Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FIKIH MUAMALAH 2

“BARANG TITIPAN, TABUNGAN, GIRO DAN DEPOSITO”

Makalah ini di susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah 2:

Dosen Pembimbing :

Di Susun Oleh :

1. Arina Awaliyatur Rahmah ( 202101019 )


2. Ahmi Idris ( 202102028 )
3. Neng Wiwi (202101003 )

Jurusan Ekonomi Syariah

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam

Universitas Islam Pelita Bangsa

2021 M/ 1443 H
Barang Titipan, Tabungan, Giro dan Deposito
A. Barang Titipan ( Wadi’ah )
1. Pengertian Al Wadi’ah
Barang titipan (al- wadi’ah ) , secara bahasa ( bughatan ) adalah sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya ( ma wudi’a ‘inda ghairi malikihi
layahfadzahu ), berarti bahwa al wadi’ah ialah memberikan. Makna kedua al wadi’ah dari
segi bahasa adalah menerima seperti orang berkata “awda’tuhu” artinya aku meminta harta
tersebut darinya ( qobiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah indi ). Makna al wadi’ah
memiliki arti yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimanya ( I’tha’u al-
mal liyahfadzahu wa fi qabulihi ).

Sedangkan menurut istilah al wadi’ah adalah transaksi pemberian mandat dari seseorang
yang menitipkan suatu benda kepada orang lain untuk dijaganya sebagaimana mestinya.
Dalam bisnis modern wadi’ah berkaitan dengan penitipan modal pada perbankan, baik
berupa tabungan, giro maupun deposito.

2. Dasar Hukum Al Wadi’ah


Firman Allah swt dalam Q. S. Al Baqarah (2): 283), yang berbunyi :

۞ ‫ض ُك ْم َبعْ ضًا َف ْلي َُؤ ِّد الَّذِى ْاؤ ُتم َِن اَ َما َن َت ٗه َو ْل َي َّت ِق هّٰللا َ َرب َّٗه ۗ َواَل َت ْك ُتمُوا‬ َ ‫َواِنْ ُك ْن ُت ْم َع ٰلى َس َف ٍر َّولَ ْم َت ِجد ُْوا َكا ِتبًا َف ِر ٰهنٌ َّم ْقب ُْو‬
ُ ْ‫ض ٌة ۗ َفاِنْ اَم َِن َبع‬
‫هّٰللا‬
ࣖ ‫ال َّش َها َد ۗ َة َو َمنْ َّي ْك ُت ْم َها َف ِا َّن ٗ ٓه ٰا ِث ٌم َق ْلب ُٗه ۗ َو ُ ِب َما َتعْ َملُ ْو َن َعلِ ْي ٌم‬

“jika kamu dalam perjalanan ( dan bermuamalah tidak secara tunai ) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
( oleh yang berpiutang ). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain. Maka hendaklah Yng dipercayai itu menunaikan amanatnya ( utangnya ) dan
endaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi )
menyembunyikan persaksian dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. ( QS. Al Baqarah [2]: 283)

Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al- Quthni dan riwayat Arar bin
Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. Bersabda : “ Siapa saja yang
dititipi, iatidak berkewajiban menjamin”. (HR. Daruquthni). Ia juga bersabda: ” tidak
ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat”. (HR. Baihaqi)

3. Rukun dan Syarat Al- Wadi’ah


Menurut Syafi’iyah, al wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu :

a. Barang yang dititipkan. Syarat barang yang dititipkan adalah barang yang atau benda
itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan. Disyaratkan bagi penitip dan
penerima titipan sudah baligh, berakal serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan
syarat-syarat berwakil.
c. Pernyataan telah diterima (sighah ijab dan qabul al wadi’ah) disyaratkan pada ijab
kabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
4. Hukum Menerima Benda Titipan
Dijelaskan oleh Sehendi (2006: 183) bahwa hukum menerima bneda titipan ada empat
macam yaitu wajib, sunah, haram dan makruh. Penjelasan sebagai berikut :

