Anda di halaman 1dari 13

Nama : Riski Safitri

Judul : Leasing dan Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik


Dosen Pengampu : Jannus Tambunan, M.H.I

PENDAHULUAN

Aktivitas ijarah sering kali berkaitan dengan kehidupan setiap hari, baik keluarga
ataupun warga sekitar.bersamaan dengan perkembangan zaman dan perekonomian di
masyarakat terusmeningkat, hingga terdapat jasa pembiayaan yangdikeluarkan oleh
lembaga keuangan bank diantaranya sewa guna usaha (leasing), dalam kegiatanpembiayaan
ini bersumber pada prinsip atau ketetapan syariah yangmemakai akad Ijarah dan Ijarah
Muntahiyah Bittamlik.

Tidak dapat disangkal, kebutuhan akan sesuatu dari tahun ketahun meningkat, demi
tewujudnya kebutuhan tersebut diperlukan biaya atau modal dalam bentuk moneter (uang)
ataupun berupa barang. Hal ini merupakan peluang besar bagi pelaku usaha
dibidang Leasing (pembiayaan) secara kredit kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dengan proses yang mudah serta mengiurkan, banyak masyarakat yang ”bermain” dalam
hal ini.

Tak dipungkiri hampir seluruh lapisan masyarakat pernah berurusan


dalam Leasing khususnya dalam pengadaan kendaraan bermotor atau barang-barang lain.

Masalah timbul akibat dari tidak terpenenuhinya point-point kesepakatan dalam


perjajian tersebut. Tidak terlunasinya kredit merupakan masalah yang paling sering
dijumpai yang berujung dengan penarikan oleh pihak Leasing oleh Debt Collector baik
secara halus atau kasar yang dalam artinya tindak ditempat alias “dijemput paksa”. Hal ini
menjadi problema karena cara tersebut berbenturan dengan peraturan perundang-undangan.

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik


Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik atau Akad atau perjanjian dalam hal sewa
menyewa yang berujung dengan kepemilikan atau hibah yang merupakan istilah baru
yang tidak ditemukan dikalangan para fuqaha klasik. kita harus menguraikan kata-kata
yang terkandung di dalamnya (secara etimologi) Untuk menemukan definisinya maka
dapat disimpulkan definisi umum (secara terminologi). Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik
awalnya struktur katanya mempunyai kata - kata yang terdiri dari “at-ta’jiir atau al-ijarah
(sewa)” dan “at-tamliik (kepemilikan)”.
At-ta’jiir secara etimologi; berasalkan dari kata al-ajr,yang merupakan imbalan
untuk sebuah pekerjaan, dan juga diartikan dengan pahala.(Adiwarman, 2006, hlm.128).
Adapun alijarah: nama untuk upah, merupakan suatu yang diberikan dalam bentuk upah
terhadap pekerjaan. Sedangkan al-ijarah menurut para ulama adalah suatu akad yang
membawa manfaat jelas lagi dalam bentuk yang telah ditentukan sebelumnya atau
ditentukan dalam tanggungan, atau akad untuk pekerjaan yang jelas dengan waktu yang
jelas pula dan imbalan yang jelas.(Syafi’i Antonio, 2001, hlm.177).
Sedangkan at-tamliik secara bahasa berarti: membuat orang lain memiliki
sesuatu. at-tamliik dapat berupa kepemilikan manfaat, kepemilikan benda, bisa diganti
atau tidak. Disebut dengan akad jual beli ,Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi
dengan adanya ganti terhadap nilai barang. Apabila kepemilikan terhadap suatu manfaat
dengan adanya ganti atas manfaat tersebut maka , itu bisa disebut sewa. Dengan
demikian, Ijarah mumtahiyah bittamlik dapat diartikan sebagai “Akad sewa menyewa
antara pemilik barang sewaan dan penyewa untuk memperoleh kompensasi (imbalan)
untuk objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak kepemilikan objek
sewa sesuai dengan akad sewa.”(Hasbi, 2005, hlm.63). Fatwa DSN tentang Al-Ijāraḥ al-
Muntahiya bi Al- Tamlīk sebagaimana tertuang dalam fatwanya No:
27/DSN-MUI/III/2002 mendefinisikan akad ini adalah akad penyediaan dana dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada pihak penyewa.1
1
Adiwarman, A. K. (2006). Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. RajaGrafindo Persada.

Hal. 30
2
Kombinasi antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad (perjanjian) sewa
yang berakhir dengan kepemilikan barang di tangan penyewa adalah Transaksi Al Ijarah
Al muntahia bit-tamlik (IMBT). Pengalihan kepemilikan ini juga yang membedakan dari
ijarah biasa. Terlihat jelas dan semakin kuat komitmen untuk membeli barang di awal
akad, maka sifat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli.

Ada 2 ketentuan tentang IMBT dalam fatwa nomor: 27/DSN-MUI/III/2002, yaitu


ketentuan umum dan ketentuan khusus.
Ketentuan yang bersifat umum yaitu
1. Rukun dan syarat yang berlaku pada akad ijarah juga berlaku pada akad IMBT
2. Desepakatinya perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus ketika akad ijarah
ditandatangani, dan
3. Dalam akad harus dijelaskan semua hak dan kewajiban setiap pihak.2

Sementara ketentuan yang bersifat khusus yaitu


1. pihak yang ingin melakukan akad IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih
dahulu, sementara pemindahan kepemilikin baik melalui jual beli ataupun hibah
dilakukakn ketika akad ijarah telah selesai.
2. perjanjian pemindahan kepemilikan yang dilakukan diawal akad itu adalah wa’d yang
hukumnya tidak mengikat harus ada akad pemindahan kepemilikan lagi ketika akad
ijarah selesai.(Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002).

Karena pemindahan kepemilkan dalam akad IMBT ini hanya bisa dilakukan
ketika akad ijarah selesai, maka ketika masa ijarah masih berlangsung objek ijarah
tersebut masih menjadi milik pihak yang menyewakan, sehingga jika penyewa tidak
mampu membayar terus menerus hingga waktu yang disepakati berakhir, penyewa tidak
boleh menyewakan atau menjual kembali objek IMBT kepada pihak lain
Akad IMBT ini adalah akad sewa-beli, sementara Rasululah melarang
melakukan dua akad sekaligus dalam satu objek, oleh karena itu pemindahan
kepemilikan hanya boleh dilakukan ketika masa sewa berakhir sehingga jika dilihat
dari segi proses, maka IMBT ini bukan akad penggabungan tetapi termasuk akad pararel

2
Mubarok, J. (2009). Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dalam Perspektif Anatomo
Kontrak Bisnis (Vol. 6).

3
atau berkesinambungan.
Untuk melakukan pemindahan kepemilikan ada 2 opsi yang diberikan dalam
fatwa, yakni melalui jual beli atau hibah. Cara yang paling mudah adalah hibah, dimana
pemilik memberikan barang yang disewakan kepada penyewa ketika masa ijarah telah
selesai. Dalam fatwa dikatakan bahwa perjanjian pemindahan kepemilikan yang
dilakukan diawal akad itu sifatnya tidak mengikat, padahal seharusnya hibah tersebut
adalah hibah terikat/muqayyadah. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi
terjadinya kerugian yang dialami oleh pihak peyewa.
Sementara pemindahan kepemilikan dengan jual beli bisa dilakukan dengan cara
membagi pebayaran berjangka menjadi dua. Misalya dalam akad IMBT disepakati
bahwa pembayaran dilakuan selama 36 bulan. Jadi 33 bulan pembayaran awal
ditetapkan sebagai pembayaran untuk ijarah (sewa) dan 3 bulan terakhir diakui sebagai
pebayaran untuk jual- beli. Hanya saja dalam pemindahan kepemilikan dengan cara jual
beli ini, harga real objek IMBT belum tentu relevan dengan jumlah uang yang
dibayarkan. Oleh karena itu, hibah terikat adalah cara yang digunakan dalam
pemindahan kepemilikan objek IMBT meskipun pemindahan kepemilikan juga boleh
dilakukan dengan cara jual-beli.
Dengan demikian, kata “tidak mengikat” dalam fatwa DSN-MUI tersebut bukan
berarti bahwa pihak yang memberi sewa tidak wajib untuk menghibahkan atau menjual
objek IMBT kepada penyewa jika masa sewa telah berakhir, akan teapi harus ditafsirkan
bahwa perjanjin yang diakukan diawal akad tersebut bukan sebagai bukti pemindahan
kepemilikan. Sehingga harus ada akad baru yang dilakukan ketika masa ijarah telah
selesai(Mubarok, 2009, hlm.199 200).

B. Rukun Ijarah Muntahiyah bit Tamlik


Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), rukun diatur dalam pasal
322 yang isinya “Rukun dan syarat dalam Ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan
ijarah Muntahiyah bi Tamlik. Dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa rukun akad ini
sama dengan rukun akad Ijarah yaitu:
1. Musta’jir atau Penyewa, dalam perbankan bisa disebut dengan nasabah.
2. Mu’ajir atau pihak yang menyewakan, dalam perbankan pemilik barang adalah
bank.

4
3. Ma’jur atau Benda yang diijarahkan.
4. Akad. (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah(KHES), Pasal 295 Rukun Ijarah).
C. Bentuk-Bentuk Ijarah Muntahiyah bittamlik
Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah suatu ijarah yang terdapat bentuk atau jenis
di dalamnya. Adapun berbagai bentuk dari Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) adalah
sebagai berikut:

1. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Yang Berujung Kepemilikan


Ijarah yang berujung kepada kepemilikan adalah suatu akad sewa yang mana
dalam akad tersebut sudah terjadi perjanjian di awal antara pihak yang menyewa
dan yang penyewa, dalam akad tersebut berkaitan tentang perjanjian angsuran sewa
pembayaran dan kepemilikan. Jadi, dapat dikatakan barang yang disewa oleh
penyewa dapat berubah menjadi kepemilikan jika angsuran sewa yang sudah
ditetapkan telah lunas dibayar oleh pihak penyewa kepada pihak yang menyewakan.
Adapun contoh dari kasus ini adalah pak Budi ingin menywa satu unit rumah
kepada sebuah perusahaan rumah. Ketika akad sewa antara pak Budi dan
perusahaan rumah tersebut berlangsung, mereka membuat sebuah kesepakatan
bahwa saat pembayaran angsuran sewa lunas maka rumah yang disewa oleh pak
Budi menjadi milik pak Budi. Misalnya, pak Budi mengambil angsuran sewa
selama 20 tahun dengan angsuran perbulan Rp. 900.000, maka pada saat
pembayaran angsuran sewa yang terakhir atau yang ke 20 tahun, kepemilikan rumah
tadi menjadi hak milik pak Budi.3

2. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Murni


Akad ijarah murni adalah suatu akad perjanjian di awal yang pada dasarnya
hanya untuk sewa menyewa barang antara pihak penyewa dan yang menyewakan.
Namun, pihak yang menyewakan berhak memberikan penawaran kepada si penywa
untuk kepemilikan barang yang disewanya tersebut dengan syarat dia harus
membayar uang pengganti yang telah ditentukan oleh yang menyewakan. Jadi, di
antara pihak penyewa dan yang menyewakan tidak ada perjanjian jual beli dengan
barang tersebut karena ia adalah ijarah murni. Misalnya, Roni menyewasatu ruko
3
Hasbi, R. (2005). Teori Dasar Akutansi Syariah. Renaisan. Hal. 52

5
dengan Anto selama 1 tahun. Angsuran sewa yang ditetapkan oleh Anton adalah Rp.
700.000. Setelah angsuran sewa tersebut lunas selama 1 tahun, Roni diberikan
tawaran oleh Anton untuk menjadikan ruko tersebut menjadi miliknya dengan
syarat
Roni membayar uang tambahan Rp. 5.000.000 kepada Anto. Ketika Roni
menyetujui maka ruko tersebut akan menjadi miliknya setelah ia membayar uang
Rp. 5.000.000 kepada Anto. Jadi, pada dasarnya dalam ijarah murni terdapat dua
akad yang berbeda dan waktunya pun tidak bersamaan antara kedua akad tersebut.
Akad pertama adalah akad sewa menyewa selama yang ditetapkan, sedangkan akad
kedua adalah akan jual beli setelah akad sewa meneyewa sudah selesai.

3. Ijarah Muntahiyah Bittamlik dengan Perjanjian Jual Beli Di Akhir Masa


Akad ijarah ini adalah akad sewa untuk barang yang awalnya disewakan
menjadi kepemilikan. Karena dalam akad tersebut terdapat akad yang mengikat,
yaitu ketika perjanjian di awal telah disebutkan bahwa pihak yang menyewakan dan
pihak penyewa sepakat untuk melakukan akad jual beli pada barang sewa tersebut
ketika angsuran sewa tersebut sudah lunas. Misalnya, Sela menyewakan handphone
kepada Rina selama 5 bulan. Setiap angsuran perbulannya sebesar Rp. 200.000.
Ketika akad pertama ini ditetapkan maka akad kedua juga berlangsung yaitu akad
jual beli pada barang sewa tersebut dengan harga tertentu. Jadi, setelah angsuran
sewa selama 5 bulan lunas maka akad kedua akan berlangsung.

4. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Dengan Perjanjian Hibah Di Akhir Masa Sewa


Ijarah Muntahiyah Bittamlik seperti ini adalah akad ijarah yang telah
disepakati antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan melakukan akad yang
mengikat terhadap hibah kepada barang yang telah disewakan ketika angsuran sewa
telah lunas, maka barang tersebut akan dihibahkan oleh pihak yang menyewakan
tanpa membayar sejumlah uang pengganti. Misalnya, Rendy menyewakan laptop
kepada Agus selama 6 bulan dengan angsuran sewa Rp. 250.000. Mereka
melakukan akad yang mengikat, yaitu sewa menyewa dan perpindahan kepemilikan
setelah barang sewa dihibahkan. Jadi, setelah angsuran sewa lunas maka barang
sewa tadi dihibahkan kepada Agus.4
4
Mustofa, I. (2016). Fiqih Mu’amalah Kontemporer (1 ed.). Rajawali Pers. Hal. 150
6
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Dengan Tiga Opsi
Ijarah muntahiyah bittamlik dengan tiga opsi adalah suatu akad sewa
terhadap suatu barang yang disewakan antara pihak penyewa dengan pihak yang
menyewakan
dengan jangka waktu dan pembayaran yang telah ditetapkan. Pada saat yang
bersamaan pihak penyewa dan pihak yang menyewakan melakukan suatu perjanjian
yang mengikat, yang mana dalam perjanjian tersebut pihak yang menyewakan
memberikan tiga opsi kepada penyewa. Opsi yang pertama adalah pihak penyewa
akan menjadi pemilik barang tersebut dengan syarat membayar uang ganti
bersamaan dengan uang sewa. Pembayaran uang ganti tersebut dibayar sejak
pembayaran awal uang sewa. Opsi kedua adalah pihak penyewa dapat memiliki
barang sewa tersebut dengan cara memperpanjang pembayaran uang sewa agar
tidak terlalu terbebani. Sedangkan Opsi ketiga adalah pihak penyewa boleh untuk
menyewa barang tersebut saja tanpa menginginkan kepemilikan dari barang tersebut
dengan cara membayar angsuran sewa yang telah ditetapkan pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa harus mengembalikan barang tersebut setelah
selesai akad sewanya.(Mustofa, 2016, hlm.115 118).

D. Skema Ijarah Muntahiya bit Tamlik Dalam Bank Syariah


Salah satu skim yang digunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam
menjalankan produk pembiayaan KPR adalah skim Al-Ijāraḥ al-Muntahiya bi Al-Tamlīk
(IMBT). Berdasarkan skim ijarah ini, bank syariah menyewakan rumah, sebagai objek
akad, kepada nasabah. Meskipun pada prinsipnya tidak terjadi pemindahan kepemilikan
(hanya pemanfaatan rumah), tetapi pada akhir masa sewa bank dapat menjual atau
menghibahkan rumah yang disewakannya kepada nasabah. Berikut skema IMBT, dapat
dengan jelas menggambarkan skema pembiayaan IMBT seperti dalam skema di bawah

7
ini.

Keterangan:
1) Bank syariah dan nasabah membuat perjanjian dengan akad IMBT. Dalam akad,
dijelaskan tentangkompensasi (imbalan) yang ditetapkan oleh lessee kepada lessor,
ketika periode sewa berakhir makahak opsi lessee akan berlangsung, dan ketentuan
lainnya, kurun waktu sewa,dan objek sewa.
2) Bank syariah melakukan pembelian objek/barang sewa dari supilier. Aset yang dibeli
bank syariah sesuai dengan kebutuhan lessee (penyewa).
3) Setelah supplier/pemasokmempersiapkan objek/barang sewa, selanjutnya pemasok
mengirimkan dokumen barang yang dibeli ke bank syariah, kemudian bank syariah
melakukan transaksi kepada pemasok.
4)Kemudian pemasok mengirim objek/barang sewa ke nasabah atas perintah dari bank
syariah. Barang-barang yang dikirim tidak disertai dengan dokumen, karena dokumen
barang diserahkan kepada bank syariah.
5) Pembayaran dilakukkan nasabah atas imbalan yang telah disepakati dalam
akad setelah menerima barang sewaan. pendapatan sewa yakni sebagai Imbalan
yang diterima oleh perbankan syariah. Biaya sewa yang dibayar nasabah
(pelanggan) kepada bank syariah pada umumnya perbulan. Apabila jangka waktu
selesai maka pelanggan mempynyai pilihan untuk membeli barang sewaan,
kemudian pelanggan akan membayar sisanya (bila ada) dan bank syariah akan
memberikan dokumen kepemilikan barang yang disewakan.

8
Skema Pembiayaan Al-Ijāraḥ al-Muntahiya bi Al-Tamlīk dengan diakhiri akad.

Keterangan :
1. Nasabah memesan untuk melakukan akad Al-Ijāraḥ al-Muntahiya bi Al-Tamlīk
kepada Bank Syariah.
2. Bank membeli dan membayar barang kepada suplier/penjual atas nama Bank Syariah
3. Nasabah membayar sewa kepada Bank Syariah
4. Masa sewa diakhiri dengan Nasabah membeli barang tersebut dari Bank Syariah.
Sehingga dalam hal ini Al-Ijāraḥ al-Muntahiya bi Al-Tamlīk adalah akad sewa
menyewa barang antara pihak bank dengan nasabah yang diikuti janji bahwa pada saat
yang telah ditentukan, kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada nasabah.

E. Pengertian Leasing

Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, leasing diistilahkan “sewa guna usaha”.
Dalam Kepmenkeu No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
disebutkan bahwa sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal (misal mobil atau mesin pabrik) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.5

Secara umum leasing berarti equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang


modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung

5
Darsono, dkk. (2017). Perbankan Syariah Di Indonesia. Rajawali Pers. Hal. 49
9
maupun tidak langsung. Leasing juga berarti pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang
menggunakan barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu
berdasarkan nilai sisa. Perjanjian leasing tidak hanya sebatas suatu kontrak atau persetujuan
sewa yang obyeknya berupa barang modal, dan pihak lessee memiliki hak opsi dengan harga
berdasarkan nilai sisa, namun lebih kompleks, karena dalam leasing dapat timbul hak beli,
dan hal ini sangat mendekati transaksi jual beli aktiva angsuran dan dapat pula seperti sewa
menyewa biasa.

F. Leasiang dalam Perspektif Fiqh

Jenis Operating Lease atau dalam istilah muamalah “Ijarah”, dibolehkan oleh syara’
dengan dasar hukum:

QS. Al-Baqarah 233

ِ َ‫ُوف َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأ َّن هَّللا َ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ ِ ‫ضعُوا َأوْ ال َد ُك ْم فَال ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َما آتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬
ِ ْ‫وَِإ ْن َأ َر ْدتُ ْم َأ ْن تَ ْستَر‬
)٢٣٣(

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 233).

Yang menjadi dalil dari ayat tersebut di atas adalah ungkapan “apabila kamu
memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang
diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk
didalamnya jasa penyewaan atau leasing.

