FIQH TABARRU’
KELOMPOK 3 MUAMALAH/B
2008 ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Dalam kitab Mu’jam Maqayisal-lughah (6/96) karya Ibnu Faris bahwa al-
wadiah secara etimologis adalah tinggal (al-tark) dan kosong (al-Takhliyah). Al-
Definisi al- wadiah menunjukan pada benda yang ditinggalkan kepada pihak/orang yang
dapat dipercaya.
Wadi’ah dan
Fakar fikih membedakan antara al-wadiah denngan al-ida. Al-wadiah
Rukunnya merupakan kata yang menunjukan benda/objek yang dititipkan untuk dijaga oleh
penerima titipan, sedangkan al-ida menunjukan perbuatannya. Fakar fikih
menyatakan bahwa al-wadiah secara terminologis adalah harta yang dititipkan
kepada pihak lain untuk dijaga.
Al-wadiah dan al-ida secara istilah berkaitan dengan kriteria objek yang dititipkan dan sifat akad dari segi para
pihak. Ulama Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah menjelaskan bahwa yang dimaksud al-wadiah adalah
barang/harta yang diwakilkan pemeliiharaanya kepada pihak lain. Sedangakn al-ida adalah akad yang berkaitan
dengan pelimpahan kekuasaan dari pemilik kepada pihak lain untuk memelihara/menjaga harta miliknya. Meskipun
demikian, ulama berbeda dalam menggunakan kata yang dijadikan kata penting dalam mendefinisikan wadi’ah, antara
lain:
Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam akad al-wadiah hanya boleh dilakukan atas harta yang halal secaraa
syariah. Pihak yang menerima titipan merupakan pihak yang dapat dipercaya al-amin/amanah) dan baginya
merupakan akad tabarru (perbuatan baik) karena tidak mendapat imbalan atau keuntungan.
RUKUN WADI’AH
Ulama Hanafiah
Dalil Wadi’ah dan “Tunaikanlah amanah kepada pihak yang telah mamberikan amanah (mudi)
kepadamu, janganlah kamu berkhianat kepada orang yang menghianatimu.”
Sifat Amanah
3. Hadis Riwayat Imam Muslim, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah
“Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan duniawi yang dialami muslim
lainnya maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat; dan Allah
akan menolong hamba-Nya selama yang bersangkutan menolong saudaranya.”
4. Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyah) yang diriwayatkan Imam Baihaqy
“Dari ‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan Ali r.a. untuk tinggal di Makkah dalam rangka
menggantikan Nabi untuk mengembalikan titipan-titipan masyarakat (yang diterima Nabi Saw.) kepada
pemiliknya.”
5. Ulama fikih telah bersepakat (ijma’) tentang bolehnya akad wadi’ah
6. Dalil ‘aqli mengenai argument bolehnya akad wadi’ah adalah analogi al-I’arah dan kebolehannya sejalan
dengan upaya mewujudkan kaidah al-dharar yuzal (kemudaratan harus dihilangkan) karena akad wadi’ah harus
dilakukan oleh mudi’ dalam rangka menanggulangi kesulitan yang dialaminya.
Akad wadiah, dilihat dari segi dalil yang digunakan dan teoretisasi hakikat wadiah, berkaitan dengan konsep
amanah karena penerima titipan (muddi’mustawdi) berkedudukan sebagai pihak yang dipercaya untuk
menjalankan amanah (disebut al-amin).
Sifat amanah dalam konteks akad wadi’ah secara langsung berhubungan dengan hokum menerima titipan
(yang merupakan bagian dari teori penerapan hukum [hokum taklifi]).
Hukum Penerima Titipan
1. Ulama Hanafiyah dan Hanabillah berpendapat bahwa hukum meneeima tutipan adalah dianjurkan
(sunnah/mustahab) karena bagian dari tolong menolong yang hukumnya sunnah, berdasarkan Al-qur'an
dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
2. Ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa hukum asal (pokok) menerima titipan adalah boleh
(al-ibahah). Akan tetapi hukum asal ini dapat berubah kareana keadaan berikut:
a. Haram, apabila penerima titipan tidak memiliki kemampuan untuk menjaganya sehingga dikhawatirkan
barang yang dititipkan akan rusak. Haram juga menerima titipan harta yang diketahui merupakan hasil
kepemilikan yang prosesnya tidak sah secara hukum.
b. Wajib, apabila penerima mampu untuk menjaganya dan adanya kondisi pihak penitip yang akan teraniaya
jika hartanya tidak diterima untuk dititipkan.
Apakah wadi’ah merupakan akad atau bukan akad atau hanya izin saja?
Konsep al-
Wadi’ah dan 1. Diantara ulama Syafi’iah; Ibn
2. Jumhur Ulama
Rif’ah (Ulama Malikiah)
Ragamnya
1. Diantara ulama Syafi’iah: bahwa wadi’ah bukan akad, melainkan merupakan izin dan tarkhish
(keringanan) dari pemilik kepada pihak lain untuk menjaga harta miliknya.
Argumen: Analogi (qiyas) kepada tamu. Tamu memperoleh izin dari tuan rumah untuk mengonsumsi
makanan yang disajikan kepadanya. Begitupun wadi’ah, yang pada prinsipnya merupakan izin dari
pemilik kepada penerima titipan untuk menjaga harta miliknya; penitipan bukanlah akad.
Ibn Rif’ah (Ulama Malikiah) : wadi’ah adalah (izin) memindahkan penjagaan kepemilikan
(barang) semata.
2. Jumhur Ulama : Wadi’ah termasuk akad (‘aqd al-wadi’ah)
Argumen:
a. Analogi kepada akad wakalah. Penitip barang (mudi’/mustawdi’) sama dengan pemberi kuasa (muwakkil),
sedangkan penerima titipan (muda’/mustawda’) sama dengan penerima kuasa (wakil). Rukun dan syarat akad
wakalah berlaku pula bagi akad wadi’ah. Wadi’ah merupakan akad wakalah dengan ciri khusus. Perbedaannya
adalah bahwa wadi’ah merupakan (akad) yang membuat pihak muda’ menggantikan pihak mudi’ dalam rangka
penjagaan barang (milik mudi’), bukan untuk investasi. Sedangkan akad wakalah yang bersifat mutlak adalah
akad yang membuat wakil menggantikan posisi muwakkil dalam rangka investasi harta milik wakil dengan cara
yang diketahui.
b. Analogi kepada akad wadi’ah dan akad al-I’arah (al-’ariyah), karena akad wadi’ah merupakan bagian dari
akad al-’ariyah (pinjaman barang). Al-’ariyah merupakan hibah (menghibahkan) manfaat barang. Dalam akad
wadi’ah juga terdapat hibah, yaitu menghibahkan tenaga (jasa) untuk menjaga barang milik pihak lain.
RAGAM WADI’AH
Menurut Syekh ‘Ala’ al-Din Za’tari, akad wadi’ah dibedakan menjadi dua, antara lain:
1. Akad Wadi’ah • Tidak disertai syarat apapun, baik menyangkut cara maupun tempat yang
Muthlaqah layak untuk menyimpan dan memelihara barang titipan.
2. Akad wadiah • Disertai dengan syarat, baik menyangkut cara dan/atau tempat yang
Muqayyadah layak untuk menyimpan dan memelihara barang titipan
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai akad wadi’ah
yang merupakan bagian dari akad tabarru’. Asasnya adalah kasih saying (al-rifq),
tolong menolong (al-ma’unah), memberikan keleluasaan bagi yang mengalami
kesulitan (tanfish al-kurbah). Oleh karena itu tidka pantas jika pihak
mudi’/mustawdi’ meminta imbalan atas jasa penitipan.
Akad Wadi’ah bi
Meskipun demikian, ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya ujrah
al-Ujrah terkait jasa wadi’ah yang diterima muda’/mustawda’.
Rafiq Yunus al- Mishri menyatakan bahwa penerima titipan tidak boleh menuntut ujrah atas jsa
pemeliharaan benda titipan. Akan tetapi, penerima titipan boleh menuntut ujrah kepada penitip apabila benda
yang dititipkan termasuk benda yang besar sehingga memerlukan tempat yang luas untuk menyimpannya.
Apabila diperlukan kunci atau benda lainnya untuk menjaganya, hal tersebut merupakan kewajiban penitip.
Penerima titipan berhak mendapat ujrah dari penitip apabila kewajiban tesrsebut dilimpahkan kepadanya.
Dalam kitab ‘aqd al-Wadia’ah dengan mengutip kitab Ahkam Al-quran (I/408) karya
Ibn Al-‘Arabi dan Tahrir Alfazh al-Tanbih (144) karya al-Nawawi, dijelaskan bahwa
yang disebut dengan tijarah (investasi) adalah:
1. Investasi dana dengan melakukan jual beli dan yang sejenisnya dalam rangka
memproleh keuntungan.
Hubungan Akad 2. Investasi dana titipan (al-Tijarah bi al-Wadi’ah) adalah penerima titipan
menginvestasikan harta titipan dalam berbagai instrumen untuk mencari
Wadi’ah dengan keuntungan.
Akad Mudharabah Hukum investasi harta titipan tanpa izin dari pemiliknya adalah makruh bagi
sebagian ulama Malikiah, baik berupa titipan barang maupun uang, baik benda
special (khas) maupun benda yang memiliki perbandingandi public (mitsaliyat),
Beberapa ulama Malikiyah membedakan jenis harta titipan, antara lain:
1. Pendapat yang diriwayatkan ibn Umar, Nafi, Abi Qilabah, Ishaq, dan Ahmad dalam suatu riwayat, menyatakan bahwa
keuntungan investasi atas harta titipan tanpa izin dari pemiliknya adalah milik penitip karna keuntungan tersebut timbul
dari harta miliknya (kurang lebih dari sama dengan pertambahan harta secara alamiah). Kaidah yang digunakan adalah
al-ribh tabi’ li al-mal al-ladzi huwa ashluhu (keuntungan ikut pada harta yang menjdi sumbernya).
2. Pendapat yang diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Ahmad dalam satu riwayat, menyatakan bahwa keuntungan investasi atas
harta titipan tanpa izin dari pemiliknya dipruntukan bait al-mal (penggunaannya untuk kepentingan umum umat islam).
3. Pendapat Abu hanifah, Zufar, Muhammad Ibn al-Hasan, al-Sya’bi, dan Ahmad menurut satu riwayat menyatakan bahwa
keuntungan investasi atas harta titipan tanpa izin dari pemiliknya harus disedekahkan.
4. Pendapat al-Qadhi Syureikh, hasan Basri, ‘Atha’ Ibn Abu Rabah, al- Sya’bi, Yahya al-Anshari, Rabi’ah, Malik, al-Tsauri,
al-Laits, Abu Yusuf, dan Ahmad menurut satu riwayat, menyatakan bahwa keuntun gan investasi atas harta titipan tanpa
izin dari pemiliknya menjadi milik penitip.
Terdapat dua argumen dalam hal ini adalah:
a. Keuntungan didapatkan karna usaha (kasab/effort) yang dilakukan penerima titipan dan yang bersangkutan harus
bertanggung jawab (al-Dhaman) jika terjadi kerugian atau kerusakan harta titpan karna di investasikan. Oleh
karna itu, keuntungan miliknya, sebagaimana (analogi/qiyas) pada parameter al-ghasab.
b. Menggunakan teori tujuan maqasid tujuan akad wadi’ah adalah agar harta milik penitip terpelihara (al-hifzh).
Oleh karena itu, penitip tidak mengharapkan adanya tambahan atau keuntungan atas harta yang dititipkan.
Karenanya, (nilai) harta yang dikembalikan harus sesuai dengan nilai titipan, sedangkan tambahan atau
keuntungannya menjadi milik penerima titipan (pelaku usaha).
5. Pendapat Imam Ahamad Ibn Hanbal, sebagaimana dijelaskan Ibn Taimiah dalam kitab Mukhtamar al-fatwa al-
Mishriyah(279) dan kitab Majmu Fatwa Ibn Taimiah (30/139), menyatakan bahwa keuntungan investasi atas
harta titipan tanpa izin dari pemiliknya harus dibagi antara penitip (pemilik dana) dan penerima titipan (sebagai
pelaku usaha), sebagaimana dalam akad mudharabah.
Syekh ‘Ala’ al-Din Za’tari, dalam kitab Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-
Muqarin: Shiyaghah jadidah wa Amtsilah Mu’ashirah, menjelaskan bahwa
akad Wadi’ah berakhir karana salah satu sebat berikut: