Anda di halaman 1dari 12

1.

Landasan Hukum Wadi’ah


Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58

‫اس أَ ْن تَ حْ ُك ُم وا‬ ِ َّ‫ا َو إِ َذ ا َح َك ْم تُ ْم بَ ْي َن الن‬ َ‫ات إِ لَ ٰى أَ ْه لِ ه‬


ِ َ‫إِ َّن هَّللا َ يَ أْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُ َؤ ُّد وا ا أْل َ َم ان‬
‫ص ي ًر ا‬ َ ‫يَ ِع ظُ ُك ْم بِ ِه ۗ إِ َّن هَّللا َ َك‬
ِ َ‫ان َس ِم ي ًع ا ب‬ ‫بِ ْال َع ْد ِل ۚ إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّم ا‬

artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya
kamu  menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”

Kemudian pada Q.S Al-Baqarah: 283


......ِّ‫اؤتُ ِمنَ الَّ ِذي فَ ْليُ َؤد‬
ْ ُ‫ق أَ َمانَتَه‬
ِ َّ‫هَّلل َ ا َو ْليَت‬.....
artinya “ Dan hendaklah  yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertaqwalah kepada Allah “
Diperkuat juga  dengan hadits Nabi SAW, “ Tunaikanlah amanah kepada orang
yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh al-
Albani dalam Al Irwaa, 5/381).
Ijma’ para ulama  dari zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad
wadi’ah  sangat diperlukan manusia dalam kehidupan muamalah.

2. Pengertian Wadi’ah
Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata Al-
wadi’ah memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang dapat  diartikan
sebagai  meninggalkan atau meletakan. Yaitu meletakan sesuatu  kepada orang
lain untuk dijaga dan dipelihara. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah
sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi,
maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
a. Ulama Hanafiyah :

‫تسليط الغير على حفظ ماله‬

“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan


yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
b. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :

‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬

“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
c. Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya  dengan cara terang-
terangan  ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
d. Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang
dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang
antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara
harta atau barangnya  dengan cara terang-terangan  ataupun dengan isyarat
yang semakna dengan itu.
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana
dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain
untuk menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan
berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk
dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu
hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan.  Tidak ada
ketentuan mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang
pasti seseorang mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada
orang lain, bagi orang yang merima barang yang dititipkan bisa menerima
ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak
diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan.
Akan tetapi cukup dengan menerima barang  yang ditirpkan  oleh pemilik
barang tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad
perjanjian kapan  saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang
titipan sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa
mengambilnya sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang
mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia
titipkan , terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga
dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada
dasarnya tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik
kepadanya.

3. Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah


Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki rukun
yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur ulama:

a. Mudi, (orang yang menitipkan barang)


b. Wadii’ (orang yang dititipi barang)
c. Wadi’ah ( barang yang dititipkan)
d. Sighat titipan (ijab-qobul)
Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya
ijab qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali
memiliki tambahan syarat  ialah barang tersebut harus memiliki nilai
atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.
Syarat-syarat Wadi’ah
1. Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang yang
termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka dianggap tidak
sah akad wadi’ah apabila yang dilakukan oleh anak kecil, orang tidak waras
(gila), dan mahjur alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata uang).
Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh oleh  jumhur
ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang belum
baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan  izin dari orang tua atau
walinya.
2. Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus
muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak
memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang dititipkan juga harus diketahui
indentitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.

4. Jenis-jenis Wadi’ah
a. Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua
pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak
yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan harta yang dititi
tersebut.  Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang
yang dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak,
terkecuali ada unsur kesengajaan atau karena kelalaian.
b. Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus
menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah.
Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan sebab-sebab berikut
ini;
a) Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan. Apabila
seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang dititipi tahu dan tidak
berusaha untuk mencegah hal tersebut padahal ia mampu, maka pihak
yang dititipi wajib menanggung kerugian.
b) Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak termasuk
keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.
c) Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan.
Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila
orang tersebut menggunakan barang titipan, maka orang yang dititpi
wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh
faktor lain diluar kemampuanya.
d) Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta
pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama
sepakat  bahwa apabila pihak yang dititipi barang  mencampur barang
titipan dengan harta milik pribadinya, semenstara barang titipan  sulit
untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang
tersebut.
e) Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati.
Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan, kedua belah pihak  sepakat
bahwa barang yang dititipkan ditaruh dibrankas. Akan tetapi pihak
penerima titipan tidak melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau
hilang pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.
Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula
merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang
dititipi punya tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan
tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan pada
Lembaga Keuangan Syariah

5. Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah


Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan oleh
orang dalam tanggunganya semisal istri, anak, pembantu ataupun orang yang
diberi upah untuk menjaga barang tersebut. Namun barang tersebut tidak
diperbolehkan  untuk ditipi kepada keluarga yang baru semisal istri yang baru
dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja diterima dan menjadi karyawan.
Adapun menurut pendapat  ulama Syafi’iyyah  tentang penjaggaan barang
ialah barang tersebut harus dijaga sendiri oleh pihak yang diberi amanah, pihak
tersebut tidak diperkenankan untuk meninggalkan barang tersebut kepada
siapapun bahkan kepada istri, anak kecuali ada izin dari pihak penitip.
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan merupakan
sebuah ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat pahala apabila
barang tersebut di jaga dan dipelihara dengan baik.

6. Terputusnya Akad Wadi’ah


Ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab terputusnya wadi’ah yaitu;
a. Pengembalian barang yang dititipi kepada pihak penitip baik diminta oleh
penitip ataupun tidak.
b. Meninggalnya pihak yang dititipi barang/harta atau penitip barang/harta.
c. Salah satu dari pihak penitip atau penerima dititipan dalam keadaan koma
yang berkepanjangan,  menjadi tidak waras (gila), maupun dalam keadaan
stress berat dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan.
d. Terjadinya ‘hajr’ atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti hilang
kompetensi, dan pada pihak yang dititipi mengalami kebangkrutan atau pailit,
maka akad tititpan tersebut putus

7. Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah


Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya hanyalah
sebuah akad amanah yang sederhana dikemas sedemikian rupa oleh perbankan
dalam rangka mengakomodasi uang tabungan nasabah yang ada dalam bank.
Dengan alasan untuk menghindari riba akad ini digunakan untuk mengakomodasi
nasabah yang berkeinginan uangnya aman. Bank siap menerima titipan uang.
Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga mediasi permodalan.
Tentunya uang yang ada di dalam bank tidak di diamkan begitu saja, namun juga
digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang secara otomatis
bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena dengan praktek ini, pihak
bank mendapatkan keuntungan, maka bank dengan sukarela memberikan
sebagian keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang disebut munculnya
perkembangan dalam akad wadi’ah
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam rangka
untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding). Berdasarkan akad
wadi’ah ini jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan diantaranya:
a. Giro wadi’ah bank. Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan yang
penarikannya dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet
giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara
pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Dalam giro
wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan
bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad. Sesuai dengan
fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01/DSN-
MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat dipraktekkan oleh perbankan
syari’ah adalah giro wadi’ah yang memenuhi persyaratan bersifat titipan,
titipan bisa diambil kapan saja (on call), tidak ada imbalan yang
diisyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan wadi’ah yad
al-dlamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai
penerimaan titipan selama dana tersebut mengendap di bank. Tetapi bank
punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat jika nasabah mengambil
titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank
syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa dari pemanfaatan dana yang
mengendap di bank dalam bentuk bonus. Akan tetapi bonus yang akan
diterima kan oleh pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di
awal titik pihak nasabah harus memahami bahwa bonus yang
kemungkinan diterima adalah hak penuh pihak bank untuk
memberikannya atau tidak.
b. Tabungan wadiah yad al-dlomanah, adalah rekening tabungan yang
memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan bukan tabungan
berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada dasarnya hampir sama
dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang membedakannya
hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari
jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang pemberian
bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan rekening giro.
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank
mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah,
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank
tidak memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya Bank
memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk nasabah
secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan.Bila dilihat
dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank pada
suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan
yang diperuntukan khusus untuk bank. Keputusan bank untuk
memberikan bonus atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu
c. Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-
amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah
yang membutuhkan jasa ini akan mendapatkan fasilitas penyimpanan
barang berharga mereka dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial
tertentu, menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank akan
menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan akan
menjaga keamanan lingkungan dan ruang penyimpanan melalui prosedur
administrasi keluar dan masuk ruang penyimpanan serta pengawasan dari
karyawan yang ditunjuk.
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang
lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk
dititipkan. Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip
memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk
save deposit box.

8. Akad Wadiah pada Era Kontemporer


Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada
produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang
memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk
tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-money adalah sistem uang
elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke dalam sistem
e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi
ini.
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang tidak
terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi uang
mereka ke dalam kartu  e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara
menggunakan transportasi umum seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien
ketika menggunakan e-money. Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money, Ustadz
Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi
Kekinian menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah diperbolehkan. Hal
ini juga mengacu pada fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang
elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan adanya
kartu e-money.

9. Penerapan Wadiah dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia


Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah.
Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah
dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah
Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa.
Kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang
dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan
berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan
simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan
tabungan.Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana
pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab
menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi
tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah
adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi
milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si
penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro
lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan yang meliputi :
a. Giro
b. Tabungan
c. Deposito
d. Dan bentuk lainnya.
Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:
a) Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau
tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik
dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak
boleh diperjanjikan di muka.
b) Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening
giro bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
c) Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
d) Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk
bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk
memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya
sama.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini
menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai
indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau
persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya
merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank
terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula
pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut
digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank
memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah
bila dikehendaki.
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan
prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat
menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan
persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini :
A. Kesimpulan
Al-wadi’ah dapat dipahami bahwa al-wadi’ah adalah transaksi pemberian
pendapat dari seseorang yang menitipkan suatu benda kepada orang lain untuk
dijaganya sebagaimana semestinya.
Dasar Hukum al- wadi’ah sebagaimana dari firman Allah dan Hadist
Rasulullah SAW , yang tidak boleh menyerahkan amanat kepada orang yang bisa
menghianati diri sendiri. Rukun dan Syarat Al-Wadi’ah mempunyai banyak
pendapat dari para ulama’. Hukum menerima barang titipan ada empat macam,
yaitu sunnah, wajib, haram, makruh.
Macam-Macam Wadi’ah ada 2 yaitu Wad’iah yad amanah, Wad’iah yad
dhamanah;Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah beberapa ulama’  yang
memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Rusak dan hilangnya
benda Titipan apabila orang itu sengaja maka barang titipan itu harus diganti
apabila ada unsur ketidaksengajaan maka perlu kesepakatan dari pihak pemilik.

Anda mungkin juga menyukai