Hadits

)‫الحجَّا َم َأجْ َرهُ ( َر َواهُ َأحْ َمد والبخارى ومسلم‬ َّ ِ‫َّاس َأ َّن النَّب‬
َ ‫ احْ تَ َج َم َواَ ْعطَى‬.‫م‬.‫ي ص‬ ِ ‫َر َواهُ ابْنُ َعب‬

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berbekamlah kamu,
kemudian berilah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu (HR. Bukhari Muslim)

Ijma’. Pakar-pakar keilmuan dan cendikiawan sepanjang sejarah diseluruh negeri


telah sepakat akan legitimasi ijarah (Mugni Ibnu Qudamah)Adapun mengenai jenis
10
Financial Leasing, terdapat beberapa fakta yang menunjukkan keharaman transaksi ini,
yaitu:

Pertama, dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan
jual beli, menjadi satu akad (akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan
akad menjadi satu akad. Ibnu Mas’ud RA:

ِ ‫ص ْفقَ ٍة َو‬
‫اح َد ٍة‬ َ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا ِ ع َْن‬
َ ‫ص ْفقَتَ ْي ِن فِي‬

“Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (Shafqatain fi


shafqatin wahidah)” (HR. Ahmad, Al Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an
Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan
dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (Al
Syakhshiyah Al Islamiyah, II/308).

Kedua, dalam akad leasing biasanya terdapat bunga. Maka harga sewa yang dibayar
per bulan oleh lesse bisa jadi dengan jumlah tetap (tanpa bunga), namun bisa jadi harga
sewanya berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. Maka leasing dengan bunga
seperti ini hukumnya haram, karena bunga termasuk riba (QS Al Baqarah [2] : 275).

Ketiga, dalam akad leasing terjadi akad jaminan yang tidak sah, yaitu menjaminkan
barang yang sedang menjadi obyek jual beli. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Tidak
boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.: (Al Fatawa al Fiqhiyah al
Kubra, 2/287). Imam Ibnu Hazm berkata, ” Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat
menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi,
harus dibatalkan.” (Al Muhalla, 3/437). Dalam hadits juga disebutkan:

َ‫ْس ِع ْندَك‬
َ ‫ َوالَ بَ ْي ٌع َما لَي‬،‫ َوالَ ِر ْب ٌح َما لَ ْم يُضْ َم ْن‬،‫ف َوبَ ْي ٌع َوالَ ُشرْ طَانُ فِ ْي بَي ٍْع‬
ٌ َ‫الَ يَ ِحلُّ َسل‬

Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal
keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang
bukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)

Berdasarkan tiga alasan di atas, maka leasing dengan hak opsi (finance lease), atau
yang dikenal dengan sebutan leasing saja, hukumnya haram.
11
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan
kepemilikan atau hibah yang merupakan istilah baru yang tidak terdapat dikalangan para
fuqaha klasik.
Perjanjian sewa-menyewa dimana si penyewa diberi pilihan untuk menjadi
pemilik dari barang yang disewakan ketika masa sewa telah selesai , atau yang biasa kita
sebut dengan praktik sewa-beli sangatlah umum terjadi dalam masyarakat dewasa ini.
Oleh karena itu, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) megeluarkan fatwa yang
membolehkan praktik tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), rukun diatur dalam pasal
322 yang isinya “Rukun dan syarat dalam Ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan
ijarah Muntahiyah bi Tamlik. Dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa rukun akad ini
sama dengan rukun akad Ijarah.
Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah suatu ijarah yang terdapat bentuk atau jenis
di dalamnya. Adapun berbagai bentuk dari Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) adalah
sebagai berikut:
1. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Yang Berujung Kepemilikan.
2. Ijarah Muntahiyah Bittamlik Murni.
3. Ijarah Muntahiyah Bittamlik dengan Perjanjian Jual Beli Di Akhir Masa.
4. Ijarah Muntahiyah Bittamlik melalui Perjanjian Hibah Di Akhir Masa Sewa.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik melalui Tiga Opsi.
Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, leasing diistilahkan “sewa guna usaha”.
Dalam Kepmenkeu No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
disebutkan bahwa sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal (misal mobil atau mesin pabrik) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman, A. K. (2006). Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. RajaGrafindo

Persada.

Darsono, dkk. (2017). Perbankan Syariah Di Indonesia. Rajawali Pers.

Hasbi, R. (2005). Teori Dasar Akutansi Syariah. Renaisan.

Mubarok, J. (2009). Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dalam Perspektif

Anatomo Kontrak Bisnis (Vol. 6).

Mustofa, I. (2016). Fiqih Mu’amalah Kontemporer (1 ed.). Rajawali Pers.

Syafi’i Antonio, M. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Inzani.

13

Anda mungkin juga menyukai