artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya
kamu menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”
2. Pengertian Wadi’ah
Secara etimologi wadi’ah ( )الودعةberartikan titipan (amanah). Kata Al-
wadi’ah memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang dapat diartikan
sebagai meninggalkan atau meletakan. Yaitu meletakan sesuatu kepada orang
lain untuk dijaga dan dipelihara. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah
sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi,
maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
a. Ulama Hanafiyah :
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
c. Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-
terangan ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
d. Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang
dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang
antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara
harta atau barangnya dengan cara terang-terangan ataupun dengan isyarat
yang semakna dengan itu.
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana
dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain
untuk menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan
berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk
dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu
hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan. Tidak ada
ketentuan mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang
pasti seseorang mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada
orang lain, bagi orang yang merima barang yang dititipkan bisa menerima
ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak
diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan.
Akan tetapi cukup dengan menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik
barang tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad
perjanjian kapan saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang
titipan sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa
mengambilnya sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang
mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia
titipkan , terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga
dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada
dasarnya tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik
kepadanya.
4. Jenis-jenis Wadi’ah
a. Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua
pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak
yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan harta yang dititi
tersebut. Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang
yang dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak,
terkecuali ada unsur kesengajaan atau karena kelalaian.
b. Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus
menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah.
Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan sebab-sebab berikut
ini;
a) Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan. Apabila
seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang dititipi tahu dan tidak
berusaha untuk mencegah hal tersebut padahal ia mampu, maka pihak
yang dititipi wajib menanggung kerugian.
b) Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak termasuk
keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.
c) Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan.
Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila
orang tersebut menggunakan barang titipan, maka orang yang dititpi
wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh
faktor lain diluar kemampuanya.
d) Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta
pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama
sepakat bahwa apabila pihak yang dititipi barang mencampur barang
titipan dengan harta milik pribadinya, semenstara barang titipan sulit
untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang
tersebut.
e) Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati.
Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan, kedua belah pihak sepakat
bahwa barang yang dititipkan ditaruh dibrankas. Akan tetapi pihak
penerima titipan tidak melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau
hilang pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.
Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula
merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang
dititipi punya tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan
tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan pada
Lembaga Keuangan Syariah
Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk
bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk
memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya
sama.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini
menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai
indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau
persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya
merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank
terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula
pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut
digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank
memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah
bila dikehendaki.
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan
prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat
menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan
persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini :
A. Kesimpulan
Al-wadi’ah dapat dipahami bahwa al-wadi’ah adalah transaksi pemberian
pendapat dari seseorang yang menitipkan suatu benda kepada orang lain untuk
dijaganya sebagaimana semestinya.
Dasar Hukum al- wadi’ah sebagaimana dari firman Allah dan Hadist
Rasulullah SAW , yang tidak boleh menyerahkan amanat kepada orang yang bisa
menghianati diri sendiri. Rukun dan Syarat Al-Wadi’ah mempunyai banyak
pendapat dari para ulama’. Hukum menerima barang titipan ada empat macam,
yaitu sunnah, wajib, haram, makruh.
Macam-Macam Wadi’ah ada 2 yaitu Wad’iah yad amanah, Wad’iah yad
dhamanah;Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah beberapa ulama’ yang
memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Rusak dan hilangnya
benda Titipan apabila orang itu sengaja maka barang titipan itu harus diganti
apabila ada unsur ketidaksengajaan maka perlu kesepakatan dari pihak pemilik.