Dosen Pembimbing
Hidayat, SHI., ME
FALKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan yang karena
bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah makalah FIQIH
MUAMALAH berjudul ”WARISAN DAN JAMINAN DALAM ISLAM”.
Menurut Muhammad Syafi’i (2001:85) wadiah berasal dari kata Al- Wadi’ah yang
berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun
badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
karena Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.
Wadiah secara istilah menurut Ihkwan Abidin Basri (2007) adalah akad seseorang
kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut
kebiasaan). Atau ada juga yang mengartikan wadiah secara istilah adalah
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan
atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga
hartanya atau barangnya dengan secara terang- terangan atau dengan isyarat yang
barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi
barang/uang.
Dari pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada
barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si
penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan karena
kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Yang dimaksud dengan “barang” disini
adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang
berharga di sisi Islam. Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah,
kepercayaan (trusty). Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan
dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad tijari.
1.1.2 Rukun Wadiah
dua, yaitu:
a. Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul. b. Sedangkan
1) Wadiah
syariat.
B) Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi, barang yang
2) Sighat
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah lafadz dari kedua belah pihak dan
tidak ada penolakannya dari pihak lainnya. Dan lafadz tersebut harus dikatakan di depan
Orang yang berakad ada dua pihak yaitu Orang yang menitipkan (Mudi’)
dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang berakad
adalah :
a) Baligh
b) Berakal
yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad
wadiah ini.
Ulama fiqih sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua
belah pihak. Akan tetapi, apakah tanggung jawab memelihara barang tersebut bersifat
Ulama fiqih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanah bukan dhamaan,
sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggungjawab pihak yang dititipi,
berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya
adalah sabda Rasulullah SAW “Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas
orang yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus
menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat
membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur
permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadii’. Kalau
misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijarah) dan
mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab
terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini
Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan
tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak bertanggung
jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan
diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan
yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa
1) Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi
amanat. Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan
(tabarru).
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi benar-benar
lainnya
kerusakan harta yang dititipkan kecuali bila kehilangan atau kerusakan itu karena
kelalaian penerima titipan atau bila status titipan telah berubah menjadi Wadiah
Yad Dhamanah.
Wadiah yad amanah dapat berubah menjadi yad dhomanah oleh sebab-sebab
berikut :
2) Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga)
Wadiah yad dhamanah adalah Akad penitipan barang di mana pihak penerima
titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan
dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang. Semua manfaat
dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penerima
titipan.
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa
Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu,
Rasulullah SAW memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada
pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan
berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya
dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus
dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan
sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-
sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya
dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi
Dengan konsep al wadiah yad adh-dhamah, pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank
dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan
dititipkan
4) Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta
waktu.
1.1.5 Batasan-Batasan Dalam Menjaga Wadi`ah (Titipan)
ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu
wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan
barangnya sendiri.
barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukan seperti
titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya
namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang
diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi`
lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harus bertangggung jawab terhadap
Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada
sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas
kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila
orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal
yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang
menginvestasikan).
bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang
c. Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka
dipilih.
Adapun sebab-sebab adanya jaminan wa’diah adalah:
1) Menitipkan barang pada selain penerima titipan (wadi’) tanpa ada uzur
4) Pemanfaatan wadiah.
5) Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
adalah:
6) Memanfaatkan wadiah.
c. Menurut Hanabilah, sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah
adalah:
2) Melalaikan pemeliharaan.
5) Pemanfaatan wadiah.
Ada lima jenis hukum yang akan muncul saat terjadinya penerimaan
(was-was).
dan takut berkhiyanat lalu dia memberi tahu ke orang yang akan menitipkan
akan hal tersebut, akan tetapi orang yang menitipkan tetap merasa yakin dan
apabila orang yang dititipi yakin dirinya amanah dan layak untuk dititipi.
Wajib, terjadi bila menerima amanah (wadiah) bisa berhukum wajib jika
2.1.9 Jaminan
aset atau suatu barang milik peminjam yang dijaminkan kepada pemberi
pemberi pinjaman.
Jaminan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-rahn. Al-rahn dalam
bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu, yang didasari dari
yang tidak putus (Abdullah, 1425H :115). Al-rahn juga dapat bermakna
artinya “tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena
yang tertahan itu tetap di tempatnya. Ibnu Faaris menyatakan huruf raa, haa’
dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil
dengan hak atau tidak. Huruf inilah kata ’al-rahn’ itu berasal yang dapat
dimaknai dengan sesuatu yang digadaikan. Selain itu secara harfiah, al-rahn
berarti al-tsubut dan al-dawam yaitu tetap dan lestari, juga bisa diartikan
sebagai al-habsu dan al-luzam yang artinya penahanan dan pasti (Wahbah
suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari
Sedangkan secara umum, jaminan dalam hokum islam dibagi menjadi dua,
jaminan yang berupa orang dan jaminan yang berupa harta,jaminan yang
yang berupa harta telah disebut diaatas dikenal dengan rahn. Namun yang
Oleh karena itu pada makalah ini akah lebih membahas ke al rahn.
Dalam al-rahn terdapat unsur adanya barang yang dijadikan jaminan, barang
kepada marhunbih (pemilik uang) dan atau jaminan keamanan uang yang
rahn (sebagai suatu lembaga) yang merupakan jaminan kebendaan dan al-
Hal lain yang perlu dipahami bahwa al-rahn mempunyai sifat tabbaru’
(Wahbah Zuhaili, 1999:2), karena apa yang diberikan oleh rahin kepada
murtahin bukan atas imbalan akan sesuatu atau akad derma yang tidak
merupakan suatu kegiatan utang piutang yang berfungsi sosial atau tolong
sebuah akad, yang bertujuan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Hukum
kreditur.
Kemudian, Konsep tolong menolong jelas tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu
tolong menolong dalam kebaikan, bagi orang yang mampu dan kuat
semestinya membantu yang tidak mampu dan lemah, kaya membantu yang
terjalin dalam kehidupan umat muslim. Hal ini sebagaimana tertulis dalam
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
Berdasarkan analisis tersebut ,jaminan dalam hukum Islam adala apa yang
disebut dengan istilah al-rahn. Al-rahn tidak lepas kaitannya dengan adanya
yang menjamin pelunasan hutang piutang yang terjadi. Al-rahn disini tidak
bersifat mutlak harus ada, tetapi lebih mengarah kepada hal yang bersifat
tolong menolong. Tolong menolong inilah yang merupakan ciri khas dari
konsep al-rahn atau jaminan syariah. Berbicara tentang jaminan erat
hak kebendaan ini didasarkan pada kelemahan jaminan umum yang ada
jaminan khusus yang obyeknya adalah benda milik debitor, hanya saja telah
ditunjuk secara tertentu dan diperuntukkan bagi kreditor tertentu pula. Oleh
buku II BW (Isnaeni, 1996 :34). Hukum perdata mengenal dua istilah yaitu
merupakan segala sesuatu atau yang dapat dikuasai manusia dan dapat
dijadikan sebagai obyek hukum (Mariam Darus, 1997 :35). Menurut Sri
berbagai macam kemungkinan, yaitu pada saat-saat yang tertentu sesuatu itu
belum berstatus sebagai obyek hukum, namun pada saat-saat yang lain
merupakan obyek hukum, seperti aliran listrik. Akan tetapi jaminan yang
menjadi jaminan atas piutangnya dan berlaku hanya untuk kreditur itu
sendiri. Adanya jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang
khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan
penanggungan).
Hukum perdata mengenal jaminan yang bersifat hak kebendaan dan hak
atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Oleh karena itu dikenal juga
Menurut sistem hukum perdata pembedaan atas benda bergerak dan tidak
jaminan, arti penting dari pembagian benda bergerak dan benda tidak
bergerak adalah untuk menentukan jenis lembaga jaminan atau ikatan kredit
yang mana yang dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan.
hakikat fungsi pokok jaminan adalah lebih ditujukan untuk melindungi dana
Islam. Karakteristik utama dari jaminan syariah adalah bahwa dalam konsep
biaya tambahan yang harus dibayar oleh pihak pemberi jaminan kepada
sistem hukum.