Anda di halaman 1dari 45

Wadi’ah

Pengertian wadi’ah
Secara etimologi = titipan.
Secara terminologi :

‫تسليط الغير على حفظ ماله‬


Ini rumusan
Hanafiyah

Memberikan wewenang kepada orang lain


untuk menjaga hartanya
Malikiyah,
Syafi’iyah &
Hanabilah

‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬


Mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu
dengan cara tertentu
WADI’AH
Akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan
suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut
kebiasaan).

Dari pengertian ini maka dapat dipahami


bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan,
padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib
menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan
karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya.

Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur


amanah,kepercayaan (trusty)
Sabda Nabi Muhammad Saw
(Riwayat Baihaqy dan Darul Quthniy)

‫ليس على المستودع غير المغل ضمان‬


Orang yang menerima titipan barang, apabila tidak
melaukkan pengkhianatan, maka tidak dikenakan
ganti rugi.

Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah


Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad tijari
Sabda Nabi
Muhammad
Saw ‫ال ضمان على مؤتمن‬

Tidak ada tanggung jawab mengganti bagi orang yang


menerima amanah (titipan)
Dasar Hukum Syariah Wadiah

‫اهلل َربَُّه‬ ِ
‫َّق‬
‫ت‬‫ي‬‫ل‬
‫و‬ ،‫ه‬‫ت‬‫ن‬‫ا‬‫َم‬
‫أ‬ ‫ن‬ِ‫اؤ‬ ‫ى‬‫ذ‬ِ َّ
‫ل‬‫ا‬ ‫د‬‫ؤ‬ ِ ِ
ْ
َ َ َ َُ َ َ َ ‫مُت‬ ْ ِّ َُ ً ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ‫ف‬...
‫ي‬‫ل‬
ْ‫ف‬
َ ‫ا‬‫ض‬‫ع‬‫ب‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ض‬‫ع‬‫ب‬ ‫ن‬‫َم‬‫أ‬ ‫ن‬
ْ ‫إ‬

Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian


yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya…”. (Al-Baqarah : 283)
Firman Allah : An-Nisa’ :58
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya……(Al-Nisa’: 58)
 

Sabda Nabi Saw : Serahkanlah amanat kepada


orang yang mempercayai anda dan janganlah
anda mengkhianati orang yang mengkhianati
anda (HR. Abu Daud, Tirmizi, dan Hakim)
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “ Tunaikanlah amanat ( titipan )
kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar berkata, bahwasanya Rasulullah
SAW telah bersabda, “tiada kesempurnaan iman
bagi setiap orang yang tidak beramanah , tiada
shalat bagi orang yang tidak bersuci.” (HR.
Thabrani)
RUKUN WADI’AH

1. Barang yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)


2. Pemilik barang/uang, yang bertindak
sebagai pihak yang minitipkan (muwaddi’)
3. Pihak yang menyimpan atau memberikan
jasa custodian (mustawda’)
4. Ijab qabul (sighat)
FIQH MUAMALAH (4)
A. AL-WADI’AH (Depository).
1.Pengertian:
a. Secara etimologi berarti “meninggalkan”, karena barang yang dititip
ditinggal di pihak yang tempati menitip.
b. Secara terminologi:
1) Hanafiah: al-wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk
dipeliharakan kepada orang lain (Ibrahim Abi, Lisan al-hukkam (273))
2) Malikiah: al-wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang
lain untuk dipeliharakan (Ahamd An-Nafrawi, Al-Fawakih ad-dawani
(2/162))
3) Syafi’iah: al-wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan ditempat
orang lain untuk dipeliharakan (AnNawawi, Raudhah ath-talibin (6/324))
4) Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk
memeliharanya tanpa adanya ganti rugi (al-Bahwati, Sayarah Muntaha al-
iradat (2/352))
5) Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya (Lihat:
Sayed Sabiq: Fiqhus Sunnah().
2. Landasan syariah dalam praktik al-wadi’ah adalah:
(a) Al-Quran:
1) (QS. An-Nisa: 58: (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan
amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya);
2) QS. Al-Baqarah: 283: (Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya).
(b) Al-Hadits:
3) HR. Abu Daud: (Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan
jangan membalas khiyanat kepada orang yang telah menghianatimu). Hadits
tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits “hasan” sedang Imam Al-Hakim
mengkategorikan sebagai hadits sahih.
4) HR. At-Thabrani, diriwayatkan: Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah telah
bersabda: Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah,
tiada shalat bagi yang tidak bersuci).
(c) Al-Ijma’ (Konsensus): Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan
ijma’ (consensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah, karena kebutuhan manusia
terhadap hal tersebut jelas terlihat. (Lihat: Ibn Qudamah dalam Al-Mughni dan
Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).
3. Rukun Al-Wadi’ah:
a. Menurut Hanafiah: Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya
pernyataan kehendak (sighat: ijab (ungkapan kehendak menitipkan
barang dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan kesiapan menerima titipan
tersebut oleh pihak yang dititipi).
b. Namun menurut Jumhur ulama Fiqh: Rukun wadi’ah ada tiga: (1) ada
pelaku akad (‫ن‬c‫اقدا‬ccc‫ا‬
‫( ;) لع‬2) barang titipan; dan (3) pernyataan kehendak (sighat
ijab dan qabul) baik dilakukan secara lafad atau hanya tindakan.
4. Syarat Al-Wadi’ah:
c. Syarat wadi’ah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad disyaratkan
harus orang yang berakal, sehingga sekalipun anak kecil namun sudah
dianggap telah berakal dan mendapat izin dari walinya, akad wadi’ahnya
dianggap sah.
d. Jumhur mensyaratkan dalam wadi’ah agar pihak pelaku akad telah balig,
berakal dan cerdas, karena akad wadi’ah mengandung banyak resiko,
sehingga sekalipun berakal dan telah balig namun tidak cerdas menurut
Jumhur akad wadi’ahnya tidak dianggap sah.
 Pada prinsip dasarnya, pihak penerima simpanan adalah yad amanah (tangan
amanah) yang berarti bahwa “ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama bukan dari akibat kelalaian
atau kecerobohannya dalam memelihara barang titipan tersebut”.
 Namun pada era perekonomian modern, tidak mungkin si penerima titipan
tersebut akan meng-idle-kan asset tersebut, melainkan akan menggunakan
dalam aktifitas perekonomian tertentu. Sekalipun tetap disyaratkan agar ia
meminta izin kepada pihak penitip barang tersebut untuk kemudian
menggunakannya.
 Dalam kondisi seperti ini, al-wadi’ah tidak lagi berarti yad amanah tapi
berobah menjadi yad dhamanah (tangan penanggung), yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang
tersebut.
Skema al-wadi’ah yad al-amanah:

NASABAH Titipan Barang BANK


Muwaddi’ Mutawadda’
(Penitip) (Penyimpan)
Beban Biaya Penitipan

Pada skema di atas, pihak yang menerima titipan tidak boleh


menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.
Tapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima
titipan dapat saja membebankan biaya penitipan kepada penitip.
Skema al-wadi’ah yad adh-dhamanah

NASABAH 1. Titip Dana BANK


Muwaddi’ Mutawadda’
(Penitip) 4. Beri Bonus (Penyimpan)

2. Pemanfaatan dana
3. Bagi Hasil

USER
OF FUND
(Dunia Usaha)

Dalam skema dia atas, adalah “al-wadi’ah yad adh-dhamanah”, bank sebagai penerima simpanan dapat
memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan giro (current account) dan tabungan berjangka (saving account).
Sebagai konsekuensi dari dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut
menjadi hak bank, demikian juga sebaliknya, pihak bank akan bertanggung jawab atas seluruh kemungkinan
kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya.
 Bank yang berstatus sebagai penerima dan sekaligus pengguna titipan dengan
memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacan insentif
berupa bonus dengan catatan hal itu tidak menjadi syarat sebelumnya dan
jumlahnya juga tidak ditentukan dalam nominal atau persentase secara advance,
tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manjemen bank. Dalam hal ini,
Abu Rifai’ pernah meriwayatkan hadits Rasulullah: Beliau pernah meminta
seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban
(berumur + 2 tahun), setelah selang beberapa waktu Rasulullah memerintahkan
kepada Abu Rifai’ untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, akan
tetapi Abu Rifai’ kembali menghadap kepada Rasulullah dan berkata: Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang
lebih besar dan berumur empat tahun, Rasulullah menjawab: Berikanlah itu
karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar).
 Dewasa ini telah banyak bank Islam yang telah berhasil mengkombinasikan
antara sistem transaksi al-wadi’ah dengan sistem transaksi mudharabah,
sehingga dalam kombinasi tersebut dewan direksi menentukan besaran bonus
dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-
wadi’ah dalam satu periode tertentu.
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
(DSN) TENTANG DEPOSITO

DSN menetapkan:
1. Deposito ada dua macam:
a. Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu deposito yang
berdasarkan perhitungan bunga.
b. Deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip
mudhrabah.
2. Ketentuan umum Deposito berdasarkan mudharabah:
c. Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau
pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
d. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak
lain.
e. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
d. Pembagian keuntungan harus dinyyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Fatwa tersebut didasarkan atas:
g. QS. An-Nisa: 29: (Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela di antaramu…)
h. QS. Al-Baqarah: 283: (Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah…)
i. QS. Al-Maidah: 1: (Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad
(janji-janji itu…)
d. HR. At-Tabrani (290) dari Ibn Abbas: Abbas bin Abdul Muttali saat
menyerahkan harta sebagai muudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-
nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membernrkannya). (Perawi hadis ini terdapat Abu Garud al-
a’ma, yang hadisnya tidak diterima karena dianggap ppembohong, sehingga
dianggap hadis tersebut lemah (Ali Al-Haitsami, Majma’ az-awaid (4/161)
e. HR. Ibn Majah (2289) dari Shuhaib: (Nabi bersabda: ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muuqaradhah (mudharabah)
danmencapur gandum dengan jewawut (makaroni) untuk keperluan rumah
tangga, bukan untuk dijual).
f. HR. At-Turmuzi (135), Abu Daud (3594), Ibn Majah (2353) dari Amr bin
‘Auf: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram).
g. Ijma’: Sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta
anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun
mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’
(Wahbah, Fiqh al-Islam (4/838).
h. Qiyas: Transaksi Mudharabah diqiyas-kan kepada transaksi musaqah.
i. Kaidah Fiqh:
‫األصل في المعامالت اإلباحة حتى يدل الدليل على تحريمها‬
(Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
y. Para ulama menyatakan bahwa dalam kenyataan banyak orang yang
mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha
memproduktifkan; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak
memiliki harta kekayaan namun ia mempunyai kemampuan dalam
memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di
antara kedua pihak tersebut.
Wadiah di Bank Syariah
Bagi Hasil
(Profit &
Titipan Loss Jual-Beli
(al Wadi’ah) Sharing) (al Bai’)
Depository Sale &
Purchase
Bank Syariah
Mekanisme
Operasional
(Prinsip & Piranti Keuangannya)

Jasa
Sewa
(Ujroh)
(Ijarah)
Fee-based al-Qard Lease
Service (Soft &
Benevolent
Loan)
Penghimpunan
dana

Prinsip wadiah
• Wadiah yad dhamanah

Prinsip • Mudharabah mutlaqah


Mudharabah (Investasi Tidak Terikat /
Unrestricted Investment)
• Mudharabah Muqayyadah
(Investasi Terikat / Restricted
Investment)
Akad Wadiah
di Bank Syariah saat ini
Akad titipan pihak yang mempunyai barang atau uang
kepada pihak yang diberi kepercayaan untuk
keselamatan, keamanan serta keutuhan harta titipan
tersebut.
Berdasarkan jenisnya :
• Wadiah Yad Amanah, aplikasi di perbankan Safe
Deposit Box
• Wadiah Yad Dhamanah, aplikasi di perbankan
Giro dan tabungan.

Menyebutkan Contoh Wadiah Yad Amanah dgn SDB,


tidak sesuai dgn prinsip wadiah yad Amanah
Skema Wadiah Yad Amanah menurut sebagian Tex book Indonesia

Titip barang

Bebankan biaya penitipan


Penentuan nama wadiah apakah yad amanah atau
dhamanah, dilihat dari tanggung jawab
penggantian barang titipan, jika penerima titipan
bertanggung jawab, maka namanya dhamanah.
Jika tidak bertanggung jawab namanya amanah.
Dalam SDB, Lembaga Bank bertanggung jawab,
maka namanya adalah wadiah yad dhamanah.
Hal ini sesuai dengan fatwa DSN MUI Tahun 2002.
Menurut fatwa DSN-MUI
No.24/III/2002 Tentang SAFE DEPOSIT BOX

MEMUTUSKAN :
Berdasarkan sifat dan karakternya, Safe
Deposit Box dilakukan dengan menggunakan
akad Ijarah (sewa).

Jadi,
Bukan akad
wadiah yad Amanah,
tetapi
Yad Dhamanah
Lanjutan fatwa DSN-MUI
Barang-barang yang dapat disimpan dalam SDB
adalah barang yang berharga yang tidak
diharamkan dan tidak dilarang oleh negara
Besar biaya sewa ditetapkan berdasarkan
kesepakatan
Hak dan kewajiban pemberi sewa (bank) dan
penyewa (nasabah) ditentukan berdasarkan
kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan
rukun dan syarat Ijarah.
Skema Wadiah Yad Amanah

(Penitip, (Penyimpan,
Muwaddi) Mustawda’)
Titip barang/uang

 Wadiah Yad al Amanah


 Produk Wadiah yad Amanah, tidak ada di lembaga perbankan.
 Jika barang hilang/rusak bukan karena kelalaian atau alasan-
alasan syar’iy lainnya , maka mustawda’ tidak bertanggung jawab
Skema Wadiah Yad Dhamanah di Bank Syariah

