Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP TAFLIS DAN STATUS


ORANG MUFLIS (PAILIT)

DISUSUN OLEH:

GANDHI SULAIMAN SITOMPUL


NIM. 0505212058

MATA KULIAH: FIQH MUAMALAH

DOSEN PENGAMPU: TUTI ANGGRAINI, M.A

PROGRAM STUDI ASURANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Pemakalah sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi
agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Mei 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i


DAFTAR ISI. ......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN. ..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah. .........................................................................1
B. Rumusan Masalah. ..................................................................................1
C. Tujuan Masalah. ......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................2
A. Konsep Taflis (Pailit). .............................................................................2
1. Pengertian Taflis (Pailit)...................................................................2
2. Dasar Hukum Pailit. .........................................................................3
3. Syarat-Syarat Mengajukan Pailit......................................................4
4. Prosedur Permohonan Pailit. ............................................................7
5. Penetapan Seseorang Jatuh Pailit. ....................................................11
B. Status Hukum Orang Muflis (Pailit)........................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan. ............................................................................................14
B. Saran. .......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Taflis merupakan keadaan seseorang yang banyak utang yang
menyebabkan ia tidak dapat membayar semua utang dengan harta yang
dimilikinya sehingga hakim menyatakan ia bangkrut yang berakibat ia
terlarang melakukan tindakan hukum terhadap harta yang dimilikinya.
Sementara itu, muflis merupakan orang yang tidak memiliki harta atau secara
istilah adalah orang yang tidak dapat melunasi utangnya dengan harta yang
dimilikinya. Pailit dan pengampunan merupakan dua hal yang saling
berkaitan dan berhubungan satu sama lain, karena pailit terjadi terhadap
seseorang maka disana ada solusi dan jalan keluar yang di tawarkan
berdasarkan landasan fiqh muamalah, yaitu berupa pengampunan.
Dalam kasus ini jika kita kembali meninjau dari segi ilmu fiqh
muamalah, maka akan kita temui berbagai macam pendapat dari para ulama
yang memberikan definisi terhadap pengertian dari pailit serta hukumnya dan
juga definisi dari pengampuan yang didalamnya akan membahas bagaimana
cara pengampuan diberikan dan syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam
pemberian pengampuan, akan kita bahas bersama dengan tersusunnya
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dari konsep taflis (pailit)?
2. Bagaimana status hukum orang pailit (muflis)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep taflis (pailit).
2. Untuk mengetahui tentang status hukum orang pailit (muflis).

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Taflis (Pailit)


1. Pengertian Taflis (Pailit)
Secara etimologi at-taflis berarti pailit (muflis) atau jatuh miskin.
Dalam hukum positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang
terlilit oleh hutang. Dalam bahasa fiqih, kata yang digunakan untuk pailit
adalah iflas (berarti : tidak memiliki harta/fulus). Secara terminologi, at-
taflis hutang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak
ada yang tersisa sedikitpun baginya karena digunakan untuk membayar
hutang-hutangnya. Sedangkan at-taflis (penetapan pailit) didefinisikan
oleh para ulama fiqih : “Keputusan Hakim Yang Melarang Seorang
Bertindak Hukum Atas Hartanya”.
Apabila seseorang dalam kehidupannya sebagai pedagang yang
banyak meminjam modal dari orang lain, ternyata perdagangan yang ia
lakukan tidak lancar, sehingga seluruh barang dagangannya habis, maka
atas permintaan orang-orang yang meminjami pedagang ini modal
dagang, kepada hakim, pedagang ini boleh dinyatakan sebagai orang
yang jatuh pailit, sehingga segala bentuk tindakan hukumnya terhadap
sisa harta yang ia miliki boleh dicegah. Maksud dari pencegahan
tindakan hukum orang pailit ini adalah demi menjamin utangnya yang
cukup banyak pada orang lain.1
Dalam Bahasa Arab pailit (taflis) merupakan panggilan kepada pihak
yang telah bangkrut atau jatuh miskin.2 Ulama Fiqh telah sepakat
menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seorang debitur
dijatuhkan pailit, dikarenakan debitur tidak mampu membayar utangnya.

1
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
(Bandung, Hasyimi, 2010), h. 29.
2
Tifani Aulia Ulfana Putri, Skripsi, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah
Agung Nomor 354 k/ PDT.SUS- Pailit / 2014 Tentang Permohonan Pernyataan Pailit”.
(Semarang: UIN Walisongo, 2018), h. 49.

2
Untuk melunasi utangnya debitur membayar dengan sisa harta yang
dimilikinya.3 Kemudian Ulama Fiqih mendefinisikan taflis: “Keputusan
hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya”. Sebagaimana
larangan itu dapat di jatuhkan karena sebab ia terlibat utang yang
meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartanya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2004 yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sitaan umum atas
semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang (Pasal 1 ayat 1). Keadaan
perusahaan debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar
utangnya disebut dengan “insolvable”.4
At-taflis adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh
kekayaannya habis hingga tidak tersisa untuk membayar hutang.
2. Dasar Hukum Pailit
Diartikan dengan dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya
kepailitan, tetapi dasar mengapa dapat dilakukan penyitaan terhadap
harta benda atau harta kekayaan debitor pailit.5 Sebagai dasar umum
(peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya pasal 1131 dan 1132.74 Pasal
1131 KUHPerdata yang berbunyi “Segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”.6

3
Waldi Nopriansyah, Hukum Bisnis Di Indonesia Dilengkapi Dengan Hukum Bisnis
Dalam Perspektif Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, Januari 2019), h. 194.
4
Supin Andika, “Prinsip Kepailitan Persfektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
dan Prinip Taflis dalam Hukum Islam”, (Skripsi Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2016), h. 25.
5
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: Alumni, 2006), h. 74.
6
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2008), h. 291.

3
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa debitor bertanggung
jawab terhadap utang-utangnya. Tanggung jawab tersebut dijamin
dengan harta yang ada dan yang akan ada dikemudian hari, baik harta
yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Ketentuan ini didasarkan
kepada asas tanggung jawab terhadap utang. Asas ini diperlukan dalam
upaya memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya
melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan Kreditor.
Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi “Kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan”.
Jadi yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
3. Syarat-Syarat Mengajukan Pailit
Syarat-syarat kepailitan merupakan tolak ukur bagi pengadilan yang
akan menetapkan kepailitan debitor apakah permohonan kepailitan yang
diajukan oleh kreditor atau debitor memenuhi syarat untuk menetapkan
debitor pailit. Oleh karena syarat-syarat kepailitan tersebut merupakan
tolak ukur bagi pengadilan, maka pemohon pernyataan pailit harus
menggunakan juga syarat-syarat tersebut sebagai tolak ukur apakah
permohonannya layak untuk diajukan kepada pengadilan.7 Sangatlah
penting diketahui mengenai syarat- syarat yang harus dipenuhi terlebih
dahulu apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud
mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui pengadilan niaga.

77
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana,
2016), h. 127.

4
Apabila permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh
pengadilan niaga.8
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu “debitor
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yan telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih
kreditor-nya.” Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (Concursus Creditorum)
Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor,
maka eksistensi dari UUK-PKPU kehilangan fungsinya, yang
diharapkan pelunasan utang-utang debitor kepada para kreditor dapat
dilakukan secara seimbang dan adil. Apabila debitor yang hanya
memiliki seorang kreditor dan dibolehkan mengajukan permohonan
pailit, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi
jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan
pembagian secara pro-rata. Sudah pasti seluruh hasil penjualan harta
kekayaan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi kreditor satu-
satunya. Dan tidak akan ada ketakutan terjadi perebutan terhadap
harta kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor. Dengan
demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor
tersebut hanya mempunyai satu kreditor.
b. Syarat Harus Adanya Utang
Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon
pernyataan pailit ialah harus adanya utang. Undang-Undang

8
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan, Cet. IV, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2010), h. 52.

5
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Pasal
1 ayat (6) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “Utang
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian
hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-
undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.9
c. Syarat Cukup Satu Utang Yang Telah Jatuh Waktu Dan Dapat
Ditagih
Syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan
sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas
bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld tanpa
haftung) tidak dapat diajukan untuk permohonan pernyataan pailit.10
d. Syarat Pemohon Pailit
Dalam berpedoman pada Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pernyataan kepailitan tersebut:
1) Debitor sendiri yang mempunyai dua atau lebih kreditor. Atas
permintaan seorang atau lebih kreditor dari debitor yang
bersangkutan. Permohonan pernyataan kepailitan dimaksud
dapat diajukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Undang-undang memungkinkan seorang debitor untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri.
Jika debitor masih terikat dalam pernikahan yang sah,
permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau
istri yang menjadi pasangannya (pasal 4 ayat 1 Undang-Undang
9
Imran Nating, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 24-25.
10
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 11.

6
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Kemudian, kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit
terhadap Debitornya adalah kreditor konkuren, kreditor
preferen, ataupun kreditor separatis.
2) Pihak kejaksaan atau jaksa untuk kepentingan umum. Pengertian
ketentuan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau
kepentingan masyarakat luas, misalnya: debitor melarikan diri,
debitor menggelapkan bagian harta dari harta kekayaan, debitor
mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas, debitor tidak beriktikad baik dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu.
3) Bank Indonesia, apabila menyangkut debitor yang merupakan
bank. Permohonan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan
oleh Bank Indonesia berdasarkan penilaian kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan.
4) Badan Pengawas Pasar Modal, apabila menyangkut debitor yang
merupakan perusahaan efek.
4. Prosedur Permohonan Pailit
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 bahwa pemeriksaan kepailitan
didahului dengan adanya “permohonan kepailitan” oleh pihak-pihak yang
berwenang. Permohonan kepailitan diajukan ke Pengadilan Niaga
melalui panitera Pengadilan Niaga tersebut. Adapun yang dapat
mengajukan permohonan kepailitan adalah:11
a. Debitur
b. Kreditur
c. Kejaksaan, dalam hal untuk kepentingan umum

11
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan Prinsip Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 119.

7
d. Bank Indonesia, dalam hal debiturnya merupakan bank Badan
Pengawas Pasar modal (Bapepam), dalam hal debitornya perusahaan
efek, bursa efek, atau lembaga kliring dan penjaminan
e. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung di bidang kepentingan
publik
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 7
ayat (1) dan ayat (2) telah ditentukan bahwa permohonan kepailitan harus
diajukan secara tertulis atau diajukan oleh advokat. Jadi permohonan
kepailitan itu tidak dapat dilakukan secara lisan, akan tetapi keharusan
mempergunakan advokat itu dikecualikan bagi permohonan yang
diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal
dan Menteri Keuangan.
Dalam Undang-Undang Kepailitan Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2004 Pasal 6 ayat (3) ada ketentuan mengenai proses
permohonan kepailitan di tingkat kepaniteraan Pengadilan Niaga, yakni
ketentuan yang menyatakan bahwa panitera wajib menolak pendaftaran
permohonan pernyataan pailit bagi institusi bank, perusahaan efek, bursa
efek, lembaga kliring dan penjaminan, perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1
ayat (3), (4), dan (5) Undang-Undang Kepailitan (UUK).
Namun dalam perkembangannya, Pasal 6 ayat (3) UUK tersebut,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya dalam perkara Nomor: 071/PUU-II/2004
dan Nomor: 001-002/PUU-III/2005 yang diucapkan pada tanggal 17 Mei
2005. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa panitera
walaupun merupakan jabatan di pengadilan, tetapi kepada jabatan
tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial

8
dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang
merupakan kewenangan hakim.
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, ditentukan
bahwa tugas pokok panitera adalah “menangani administrasi perkara dan
hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan” dan tidak
berkaitan dengan fungsi peradilan, yang merupakan kewenangan hakim.
Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah
(domein) yustisial.
Menurut Pasal 6 ayat (1), permohonan harus ditujukan kepada ketua
pengadilan. Apabila panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung
jawab melaksanakan fungsi yustisial, maka hal tersebut bertentangan
dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta
penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah itu panitera akan
mendaftarkan permohonan pernyataan pailit itu pada tanggal
permohonan yang bersangkutan, dan kepada pemohon diberikan tanda
terima. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada
ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitor dan
berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh
lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Setelah pengadilan menerima permohonan kepailitan itu, panitera
atau pejabat yang mewakilinya “wajib” memanggil debitor untuk datang
di depan sidang pengadilan yang khusus memeriksa kepailitan itu jika
pemohon itu diajukan oleh kreditor. Sedangkan jika permohonan itu

9
diajukan oleh debitor hukum, maka Pengadilan “tidak wajib/dapat”
memanggil kreditor sebagaimana terkandung dalam Pasal 8.
Pemanggilan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh juru sita
dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang
pemeriksaan pertama diselenggarakan. Jangka waktu paling lambat 3
(tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan,
Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan pailit untuk dinyatakan pailit
sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan (UUK) terpenuhi, yakni syarat adanya utang yang telah jatuh
tempo dan adanya minimal dua kreditor. Sedangkan perbedaan besarnya
jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit
tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksuda pada ayat (5) wajib memuat pula:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan,
maka kreditor atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau
seluruh kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk
mengawasi pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran
kepada kreditor, pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor dalam
rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator.
Salinan putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib
disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitor

10
pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator dan
Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas
permohonan pernyataan pailit diucapkan.
5. Penetapan Seseorang Jatuh Pailit
Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih tentang penetapan
seseorang jatuh pailit dan statusnya berada dibawah pengampuan, apakah
perlu ditetapkan melalui keputusan hakim atau tidak. Ulama Malikiyah,
dalam persoalan ini, memberikan pendapat secara rinci.
a. Sebelum seseoarang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang
berhak melarang orang yang jatuh palit itu bertindak hukum terhadap
sisa hartanya dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang
membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti mewasiatkan
harta, menghadiahkan dan melakukan akad mudharabah.
b. Persoalan utang piutang in tidak diajukan kepada hakim, dan antara
yang berutang dengan orang-orang yang memberi utang dapat
melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam kaitan dengan ini, orang
yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum yang bersifat
pemindahan hak milik sisa hartanya seperti, wasiat, hibah, dan
kawin.
c. Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau
sebagiannya) kepada hakim agar orang yang berhutang itu
dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil sisa hartanya untuk
membayar utang-utangnya. Gugatan tersebut diajukan besrtakan
bukti bahwa hutang yang ia miliki melebihi sisa hartanya dan hutang
tersebut telah jatuh tempo pembayarannya.
B. Status Hukum Orang Pailit (Muflis)
Muflis adalah orang yang dinyatakan jatuh pailit oleh hakim dan hakim
mencegah orang yang muflis (debitur) untuk men-tasyaruf-kan hartanya agar
para krediturnya tidak mengalami kerugian. At-taflis juga seseorang yang

11
mempunyai utang, seluruh kekayaannya habis hingga tidak terisa untuk
membayar utang.12
Para ulama fiqh juga mempersoalkan status hukum orang yang jatuh
pailit. Apakah seseorang yang telah dinyatakan pailit harus berada dibawah
pengampuan hakim atau harus ditahan atau dipenjara. Dalam persoalan ini
terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Imam hanifah berpendapat bahwa
orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada dibawah
pengampuan, sehingga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan
hukum. Dengan kata lain beliau mengatakan seseoarang yang jatuh pailit
karena terlilit utang tidak boleh ditahan/dipenjarakan, karena memenjarakan
seseorang berarti mengekang kebebasannya terhadap makhluk merdeka.
Dalam hal ini hakim boleh memerintahkan untuk melunasi utang-utang itu,
apabila perintah hakim ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya
sampai lunas hutang tersebut dan menyuruh si pailit agar menjual sisa dari
hartanya untuk melunasi hutang itu.
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim, maka para ulama
fiqh sepakat bahwa segala tindak hukum si pailit dinyatakan tidak sah, harta
yang berada ditangan seorang yang pailit menjadi hak para pemberi piutang,
dan sebaiknya kepailitanya diumumkan kapada khalayak ramai, agar
khalayak lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang
yang pailit tersebut.13
Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa seorang hakim boleh
melakukan penahanan sementara pada orang yang pailit tersebut, apabila
memenuhi 4 syarat berikut :
1. Utangnya telah jatuh tempo pembayaran.
2. Diketahui bahwa orang yang pailit ini mampu untuk membayar utang-
utangnya, tetapi tidak ia lakukan.

12
Ida Nadira, “Studi Komparatif Terhadap Kepailitan Perusahaan Asuransi Syariah
Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) “, JURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum, Vol.
2, No. 2, Juni 2021, h. 259.
13
Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan
4 Mazhab. (Penerjemah: Maktabah Al-Hanif Griya Agra Permai. Yogyakarta), h. 45.

12
Sesuai dengan hadist rasulullah yang menyatakan:
“saya berhak untuk menahan sementara orang yang enggan membayar
utangnya, karena perbuatan itu bersifat zalim”. (HR. bukhari dan
muslim).

6. Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah atau ibu dari orang yang pemberi
piutang.
7. Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutan kepada hakim agar
orang yang jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taflis adalah hutang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya
hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun baginya karena digunakan untuk
membayar hutang-hutangnya. Muflis adalah orang yang dinyatakan jatuh
pailit oleh hakim dan hakim mencegah orang yang muflis (debitur) untuk
men-tasyaruf-kan hartanya agar para krediturnya tidak mengalami kerugian.
At-taflis juga seseorang yang mempunyai utang, seluruh kekayaannya habis
hingga tidak terisa untuk membayar utang.
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim, maka para ulama
fiqh sepakat bahwa segala tindak hukum si pailit dinyatakan tidak sah, harta
yang berada ditangan seorang yang pailit menjadi hak para pemberi piutang,
dan sebaiknya kepailitanya diumumkan kapada khalayak ramai, agar
khalayak lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang
yang pailit tersebut
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan di masa mendatang.

14
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhamad Ath-Thayyar. Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam
Pandangan 4 Mazhab. Penerjemah: Maktabah Al-Hanif Griya Agra
Permai. Yogyakarta.

Ida Nadira. “Studi Komparatif Terhadap Kepailitan Perusahaan Asuransi Syariah


Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) “.
JURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum. Vol. 2, No. 2, Juni 2021.

Imran Nating. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.

M. Hadi Subhan. Hukum Kepailitan Prinsip Norma dan Praktik di Peradilan.


Jakarta: Kencana, 2008.

Man S. Sastrawidjaja. Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2006.

Subekti, Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya


Paramita, 2008.

Supin Andika. “Prinsip Kepailitan Persfektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun


2004 dan Prinip Taflis dalam Hukum Islam”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016.

Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cet. IV. Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 2010.

. Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta:


Kencana, 2016.

Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat


Mazhab. Bandung, Hasyimi, 2010.

Tifani Aulia Ulfana Putri. Skripsi. “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor 354 k/ PDT.SUS- Pailit / 2014 Tentang
Permohonan Pernyataan Pailit”. Semarang: UIN Walisongo, 2018.

Waldi Nopriansyah. Hukum Bisnis Di Indonesia Dilengkapi Dengan Hukum


Bisnis Dalam Perspektif Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group, Januari
2019.

15

Anda mungkin juga menyukai