Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH MANAJEMEN PEMBIAYAAN DAN

PEMASARAN PERBANKAN/LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
Dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas Teori Ekonomi Makro Islam
Dosen pengampu
Dr. H.Ahmad Nazori,S.E, M. H

Oleh:

Mar atun Sholehah


NIM: 802201006

PROGRAM STUDI
PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan terhadap kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia NYAlah kami dapat menyelesaikan tugas makalah
tentang Produk perbankan ini dengan baik, meskipun terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini saya harap maklum karena saya masih dalam proses
belajar. Dan tak lupa pula saya ucapkan terimakasih pada Dr.H.Ahmad
Nazori,S.E,M.H memberikan tugas ini kepada saya.

Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat berguna untuk kita semua,
khususnya untuk kelas PLKS A yang sangat saya cintai. Agar kita semua lebih dapat
memahami apa itu Metode Ilmiah yang ada di dalam pelajaran Pemikiran Islam
Klasik dan modern kita saat ini.

Saya rasa sekian kata pengantar dari saya, apabila terdapat kekurangan
dalam penulisan makalah, saya sangat senang jika ada yang memberikan kritik dan
saran yang membangun dari Ibu, ataupun teman-teman sekalian.

Jambi, 21 Juni 2021

Mar atun sholehah

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... ii

Daftar Isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembiayaan................................................................................... 2

2.2 Klasifikasi Akad Dalam Pembiayaan Di Bank Syariah.................................. 4

2.3 Akad Dan Produk Berbasis Jual Beli.............................................................. 6

2.4 Akad Dan Produk Berbasis Bagi Hasil........................................................... 16

2.5 Akad Dan Produk Penyetaan Modal Kerja.................................................... 24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27

BAB I

4
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbankan Syariah mulai muncul seiring dengan perkembangan zaman manusia di bumi.
Kebutuhan manusia tidak terbatas namun, keinginan manusia untuk menabung yang tak terbatas. Pada
dasarnya perbankan syariah adalahsuatu pengaplikasian ilmu ekonomi yang lebih luas terlebih dalam
urusan keuangan. Inti dari masalah perbankan syariah ini adalah adanya ketidakseimbangan antara
pengeluaran dan pendapatn yang masuk untul disimpan,sedangakan biaya yang keluar jauh lebih
besar daripada tabungan yang masuk. Meningkatnya kebutuhan manusia sesuai peradaban masa kini
mengakibatkan sumber pemasukan menjadi tidak menentu. Kebutuhan manusia yg tak terbatas
mengakibatkan pengeluaran biaya juga tak terbatas pula. Karena itu untuk memberikan kemudahan
dalam mengelola keunagn maka suatu bank syariah memberikan beberapa fasiliatas yang akan
memberikan kemudahan dan kemudahan bagi para nasabah agar pembiayaan yang dikeluarkan itu
bisa teralokasikan dengan baik,dan bahkan menguntungkan kedua belah pihak,sehingga kehidupan
ekonomi akan berjalan sesuai porosnya tanpa danya masalah keuangan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Landing pada Bank Syariah

Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain
selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarikan pada
kepercayaan yang diberikan oleh pihak pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya
kepada penerima dana bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti akan terbayar.
Penerimaan pembiayaan mendapat kepercayaan dari pemberi pembiayaan, sehingga penerima
pembiayaan berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya sesuai dengan
jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam akad pembiayaan.1

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan
dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.2 Dalam kegitan
penyaluran dana atau pembiayaan dana bank syariah harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang
sudah diatur oleh Bank Indonesia. Maka dari itu bank wajib meneliti nasabah secara seksama
berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syariat.

Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah berbeda dengan kredit yang
diberikan oleh bank konvensional. Dalam perbankan syariah, return atas pembiayaan tidak berbentuk
bunga, akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan akad-akad yang disediakan di bank
syariah.3Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, kedrit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak lain peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Bank syariah memiliki skema yang berbeda dengan bank konvensional dalam penyaluran
dananya kepada nasabah yang membutuhkan. Bank syariah menyalurkan dananya kepada nasabah
dalam bentuk pembiayaan. Sifat pembiayaan tersebut bukan merupakan hutang piutang tetapi
merupakan investasi yang diberikan pihak bank kepada nasabah dalam melakukan usaha.

Menurut Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998, Pembiayaan adalah penyedia uang
atau taguhan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan suatu kesepakatan antara
bank dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Jadi didalam perbankan syariah penyaluran dana yang
diberikan kepada nasabah berdasarkan prinsip syariah. Dengan aturan yang sesuai hukum islam.

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan
dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat
penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:4

1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

1
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001, hlm. 106.
2
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 160.
3
Ismail, Perbankan Syariah, hlm. 106.
4
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, hlm. 160.

6
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi,
yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut:5

1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: a) peningkatan produksi,
baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi maupun secara kuantitatif, yaitu peningkatan
kualitas atau mutu hasil produksi; dan b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of
place dari suatu barang.

2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta
fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

2.2 Klasifikasi Akad dalam Kegiatan Landing

Akad yang digunakan dalam penyaluran dana atau pembiayaan antara lain:

a. Akad Jual Beli

Jual beli merupakan transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli atas suatu barang dan
jasa yang menjadi objek transaksi jual beli. Akad jual beli dapat diaplikasikan dalam pembiayaan
yang diberikan oleh bank Syariah. Pembiayaan yang menggunakan akad jual beli dikembangkan di
bank syariah dalam tiga jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan murabahah, istishna, dan salam. Return
atas pembiayaan jual beli berasal dari selisih harga jual dan harga beli, disebut margin keuntungan.