1. Titip Barang/uang
Nasabah Bank
(Penitip) (Penyimpan)
Mustawdi Mustawda’
4. Beri Bonus
2.
3.Bagi Hasil Pemanfaatan
 Wadiah Yad adh Dhamanah Barang/uang
 Penyimpan boleh memanfaatkan
barang/uang titipan.
 Keuntungan sepenuhnya menjadi milik
penyimpan.
 Penyimpan dapat memberikan insentif Pengguna
(bonus) kepada penitip yang tidak bleh
dijanjikan dalam akad Dana
Kesimpulan Definisi :
WADI’AH YAD AL-AMANAH
Akad penitipan barang/uang di mana pihak
penerima titipan tidak diperkenankan
menggunakan barang/uang yang dititipkan
dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan
atau kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan perbuatan atau kelalaian
penerima.
WADI’AH YAD ADH-DHAMANAH
Akad penitipan barang/uang di mana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin
pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggung
jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan. Semua manfaat dan
keuntungan yang diperoleh dalam
penggunaan barang/uang tersebut menjadi
hak penerima titipan.

Hanya sebagian Ulama Malikiyah yang menyatakan


keuntungan untuk Baitul Mal/Negara
Titip uang/barang

Tidak memberikan apapun,


Kecuali bonus secara sepihak
PENGHIMPUNAN DANA PENYALURAN DANA
Menitipkan
Nasabah Dana
(Penitip) Bank
Pemanfaatan
dana

Beri Bonus

bagi hasil /
MARGIN
Pengguna Dana
(Nasabah)
Perbedaan Antara Jasa Giro/Bunga dan Bonus Wadiah

NO JASA GIRO BONUS ( ATHAYA )


1 Diperjanjikan Tidak diperjanjikan

2 Disebutkan dalam akad Benar – benar merupakan


budi baik bank

3 Ditentukan dalam Ditentukan sesuai dengan


persentase yang tetap keuntungan riil bank
Bonus pada Wadiah dari Mustawda’
Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, jika barang
titipan itu dimanfaatkan oleh mustawda’ (misalnya
bank, red), kemudian dikembalikan lagi secara
utuh, ditambah kelebihan yang tidak disyaratkan
sejak awal, maka hukumnya boleh
Menurut Syafi’iyah, hal itu tidak boleh.
Tetapi ada sebagian Malikiyah yang berpendapat
bahwa keuntungan dari pemanfaatan harta wadiah
diserahkan (disedeqahkan) untuk Baitul Mal.
Bagaimana dengan penitipan kenderaan di area parkir
?
Penitipan barang di hotel ?
Penitipan barang di pesawat ?
Penitipan barang di locker-locker ?
SKEMA WADIAH YAD DHAMANAH
2. Penyerahan Uang

1. Akad Wadi’ah
Mustawda’
Muwaddi’ (Bank)
6. Mustawada’
memberikan bonus 3. Pemanfaatan barang/uang

5. Pengembalian uang
Pemanfaatan 4. Memperoleh
Barang/Uang manfaat
barang/uang
WADIAH

RUKUN APLIKASI DALAM


WADIAH PERBANKAN

YANG BERAKAD BARANG TITIPAN IJAB QOBUL

Penitip : Yg Dititipi Jelas


Baligh Baligh Identitasnya AKAD
AKAD GIRO
Berakal Berakal Bisa Dikuasasi
TABUNGAN
Cerdas Cerdas
Dhaman Amanah DEPOSIT BOX ?

AMANAH BERUBAH JADI DHAMAN, JIKA

1. Barang tidak dipelihara semestinya


Balig&berakal
2. Barang dititipkan lagi kepada pihak ketiga
(19 Thn LK 3. Barang dimanfaatkan oleh yg dititipi
16 Thn PR) 4. Orang yg dititipi mengingkari
5. Barang dicampur dg milik pribadi
6. Melanggar syarat yang ditentukan
7. Barang titipan dibawa pergi jauh
Perubahan dari wadiah amanah
mernjadi wadiah dhamanah

Barang tersebut tidak dipelihara dengan semestinya.

Jika ada orang lain yang merusak barang itu, tetapi penerima titipan
tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu,
maka ia dianggap melakukann kesalahan,
karena itu ia wajib mengganti barang titipan tsb
Lanjutan…
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang
dititipi.
Orang yang dititipi mencampurkannya dengan harta
pribadinya, sehingga sulit dipisahkan.
Barang titipan dititipkan lagi kepada pihak ketiga yang
bukan keluarga dekat.
Orang yang dititipi mengingakri adanya wadiah.
Misalnya, ketika penitip meminta kembali barang
titipannya, lalu mustawda mengingkarinya atau
menyembunyikan nya, maka ia dikenakan ganti rugi
Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah
ditentukan (disepakati). Misalnya, pemilik barang
mensyaratkan bahwa barang itu disimpan di kamar, di
brankas atau tempat tertentu. Namun syarat itu tidak
dipenuhi mustawda’,maka bila barang itu hilang/rusak,
maka ia dikenakan ganti rugi.
SEKIAN

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai