Anda di halaman 1dari 15

RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN EKONOMI

Oleh:

Restyka Puspita Sari (18510092)

Ana Maghfirah (18510093)

Abstract

This article explains the problem of usury in economic and religious perspectives. Reviewing
the notions of usury, types of usury, the impact of usury, the perspective of non-Islam, and
fatwas in the view of Islamic institutions. In the teachings of Islamic usury things are very
prohibited for Muslims. Some scholars consider usury to be a prohibited practice. Allah said
that usury is very forbidden but buying and selling transactions are legal. The prohibition of
usury in Islam is based on moral and humanitarian considerations because the essence of the
prohibition of usury is the elimination of all forms of economic practices that lead to tyranny
and injustice. And the impact of usury in the economy will result in hampered economic
growth. The method of writing this article is based on literature review by conducting an in-
depth review of books and journals. This research is to find out the interpretation of usury
and the opinions of scholars in looking at the usury law and analyze the negative effects of
usury practices on the economy.

Keywords: Riba, Islamic, Social economy.

1. Pendahuluan

Keadilan sosio-ekonomi merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari


masyarakat muslim ideal. Mereka harus menjangkau semua wilayah interaksi sosial,
ekonomi, kemanusiaan, dan politik. Dalam dunia bisnis dan ekonomi, semua nilai harus
menyatu dengan keadilan sehingga dalam keseluruhan totalitasinya akan mendorong keadilan
sosio-ekonomi.

Salah satu ajaran Islam yang penting untuk menegakkan keadilan dan menghapuskan
eksploitasi dalam transaksi bisnis dengan melarang semua bentuk peningkatan kekayaan
“secara tidak adil”. Al-Qur’an dengan tegas melarang kaum muslim mengambil harta orang
lain dengan cara yang bathil atau dengan cara yang tidak benar.1

Al-Qur’an dan As- Sunnah telah memberikan prinsip-prinsip yang diketahui oleh kaum
muslimin mengenai cara-cara memperoleh kekayaan dan penghasilan yang benar atau yang
salah dan yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan. Dalam hal ini riba mewakili
sistem nilai Islam, suatu sumber utama keuntungan yang ridak diperbolehkan.

1
QS. Al Baqarah (2):188 dan An Nisaa’ (4): 29

1
Islam memberikan panduan yang jelas dalam setiap transaksi dalam hal mua’amalah.
Semua ketentuan mempunyai tujuan, untuk menghasilkan transaksi yang halal. Islam juga
memberi tahukan transaksi-transaksi yang dilarang, seperti: membuat dan menjual barang
yang najis (babi, arak, anjil,dll). Barang-barang itu hukumnya haram, karena Rasulullah
SAW, bersabda: “ Sesungguhnya Allah SWT. Jika mengharamkan suatu barang maka
harganya pun haram juga”2. Barang yang tidak bermanfaat dalam Islam dapat membawa
manusia kedalam kemaksiatan atau mendapatkan kelalaian akan menyebabkan seseorang
lupa untuk beribadah kepada Allah SWT juga tidak dibenarkan. Transaksi yang mengandung
unsur rba, gharar, melakukan penipuan dalam transaksi, dan melakukan ihtikar (penimbuhan)
dan lain-lain3

Salah satu hal yang diharamkan oleh Islam secara normatif dalam bertransaksi adalah
praktek riba. Ayat tentang persoalan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah sangat jelas.

2. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah ‘tambahan’. Secara linguistik, riba diartikan
tumbuh dan membesar. Sedangkan secara teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil. Beberapa pendapat yang menjelaskan tentang riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam.4

Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya

‫اض ِهمن ُك ْم َوالَ تَ ْقتُلُواْ أَنفُ َس ُك ْم إِ َّن ه‬


َ‫ّللاَ َكان‬ ِ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ ت َأ ْ ُكلُواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل إِالَّ أَن ت َ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارة ً َعن ت ََر‬
﴾٢٩﴿‫بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil” (an-Nisa’:29)

Pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya,
Ahkam Al-Qura, menjelaskan.

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam
ayat al-Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi atau
penyeimbangan yang dibenarkan syariah”

2
HR. Akhmad dan Abu Daud.
3
Abd al-Haq Humaisy dan Al-Husein syawat (2001). Fiqh Al ‘Uqud Al Maliyyah.
4
M. Syafi;i Antoni Bank Syariah Wacana Ulama’ Cendekiawan. TAZKIA 1999, hlm. 59.

2
Ayat di atas menjelaskan tentang transaksi pengganti atau penyeimbangan yang
diartikan sebagai transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasiadanya penambahan
tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek.

Riba ini merupakan salah satu dosa dari dosa-dosa besar yang lebih diharamkan
dengan keras dalam kitab Allah dan sunnah Rosul-Nya dalam segala bentuk, macam maupun
namanya dijelaskan dalam firman Allah dalam suroh Ali Imron 130 yang berbunyi,

﴾١٣٠﴿ َ‫ّللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬


‫ضا َعفَةً َواتَّقُواْ ه‬ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ ت َأ ْ ُكلُواْ ِ ه‬
ْ َ ‫الر َبا أ‬
َ ‫ض َعافًا ُّم‬

“Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlimpah ganda dan
bertakwalahkamu kepada Allah peliharaan dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk
orang-orang kafir. Dan taatilah Allah dan Rosul supaya kamu diberi rahmat”

Firman Allah dalam suroh lain Al-Baqoroh yang berbunyi

‫سو ِل ِه َوإِن‬
ُ ‫ّللاِ َو َر‬ ٍ ‫﴾فَإِن لَّ ْم ت َ ْفعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِ َح ْر‬٢٧٨﴿ َ‫الربَا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين‬
‫ب ِهمنَ ه‬ ‫ي ِمنَ ِ ه‬ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ اتَّقُواْ ه‬
َ ‫ّللاَ َوذَ ُرواْ َما بَ ِق‬
﴾٢٧٩﴿ َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ُ ‫ؤُوس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم الَ ت َْظ ِل ُمونَ َوالَ ت‬
ُ ‫ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر‬

“Hai orang-orang yang berima, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman, jika kamu tidak mengerjakan
(meninggallkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangi.
Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Dan masih banyak lagi yang perintah-perintah larangan Allah untuk riba

Pengharaman riba oleh Rasulullah terjadi pada tahun ke-8 (delepan) atau ke-9
(sembilan). Dalil dalam sunnah Nabi dapat dilihat dalam sabda Rasulullah

“Jauhkanlah tujuh perkara yang membinasakan (dosa besar), salah satu diantaranya adalah
riba “ (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Hadist lain ialah hadist riwayat Ibn Mas’ud r.a

“Rasulullah melakukan orang makan riba, yang memberinya, saksinya, dan penulisannya”
(HR Abu Dawud, Muslim, dan Bukhari)

Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw. Bersabda,

3
“Riba itu ada 73 pintu. Pintu yang paling ringan adalah seprti seseorang yang menikahi
ibunta, dan ia mengambil lebih dari padanya yang diberi oleh lelaki muslim itu adalah riba”

Inilah sebagian dalil-dalil dari kitab Allah dan sunnah Rosul-Nya Muhammad
saw.yang telah menjelaskan tentang mengharamkan riba dan bahayanya atas individu dan
umat. Barang siapa yang bermuamalah dan bahayanya, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa
besar dan menjadi orang yang memerangi Allah dan Roul-Nya.

Dalam bank kita pernah mendengar istilah bunga bank, bunga bank disini berkaitan
dengan riba,Wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan “Bunga bank adalah haram
hukumnya, karena bunga bank adalah riba nasi’ah. Sama saja apakah bunga itu mengembang
atau menumpuk. Karena perbuatan bank adalah janji dan janji, sungguh bunga bank
merupakan riba yang jelas, bunga adalah haram hukumnya karena sama seperti riba”5

3. Jenis-jenis Riba

Menurut Syafi’i Antonio6 terdapat beberapa jenis riba yakni


a. Riba Qardh, yakni suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang beruntung (muqtaridh)
b. Riba jahiliyah, yaitu utang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan
c. Riba fadhl, yaitu pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau tukaran yang
berbeda, sedangkan yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi
d. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan
yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian jenis-jenis riba, berkata ibnu Hajar al-Haitsami,
“Riba itu terdiri atas tiga jenis : riba fadl, riba al-yaad dan riba an-nasi’ah Al-
Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qadr. Beliau juga menyatakan
bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al-Qur’an dan
hadist Nabi”

5
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Ketua Komite Ulama
Senior dan Komite Penelitian Ilmiah dan Pemberian Fatwa
6
Safi’i Antonio, Op Cit hlm. 63.

4
Jenis-jeni barang riba menurut ahli fiqih bahwa barang ribawi ini meliputi
a. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
b. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, jagung serta makanan tambahan,
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-
barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut
a. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang
sama. barang tersebutpun harus diserahkan saat transaksi jual beli.
b. Jualbeli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual
beli.
c. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam
jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad
d. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan
diserahkan pada waktu akad
4. Konsep Riba dalam Prespektif Non Islam
Mengenai tentang persepektif non muslim mengenai riba ini ternyata bukan
merupakan persoalan masyarakat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar
Islampun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba
dapat diruntut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam.
Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani,
demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai
pandangan tersendiri mengenai riba.
Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang ribapun melihat perspektif
darikalangan non muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari
kalangan non muslim juga perlu dikaji.
Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak,
Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai ahli Kitab karena kaum Yahudi
dikaruniai Allah swt. kitab taurat, sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.
Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak
tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yahudi dan Romawi juga perlu diperhatikan
karena mereka mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban

5
manusia. Pendapat mereka juga mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen
serta umat Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba. 7
 Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-oranh Yahudi melarang mempraktikan pengambilan bunga. Pelarangan ini
banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama)
maupun undang-undang Talmud.
Kitab Exod (keluaran pasal 22 ayat 25 menyatakan,
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai oenagih utang terhadap dia,
jangan engkau bebankan bunga uang terhadapnya”
Kitap Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan,

“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan,
atau apapun yang dapat dibungakan”

 Konsep bunga dikalangan Yunani dan Romawi

Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga IV masehi terdapat
undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga
tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum”. Namun pada masa
Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pada masa
Unciaria (88 SM), prakti tersebut diperbolehkan kembali seperti semula.

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua
orang ahli filsafat Yunani termukakan, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM),
mengecam praktik bunga.

Plato mengacam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan
perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat
golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Ditegaskannya bahwa uang bukan
alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.

Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai
alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahlli filsafat. Cato memberikan
dan ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman

7
Antoni, Bank Syariah hlm. 42

6
a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan memberi
pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang
pemakan bungan. Pencurian akan di denda dua kali lipat, sedangkan pemakan bunga
akan didenda empat kali lipat
Ringkasanya, para ahli filsafat yuani dan romawi menganggap bahwa bunga adalah
sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat
umum pada waktu itu. Kenyataannya bahwa bunga merupakan praktik yang tidak
sehat dalam masyarakat, merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.
 Konsep bunga di kalangan Kristen

Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan maslah ini secara jelas. Akan tetapi, sebagai
kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagai ayat
yang mengecamkan praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan

“ dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap menerima
sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang
berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu
dan berbuat baiklah kepada mereka yang dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan,
maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi sebab
ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tantangan dan


tafsiran dari pemuka agama kristen tentang tidak boleh-tidaknya orang kristen
memperpraktikkan pengambilan bungan. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama
Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga priode utama, yaitu pandangan para pendeta awal
kristen (abad I-XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para serjana kristen (abad XII-
XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformasi Kristen
(abad XVI-tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

5. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat islam
tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam al-Qur’an dan hadist
Rasulullah saw.

 Larangan riba dalam Al-Qur’an

7
Terdapat dalam tidak diturunkan sekaligusmelainkan diturunkan dalam empat tahap.8

Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai sesuatu perbuatan mendekati atau taqurrab
kepada Allah SWT.

Tahap Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi alasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba

Tahap Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfiraman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba degan berlipat ganda dan
bertakwlah kamukepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan. (Ali-Imron: 130)

Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa
kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat
ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari
praktik pembungaan uang pada saat itu.

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan menghargaimu.
Dan, jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak
akan menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (al-Baqoroh: 278:279)

Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga
Al-hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih
lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelanggaran riba dalam hadits lebih
terinci.

8
Penjelasan lebih luas, lihat Sayyid Quthb “Tafsir Ayat ar-Riba” dan Abdul-A’la al-Maududi, Riba (Lahore:
Islamic Publication, 1951).

8
Salah satunya hadits yang menguraikan tentang riba Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin
Abu Bakar bahwa ayahnya berkata,

“Rasulullah saw. Melarang penjualan emas dengan emas dan perakdengan perak
kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual mas dengan perak dan begitu juga
sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu )

6. Alasan Pembenaran Mengambil Riba

Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada
beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan
bunga uang. Diantaranya karena alasan berikut.9

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya


2. Hanya buga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang
“wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan.
3. Bank sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian,
tidak karena khitab ayat-ayat dan hadist riba.
A. Darurat, untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembalasan
yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang diinyatakan oleh syara’
(Allah dan Rosul-Nya) bukan pengertian sehari-hari. Dalam literatur klasik, keadaan
emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada
makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan.
B. Berlipat Ganda ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah
berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil wajar-wajar saja dibenarkan.10
Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih islami di Paris tahun 1978,
menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut, ia menjelaskan secara linguistik
(dhoif) arti kelipatan. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula,
sedangkan (idhoaf) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3.

9
Dawam Rahadjo “The Question of Islamic Banking in Indonesia” dalam Mohamed Arif (ed), Islamic Banking in
South East Asia (Singapura: ISEAS, 1988).
10
Kahar Masyur, beberapa pendapatan tentang riba (Jakarta: Kalam Mulia, 1999)

9
Dengan demikian (idhoaf) berarti 3x2=6kali. Adapun (mudhoafa) dalam ayat adalah
ta’kid (litakiid) untuk penguatan.
C. Badan Hukum dan Hukum Taklif, ada sebagian ulama berpendapat ketika ayat riba
turun dan disampaikan di Jazirah Arabiah, belum ada bank atau lembaga keuangan,
yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Bank Danamon, atau
Bank Lippo tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
a. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama
sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga
keuangan yang mendapatkan pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain,
perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syakhsiyah hukumiyah. Juridical personality ini secara hukum
adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.11

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaatnya, perusahaan dapat melakukan mudharat
jauh lebih besar dari perseorangan.

7. Pebedaan Bunga dan Bagi Hasil

Islam melarang praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Bunga dan bagi hasil
memberikan keuntungan bagi pemilik atau peminjam dana, namun keduanya memiliki
perbedaan yang sangat nyata.

Tabel perbedaan antara bunga dan bagi hasil:

Bunga Bagi Hasil


a. Penentuan bunga dibuat pada waktu a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi
akad dengan asumsi harus selalu hasil dibuat pada waktu akad dengan
untung berpedoman pada kemungkinan
untung rugi
b. Besarnya persentase berdasarkan pada b. Besarnya ratio bagi hasil berdasarkan
jumlah uang (modal) yang pada jumlah keuntungan yang
dipinjamkan diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang c. Bagi hasil bergantung pada
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah keuntungan proyek yang dijalankan.
proyek yang dijalankan oleh pihak Bila usaha merugi, kerugian itu akan
nasabah untung atau rugi ditanggung bersama oleh kedua belah

11
Mustafa Ahmad Zarqa. 1959. Al-FIQIH AL –Islami fi Tsaubihi al-Jadid: al-Mudkhal al-Fiqih al-Aam (Damaskus:
Mathbaa Jamiah Dimasq, 1959) cetakan ke-6

10
pihak
d. Jumlah pembayaran bunga tidak d. Jumlah pembagian laba meningkat
menigkat sekalipun jumlah sesuai dengan peningkatan jummlah
keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan
ekonomi saling “booming”
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau e. Tidak ada yang meragukan keabsahan
tidak dikecam) oleh semua agama, bagi hasil
termasuk Islam
8. Fatwa tentang Riba

Semua majelis ormas Islam berpengaruh di Indonesia. Ormas Islam telah membahas
masalah tentang riba. Pembahasan tersebut bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam
tentang masalah yang sedang berkembang di masyarakat. Kedua organisasi tersebut memiliki
lembaga ijtihad, yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul
Ulama.

1. Majelis Tarjih Muhammadiyah


Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil keputusan mengenai hukum
ekonomi/keuangan di luar zakat, yakni masalah keuangan (1976), perbankan (1968
dan 1972), dan koperasi simpan pinjam (1989)12.
a. Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
1) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal.
3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada nasabahnya
atau sebaliknya yan selama ini berlaku, termasuk perkara musytabuhat.
4) Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk menguasahakan
terwjudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan
yang sesuai dengan kaidah Islam.

Dalam keputusan diatas dapat dijelaskan bahwa bank negara dan bank swasta
sangat bebeda. Suku bunga bank negara pada saat itu relatif lebih rendah dari
suku bunga swasta nasional. Meskipun begitu, kebolehan bunga negara ini
masih tergolong musybihat (dianggap meragukan).

b. Majlis Tarjih Muhammadiyah Wiradesa (1972)


PP Muhammadiyah diamanati untuk memenuhi keputusan Majlis Tarjih
Muhammadiyah di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi lembaga
perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Majlis Tarjih
Garut (1976). Keputusna itu menyangkut pengertian uang, harta, hak milik, dan
kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam
yang dibahas dalam Muktamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di Malang pada
tahun 1989. Keputusannya: koperasi simpan pinjam hukumnya mubah, karena

12
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Jakarta: Lembaga Study Agama dan Filsafat,1999)

11
tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba. Majlis
Tarjih PP Muhammadiyah menambahkan satu keterangan, yaitu tambahan
pembayaran atau jasa diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan pinjam
bukanlah riba.
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama13
Beberapa kali sidang memutuskan mengenai bank dan pembungaan uang sama
dengan status hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama, yaitu a. Haram: sebab,
termasuk utang yang dipungut rente, b. Halal: sebab, tidak ada syarat pada waktu
akad, dan c. Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih
pendapat tentangnya.
Lajna memutuskan bahwa bunga bank adalah haram.
3. Fatwa lembaga-lembaga lain
Ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga lain Islam dunia. Menyatakan bahwa
bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan.
4. Fatwa MUI tentang Keharaman Riba
MUI se-Indnesia menetapkan fatwa bahwa bank, asuransi, pasar modal, pegadaian,
koperasi, dan lembagakeuangan lainnya maupun individu yang melakukan praktik
pembungaan adalah haram.

9. Dampak Negatif Riba

a. Dampak ekonomi
Dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bungan sebagai biaya uang. Disebabkan
oleh salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi
suku bunga, semakin tinggi harga yang ditetapkan pada barang.
b. Dampak sosial masyarakat
Riba merupakan pendapatan yang didapatkan secara tidak adil. Para pengambil
riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan secara berlipat ganda atau lebih dari uang yang dipinjam.

Dampak negatif sistem keuangan berbasis bunga


Menurut Muhammad Ayyub dalam bukunya yang berjudul understanding
Islamic Finance, telah menuding skim dan konsep keuangan barat yang
berdasarkan bunga sebagai penyebab timbulnya permasalahan kemanusiaan di
semua komunitas masyarakat dan banyak negara. Konsep keuangan yang
berbasis Bunga telah menimbulkan ketidakadilan (inequity) , keadilan tersebut
telah mengakibatkan banyak sekali orang di negara-negara yang sedang
berkembang. Sistem keuangan yang berbasis bunga merupakan penghalang
terbesar bagi tercapainya keadilan yang merata. Sistem tersebut telah
mengakibatkan banyak hutang tidak terbayar, menciptakan sekelompok orang
kaya dan mengabaikan orang-orang yangsemakini semakin miskin.

13
Pembahasan lebih lanjut mengenai pendapat Majlis Tarjih, lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995)

12
 Riba dalam ekonomi Islam
Prinsip syariah tidak mengenal konsep bunga karena bunga adalah riba yang
haram (terlarang). Bisnis dalam Islam yang didasarkan pada prinsip syariah tidak
mengenal pembebanan bunga oleh pemilik modal atau investor uang yang
dipinjamkan oleh kreditur kepada debitur. Konsep bunga yang diterapkan bank
untuk menjalankan bisnis, dari pihak debitur akan mendapatkan bunga dalam
keadaan rugi atau untung.
Dihari libur pun ketika bisnis secara resmi dibentikan, bunga dihitung dan
dibebankan terus oleh kteditur kepada debitur. Dalam keadaan ekonomi makro
mengalami krisis, baik nasional ataupun global debitur wajib membayarkan bunga
ke kreditur. Bunga yang ditetapkan dari pihak debitur ke kreditur tidak semua
tinggi. Saat kreditur mendapatkan keuntungan bunga yang dibayarkan akan terasa
rendah, sebaliknya bila kreditur mengalami kebangkrutan bunga yang dirasakan
akan menjadi monster bagi kreditur. Kreditur harus melunasi bunga dan pinjaman
pokok. Lebih mengerikan lagi jika bubga dihitung secara compounded, yakni
bunga yang tertunggak dan dibebankan lagi bunga. Bile seperti itu, jumlah
keseluruhan bunga yang harus dilunasi semakin besar daripada pokoknya.
Dalam syariah, imbalan dari modal (capital) tidak boleh berbentuk bunha
(interest) karena bunga dianggap riba yang hukumnya haram. Dalam syariah,
imbalan modal harus dalam bentuk keuntungan (profit). Oleh karena itu, modal
tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain kecuali dipinjamkan tanpa bunga.
Modal yang menghasilkan bukan falam bentuk bunga tetapi dalam bentuk
keuntungan dengan cara bertransaksi jual beli (ba'i atau sale) antara pemilik kodal
dengan pembeli.
Ashraf Usmani mengemukakan bahwa investasi dana berbasis bunga dapat
menciptakan monopoli, membuka keserakahan, ketidakadilan, dan penindasan
oleh kreditur terhadap debitur. Penipuan dan kecyrangan marak di dalam
perdagangan dan bisnis (Ashraf Usmani,t.th.:1).

10. Kontroversi Mengenai Bunga Bank

Kontroversi yang paling utama berkisar mengenai masalah apakah Islam


melarang riba atau bunga, ataukah Islam melarang pembebanan dan pembayaran
dari kedua hal itu (Kazarian, 1995:50). Terdapat tiga aliran mengenai hal ini
yaitu aliran yang berpandangan pragmatis, aliran yang berpandangan konservatif,
dan aliran yang berpandangan Sosio ekonomis.
Timbulnya perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup larangan riba muncul,
ayat tentang larangan riba di dalam Al - quran diperkirakan turun menjelang
Rasulullah wafat. Beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang larangan
riba ketika bunga bank dikaitkan dengan larangan riba Rasulullah tidak pernah
membicarakan mengenai masalah bunga bank itu, hukum mengenai bunga bank
harus dipecahkan melalui para para cendekiawan muslim (Sumirto, 1996:78)
a) Pandangan pragmatis

13
Menurut pandangan yang pragmatis Alquran melarang usury yang berlaku
selama sebelum era Islam, tetapi tidak melarang bunga dalam sistem keuangan
modern. Dalam surat Ali Imraan ayat 130 penggadaan pinjaman melalui proses
yang usurious.
)130( ‫يا ايها الذين امنوا ال تاكلوا الربا اضعافا مضاعفه واتقوا هللا لعلكم تفلحون‬
Orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali
Imraan [3]:130)
Menurut pandangan yang pragmatis transaksi yang berdasarkan bunga
dianggap sah dan bunga menjadi dilarang secara hukum apabila jumlah yang
ditambahkan pada dana yang dipinjamkan sangat tinggi, yang bertujuan agar
pemberi pinjaman dapat mengeksploitasi penerima pinjaman. Di Indonesia kita
mengenal pemungutan bunga yang luar biasa tingginya sehingga mencekik leher
dan dapat memberatkan kehidupan meminjamnya yaitu pemungutan bunga oleh
para lintah darat.
Pandangan yang pragmatis berpendapat bahwa pembebanan bunga adalah
suatu kebutuhan untuk membangun ekonomi negara muslim yang dimaksudkan
itu menggalakkan tabungan dan mengerahkan modal untuk biaya investasi yang
produktif.
b) Pandangan konservatif
Berlawanan dengan pandangan yang pragmatis, pandangan konservatif
berpendapat bahwa riba harus diartikan baik sebagai bunga maupun usury. Setiap
imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas pinjaman sebagai imbalan untuk
pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba dan islam melarang pembayaran
seperti itu.
boneka interpretasi menari payah sempit pemungutan the permainan bunga
dilarang oleh agama tanpa memandang apakah tingkat bunga itu tinggi atau
rendah tanpa memandang apakah dana itu akan digunakan untuk tujuan produktif
atau konsumtif dan tanpa memandang apakah pinjaman itu diperoleh oleh
penerima pinjaman swasta atau pemerintah. pembayaran ribet dilarang baik oleh
alquran dan al-hadist sedangkan permainan bunga dilarang oleh Al-Kitab
hadist( Kazarian,1993:50).
c) Pandangan sosio ekonomis
Larangan terhadap bunga dalam kerangka ekonomi islam, mengambil
keuntungan dari penyedia modal tanpa adanya keterlibatan bupati terhadap resiko
oleh pemilik dana tidak diangkat oleh islam. menurut islam semua di dunia ini
tergantung kepada hukum alam mengenai penyusutan.

11. Penutup

Dalam ayat-ayat yang melarang tentang riba. Umar bin Khattab berkata:
Sesungguhnya Al-Quran ayat yang terakhir diturunkan adalah tentang riba. Rasulullah
SAW saat wafat beliau belum menerangkan secara jelas ayat tentang riba. Oleh

14
karena itu, beliau bersabda tinggalkanlah apa yang menimbulkan keraguan didalam
hati dan pilihlah yang tidak menimbulkan keraguan.
Al-Quran hanya menetapkan prinsip-prinsip umum saja, berupa cara
memperoleh harta dengan cara halal dan kebolehan jual beli dan diharamkan riba.
Tidak ada riba yang halal. Semua riba haram, telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam
surat Al Baqarah ayat 275. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Daftar Pustaka

 Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta.
Gema Industri Press.
 Sjahdeini, Sutan Remy. 2014. Perbankan Syariah. Jakarta. Kencana.
 Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional.
Jakarta. Gema Insani Press.
 Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syriah. Yogyakarta. Ekonisia.
 Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta. Sinar Grafika.

15

Anda mungkin juga menyukai