1. Landasan hukum:

َّ ‫َّۚالربَا َو َحر ََّم ْالبَ ْي ََّع‬


َّ‫ّللاه َوأ َ َحل‬ ِّ

“DanَّAllahَّtelahَّmenghalalkanَّjualَّbeliَّdanَّmengharamkanَّriba.”َّ(QS.َّAl-Baqarah: 275)

2 . Rukun dan syarat:

a) Rukun

1. Penjual, pihak yang memiliki barang yang diperjual belikan

2. Pembeli, pihak yang ingin mendapatkan barang, dengan membayar sejumlah uang tertentu pada si
penjual.

3.Objek, barang yang diperjual belikan

4. Harga transaksi jual beli yang harus disebutkan dengan jelas yang telah disepakati antara penjual
dan pembeli

5. Ijab qabul, serah terima barang

b) Syarat

1.Pihak yang berakad harus ikhlas atau keridhoan antara keduanya dan memiliki daya untuk
melakukan transaksi jual beli.

5
Ismail, Perbankan Syariah, hlm. 138

7
2. Objek barangnya ada dan jelas, juga ada kesanggupan dari penjual untuk mengadakan barang yang
akan dijual, barang yang dijual adalah milik sah penjual, dan barang yang diperjual belikan harus
halal.

3. Harga: Harga jual yang ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah dengan margin
keuntungan, harga jual tidak boleh berubah selama dalam masa perjanjian, sistem pembayaran
disepakati bersama.

b. Akad Kerjasama Usaha/ Bagi Hasil

Pembiayaan kerja sama bank syariah merupakan aktivitas penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa kerja sama usaha antara bank syariah dan pihak yang membutuhkan
modal untuk meningkatkan volume usahanya. Kerjasama usaha bank syariah dengan nasabah
merupakan kerja sama yang dilakukan kedua pihak unuk menjalankan usaha dan atas hasil usaha yang
dijalankan, maka akan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati antara bank syariah dan
nasabah.6

Pembiayaan kerja sama usaha yang disalurkan oleh bank syariah kepada nsaabah merupakan
investasi yang dilakukan oleh pihak bank syariah kepada nasabah. Pihak bank syariah mempercayai
nasabah dalam menjalankan usahanya untuk memperoleh keuntungan. Kemudian keuntungan atau
hasil usaha ini akan dibagi antara bank syariah dan nasabah. Dari bagi hasil yang diterima pihak bank
syariah merupakan imbalan atas pembiayaan kepada nasabah.

Dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari empat jenis akad, yaitu al-
mudharabah, al-musharakah,َّ alَّ muzara’ah,َّ danَّ al-musaqah. Namun yang paling banyak
diimplementasikan dalam perbankan syariah dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-mudharabah dan
al-musyarakah. Pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan 100% yang diberikan oleh bank
kepada nasabah. Sedangkan pembiayaan musyarakah, kerjasama usaha antara pihak bank dan nasabah
sama-sama ikut menyrtakan modal dalam menjalankan usaha.

Implementasinya, bank dan nasabah melakukan akad mudharabah. Bank menyediakan dana
100% kepada nasabah untuk membiayai suatu usaha, nasabah mengelola proyek usaha tersebut. Bank
sama sekali tidak ikut campur dalam manajemen usaha. Kemudian hasil usaha dibagi sesuai nisbah
yang disepakati atau sesuai perjanjian.

2.3 Akad dan Produk Berbasis Jual Beli

Menurut etimologi jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain). Kata lain dari al-ba’iَّadalahَّasy-syira’,َّal-mubadah, dan at-tijarah.7Pendapat lainnya yakni Al
ba’iَّ secaraَّ bahasaَّ adalahَّ masdarَّ dariَّ baa'aَّ artiَّ asalnya:َّ pertukaranَّ hartaَّ denganَّ hartaَّ danَّ umumَّ
digunakan dalamَّ artiَّ “transaksi”َّ secaraَّ majaz,َّ karenaَّ alَّ ba’iَّ menjadiَّ sebabَّ kepemilikan.َّ Alَّ ba’iَّ
umum digunakan juga atas tiap-tiapَّ satuَّ dariَّ duaَّ orangَّ yangَّ bertransaksiَّ (alَّ ba’iَّ bisaَّ diartikanَّ
penjual). Tetapi kata-kataَّ alَّ ba’iَّ ketikaَّ disebutَّ secaraَّ bebasَّ yangَّ paling cepat bisa diterima oleh
pikiranَّ artinyaَّ ialahَّ “orangَّ yangَّ memberikanَّ barang”َّ danَّ alَّ bai’َّ jikaَّ disebutَّ secaraَّ bebasَّ bisaَّ
diartikanَّ “barangَّ dagangan”َّ (alَّ Mishbahuَّ alَّ Munirَّ 69).8 Dalam buku Fiqih Islam Wa Aadilatuhu

6
Ibid, hlm. 168
7
RachmatَّSyafe’i,َّFiqihَّMuamalah,َّ(Bandung:َّPustakaَّSetia,َّ2001), 73.
8
Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si, Tujuh Transaksi yang Haram, http://muamalah-ardito.blogspot.co.id/2012/03/tujuh-
transaksi-yang-haram.html diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 pada pukul 19.30 WIB

8
Jilid 4 disebutkan bahwa jual beli dalam bahasa arab dikenal dengan al-ba’iَّ yangَّ berartiَّ menjual,َّ
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepimilikan barang atau benda
(transfer of property).9Keuntungan telah ditentukan di awal dan menjadi bagian dari harga atas barang
yang ditransaksikan.

2.3.1 Pembiayaan Murabahah

Murabahah (al-ba’iَّ biَّ tsamanَّ ajil)َّ lebihَّ dikenalَّ sebagaiَّ murabahahَّ saja.َّ Murabahah,َّ yangَّ berasalَّ
dari kata ribhu (keuntungan), dalah transaksi jual-beli dimana bank menyebut jumlah
keuntungannya.[11]

Pihak penjual dan pihak pembeli harus menyepakati terlebih dahulu harga jual dan tempo
pembayaran. Kedua hal tersebut harus dicantumkan dalam akad dan apabila telah disetujui tidak dapat
diubah lagi selama terjadinya akad. Dalam penerapannya di dunia perbankan syariah di Indonesia
biasanya menggunakan sistem mencicil atau tangguhan.

Sebagai contoh pembeli (nasabah) yang akan membeli sepeda motor tersebut akan datang ke
pihak dealer (penyedia sepeda motor) dan memilih sepeda motor mana yang akan ia beli. Kemudian,
pembeli akan memberikan sejumlah uang sebagai uang muka sepeda motor yang ia beli. Dikarenakan
hal tersebut pembeli harus melakukan perjanjian dengan pihak penyedia dana untuk mengisi sisa dana
yang dibutuhkan untuk melunasi sepeda motor tersebut. Pihak bank harus memberi tahu harga asal
dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. 10

a. Landasan Syariah dan Landasan Hukum Murabahah

Akad murabahah merupakan salah satu akad yang digunakan dalam pembiayaan di bank
syariah yang pasti terdapat landasan hukumnya secara syariah yakni al-Qur’anَّ danَّ Hadist.َّ Berikutَّ
adalah ayat yang menerangkan tentang murabahah:

َّ ‫الربَوأ َو َحر ََّم ْالبَ ْي ََّع‬


َّ‫للاه َوأ َ َح َل‬ ِّ

“...Allahَّtelahَّmenghalalkanَّjualَّbeliَّdanَّmengharamkanَّriba...”

Berikut adalah hadist yang menerangkan tentang murabahah :

Dari Suhaib ar-Rumiَّ r.aَّ bahwaَّ Rasulullahَّ saw.َّ bersabda,َّ “Tigaَّ halَّ yangَّ diَّ dalamnyaَّ
terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur dengan
tepungَّuntukَّkeperluanَّrumah,َّbukanَّuntukَّdijual.”َّ(HRَّIbnuَّMajah)

Sementaraَّ itu,َّ bai’َّ alَّ Murabahahَّ jugaَّ diaturَّ secraَّ hukumَّ sesuaiَّ denganَّ Undang-Undang
yang berlaku. Pembiayaan murabahah mendapatkan pengaturan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Ketentua secara teknis dapat dijumpai dalam Pasal 36 huruf b PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasrkan Prinsip Syariah,
yang intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian

9
Adiwarman A. Karim, Islamic Banking; Fiqh And Financial Analysis; Edisi Ketiga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008),
98
10
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 150.

9
dalam kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasrkan akad
murabahah.

Di samping itu Pembiayaan Murabahah yang juga diatur dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-
MUI/IV/2000 pada tanggal 1 April 2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam rangka membantu
masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank
syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukan, yaitu menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembayarnya dalam harga yang lebih sebagai laba.11

b.َّSyaratَّBa’iَّal-Murabahah

Berikut adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila melakukan transaksi murabahah adalah
sebagai berikut:

1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.

2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.

3. Kontrak harus bebas dari riba.

4. Penjual harusmenjelaskan kepada pembeli apabila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.

5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.

c.َََََََََّّّّّّّّّManfaatَّBai’َّal-Murabahah

Dalam pelaksanaannya akad ini memberikan beberpa manfaat bagi pihak bank syariah yakni
dari selisih harga pokok dengan harga jual. Sementara bagi nasabah keuntungan yang dapat diperoleh
yakni mendapatkan pembiayaan dengan harga jual yang sama meskipun tempo atau jangka waktunya
berbeda sesuai dengan kesepakatan bersama.

Selain adanya manfaat juga ada risiko yakni, default atau kelalaian, fluktuasi harga
komparatif, penolakan nasabah, barang dijual.

d. Ketentuan Umum Murabahah

1.Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang berbahas riba.

2.Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syarait Islam.

3.Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasbah atas nama bank sendiri, dan pembeli ini harus sah
dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian
dilakukan secara hutang.

11
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UGM Press, 2007) 102-103.

10
6.Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesanan) dengan harga jual senilai
harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasbah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang
telah disepakati.

8 Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual
beli murabahah harga dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

e. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang dipesan
secara sah dengan pedagang.

3.Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membelinya) sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum penjanjian
tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4.Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya rill bank harus dibayar dari uang
muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta
kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7.َّJikaَّuangَّmukaَّmemakiaَّkontrakَّ‘urbunَّsebagaiَّalternatifَّdariَّuangَّmuka,َّmaka:

a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b)Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang
ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah
wajib melunasi kekurangannya.

8. Jaminan dalam murabahah diperbolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. Di sini bank
dapat meminta nasbah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

9. Hutang dengan murabahah secara prinsip penyelesainya tidak ada kaitannya dengan pihak ketiga
atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,
ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.

10. Penundaan pembayaran dalam murabahah

11. Bahwa nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak menunaikan

11
kewajibannya, maka penyelesaiannya di lakukan melalui badan Arbitrase Syariah setelah tidak
mencapai kesepakatan melalui musyawarah.

12.Bangkrut dalam Murabahah, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan
hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembaali, atau berdasrkan
kesepakataan.

Gambar 2.1 Skema Murabahah

2.3.2 Pembiayaan Salam

Pengertianَّ dariَّ bai’َّ as-salam adalah suatu pembelian barang yang penyerahan barangnya
dilakukan dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan di awal. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Ibnu Rusydَّ yangَّ menyatakanَّ bahwaَّ bai’َّ as-salam berarti pembelian barang yang
diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.12

a. Landasan Syariah dan Landasan Hukum Salam

Berikut adalah ayat dan hadist yang menerangkan tentang salam:

َّ‫ْن َّيَأَيُّ َهاال ِّذيْنَ َءا َمنه ْواإِّذَاتَدَيَ ْنت ه ْم‬


َِّّ ‫سمى أ َ َجلَّ إِّلَى بِّدَي‬
َ ‫فَا ْكتهب ْهوَّه ه ُّم‬

“Haiَّ orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan,َّhendaklahَّkamuَّmenuliskannya...”

Berikut adalah hadits yang menerangkan tentang salam:

“Barangsiapaَّyangَّmelakukanَّsalafَّ(salam),َّhendaknyaَّiaَّmelakukanَّdenganَّtakaranَّyangَّjelasَّdanَّ
timbanganَّyangَّjelasَّpula,َّuntukَّjangkaَّwaktuَّyangَّdiketahui.”

Salam sebagai salah satu produk perbankan yang didasarkan pada akad jual beli telah mendaptakan
pengaturan secara intrinsik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni pada ketentuan umum tentang
prinsip syariah. Sedangkan dalam tataran teknis diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf b poin ketiga
PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksankan Kegiatan Usaha Berdasrkan Prinsip
Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip ehati-
hatian dalm kegiatan usaha yang meliputi penyaluran dana melalui prisip jual beli berdasarkan akad
salam.

Di samping itu salam juga telah diatur dalam Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli
salam.

b.SyaratَّBai’َّas-Salam

1.ََّّModalَّbai’َّas-salam harus diketahui, dimaan jenis, kualitas dan jumlah barang harus jelas

2. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa pembayaran salam harus dilakukan di tempat kontrak.

3. Syarat barang yang ditransaksikan:

a) Harus spesifik dan dapat diakui sebgai utang.

12
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, 108

12
b) Harus diidentifikasi secara jelas.

c) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.

d) Penyerahan barang segera.

e) Boleh menentukan waktu penyerahan barang.

f) Pihak yang terkait harus sepaat diaman tempat untuk penyerahan barang.

g) Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.

c. Ketentuan Akad Salam

Sesuai dengan Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam, berikut adalah
ketentuan-ketentuanَّyangَّadaَّdalamَّbai’َّas-salam:

1. Ketentuan tentang pembayaran

a) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya.

b) Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakat.

c) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

2. Ketentuan tentang barang

Barang yang ditransaksikan harus jelas cirinya, dapat diakui sebagai hutang, jelas
spesifikasinya, penyerahan dilakukan kemudian, waktu dan tempat penyerahan barang sesuai
kesepakatan, pembeli tidak boleh menjual barang sebelum diterima, tidak boleh ditukar kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

3. Ketentuan tentag salam paralel

a) Akad kedua terpisah pada akad pertama.

b) Akad kedua dilaksanakan setelah akad kedua sah.

4. Penyerahan sebelum atau pada waktunya

a) Penjual harus menyerahkan barang tepat waktu dengan jumlah dan kualitas yang ditentukan.

b) Penjual menyerahkan barang kualitas lebih tinggi tidak boleh meminta tambahan harga.

c) Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah dan pembeli rela maka ia tidak
boleh meminta diskon atau potongan harga.

d) Jika penyerahan barang oleh penjual lebih cepat dari yang disepakati maka ia tidak boleh meminta
tambahan atas jasa pengiriman tersebut.

e) Apabila jumlah atau kualitas barang tidak sesuai dengan yang disepakati maka pembeli memiliki
dua pilihan yakni dapat membatalkan akad maupun menunggu hingga barang tersedia.

f) Pembatalan kontrak diperbolehkan asal tidak mendzalimi salah satu maupun kedua belah pihak.

13
g) Jika terjadi perselisihan maka akan ditentukan di Badan Arbitrase Syariah melalui musyawarah.

d. Salam Paralel

Salamَّparalelَّberartiَّmelaksanakanَّduaَّtransaksiَّbai’َّas-salam antara bank dan nasabah, dan antara


bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simulan. 13

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak bank hanyalanh seorang distributor bukan
seorang produsen.

Gambar 2.2 Skema Salam

2.3.3 PembiayanَّIstishna’

Transaksi ini merupakan kontrak penjualan antara penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Kemudian pembuat
barang akan menyerahkan pesanan pada orang lain yang membuat sesuai spesifikasi yang telah
disepakati. Dan setelah iu, akan disepakati tentang sistem pembayarannya.

Menurutَّ jumhurَّ fuqaha,َّ bai’َّ al-isthisna’َّ merupakanَّ suatuَّ jenisَّ khususَّ dariَّ akadَّ bai’َّ as-
salam. Biasanya, jenis ini digunakan di bidang manufaktur.

a. Landasan Syariah dan Landasan Hukum

Landasan syariah yang digunakan dalam akad ini sama dengan landasan syariah yang
digunakanَّuntukَّbai’َّas-salamَّkarenaَّakdَّiniَّmerupkanَّlanjutanَّdariَّakadَّbai’َّas-salam.

Secara umum aplikasi perbankan dalam akad istishna’َّdapatَّdigambarkanَّddalamَّskemaَّberikutَّini:

Gambarَّ2.3َّSkemaَّBai’َّIstishna’

Istishna sebagai salah satu produk perbankan yang didasrkan pada akad jual beli telah
mendapatkan penaturan secara intrinsik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni dalam ketentuan
umum mengenai Prinsip Syariah.

Dalam tatanan teknis datur dalam ketentuan Pasal 36 huruf b poin kedua Pbi
No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakakn Kegiatan Usaha Berdasrkan Prinsip
Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dann prinsip kehati-
hatian dalm kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasarkan
akad Istishna.

Sebelumnya mengenai istishna ini diatur dalam Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000


tentangَّJualَّBeliَّIstishna’.

b. KetentuanَّdalamَّAkadَّIstishna’

Sesuai dengan Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000َّ tentangَّ Jualَّ Beliَّ Istishna’َّ ketentuanَّ
dariَّjualَّbeliَّistishna’َّadalahَّsebagaiَّberikut:

13
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, 110 di kutip dari AAOIFI

14
1. Ketentuan tentang pembayaran

a) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya.

b) Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakat.

c) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

2. Ketentuan tentang barang

a) Harus jelas cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

b) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

c) Penyerahannya dilakukan kemudian.

d)Waktu dan tempat penyerahan ditentukan sesuai kesepakatan.

e) Pembeli dilarang menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh ditukar kecuali dengan
barang yang sejenis.

f) Jika terdapat cacat atau tidak sesuai dengan kesepakatan pembeli memiliki hak khiyar.

3. Ketentuan lain

a) Jika pesanan sudah dikerjakan maka hukumnya mengikat.

b) Segala ketentuan yang ada pada akad salam yang tidak disebutkanَّdiَّatasَّberlakuَّpadaَّistishna’.

c. Istishna’َّParalel

Pembeli dalam hal ini mengijinkan pihak pembuat untuk membuat kontrak subtraktor untuk
memenuhi kontrak yang pertama atau dengan kata lain pembuat membuat kontrak kedua untuk
memenuhi kontrak pertama.

Namun, terdapat beberapa konsekuensi saat Bank Islam menggunakan akad ini yaitu:

1. Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan stu-satunya pihak yang
bertanggungَّ jawabَّ terhadapَّ pelaksanaanَّ kewajibannya.َّ Istishna’َّ paralelَّ atau subkontrak untuk
sementaraَّ harusَّ dianggapَّ tidakَّ ada.َّ Denganَّ demikian,َّ sebagaiَّ shani’َّ padaَّ kontrakَّ pertama,َّ bankَّ
tetap bertanggung jawab atas semua kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak paralel.

2. Penerima subkontrak pembuatanَّ padaَّ istishna’َّ paralelَّ bertanggungَّ jawabَّ terhadapَّ bankَّ Islamَّ
sebagai pemesan. Dia tidak memiliki hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak
pertama.َّ Bai’َّ al-istishna’َّ keduaَّ merupakanَّ kontrakَّ paralel,َّ tetapiَّ bukanَّ merupakanَّ bagianَّ atau
syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak memiliki kontrak
hukum sama sekali.

3.َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ Bankَّ sebagaiَّ shani’َّ atauَّ pihakَّ yangَّ siapَّ untukَّ membuatَّ atauَّ mengadakanَّ barang,َّ
bertanggung jawab terhadap nasabah atas kesalahan pelaksanaan sub kontraktor dan jaminan yang
timbulَّdarinya.َّKewajibanَّinilahَّyangَّmembenarkanَّkeabsahanَّistishna’َّparalel,َّjugaَّmenjadiَّdasarَّ
bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

15
2.4 Akad dan Produk Berbasis Bagi Hasil

Secara umum jenis dari sistem bagi hasil ada empat yakni musyarakah, mudaharabah, muzaraah, dan
musaqah. Namun dalam penerapannya di sistem perbankan syariah digunakan dua akad yakni
musyarkah dan mudharabah.

a. Musyarakah

Al-musyarakah adalag akd kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

1.Landasan Syariah dan Landasan Hukum

Berikut adalah ayat yang menerangkan tentang musyarakah:

...َّ‫ش َركَا هءفِّى فَ هه ْم‬ َِّّ ‫الثُّله‬.


‫ث ه‬

“...mekaَّmerekaَّberserikatَّpadaَّsepertiga...”

Sementara itu disebutkan dalam hadist bahwa:

“DariَّAbuَّHurairah,َّRasulullahَّsaw.َّBersabda,َّ“SesungguhnyaَّAllahَّAzzaَّwaَّJallaَّberfirman,َّ‘Akuَّ
pihakَّ ketigaَّ dariَّ duaَّ orangَّ yangَّ berserikatَّ selamaَّ salahَّ satunyaَّ tidakَّ menghianatiَّ yangَّ lainnya.”َّ
(HR. Abu Dawud no. 2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)

Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni pada ketentuan Pasal
1 ayat (13) yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit
merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.

Mengenai pembiayaan mudharabah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah,yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-
hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil
berdasrkan akad mudharabah.

Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk musyarakah diatur dalam Undang-Undang Nomer 10
Tahun 1998 tentang perubahan undang-undang nomer 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam
ketentuan pembiayaan pada perbankan syariah.

Secara teknis mengenai pembiayaan musyarakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua
PBI no. 6/24PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakankegiatan ussaha berdasarkan prinsip
syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-
hatian dalam melakukan kegiatan uahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil
berdasarkan akad musyarakah.

Musyarakah juga telah di atur dalam ketentuan fatwa dewan syariah nasional no. 08/DSN-
MUI/IV/2000. Intinya fatwa DSN tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain
melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau

16
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontibusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

2. Rukun dan Syarat Musyarakah

Adapun ketentuan pembiayaan musyarakah harus memenuhi. Rukun dan syarat pembiayaan
musyakah adalah sebegai berikut:

a) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak/akad dengan memperhatikan hal-hal berikut;

1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak(Akad)

2. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.

3. Akad di tuangkang secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasi modern. Seperti melalui media telepon atau internet.

b) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap secara hukum dengan memperhatikan dangan hal-hal
berikut;

1.Kompoten dalam memberikan atau di berikan kekuasaan perwakilan.

2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai
wakilan.

3. Setiap mitra harus memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

4. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola asset dan masing-masing
dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

5. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingan
sendiri.

c) Obyek akad (modal, kerja, keuntuan dan kerugian)

1. Modal

a. Modal yang diberikan harus berupa uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama, seaperti
barang-barang properti dan sebagainya. Jika modal bearbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai
dengan tunai disepakati oleh para pitra.

b. Para pihak tidsk boleh meminjamkan, menyumbangkan, menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihaklain, kecuali atas dasar kesepakatan.

c. Pada prinsipnya dalam pembiayan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari
terjadinya penyimpangan suatu LKS dapat meminta jaminan.

2. kerja

a. Pertisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanan musyarakah, akan tetapi
kesamaan porsi kerja merupakan syarat seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari
yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

17
b. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya,
kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

3. Keuntungan

a. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindari perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.

b. Setiap keuntungan mitra harus dibgian secara preporsional atas dassar seluruh keuntungan dan
tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang di tetapkan bagi seorang mitra.

c. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau
prosentase itu diberikan kepadanya.

d. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad

e. Kerugian harus di bagi para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam
modal.

f. Biaya operasional. Biaya operasioanal dari musyarakah ditanggung secara bersama sesuai dengan
kesepakatan.

4. Jenis Musyarakah

a) Syirkah al-‘Inan

b) Syirkah Mufawadhah

c)ََََّّّّSyirkahَّA’maal

d) Syirkah Wujuh

5. Manfaat Musyarakah

a) Bank akan menikmati penigkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat

b) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan.

c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflow usaha nasabah.

d) Bank akan lebih selektif dan berhati-hati (prudent).

e) Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bungan yang ada di bank konvensional.

6. Risiko Musyarakah

a) Side streaming

b) Lalai dan kesalahan yang disengaja

c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah

18
Gambar 2.4 Skema al-Musyarakah

b. Mudharabah

Mudharabah sebagian akad yang dilakukan antra pemilik modal dengan pengolola dimana
keuntungan disepakati di awal untuk di bagi bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal
juga diterapkan oleh bank syariah kedalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan mudharobah.

Mudharabah sendiri dibedakan menjadi dua macam yaitu mudharobah muthlaqah dan
mudharabah muqayyah. Mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah pada umumnya diterapkan
disisi penghimpunan dana, sedangkan dalam kegiatan penyalurandana kepada masyarakat bank akan
cenderung memilih akad mudharabah muqoyadah untuk memudahkan momitoring dari bank terhadap
usaha nasabah.

a) Landasan Syariah dan Landasan Hukum

...‫ن‬
ََّ ‫خ هر ْو‬
ََّ ‫ن َو َءا‬ َّ ِّ ‫ن ْاْلَ ْر‬
ََّ ‫ض فِّى يَض ِّْرب ْهو‬ ََّ ‫ن يَ ْبتَغه ْو‬
َّْ ِّ‫ْل م‬
َِّّ ‫للا فَض‬
َِّّ ...

“...danَّ dariَّ orang-oranngَّ yangَّ berjalanَّ diَّ mukaَّ bumiَّ mencariَّ sebagianَّ karuniaَّ Allahَّ SWT...”َّ (al-
Muzammil: 20)

Dariَّ Shalihَّ binَّ Shubaidَّ r.aَّ bahwaَّ Rasulullahَّ saw.َّ bersabda,َّ “Tigaَّ halَّ yangَّ didalamnya
terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhlah (muudharabah), dan mencampur gandum
denganَّ tepungَّ untukَّ keperluanَّ rumah,َّ bukanَّ untukَّ dijual.”َّ (HR.َّ Ibnuَّ Majah no. 2280, kitab at-
Tijarah

Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni pada ketentuan Pasal
1 ayat (13) yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit
merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.

Mengenai pembiayaan mudharabah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah,yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-
hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil
berdasrkan akad mudharabah.

Di samping itu perlu dikemukakan hal-hal yang menjadi rukun dan syarat dari pembiayaan
mudharabah, yaitu :

a. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad) dengan memperhatikan :

1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak dan akad dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk
tujuan usaha dengan syarat :

19
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau berang yang dinilai (jika modal diberikan dalam bentuk aset
tersebut harus dinilai pada waktu akad).

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap
maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4.Keuntungan mudharib adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Pembagian
keuntungan antara shahibul maal dengan mudharib juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua belah pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak dan harus diketahui serta dinyatakan pada waktu
kontrak disepakati dalam bentuk prosentase/ nisbah (perubahan nisbah harus berdasarkan
kesepakatan).

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian atas usaha yang dikelola oleh mudharib, dan pengelola
tidak menanggung kerugian apapun. Kecuali terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan
berupa kesengajaan, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh
penyedia dana juga harus memperhatikan :

1. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, penyedia dana tidak berhak melalukan intervensi.
Akan tetapi ia memunyai hak untuk melakukan pengawasan (monitoring) atas usaha yang dilakukan
oleh nasabah (mudharib).

2. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharib, yaitu keuntungan.

3. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebijaksanaa yang berlaku dalam aktivitas itu.

Berdasarkan pada pemaparan diatas secara singkat dapat di tambahkan bahwa terdapat beberapa
ketentuan hukum dalam pembiayaan mudharabah antara lain yaitu :

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan dengan sebuah kejadian dimasa depan yang belum tentu terjadi.

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena akad ini bersifat amanah (yad al-
amanah) kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

b) Manfaat Mudharabah

1) Bank akan menikmati penigkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat

2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan.

3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflow usaha nasabah.

20
4) Bank akan lebih selektif dan berhati-hati (prudent).

5) Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bungan yang ada di bank konvensional.

c) Risiko Mudharabah

1) Side streaming

2) Lalai dan kesalahan yang disengaja

3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah

Gambar 2.5 Skema la-Mudharabah

2.4 Akad dan Produk Penyertaan Modal pada Bank Syariah

Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen akad likuid (cash),piutang


(receivable),dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw
material ),persediaan barang dalam proses (work in process),dan persediaan barang jadi (finished
goods). Oleh karena itu,pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari
pembiayaan likuiditas (cash financing),pembiayaan piutang (receivable financing),dan pembiayaan
persediaan (inventory financing).

a.Pembiayaan Likuiditas (cash financing)

Pembiayaan ini pada umunya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat
terjadinya ketidak sesuaian (mistached) antara cash inflow dan cash out flow pada perusahaan
nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft
facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening Koran. Atas pemberian fasilitas ini,bank
memperoleh imbalan manfaat berupa bunga ats jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan
dalam fasilitas tersebut.

Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam ini dalam bentuk qardh timbal balik atau
yang disebut compensating balance.

b. Pembiayaan piutang (receivable finance)

Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya dengan
kredit,tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya.
Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa hal-hal berikut.

1. Pembiayaan Piutang (receivable finance)

Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena
masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu, bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut.
Pada dasarnya ,nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Akan tetapi, bila bank
merasa perlu, dengan menggunakan cessie terssebut,bank berhak untuk menagih lansung kepada yang
berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama digunakan untuk membayar kembali pinjaman
nasabah berikut bunganya dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang
tersebut tidak tertagih,nasabah wajib membyar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada
bank.

2. Anjak Piutang (factoring)

21
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Untuk
keperluan tersebut,nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaskep oleh pihak yeng berhutang
atau promissory notes (promes) yang diteebitkan oleh pihak yang berhutang,kemudian di-endors oleh
nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang
berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila saat
jatuh tempo daraf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih,nasabah wajib membayar kepada bank
sebesar nilai nominal draf tersebut.

Untuk kasus pembiayaan piutanga seperti tersebut diatas hanya dapat dilakukan dalam bentuk
qardh dimana bank tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak
piutang,bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan piutang,,yaitu yang disebut hiwalah. Akan
tetapi,untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan dalam meminta imbalan kecuali biaya layanan
atau administrasi dan biaya penagihan. . Dengan demikian ,bank syariah meminjam uang (qardh)
sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih atau promes) yag diserahkan kepada
bank-tanpa potongan. Hal ini adalah bila ternyata pada saat jatuh tempo,hasil tagihan itu digunakan
untuk melunasi utang kepada nasabah kepada bank. Akan tetapi,bila putang itu tidak diatgih,nasabah
harus membayar kembali utangnya itu kepada bank . Selain itu ulama memberikan jalan keluar berupa
pembelianَّsuratَّutangَّ(bai’َّad-dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya.

a)َّBai’َّal-Murabahah

Pembiayaaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan bahan baku dan penolong.
Melalui proses produksi,bahan baku tersebut akan menjadi barng setengah jadi,kemudian menjadi
barang jadi yang siap untuk dijual. Bila barang itu dibeli dengan kredit ia berubah menjadi piutang
dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.

b)َّBai’َّal-Istisna’

Melalui fasilitas ini,bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua
belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah) keuntungan bagi produsen,tettapi lebih
rendah dari harga jual) dan dengan pebayaran dimuka secara bertahap,sesuai dengan tahap-tahap
proses produksi.

Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu
menghasilkanَّskemaَّpembiayaanَّberupaَّistisna’َّparallelََّّatauَّistisna’َّwalَّmuraabahahَّ,danَّbilaَّhasilَّ
produksiَّ tersebutَّ disewakan,skemanayَّ menjadiَّ istisna’َّ walَّ ijarahَّ .َّ Bankَّ memperolehَّ keuntungan
dariَّselisihَّhargaَّbeliَّ(istisna’)َّdenganَّhargaَّjualَّmurabahahَّatauَّdariَّhasilَّsewaَّ(ijarah)

c)َََّّّBai’َّas-Salam

Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat dikuti,seperti produksi pertanian,bank dapat
memberikanَّfasilitasَّbai’َّas-salam. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang kepada
nasabah dengan pembayaran dimuka secara sekaligus dan nasabah berkewahiban men-deliver barang
tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan, bank dapat
mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi in disebut salam parallel.

Bila produksi itu dilakukan secara terus menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah
sedemikian cepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan modal kerja secara evergreen,skema
pembiayaan yang paling tepat adalah al-mudharabah.

22
c. Pembiayaan Persediaan (inventory financing)

Bank konvensional dapat dijumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk
mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Bank syariah mempunyai ekanisme tersendiri
untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut,yaitu antara lain dengan menggunakan
prinsipَّ jualَّ belliَّ (bai’)َّ dalamَّ duaَّ tahap.َّ Tahapَّ pertama,bankَّ mengadakanَّ (membeliَّ dariَّ supplierَّ
secara tunai barang-baarang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua,bank menjual kepada
nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati
bersama anatara bank dan nasabah.

d. Pembiayaan Modal Kerja Untuk Perdagangan

1. Perdagangan Umum

Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembelli siapa saja
yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual,baik pedagang eceran
(retailer) maupun pedagang besar (whole seller ). Pada umunya,perputaran modal kerja (working
capital turnover ) perdagangan semacam ini sangat tingg,tetapi perdagangan harus mempertahankan
sejumlah persediaan yang cukup karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang
ada atau telah dikusai penjual.

Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini,skema yang paling tepat adalah skema
mudharabah.

a. Perdagangan Berdasarkan Pesanan

Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diiselesaikan di tempat penjual,yaitu seperti
perdagangan antar kota,perdagangan antar pulau,atau perdagangaan antar Negara. Pembeli terlebih
dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau dafar
barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya,pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang
yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidak
mampuan jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat
penawaran atau pemesanan.

Berdasarkan pesanan itu,penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta dengan


carra membeli atau memesan,baik dari prodesen maupun dari pedagang lainnya. Setelah
terkumpul,barulah dikirimkan kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila barang telah dikirim, penjual
juga menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya barang yang dikirimnya itu.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak,bank konvensional telah
memberikan jalan keluarnya,yaitu fasilitas letter of credit (L/C). Bank syariah telah dapaat
mengadopsi mekanisme (L/C) itu dengan menggunakan skema al-wakalah,al-musyarakah,al-
mudharabah, ataupun al-murabahah. Dalam al-wakalah,bank syariah hanya memperoleh pendapatan
berupa fee atas jasa yang diberikannya.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain
selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarikan pada
kepercayaan yang diberikan oleh pihak pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya
kepada penerima dana bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti akan terbayar.
Penerimaan pembiayaan mendapat kepercayaan dari pemberi pembiayaan, sehingga penerima
pembiayaan berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya sesuai dengan
jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam akad pembiayaan.

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan
dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Dalam kegitan penyaluran
dana atau pembiayaan dana bank syariah harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang sudah diatur
oleh Bank Indonesia. Maka dari itu bank wajib meneliti nasabah secara seksama berdasarkan
ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syariat.

24
DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman. 2008. Islamic Banking; Fiqh And Financial Analysis; Edisi Ketiga. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

Az- Zuhaili, Wahbah. 1984. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Juz 4. Syiriah.

Bhinadi, Ardito. Tujuh Transaksi yang Haram. http://muamalah-ardito.blogspot.co.id/2012/03/tujuh-


transaksi-yang-haram.html diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 pada pukul 19.30 WIBNur Diana,
Ilfi. 2008. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Malang Press.

Ghofur Anshori, Abdul. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press

sIsmail. Perbankan Syariah. 2001. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nur Rianto Al Arif, M. 2010. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: Alfabeta.

Syafii Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.

Syafe’i,َّRachmat.َّ2001.َّFiqihَّMuamalah.َّBandung:َّPustakaَّSetia.

25

Anda mungkin juga menyukai