Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM ISLAM

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENURUT UNDANG UNDANG

Disusun Oleh:

M. Fikri Aswandi

201010572

Kelas : P

Semester : 2

Dosen Pembimbing : DR. H. Koko Iskandar, M.si.

Jurusan Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Islam Riau

2020
KATA PENGANTAR

Peradilan Agama, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.


Dalam klasifikasinya, Peradilan Agama merupakan satu dari tiga peradilan khusus yang ada
di Indonesia, dua lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab disebut dengan AlQada yang
mempunyai beberapa pengertian, yakni al-Farag yang berarti putus atau selesai, al-Ada’
artinya menunaikan atau membayar, al-hukm artinya mencegah atau menghalangi, bisa juga
diartikan membuat suatu ketetapan.

Lebih jauh, menurut ahli fikih seperti dikutip oleh Erfaniah Zuhriah peradilan adalah:

1. Lembaga hukum (tempat di mana seseorang mengajukan mohon keadilan)

2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah
umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Berdasarkan hal itu, pengertian peradilan dapat disimpulkan merupakan tempat seseorang
untuk memohonkan keadilan dalam hal menyelesaikan masalahnya, serta memiliki
wewenang untuk itu dalam suatu wilayah kekuasaan serta setiap putusannya wajib dituruti.

Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, Peradilan Agama memiliki
kewenangan absolut yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 perubahan
pertama yakni Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Adanya kewenangan absolut itu
menjadikan Peradilan Agama, baik dalam pengadilan tingkat pertama dan banding, tidak
salah dalam menerima suatu perkara yang diajukan kepadanya karena menjadi kewenangan
lingkungan peradilan lain.

Menurut M. Yahya Harahap, ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat di lingkungan
Peradilan Agama, di antaranya adalah:

1. Fungsi kewenangan mengadili

2. Memberi keterangan, pertimbangan

3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang


i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. RUMUSAN MASALAH ......................................................................................... 2


B. TUJUAN PENULISAN ........................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 4

BAB III PENUTUP .................................................................................................13

A. KESIMPULAN ...................................................................................................... 13
B. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, sesungguhnya sangat terkait erat dengan


persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya. Idealnya, segala
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, itulah yang menjadi kompetensi Peradilan
Agama. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kewenangan Peradilan Agama
tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan
hukum keluarga ditambah sedikit persoalan muammalah (hukum perdata), dan belum
menyentuh persoalan pidana.

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:

a. Perkawinan.

b. Waris.

c. Wasiat.

d. Hibah.

e. Wakaf.

f. Zakat.

g. Infaq.

h. Shadaqah.

i. Ekonomi Syariah.

Sebagai salah satu perkara yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama, hibah
didefinisikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Penjelasan Pasal 49 huruf
d adalah “pembegan [pemberian] suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”

1
A. RUMUSAN MASALAH

Agar pembahasan dapat terarah dan terstruktur serta memudahkan penelitian ini, maka
penyaji merumuskan masalah tersebut di atas sebagai berikut:

1. Apa Pengertian pengadilan agama dan pengertian menurut para ahli?

2. Bagaimana kedudukan pengadilan agama?

3. Apa filosofi kekuasaan kehakiman di indonesia ?

4. Bagaimana system pengadilan satu atap?

5. Apa Saja kewenangan pengadilan agama ?

6. Apa tugas hakim di peradilan agama ?

2
B. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hal-hal yang menjadi pokok tujuan penulisan
adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian pengadilan agama

2. Mengetahui kedudukan pengadilan agama

3. Mengetahui filosofi kekuasaan kehakiman di Indonesia

4. Mengetahui system pengadilan satu atap

5. Mengetahui kewenangan pengadilan agama

6. Mengetahui tugas hakim diperadilan agama

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pengadilan agama


Pengadilan agama adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan agama yang berkedudukan di ibu kota Kabupaten atau
Kota. Pengadilan agama dibentuk dengan keputusan presiden.

Adapun pengertian peradilan dan pengadilan, menurut Hartono, 1977, hal. 95 :


1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang dibebankan
kepada pengadilan.
2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi peradilan
tersebut.

B. Kedudukan Pengadilan Agama


Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah diatur oleh Pasal
24
yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam ayat (2) dijabarkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata
usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian Ayat (3) menegaskan bahwa
badan
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang
undang.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
terakhir
kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2 menegaskan
bahwa
peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

4
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang
undang. Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi
agama.

C. Filosofi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Sistim hukum menurut Undang Undang Dasar 1945 menganut teori single system of court
(satu sistem peradilan), yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya yang
kesemuanya disebut sebagai peradilan negara.
Namun sebelum maupun setelah kemerdekaan sampai dengan tahun 1963 sistim hukum
Indonesia masih menganut teori multy system of court (banyak sistem peradilan). Ada
pengadilan adat, pengadilan swapraja, pengadilan negeri dan pengadilan agama.
Menurut sistim ketatanegaraan yang dianut oleh Undang Undang Dasar 1945 pasca
amandemen era reformasi menegaskan bahwa Mahkamah Agung disamping sebagai badan
peradilan negara tertinggi, juga sebagai lembaga tinggi negara.
Sedangkan peradilan dibawah Mahkamah Agung menganut sistem lingkungan, yaitu :
a. Lingkungan peradilan umum.
b. Lingkungan peradilan agama.
c. Lingkungan peradilan militer.
d. Lingkungan peradilan tata usaha negara.
Peradilan umum adalah peradilan negara yang melaksanakan tugas peradilan di bidang
pidana dan perdata secara umum.
Sedangkan tiga peradilan yang lain adalah peradilan khusus dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Khusus yustiabelennya (pencari keadilan/subyek hukumnya) :
a. Orang Islam di Pengadilan Agama.
b. Anggota militer di Pengadilan Militer.
c. Pegawai negeri di PTUN.
2. Khusus hukum yang diberlakukan/diterapkan :
a. Hukum Islam di Pengadilan Agama.
b. Hukum pidana militer di Pengadilan Militer.
c. Hukum administrasi negara di PTUN.
Dengan demikian, peradilan agama adalah sub sistem peradilan negara Republik
Indonesia yang khusus melayani pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai

5
perkara tertentu, yang didasarkan pada hukum Islam. Dengan kata lain, sistim
hukum ketetanegaraan Negara Republik Indonesia menempatkan peradilan agama
sama dan sederat kedudukannya dengan peradilan lain.
Disamping itu, tata hukum ketatanegaraan Negara Republik Indonesia menganut
sistem peradilan dalam dua tingkat :
a. Peradilan tingkat pertama, seperti pengadilan agama, yang berkedudukan di
kota atau di ibukota kabupaten yang daerah hukumnya meliputi kota atau
kabupaten. Kebiasaannya, nama pengadilan agama sesuai dengan nama kota
atau nama ibu kota kabupaten.
b. Peradilan ulangan yang biasa disebut peradilan banding, seperti pengadilan
tinggi agama, yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi. Demikian pula, kebiasaannya, nama pengadilan tinggi
agama sesuai dengan ibu kota provinsi atau nama provinsinya. Sedangkan kasasi
adalah mengajukan pembatalan putusan peradilan, baik tingkat pertama
maupun tingkat ulangan/tingkat banding kepada peradilan tertinggi yakni
Mahkamah Agung. Adapun Peninjauan Kembali adalah mengajukan
permohonan mengadili ulang kepada peradilan tertinggi yakni Mahkamah
Agung.

D. Sitem Peradilan Satu Atap.


Sebelum era reformasi, lembaga peradilan mempunyai satu ayah dengan tiga ibu.
Untuk urusan yustisial semua pengadilan berpuncak kepada Mahkamah Agung,
namun secara organisatoris, administratif dan finansial masih menginduk ke
eksekutif. Contohnya, urusan organisatoris (sarana prasarana), administratif
(kepegawaian) dan finansial (keuangan dan gaji) Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tata Usaha Negara masih menginduk dan diurus oleh Departemen 4 Kehakiman,
sedang Pengadilan Agama menginduk dan diurus oleh Departemen Agama dan
Pengadilan Militer masih menginduk dan diurus oleh Departemen Hankam.
Untuk menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh lembaga negara
yang lain, maka Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 42 ayat (2) menyatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasi
dan finansial dalam lingkungan peradilan agama dilaksanakan paling lambat tanggal
30 Juni 2004.
Batas waktu tersebut, kemudian diikuti oleh Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun

6
2004 yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa organisasi, administrasi dan finansial
pada Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, PTA/MS.
Aceh, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah terhitung tanggal 30 Juni 2001
dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengalihan tersebut diikuti oleh Pasal 3 yang meneguhkan bahwa pembinaan
organisasi, administrasi dan finansial peradilan agama berada di bawah Mahkamah
Agung.

E. Kewenangan Pengadilan Agama.

Berdasarkan Pasal 49 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama, sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqoh; dan
9. Ekonomi Syariah.
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari’ah, antara lain
1. Izin beristeri lebih dari satu orang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluhb
satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Despensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;

7
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Percerian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami kepada bekas isteri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan anak; 1
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain :
a. Bank syari’ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. Asuransi syaria’ah.
d. Reasuransi syari’ah;
e. Reksadana syari’ah;

8
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. Sekuritas syria’ah;
h. Pembiayaan syari’ah;
i. Pegadaian syari’ah’;
j. Dana pensiun lembaga keuangan; dan
k. Bisinis syari’ah.

- Personalitas keislaman.
Maksud personalitas keislaman, adalah patokan yang menjadi dasar apakah suatu
perkara menjadi kewenangan pengadilan agama atau tidak, dapat dlihat sebagai
berikut :
a. Dalam sengketa perkawinan, maka perkara tersebut menjadi kewenangan
pengadilan agama sepanjang perkawinannya dicatat di kantor urusan agama,
meskipun pihak-pihak atau salah satu pihak yang berperkara tidak beragama
Islam.
b. Dalam sengketa waris, maka perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan
agama sepanjang pewaris (orang yang meninggal dunia) beragama Islam.
c. Dalam sengketa ekonomi syari’ah, maka perkara tersebut menjadi kewenangan
pengadilan agama sepanjang akad atau perjanjiannya berdasarkan syari’ah.
d. Dalam sengketa hibah dan wasiat, maka perkara tersebut menjadi kewenangan
pengadilan agama sepanjang akadnya berdasarkan hukum Islam.

e. Dalam sengketa wakaf, maka pihak-pihak yang berperkara tidak harus beragama
Islam.

- Jiwa Korp Hakim Indonesia.


Timbulnya konspirasi dari pihak tertentu yang berkeinginan menggiring dan
menempatkan Hakim pada kedudukan yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang
Undang Dasar 1945, mendorong para Hakim untuk menggagas adanya sebuah
organisasi profesi bagi Hakim Indonesia.
Pada tahun 1952 Hakim seluruh Jawa berkumpul di Surabaya untuk merancang
sebuah organisasi profesi bagi hakim sebagai wadah berkumpul untuk menjaga
kedudukan, martabat dan integritas Hakim sesuai dengan ketentuan Undang
Undang Dasar 1945. Tepatnya, pada tanggal 20 Maret 1953 disahkan organisasi

9
IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) beserta Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangganya oleh bapak Soerjadi, SH dan tanggal 20 Maret merupakan hari jadi IKAHI.
Bagi Hakim dari paradilan agama, sebelum berintegrasi kedalam IKAHI, berada di
dalam suatu wadah berupa organisasi IKAHA (Ikatan Hakim Peradilan Agama) yang
didirikan pada 27-12-1977.
Berdasarkan SKB PP IKAHA dan PP IKAHI pada Munaslub IKAHA tanggal 9 s/d 11
Nopember 1995 bertempat di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, maka pada tanggal
11-11-19995, IKAHA secara resmi membubarkan diri. Seluruh anggota IKAHA yang
berjumlah 2079 orang secara otomatis diterima menjadi anggota biasa IKAHI.
(Mimbar Hukum, Nomor 22 Tahun VI 1995, halaman 85).
Disamping pembinaan jiwa korp diatas, dalam Rapat Kerja antara para Ketua
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dengan Mahkamah Agung RI, di Jakarta pada
hari Minggu tanggal 7 Maret 1976 untuk waktu yang tidak ditentukan dibentuklah
Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) sebagai wadah olah raga bagi Hakim dan
aparatur pengadilan.
Pembentukan PTWP dikandung maksud untuk menjalin dan memperkokoh tali
silaturahim, menjaga kebugaran jasmani dan memupuk jiwa sportifitas bagi Hakim
dan aparatur pengadilan. Pada tahun 1976 di Jakarta timbul prakarsa untuk
mengadakan pertandingan tenis lapangan bagi seluruh warga pengadilan.
Pemrakarsa lalu menghadap Ketua Mahkamah Agung Bapak Prof. Oemar Seno Adji
dan beliau mendukung sekaligus berkenan memberi ”Piala Oemar Seno Adji” untuk
diperebutkan bergilir diantara warga pengadilan seluruh Indonesia.
Ide tersebut untuk pertama kalinya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 04 - 07
Maret 1976 di Lapangan PN Timah dan Bank Indonesia. Perhelatan tersebut diikuti

