Anda di halaman 1dari 6

Dasar Hukum Gadai Syariah

Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Alquran, hadis Nabi
Muhammad saw, ijma ulama, dan Fatma MUI. hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut:

1. Al-quran

Surat al-baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun atau konsep gadai
adalah sebagai berikut:

ُ ُ ‫َ ً َ ُ ََ َ َ ََى‬ َ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ً َ ََُْ َّ َ ُ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ َ َ َّ ُ َّ َ
۞ ْ‫ل كنتمْ َوِإن‬ ْ ‫ن ف ِإنْ َْۖمق ُبوضةْ ف ِرهانْ ك ِاتبا ت ِجدوا ولمْ سفرْ ع‬ ْ ‫ن ال ِذي فليؤدْ بعضا بعضكمْ أ ِم‬
ْ ‫اّلل وليت ِقْ أمانت ْه اؤت ِم‬
ْ ‫ْۗرب ْه‬
َ ُ ْ َ َ َ َّ ُ ْ ُ َّ َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ َ ُ َ َ َ
ْ ‫اّلل ْۗقل ُب ْه ِآثمْ ف ِإن ْه َيكتم َها َو َمنْ ْۚالش َهاد ْة تكت ُموا َو‬
‫ل‬ ْ ‫ون ِبما و‬
ْ ‫ع ِليمْ تعمل‬

Arab-Latin:ْ Waْ ingْ kuntumْ 'alāْ safariwْ waْ lamْ tajidụ kātibanْ faْ rihānumْ maqbụḍah, fa in
amina ba'ḍukum ba'ḍanْ falyu`addillażi`tuminaْ amānatahụ walyattaqillāhaْ rabbah,ْ waْ lāْ
taktumusy-syahādah,ْ waْ mayْ yaktum-hāْ faْ innahūْ āṡimungْ qalbuh,ْ wallāhuْ bimāْ ta'malụna
'alīm

Terjemah Arti: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kata Farihamu dalam ayat tersebut diartikan sebagai maka hendaklah ada barang
tanggungan. kemudian dilanjutkan dengan Maqmudhah yang artinya yang dipegang ( oleh
yang berpiutang). dari kata itulah dapat diperoleh suatu pengertian bahwa secara tegas rahn
adalah barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang meminjamkan uang pengikat di
antara keduanya. meskipun pada dasarnya tanpa hal tersebut pun pinjam meminjam tersebut
tetap sah. namun untuk lebih menguatkan nya, maka dianjurkan untuk menggunakan barang
gadai.
Dengan mencermati surat al-baqarah ayat 283 tersebut dapat dikatakan Bahwa dalam
muamalah tidak secara tunai ketika Safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi
itu maka Ar Rahn dalam kondisi itu hukumnya Sunnah. dalam kondisi mukim hukumnya
mubah. dari ayat tersebut juga terkandung Makna ar rahn boleh dilakukan baik ketika Safar
maupun mukim.

Syaikh Muhammad Ali as sayis dalam Zainuddin Ali, berpendapat bahwa ayat al-quran
di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian Bila seseorang hendak
melakukan transaksi utang piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara
menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang atau rahn.

Fungsi barang gadai atau marhun pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan
masing-masing pihak, sehingga penerima gadai atau murtahin meyakini bahwa pemberi gadai
beritikad baik untuk mengembalikanpinjamannya dengan cara menggadaikan barang atau
benda yang dimilikinya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utang itu.

Sekalipun Ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh
seseorang ketika dalam keadaan musafir titik Hal ini bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh
orang yang menetap atau bermukim. sebab keadaan musafir ataupun menetap bukanlah
merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. apalagi terdapat sebuah hadis yang
mengisahkan bahwa Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk
mendapatkan makanan bagi keluarganya pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.

2. Hadis Nabi Muhammad SAW

Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah
adalah hadis Nabi Muhammad Sau yang antara lain diungkapkan sebagai berikut :

 Hadits Aisyah ra,yang diriwayatkan oleh imam muslim “sesungguhnyaْ nabiْ


Shallallahu'alaihi Wasallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara
berhutangْdanْbeliauْmenggadaikanْbajuْbesinya”ْ(ْhadisْriwayatْAlْBukhariْnomorْ25ْ
13 dan Muslim nomor 1603)
 Hadits dari Anas bin Malik Ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi: “telah
meriwayatkan kepada kami nashr bin Ali Al jahdhami, aku telah meriwayatkan kepadaku
meriwayatkan kepada kami Hisyam bin qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah
SAW menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya
dengan gandumْuntukْkeluarganya”.(ْHR.ْIbnuْMajah)
 Hadis Dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, yang berbunyi “telah
meriwayatkan kepada kami Muhammad bin muqatil, mengabarkan kepada kami
Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakaria dari Syabi Dari Abu Hurairah
dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak
dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan titik penggadai wajib memberikan
nafkahْdanْpenerimaْgadaiْbolehْmendapatkanْmanfaatnya”.( HR Al Bukhari)
 Hadis riwayat Abu Hurairah Ra yang berbunyi “barangْgadaiْtidakْbolehْdisembunyikanْ
dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya”.(ْ HR.ْ Asْ Syafi'iْ danْ adْ
daruquthni)
 Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Apabilaْadaْternakْdigadaikanْ
punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai karena ia telah
mengeluarkan biaya untuk menjaganya. apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang
deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai karena ia telah mengeluarkan
biaya. kepada orang yang naik dan minum ia harus mengeluarkan biaya
perawatannya”.(ْHR.ْjamaahْkecualiْmuslimْdanْNasa'i)
 Dalam hadis lain dari Abu Hurairah ra Nabiْ SAWْ bersabda“tidakْ hilangْ suatuْ gadaianْ
dari pemiliknya, keuntungannya dan kerugiannya juga buat dia atau pemiliknya.
 Dalam hadits lain yang diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas RA dinyatakan bahwa
“KetikaْNabiْSAWْwafatْbajuْbesinya masih dalam keadaan menjadi tanggungan utang
20ْsha’ atauْْauْْ50ْkgْْbahanْmakananْyangْdibelinyaْuntukْnafkahْkeluarganya”.( HR.
turmudi).
3. Ijma’ Ulama

Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. hal dimaksudBerdasarkan


pada kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan
makanan dari seorang Yahudi. para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi
Muhammad tersebut, ketika Beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para
sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi
Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan
mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh nabi Muhammad kepada mereka.

4. Ijtihad Ulama

Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-quran dan al-hadits itu dalam
pengembangannya selanjutnya dilakukan oleh para fuqoha dengan jalan ijtihad, dengan
kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian
perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya Pegadaian
menurut landasan hukumnya.

As Syafi'i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria
jelas dalam serah terima. jika kriteria tidak berbeda dengan aslinya maka wajib tidak ada
keputusan. mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad ( Setelah akad) orang yang
menggadaikan dipaksakan untuk menyerahkan borg ( jaminan) untuk dipegang oleh yang
memegang gadaian atau murtahin. jika jaminan sudah berada di tangan pemegang Pegadaian
orang yang menggadaikan mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam
Syafi'i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan Atau
membahayakan pemegang gadaian.

5. Fatwa Dewan Syariah Nasional


Fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia ( DSN- MUI) menjadi salah satu
rujukan yang berkenaan gadai Syariah ah di antaranya Kemukakan sebagai berikut:

 fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 25/ DSN MUI/III/2002,
tentang rahn
 Fatwa dewan Syariah nasional 25/ DSN MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
I. ketentuan umum:
1. murtahin mempunyai hak untuk menahan barang jaminan sampai semua utang
rahim dilunas.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. pada prinsipnya marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali Izin rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan
perawatannya.
3. pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. besar biaya administrasi dan Penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
II. Penjualan marhun
1. apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
hutangnya.
2. apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya maka marhun dijual paksa atau
dieksekusi.
3. hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4. kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban
rahin
III. ketentuan penutup
1. Jika satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara kedua belah pihak, maka penyelesaian nya dilakukan melalui badan
arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
 Dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 25/ DSN MUI/III/2002 tentang
rahn emas, tanggal 14 Muharram 1423 h ( 28 Maret 2002 m) ketentuan pokok dalam
Fatma dsni sebagai berikut:
a. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn
b. ongkos dan biaya penyimpanan barang yang ditanggung oleh penggadai
c. ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang
nyata-nyata diperlukan
d. biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad Ijarah
 Fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 09/DSNMUI/IV/2000
pembiayaan Ijarah 32 ketentuan hukum dan Fatwa DSN MUI nomor
09/DSNMUI/IV/2000 pembiayaan ijarah ini sebagai berikut:
1. rukun dan syarat ijarah
a. Ijab dan qobul, berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
baik secara verbal atau dalam bentuk lain
b. pihak pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa dan penyewa
c. akad ijarah adalah manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah
2. ketentuan objek ijarah
a. objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa
b. manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak

Anda mungkin juga menyukai