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk antara lain
meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari
persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang berlaku umum
tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian, karena setiap
pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan yang mampu
memandang sesuatu sebagai benar atau tidak benar.
Sebagai contoh, ketika seorang hakim meyakinkan seorang kreditur bahwa
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak mampu (atau
sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan hukum, sebagai suatu
bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, justru
karena percaya kepada rasa keadilannya yang timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar
mana keduanya paling sedikit berasumsi bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu
harus dilunasi.
Dari ilustrasi contoh diatas, diperlukan Kesamaan asumsi yang menjamin tegaknya a
well-ordered society. Karena “a shared conception of justice” niscaya memajukan “a
well-ordered society”, tetapi sebaliknya “a well-ordered society” tidak niscaya memajukan “a
shared conception of justice, misalnya karena ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur.
Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata
terhadap bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Akan menjadi
sulit ketika seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan adalah
pencurian, selagi pada saat yang sama tetangganya menganggap itu bukan pencurian.
Persoalannya adalah dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya:
korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.
Zippelius menggunakan pendekatan sosio-biologi untuk menerangkan adanya instansi
moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan melalui
contoh-contoh seperti: kasih ibu, pantangan insest, penolakan terhadap kebiasaan perilaku
yang menyesatkan, rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya. Kelsen
mengabstraksikannya sebagai dua arti dan perasaan keadilan:
● Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak menghendaki
perlakuan yang tidak adil.
● Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan adil atau
menolak perlakuan yang tidak adil.
Di samping itu, Kelsen berpandangan bahwa instansi moral itu juga bertumpu pada
pengalaman empiris, manakala manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari kita memang
tidak pernah dapat bebas dari keputusan untuk menyetujui dan menerima perilaku orang lain
yang benar, pantas, masuk akal, atau bisa juga sebaliknya: tidak menyetujui dan menolak
perilaku yang tidak benar, tidak pantas, tidak masuk akal. Ada kalanya instansi moral itu
bangkit justru ketika orang mengalami keadaan yang negatif. Zippelius mengungkapkannya
dengan mengutip Riezler yang mengatakan bahwa “ketidakadilan adalah motivator dari rasa
adil yang paling kuat”.
Meskipun demikian, rasa keadilan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang mutlak
dan akan senantiasa bersifat relatif. Artinya, rasa keadilan itu punya keterkaitan spatial dan
temporal, sehingga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum
yang pasti hadir dalam konteks yang spatial dan temporal. Akibatnya, sebagai pribadi
manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka tata nilai, baik tata
nilai yang diperolehnya sejak lahir (acquired), maupun tata nilai yang diperolehnya karena
belajar (achieved).
Rasa keadilan yang relatif seperti itu sulit untuk dapat diterapkan dan diberlakukan
secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan perbuatan
yang adil dari yang tidak adil. Sedangkan, dalam hubungan antarmanusia diperlukan suatu
tatanan objektif yang diterima secara umum, agar rasa keadilan perseorangan itu tidak pecah
sebagai diskrepansi dalam rasa keadilan antar perseorangan, atau lebih parah lagi,
persilangan dalam rasa keadilan antar perseorangan. Karena itu, paling minimal diperlukan
suatu kesepakatan mengenai rambu-rambu rasa keadilan supaya lalu lintas antar rasa
keadilan itu tidak saling bertumbukan.
Zippelius berdasarkan konsensus tersebut, mengamati warga dari suatu masyarakat
yang sama dapat sepakat untuk menerapkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang yang
terlibat dalam suatu kasus yang (hipotetis adalah) sama dengan memberlakukan
norma-norma yang sama. Asas tersebut mirip dengan prinsip “Treat like cases alike and
different cases differently” (Perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan kasus
yang berbeda secara berbeda). Tetapi, justru Hart mengamati keterbatasan dari rasa keadilan
itu, karena dalam kenyataan tidaklah ada dua kasus yang persis sama satu dengan yang
lainnya. Sedangkan, Rawls berpendapat bahwa “Treating similar cases similarly is not a
sufficient guarantee of substantive justice” (memperlakukan kasus serupa dengan cara yang
sama bukanlah jaminan yang cukup untuk keadilan substantif). Itulah sebabnya dalam
kerangka masyarakat, rasa keadilan perseorangan yang bersifat subjektif harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi rasa keadilan yang dapat dirasakan secara
umum. Dengan perkataan lain, agar dapat diterima sebagai rasa keadilan yang umum, rasa
keadilan perseorangan yang subjektif harus diimpersonalisasikan.
Dalam kerangka normatif seperti itulah Zippelius menilai praktek hukum di Inggris
sebagai suatu model yang memperlihatkan, betapa kebiasaan untuk menetapkan keadilan
berdasarkan case law yang diletakkan dalam rangkaian praktek reasoning from case to case
(menalar dari kasus ke kasus) melahirkan prinsip “ex aequo et bono” yang sebenarnya sudah
dikenal oleh orang Romawi.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengamatan yang dilakukan oleh Zippelius
dicerminkan oleh hakim yang dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan
juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dicerminkan dalam keputusan
keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim yang mengacu kepada
pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami
oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya berpeluang untuk ikut menghayati (sharing)
rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang
diketengahkan hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan oleh masyarakat.
Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko guru dari konsep the rule of
law, Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan yang menganga di antara rasa keadilan yang
hidup dalam diri hakim di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat di sisi
lain, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan
karena dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan
benteng dari hukum yang harus (dan ingin) dihormati demi kepentingan mereka sendiri,
timbul juga risiko bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum.
Reaksi masyarakat ketika tidak sejalan dengan keputusan Pengadilan mengenai suatu
perkara sebenarnya merupakan fenomena yang mencemaskan, karena dengan begitu tercipta
situasi di mana “rakyat berhadapan dengan pengadilan”. Jika para hakim tidak mawas diri
dan memajukan pengetahuan kehakimannya, logika ini bisa berlanjut dan pada gilirannya
bisa tercipta situasi di mana rakyat merasa perlu “mengadili pengadilan yang tidak adil”.
Kemungkinan lain yang tidak kalah mencemaskannya adalah berkembangnya kebiasaan
untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan bermuara dalam anarki. Padahal, salah
satu misi utama dari politik melalui pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan
timbulnya anarki. Karena itu kejelasan dalam hubungan antara hukum dan politik menjadi
kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Rasa keadilan pada prinsipnya adalah kesadaran akan nilai buah dari keselarasan dan
keseimbangan diantara semua pihak untuk menikmati kesempatan berperan atau fasilitas
yang menjadi haknya. Rasa keadilan pada umumnya muncul dari sanubari kita apabila justru
dirasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Ketika keadilan itu terlaksana dan semua
pihak telah menerima hak atas peluang berperan dan fasilitas yang ada biasanya rasa
kedamaian dan kebahagiaan lah yang dirasakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum diperlukan untuk mengatur perilaku dalam hubungan antar manusia yang
satu dan manusia yang lain. Hukum paling sedikit berfungsi untuk mencapai 2 (dua) target
utama yaitu: ketertiban umum dan (yang pada gilirannya menciptakan keadaan yang
kondusif untuk mencapai) keadilan. Keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban,
melainkan juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang
substansi. Suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi ketertiban umum
belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi tertib hukum hanya
karena dia mengandung keadilan dalam kadar tertentu, sehingga didukung oleh masyarakat
sebagai subjek hukum umum. Tetapi, ketertiban umum tidak niscaya mengandung keadilan,
karena ketertiban itu bisa saja dipaksakan oleh suatu kekuatan (misalnya: pemerintah yang
otoriter).
Keadilan dan hukum merupakan dua hal yang berbeda. Dimana keadilan merupakan
suatu keadaan dimana setiap orang mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan secara umum.
Hukum disisi lain merupakan suatu teknik sosial yang bertujuan untuk mengatur tata perilaku
masyarakat. Keadilan yang hendak dicapai melalui hukum adalah keadilan sosial atau
keadilan struktural. Hal ini karena hukum merupakan produk dari pemerintah atau negara,
dan keadilan sosial atau keadilan struktural merupakan tanggung jawab dari pemerintah atau
negara.
B. Saran
Hukum perlu dirancang sedemikian rupa dengan berdasarkan norma keadilan yang
mampu membawa ketertiban umum dan juga rasa keadilan itu sendiri bagi masyarakat.
Keadilan bagi masyarakat tersebut adalah keadilan yang sosial atau keadilan struktural.
Keadilan struktural tersebut adalah keadilan yang mencakup keadilan ekonomi-sosial-politik.
Aspirasi masyarakat harus dapat terakomodasi baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik.
Karena apabila masyarakat merasakan aspirasinya terakomodasi dalam proses
politik-sosial-ekonomi maka dengan sendirinya masyarakat merasa tidak perlu meletupkan
kemarahannya yang tentu akan mengakibatkan (kerusuhan). Ketertiban umum yang hendak
dicapai sebaiknya juga mengedepankan keadilan sosial yang diwujudkan melalui hukum
sebagai teknik rekayasa sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono Kusumohamidjojo. 2011. Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil.
Bandung. Mandar Maju.
Fardiansyah, A. R. (2011, September 17). Gagasan Hans Kelsen Tentang Hukum Dan
Keadilan. Diambil kembali dari kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/ryzafardiansyah/550ade378133117713b1e3f6/gagasan-han
s-kelsen-tentang-hukum-dan-keadilan
Emmanuel Astokodatu (2015, Juni 25). Rasa Keadilan. Diambil dari kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/astokodatu/550ead26a33311b42dba8447/rasa-keadilan#:~:t
ext=Rasa%20keadilan%20pada%20prinsipnya%20adalah,sesuatu%20yang%20kurang%
20pada%20tempatnya