oleh 10 (sepuluh) kontingen dengan menghasilkan pemenang : Juara I PT Surabaya,


Juara II PT Semarang dan Juara III PT Jakarta.
Pada tahun 2008 diadakan Turnamen dan Konggres Ke XIV dengan perubahan logo
dan stempel PTWP yang tadinya berupa lambang Hakim menjadi lambang
Mahkamah Agung, yang mencerminkan bahwa PTWP bukan hanya diperuntukkan
bagi Hakim, tetapi juga bagi semua warga pengadilan.
Pada Turnamen PTWP Ke XIV tanggal 01-07 September 2008 di Palembang jumlah
peserta menjadi 61 (enam puluh satu) kontingen terdiri dari : 1 kontingen dari
Mahkamah Agung, 29 kontingen dari peradilan umum, 29 kontingen dari peradilan

10
agama, 2 kontingen dari peradilan tata usaha negara dan 1 kontingen dari peradilan
militer.

F. Tugas Hakim di Peradilan Agama

Sesuai dengan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006 Jo UU Nomor 50
tahun 2009, bahwa peradilan agama bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak dalam rangka mewujudkan hukum
dan peradilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia sesuai pula dengan pasal 1 dan 2 UU No. 14 tahun 1970 Jo UU No. 4 tahun 2004
Jo UU Nomor 8 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.

Hakim menerima perkara. Jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya
perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara. Kemudian
hakim meneliti perkara dan akhirnya mengadili yang berarti memberi kepada yang
berkepentingan hak atau hukumnya. Sebelum menjatuhkan putusannya, hakim harus
memperhatikan serta harus mengusahakan seberapa dapat jangan sampai putusan yang akan
dijatuhkan nanti memungkinkan timbulnya perkara baru.Putusan harus tuntas dan tidak
menimbulkan ekor perkara baru. Begitu pula tugas hakim diperadilan agama mempunyai
tugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-
cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama.15

Pada intinya tugas hakim diperadilan agama dapat dirinci sebagai

berikut:

1. Membantu pencari keadilan, dan mengatasi segala hambatan dan rintangan. Dalam
perkara perdata, pengadilan membantu para pencari keadilan untuk dapat tercapainya
pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan pasal 5 ayat 2 UU No. 14
tahun 1970 Jo UU No. 4 tahun 2004 Jo UU Nomor 8 tahun 2009. Pemberian bantuan harus
dalam hal-hal yang dianjurkan dan atau diizinkan oleh hukum acara perdata, yaitu dalam
hal-hal sebagai berikut:

• Membuat gugatan bagi yang buta huruf (pasal 120 HIR)

• Memberi pengarahan tata cara prodeo

• Menyarankan penyempurnaan surat kuasa

11
• Menganjurkan perbaikan surat gugatan/permohonan

• Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah

• Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban

• Bantuan memanggil saksi secara resmi

• Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi

• Memberi penjelasan tentang upaya hukum

• Mengarahkan dan membantu memformulasikan perdamaian

Begitu pula seorang hakim wajib mengatasi segala hambatan dan rintangan demi
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan pasal 5 ayat 2
UU No. 14 tahun 1970 Jo UU No. 4 tahun 2004 Jo UU Nomor 8 tahun 2009 baik yang
berupa teknis maupun yuridis. Berlarut-larutnya atau tertunda-tundanya jalannya peradilan
akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pengadilan yang mengakibatkan
berkurangnya kewibawaan pengadilan. Di dalam praktek ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan berlarut-larutnya jalan peradilan, antara lain tidak hadirnya para pihak atau
kuasanya secara bergantian, selalu tidak datangnya saksi walaupun sudah dipanggil.
Penunda-nundaan itu pada pokoknya terjadi atas permintaan para pihak atau secara ex
officio oleh hakim.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Peradilan merupakan tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang dibebankan
kepada pengadilan. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan
fungsi peradilan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa peradilan agama mempunyai
kewenangan Berdasarkan Pasal 49 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir
diubah dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi syariah.

13
B. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Abdul Gani, Pengatar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indsonesi(Jaakarta,

Gema Insani Pres ) hal 63

Hamid S. At-Tamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Amrul Ahmad,
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Cet. Ke-1.

Abdurrahman al-JazD¶LUL Kitab al-Fiqh`ala al-Madzahib al-`Arba`ah (Mesir: Dar ad-


Dayyan li at-Turats, t.th), Jilid IV.

Pembaruan HI dan terapannya di Indonesia

Modul PPL Peradilan agama

Peradilan agama-1 docx

14

Anda mungkin juga menyukai