a. Sunah, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa
dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al wadi’ah adalah
salah satu bentuk tolong- menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an,
tolong menolong secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunnah menerima
benda titipan ketika ada orang lain yang pantas untuk menerima titipan.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara bneda-benda tersebut.
c. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda
titipan karena dapat menimbulkan kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan
sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga
benda-benda titipan, tetapi kurang yakin (ragu) pada kemampuannya mka bagi orang
seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan
berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau
menghilangkannya.
5. Rusak dan Hilangnya Benda Titipan
Suhendi (2008: 184- 185) mengungkapkan pendapat Sulaiman Rasyid bahwa jika
orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa
unsur kesengajaan darinya maka ucapannya harus disertai dengan sumpah supaya
perkataannya itu kuat menurut hukum, namun Ibnu al- Munzir berpendapat bahwa orang
tersebut sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.

Menurut Ibnu Taimiyah, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan


mengaku bahwa benda titipan ada yang mencuri, sementara harta yang ia kelola tidak ada
yang mencuri maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib
menggantinya.

Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan milik
orang lain, ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan maka barang
titipan tersebut merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para
ahli warisnya.

Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehungga
ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan
sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh
keterangan yang jelas maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk
kepentingan agama islam dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara
masalah-masalah yang penting.
B. Tabungan, Giro dan Deposito
1. Pengertian Tabungan
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-
syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau
alat lain yang dipersamakan dengannya.

Ketentuan- ketentuan Hukum Tabungan


Berdasarkan fatwa DSN No. 02/ DSN-MUI/ IV/ 2000 menetapkan bahwa tabungan
itu ada dua jenis, yaitu :

a. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan
perhitungan bunga.
b. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah.
Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah adalah sebagai berikut :

a. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mall atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
b. Dalam prinsipnya, sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha
yang tidak bertentangan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk
didalamnya mudharabah pada pihak lain.
c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
d. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.
Hal yang menjadi pertimbangan DSN sehingga mengeluarkan fatwa tentang tabungan
adalah :

a. Terkait dengan keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan


penyimpanan kekayaan.
b. Kegiatan tabungan tidak semuanya dapat dibenarkan oleh bukum islam (syariah).
Pertimbangan tabungan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam Surah An- Nisa ayat 29:
‫هّٰللا‬
َ ‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل َت ْق ُتلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِنَّ َ َك‬
‫ان ِب ُك ْم َر ِح ْي ًم‬ ٍ ‫ار ًة َعنْ َت َر‬ َ َ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َتأْ ُكلُ ْٓوا ا‬
َ ‫مْوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل ِآاَّل اَنْ َت ُك ْو َن ت َِج‬

“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (QS. An- Nisa [4]: 29)
Rasulullah saw bersabda: “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu
dilanggar Rasulullah, beliau membenarkannya”. (HR. At Tabrani)

Rasulullah saw. Juga bersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, meqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandung dengan jewawut untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah saw. Bersabda: “Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terkait dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. Tirmidzi)

Sementara ijma’ menunjukkan bahwa: sejumlah sahabat menyerahkan kepada orang


(mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorangpun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Zuhaily, 1989: 838 Juz IV). Adapun
qiyasnya, transaksi mudharabah, diqiyaskan kepada transaksi musaqah. Sementara kaidah
fikih menunjukkan bahwa: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

2. Giro
Pengelolaan dana masyarakat yang dihimpun bank syariah dalam bentuk giro dapat
menggunakan akad Wadi’ah yadh dhamanah dengan prinsip titipan dan bagi hasil
(Mudharabah). Bank bertanggungjawab menjaga keamanan dan ketersediaan dana yang
diperlukan oleh nasabah dalam mata uang rupiah atau valuta asing sebagai simpanan dana
pihak ketiga.

Penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro atau
sarana perintah pembayaran lain sesuai dengan ketentuan dan persyaratan bank (Abd. Hadi,
2018: 114).

Ketentuan Giro di Perbankan Syariah, terdapat pada DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000


tentang Giro

Pertama: Giro ada dua jenis:

a. Giro yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang

berdasarkan perhitungan bunga.

b. Giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan

prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.

Kedua : Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah:


a.Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

Ketentuan umum giro berdasarkan wadi’ah adalah sebagai berikut :

a. Bersifat simpanan.
b. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang diisyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
3. Deposito
Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik
perbankan syariah hanya digunakan akad Mudharabah. Melalui akad mudharabah ini pada
awal perjanjian telah ditentukan berapa nisbah bagi asil baik bagi pihak nasabah maupun bagi
pihak bank syariah (Mardani: 159).

Ketentuan Deposito di Perbankan Syariah, terdapat pada Fatwa DSN No. 03/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Deposito.

Pertama: Deposito ada dua jenis:

a. Deposito yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu deposito yang

berdasarkan perhitungan bunga.

b. Deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip

mudharabah.

Kedua: Ketentuan Umum Deposito berdasarkan Mudharabah:

a. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

b. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip

syariah dan mengembangkannya, termasuk di mudharabah dengan pihak lain.

c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

d. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.

e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.

f. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.

Ketentuan lain, selain ketentuan yang dijelaskan pada ketentuan pertama dan kedua, yaitu:
a. Pengelolaan dana oleh bank dapat dilakukan sesuai batasan-batasan yang ditetapkan oleh
pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan tanpa batasan-batasan dari pemilik
dana (mudharabah muthlaqah).

b. Dalam mudharabah muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan batasan-
batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah.

c. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya adminitrasi berupa biaya-biaya yang
terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya materai, cetak laporan
transaksi dan saldo rekening, pembukaan, dan penutupan rekening.
Kesimpulan

Pengertian Al Wadi’ah
Barang titipan (al- wadi’ah ) , secara bahasa ( bughatan ) adalah sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya ( ma wudi’a ‘inda ghairi malikihi
layahfadzahu ), berarti bahwa al wadi’ah ialah memberikan.

Sedangkan menurut istilah al wadi’ah adalah transaksi pemberian mandat dari seseorang
yang menitipkan suatu benda kepada orang lain untuk dijaganya sebagaimana mestinya.

Menurut Syafi’iyah, al wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu :

a. Barang yang dititipkan.


b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan.
c. Pernyataan telah diterima (sighah ijab dan qabul al wadi’ah)

Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehungga ia
tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah
berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang
jelas maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama islam
dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.

Pengertian Tabungan
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-
syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau
alat lain yang dipersamakan dengannya.

Berdasarkan fatwa DSN No. 02/ DSN-MUI/ IV/ 2000 menetapkan bahwa tabungan itu
ada dua jenis, yaitu :

a. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan
perhitungan bunga.
b. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah.

Giro
Pengelolaan dana masyarakat yang dihimpun bank syariah dalam bentuk giro dapat
menggunakan akad Wadi’ah yadh dhamanah dengan prinsip titipan dan bagi hasil
(Mudharabah).

Penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro atau
sarana perintah pembayaran lain sesuai dengan ketentuan dan persyaratan bank

Deposito
Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik
perbankan syariah hanya digunakan akad Mudharabah.
Saran

Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat untuk kita semua serta menambah
pengetahuan kita tentang agama islam dan bisa memahami islam lebih dalam lagi salah satunya
tentang fikih muamalah khususnya tentang tabungan, giro dan deposito yang sesuai dengan syariat
islam.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini baik dari tulisan atau yang
lainya,kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.barangkali ada saran atau kritik dari pembaca kami
menerimanya dengan senang hati karena untuk penyempurnaan makalah kami.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
Daftar Pustaka
www.quran.kemenag.go.id

Nawawi, Ismail. 2012, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia

https://journal.stikomyos.ac.id/index.php/jurnal-hummansi/articel/download/258/158/

Anda mungkin juga menyukai