Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“HAJAR/PENYITAAN”
Laporan ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kulia Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :
Putri Nur Aulia
21846027

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkat, rahmat dan

hidayah-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini yang membahas tentang

“Hajar/Penyitaan”.

Sholawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan  kita

Nabi Besar Muhammad SAW, para sahabat dan para pengikutnya.

Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena

itu sangat diharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing yang bersifat

membangun dari bidang studi ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran tersebut

dapat bermanfaat dan menjadi pedoman bagi saya dalam penyusunan makalah ini

pada khususnya dan para pembaca, segala kelebihan hanya milik Allah SWT semata

dan segala kesalahan dan kekurangan milik hambanya.

Garut, 14 januari 2022

   
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR  ..................................................................................          ii

DAFTAR ISI                ..................................................................................          iii

BAB I PENDAHLUAN

A.    Latar belakang                  ……………………………….......………………...      1

B.    Rumusan Masalah            …………………………………….......…………...      1

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hajar/Penyitaan   ……………….................................................   2

B. Tujuan Hajar/Penyitaan ………………................................................. 2

C. Bentuk Hajar/Penyitaan ………………................................................. 3

D.    Hukum Hajar/Penyitaan    …...............................................……………… 4

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan                       …………………………………….....…................       6

B.    Saran                                  …………………….....…………………................       6

DAFTAR PUSTAKA                .................................................................................      7


BAB 1

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain,saling  tolong-menolong, tukar menukar
keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain, baik bersifat pribadi maupun untuk
kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan
menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna
menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan
teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baikny

B.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:

1.    Apa yang dimaksud dengan Hajar/Penyitaan

2.    Hukum Penyitaan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Hajar/Penyitaan

Penyitaan berasal dari terminology beslag (belanda), dan istilah indonesia


beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Penyitaan adalah salah
satu
upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d
46 KUHAP, Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan,
Pasal 128 s/d 130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP.

Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan yang dilakukan

oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas suatu barang, baik barang
bergerak maupun barang tidak bergerak yang diduga terkait erat dengan tindak
pidana yang sedang terjadi. (Hartono, 2010:182).

Penyitaan sendiri diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau


pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan
hukum mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan (Andi Hamzah,
1986 : 122).

Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang


berbunyi : “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan (KUHAP, Pasal 1 butir 16).
B. Tujuan Hajar/Penyitaan
Tujuan dari al-hajru atau sita adalah :
a. Untuk kemaslahatan pemiliknya seperti al-hajru pada anak kecil, orang gila
dan
orang bodoh. Kalau harta ini diserahkan kepada mereka, tidak akan membawa
kebaikan, sebab mereka tidak bisa menggunakan dengan baik, sehingga
membawa
kerugian. Anak kecil belum bisa berpikir, orang yang gila tidak bisa berpikir,
dan
orang yang bodoh tidak akan mampu menggunakan pikirannya. Maka harta
mereka ditahan oleh walinya yang diberikan untuk memeliharanya. Allah
berfirman :
... ‫ض ِعیفًا َأو ْ ال َ یَ ْست َِط یع ُ َأن ْ یُ ِمل َّ ھُو َ فَ ْلیُ ْملِل ْ َو لِ ُّی ھ ُ ِب ْال َع ْدل‬
َ ْ ‫ِ فَِإن ْ َكان َ ا َّل ِذي َعلَیْھ ِ ْال َحق ُّ َسفِیھًا َأو‬
Artinya :
“...Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur...”8
Ayat ini mengajarkan agar mereka diuji apakah sudah bisa diserahkan
hartanya atau belum. Kalau ternyata sudah mampu, maka hartanya diserahkan.
Tetapi
kalau belum, maka tidak boleh diserahkan, menunggu sampai bisa.
b. Untuk kemaslahatan orang lain seperti pada muflis (pailit) karena banyak
hutang.
Mencegah harta atau menyita harta muflis adalah untuk menjaga kemaslahatan
orang-orang yang menghutanginya. Pemerintah juga bisa menyita atau menahan
untuk tidak memberikan hartanya kepadanya demi kemaslahatan orang yang
menghutangi. Dengan demikian, orang yang menghutangi tidak dirugikan
c. Tindakan terhadap wanprestasi. Dalam hukum Islam, perlakuan terhadap
orang
yang berhutang yang tidak dapat membayar hutangnya dilakukan beberapa
tahap
hingga boleh dilakukan penyitaan, itupun harus dengan prosedur yang berlaku :
d. Penangguhan dan pemutihan hutang yang tidak mampu bayar. Di dalam
hukum
Islam, kreditur dianjurkan untuk memberikan perpanjangan waktu terhadap
pembayaran hutang
Penyitaan bagi yang tidak mau bayar dan pailit (al-Muflis). Mengenai masalah
penyitaan bagi orang yang tidak mau bayar ini dapat dilakukan secara langsung
oleh
dirinya sendiri atau melaui pengajuan ke pengadilan, seperti kasus Mu’adz, di
mana
Ka’ab bin Malik menceritakan bahwa :
ْ
َ ‫ص َّل ى ﷲ ُ ◌ َعلَیْھ ِ َو َس َّل م َ َح َج ر َ َعلَى ُم َعاذ ٍ َمالَھ ُ و َ بَاعَھ ُ فِى د‬ َّ ‫عَن َكعْب ِ ابْن ِ َمالِك ٍ َّ َأن‬
َ َّ ‫الن بِي‬
‫ِ یْن ٍ َكان َ َعلَیْھ‬
Artinya :
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah menyita harta
Mu’adz dan menjualnya untuk membayar hutangnya”. (HR. ad-Daar al-
Quthni).

D. Bentuk Hajar/Peyitaan
Dengan melihat ketentuan yang mengatur tentang penyitaan, di dalam
undang-undang dibedakan beberapa bentuk dan tata cara penyitaan. Antara lain
sebagai berikut :
a.) Penyitaan biasa
Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk biasa atau umum adalah
Pertama, harus ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan. Kedua,
memperlihatkan dan menunjukkan tanda pengenal. Ketiga, memperlihatkan
benda yang akan disita. Keempat, dalam melakukan penyitaan harus
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
Kelima, menyampaikan turunan berita acara penyitaan dan. Keenam,
membungkus benda sitaan (M.Yahya Harahap, 2007:266-268).
b.) Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak
Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan keadaan perlu dan
mendesak ialah bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau
barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut di
khawatirkan bahwa benda atau barang bukti itu akan segera dilarikan atau
dimusnahkan ataupun dipindahkan oleh tersangka.

E. Hukum Penyitaan
Ketika seseorang memiliki utang berupa uang atau lainnya kepada orang lain,
maka dia wajib untuk segera melunasinya. Jika sudah mampu dan pembayaran
sudah jatuh tempo, maka dia tidak boleh mengulur dan menunda pelunasan
utang. Namun bagaimana jika tidak mampu, apakah barang miliknya boleh
disita sebagai ganti dari utang yang tidak mampu dibayarnya?

Menyita barang orang lain sebagai ganti dari utang yang tidak mampu
dibayarnya hukumnya adalah boleh. Tentu dalam proses menyita barang
tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan oleh syariat. Ada dua
ketentuan yang harus diperhatikan ketika menyita barang orang lain karena
tidak mampu membayar utang.

Pertama, menyita barang merupakan jalan dan alternatif terakhir. Dengan


demikian, jika masih ada cara lain selain menyita barang, maka tidak
diperkenankan menyita barang. Dalam Islam, setiap orang dianjurkan untuk
mengambil haknya dengan cara yang baik. Disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu
Majah dari Ibnu Umar dan Aisyah,  Nabi saw bersabda;

ٍ ‫ َأوْ َغي ِْر َو‬،‫اف‬


‫اف‬ ٍ ‫اف َو‬ ْ َ‫ب َحقًّا فَ ْلي‬
ٍ َ‫طلُ ْبهُ فِي َعف‬ َ ‫َم ْن‬
َ َ‫طل‬

“Barangsiapa menuntut haknya, maka hendaknya dia menuntutnya dengan baik,


baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin
menunaikannya.”

Kedua, barang yang disita adalah barang sejenis atau senilai dengan utang
pemilik barang tersebut, tidak boleh lebih. Jika barang yang disita bukan sejenis
dengan utang pemilik barang, maka barang tersebut wajib dijual dan sisanya
dikembalikan pada pemilik barang.
Misalnya, Ahmad mempunyai utang uang sebanyak 500 ribu pada Hasan.
Karena Ahmad tidak mampu bayar, maka Hasan mengambil hp Ahmad yang
harganya satu juta. Maka hp tersebut wajib dijual dan Hasan wajib mengambil
500 ribu dari hasil penjualan hp tersebut, sementara sisanya wajib dikembalikan
pada Ahmad.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hasyiyatul Jamal berikut;

َ ‫ق َع ْينًا َأو َد ْينًا َعلَى َغي ِْر ُم ْمتَنِ ٍع طَالَبَهُ َأوْ ُم ْمتَنِ ٍع َأخَ َذ ِج ْن‬
ُ‫فَيَبِي ُعه‬  ُ‫س َحقِّ ِه فَيَ ْملِ ُكهُ ثُ َّم َغي َْره‬ َّ ‫َوِإ ْن ا ْست ََح‬

“Jika seseorang berhak atas satu barang atau utang atas orang yang tidak
menolak untuk membayar, maka dia harus memintanya, atau utang atas orang
yang menolak untuk membayar, maka dia boleh mengambil barang yang sejenis
dengan utangnya dan kemudian memilikinya, atau mengambil barang yang
tidak sejenis, maka wajib menjualnya.”
BAB III
A. Kesimpulan
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum dan penyitaan akan ada jika kita ingkar dalam
janji akad utang piutang.
B. Saran
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merugikan pihak
kreditur dan debitur akibat dari penyitaan serta merta yang dilakukan oleh
kreditur terhadap barang yang menjadi objek jaminan maka seharusnya
kreditur menyelesaikan perkara utang-piutang tersebut apabila debitur
mengalami wanprestasi dengan ketentuan hukum yang sudah berlaku. Jadilah
kreditur yang baik, adil, dan jujur.
DAFTAR PUSTAKA

https://bincangsyariah.com/kalam/hukum-menyita-barang-orang-yang-tak-
mampu-bayar-utang/
http://eprints.uny.ac.id/18199/2/4.%20BAB%20II.pdf
https://izha-serbaserbi.blogspot.com/2017/09/makalah-muamalah-jual-beli-
dalam-islam.html
https://www.pta-bengkulu.go.id/images/artikel/sekitar%20penyitaan.pdf
http://siat.ung.ac.id/files/wisuda/2014-2-1-74201-271410152-bab5-
20012015031341.pdf

Anda mungkin juga menyukai