Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN

A. Istilah Hybrid Contract dan Pengertiannya


1. Definisi Hybrid Contract
Di era transaksi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan
design kontrak dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan
hybrid contract (multi akad), atau dikenal juga dengan istilah al-uqud
almurakkabah. Kombinasi akad zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan,akad
tunggal sudah tidak mampu lagi merespon kasus-kasus dan masalah keuangan
kontemporer.1
Kata “hybrid” (Inggris), dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“hibrida” digunakan pertama kali sebagai istilah bagi hasil persilangan
(hibridisasi atau pembastaran) antara dua individu dengan geneotipe berbeda.
Kata “hibrida” dalam pengertian ini memiliki medan makna yang tumpang tindih
dengan “bastar”, atau dalam bahasa sehari- hari disebut blaster.2Oleh karena itu,
hybrid contract dimaknai sebagai kontrak yang dibentuk oleh kontrak yang
beragam.
Sementara hybrid contract dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
multiakad. Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari
dua, berlipat ganda.3Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti
akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan, dalam istilah
fiqih disebut al-u’qud al-murakkabah, Kata al-murakkabah (murakkab) secara

1
Agustianto Mingka, Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Fikih Muamalah Ke
Indonesiaan “Upaya Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syari‟ah”, (Jakarta:
Iqtishad Publishing, 2014), hlm 91.
2
Wikipedia, dalamhttp://id.wikipedia.org/wiki/hibrida diakses pada tanggal 03/09/2019.
3
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
761.
etimologi berarti “aljam„u”, yakni “pengumpulan atau penghimpunan”4. Secara
terminology, al-murakhabah adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan
suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharf, syirkah, mudharabah dsb,
sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua
hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.5

akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah:


“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang
mengandung dua akad atau lebih, -seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah,
wakâlah, qardh, muzâra'ah, sharf (penukaran matauang), syirkah, mudhârabah,
dst.,- sehingga semua akibat hokum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad”.6

Sedangkan menurut al-„Imrânî, akad murakkab adalah:


“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad,
baik secara gabungan maupun secara timbal-balik, sehingga seluruh hak dan
kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu
akad”.7

4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 953.
5
Nazih Hammad, Al-‘Uqud al-Murakkabah fi al Fiqh al-Islamy (Damaskus: Dār al-
Qalam, 2005), Cet.ke 1, 7.
6
Hasanudin Maulana, “Multi akad dalam Transaksi Syari‟ah Kontemporer pada
Lembaga Keuangan Syari‟ah di Indonesia,” Jurnal Al-Iqtishad Vol. III, No. 1 (Januari
2011), hlm. 158
7
Ibid, 159.
Selain istilah akad murakkab, ada beberapa istilah lain yang digunakan
ahli fikih yang memiliki hubungan, kemiripan, dan kesamaan dengan pengertian
akad murakkab. Istilah-istilah itu antara lain al-‟uqûd almujtami„ ah, al-‟uqûd
almuta‟addidah, al-‟uqûd al-mutakarrirah, al-‟uqûd almutadâkhilah, al-‟uqûd
almukhtalithah.8
Terhimpunnya akad-akad itu, baik secara gabungan maupun secara timbal
balik9 membangun terjadinya hubungan hukum antara para pihak yang
menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan tujuannya dan berlaku sebagai
nash syariah bagi mereka yang melakukan akad tersebut. Seperti dalam akad
murabahah mengandung dua akad bai’ dan wakalah, pada akad ijarah muntahiya
bittamlik mengandung dua akad, yaitu ijarah dan hibah atau jual beli ditambah
wa’ad, pada akad musyarakah mutanaqishah mengandung empat akad, yaitu
syirkah inan, bai’, ijarah dan wakalah, pada pembiayaan take over mengandung
akad qardh, bai’ dan murabahah atau gabungan qardh, bai’ dan ijarah muntahiya
bittamlik, pada kartu kredit syariah mengandung akad kafalah, bai’, ijarah dan
qardh, pada pembiayaan bai’ al-istighlāl10 (untuk pembiayaan multiguna)
mengandung dua akad bai’, wa’ad dan ijarah, pada pembiayaan ulang
(refinancing) dapat digunakan akad al-ba’i wa al-isti’jar (sale and lease back)
dengan memberlakukan akad ba’i dan ijarah muntahiya bittamlik ma’a hibah atau
digunakan akad al-ba’i dalam rangka musyarakah mutanaqishah. Akad qardh,
rahn dan ijarah pada produk gadai emas.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan pengertian multi akad adalah
kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua
akad atau lebih, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak
8
Ibid,.
9
Al-Imrani, Al-‘Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyyah Ta’shiliyah wa
Tathbiqiyah (Riyadh: Dār Kunuz Eshbelia li al-Nasyar wa Tauzi, 2006), Cet. Ke 1, 45.
10
Termasuk salah satu dari al-’uqud al-mukhtalithah, pengembangan dari ba’i al-wafa.
dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum
dari satu akad.11

C. Macam-Macam Hybrid Contract


Al-‘Imrani membagi multiakad dalam lima macam, yaitu: al-’uqud
almutaqabilah, al’uqud al-mujtami‘ah, al-’uqud al-mutanaqidhah wa al-
mutadhadah wa al-mutanafiyah, al- ’uqud al-mukhtalifah, al-’uqud al-
mutajanisah. Dari lima macam itu, menurut dia, dua macam yang pertama yaitu
al-’uqud almutaqabilah dan al-’uqud al-mujtami‘ah, adalah multiakad yang
umum dipakai. Berikut penjelasan dari lima macam multiakad tersebut 12. Berikut
Penjelasan dari kelima jenis Hyberd Contract/multiakad atau Al-‘Uqud Al-
Murakkabah.13:
1. Hybrid Contract yang akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd
almutaqâbilah).
Al-’uqûd al-mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad
kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama
bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik.
Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya14
2. Hybrid Contract yang Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)
Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam
satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti

11
Najamuddin, “Al-‟Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syari‟ah,” Jurnal
Syari‟ah Vol. II, No. II (Oktober 2013), hlm. 9.
12
Ali Amin Isfandiar, Analisis Fiqh Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan
Penerapannya Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2,
November 2013, Hlm. 205
13
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer , (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), hlm. 374
14
Ibid,.
contoh "Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain
kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu".
Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya
dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad
terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum
dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad
dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan,
baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda. Salah satu contoh
dari akad ini yaitu wadiah dan mudarabah pada giro.15
3. Hybrid Contract yang Akad berlawanan (Al-’uqûd al-mutanâqidhah
wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah) Ketiga istilah al-
mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa almutanâfiyah memiliki kesamaan
bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga
istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanâqidhah
mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata
sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama.
Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan
mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling
mendukung, melainkan mematahkan. Contoh dari akad ini yaitu jual beli
dan pinjaman, menggabungkan qarḍ wal ijârah dalam satu akad.16
4. Hybrid contract akad yang berbeda (al-uqud al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multiakad yang mukhtalifah adalah
terhimpunya dua akad atau lebih yang memilki perbedaan semua akibat
hukum di antara dua akad itu atau sebagiannya. seperti perbedaan akibat
hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada
ketentuan waktu, sedangkan jual beli sebaliknya, contoh lain, akad ijarah

15
Ibid,.
16
Ibid,.
dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi
al-majlis), sedangkan dalam ijarah, harga sewa tidak harus diserahkan
pada saat akad.17
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang
mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan
akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat
meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun
berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori
berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara
akad-akad yang membangunnya. Dari pendapat ulama di atas disimpulkan
bahwa multi akad yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah
adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski
demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak
seragam.
5. Hybrid Contract akad sejenis (al-uqud al-mutajanisab)
Al-uqud Al-Murakhabab Al-Mutajanisab adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi di dalam
hukum dan akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri dari satu
jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual belin, atau dari beberapa
jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Mutiakad jenis ini dapat
pula terrbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau
berbeda.18

D. Jenis Hybred Contract/multiakad dalam Lembaga Keuangan


Metode Hybrid Contract atau kombinasi beberapa ‘aqd dalam satu
transaksi telah menjadi ciri khas industri perbankan syariah di seluruh dunia

17
Ali Amin Isfandiar, Op.Cit,. Hlm. 216
18
Ibid, 217.
termasuk Indonesia dalam pengembangan produk. Hal ini harus dilakukan karena
kombinasi kontrak dalam system ekonomi sekarang adalah sebuah kebutuhan.
Mingka19 menjelaskan bahwa ada banyak jenis hybrid kontrak di perbankan
syariah dan keuangan seperti bay’ wafa '(kombinasi kontrak penjualan dengan
janji untuk membeli kembali) dan kontrak paling menonjol yang saat ini
digunakan di perbankan syariah terutama untuk pembiayaan rumah yang
mushārakah mutanāqishah. Kontrak ini terdiri dari beberapa kontrak dalam satu
transaksi seperti kontrak kepemilikan bersama (syirkah al-milk), kontrak
penjualan (bay’), akad Ijarah (lease), hibah (hibah), dan sebagainya. Selanjutnya
dia membagi jenis kontrak hibrida menjadi empat kategori:20
Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan
nama baru,
seperti bay’ istighlal21, bay’ tawarruq22, musyarakah mutanaqishah23 dan bay’
wafa24’.

19
Mingka, Agustianto. (2011) Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah. Diakses pada
13/09/2019 www.agustiantocentre.com.
20
Muhammad Iman Sastra Mihajat, Hybrid Contract in Islamic Banking and Finance: A
Proposed Shariah Principles and Parameters for Product Development, EJBM-Special
Issue :Islamic Management and Business www.iiste.org, ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN
2222-2839 (Online), Vol 7, No.16 (Special Issue), 2015.
21
Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah,
sehingga bercampur 3 akad. Akad ini disebut juga three in one.
22
Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama,
Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
23
Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan
Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing).
Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah
(MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang
menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan
dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu
sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
24
Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama
baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini merupakan multiakad (hybrid),
tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru yaitu bay wafa’
Kedua, kontrak yang menggabungkan beberapa ‘aqd dalam satu transaksi
dan keluar dengan nama baru caqd, namun nama ‘aqd lama masih disebutkan,
seperti bay 'at-takjīry (menyewa perjanjian pembelian atau sewa guna usaha)
mudhārabah mushtarakah dalam asuransi jiwa (Fatwa DSN-MUI No. 51/2006)
dan deposito berjangka di bank syariah (Fatwa DSN-MUI No. 50/2006).
Ketiga, Hybrid contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak
melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan
dipraktekkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1) Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN
MUI No 31/2000.
2) Kafalah wal ijarah pada kartu kredit.
3) Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan
rekening koran or line facility
4) Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
5) Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, Factoring,
6) Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi
7) pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
8) Mudharabah wal murabahah/ ijarah/ istisna pada pembiayaan terhadap
karyawan koperasi instansi.
9) Hiwalah bil Ujrah pada factoring.
10) Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN.
11) Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah.
Keempat, Hybrid Contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).
Bentuk ini dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad jual beli dan
pinjaman (bay’wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam
satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits
Rasulullah Saw.
Contoh lainnya :
menggabungkan qardh dengan janji hadiah.
Secara umum hybrid kontrak/multi akad yang banyak di aplikasikan dalam
lembaga
keuangan 25:
1. Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewah menyewah yang berakhir
dengan kepemilikan/jual beli).
2. Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang berakhir
dengan jual beli kredit).
3. Murabahah marakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir dengan jual
beli biasa)
4. Ta’min tauni murakkabah (asuransi berganda)
5. Akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada
Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale).
6. Ta’jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewah menyewah)
walaupun ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad ini sebenarnya
adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik.

E. Pandangan Ulama’ dan Fatwa DSN Tentang Hukum Hybrid Contract


Mengenai status hukum hybrid contract (multi akad), ulama berbeda
pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut
apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk
dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut
membolehkan dan melarang. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat
ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hambali berpendapat bahwa hukum
multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan

25
Najamuddin, Op. Cit,. Hlm 6-7
dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya.26
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah
boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali
yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multiakad,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri
hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang
melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan
pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan
sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan
melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hokum asal dari
akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum
dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah
telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang
dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah
boleh mengharamkanyang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula
tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.27
Terjadinya pro dan kontra dalam hybrid contract tidak lain karena para
ulama memandang adanya faktor hukum dalam transaksi tersebut. Adapun illat
(faktor hukum) larangan dalam transaksi seperti ini adalah adanya unsur riba,

26
Hasanudin,” Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah Di Indonesia”, Multi Akad Padalembaga Keuangansyariah, (Mei,
2009), Hlm. 5
27
Ibid, 18
ghoror28 perjudian atau penipuan. Seperti dalam kasus jual beli dua harga dalam
satu transaksi, sesungguhnya pihak yang menjual komoditi seharga seratus
(misalnya) dengan cara tunai dan seratus sepuluh secara kredit tidak dapat
mengetahui akad atau harga manakah yang akan teralisir atau dipilih oleh
pembeli. Dari sini jelas sekali terjadi ketidakjelasan dalam transaksi.
Jadi, transaksi bisnis (dalam bai‟ataini fi bai‟ah) sebagaimana contoh di atas
jelas mengandung unsur gharar yang terdapat dalam sighat (kalimat) transaksi
yang disepakati dan bukan dalam obyeknya.29
Dari contoh kasus tersebut kita bisa mengetahui bahwa akad transaksi sangat
berpengaruh terhadap legalitas transaksi muamalah. Dimyaudin Djuwaini (2008)
mengemukakan bahwa akad mempunyai implikasi hukum seperti pemindahan
kepemilikan, hak sewa, dan lainnya.
Hukum akad salam Islam adalah mubah selama tidak ada larangan syar‟i
tentang akad tersebut. Dalam hal ini sebagaimana yang dinyatakan Abdullah
Muslih dan Shalah Ash-Shawi dalam buku beliau30 bahwa:
“Asal dari segala bentuk akad dan persyaratan adalah mubah, menurut
pendapat ulama yang paling benar, sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali
yang diindikasikan keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau
qiyas.”
DSN-MUI dalam melakukan ijtihad hukum mengacu pada pedoman
penetapan fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Pimpinan MUI Nomor: U-

28
Ibnu Taimiyah Mengartikan Gharar Dengan Pertaruhan Sehingga Tidak Jelas
Hasilnya. Al-Gharar Bisa Juga Juga Bermakna Al-Jahalah Artinya Ketidakjelasan Atau
Ketidakpastian (Unclearly/Uncertainty). Lihat Muhammad Nizarul Alim. (2011).
Muhasabah Keuangan Syariah. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Hlm. 31.
29
Haryono, Dinamika Dan Solusi Pengembangan Multi Akad (Hybrid Contract) Sebagai
Basis Produk Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, Ad-Denaar. Hlm. 32
(13/09/2019)
30
Abdullah Al-Mushlih Dan Shalah Ash-Shawi. (2004). Fiqh Ekonomi Keuangan Islam.
Jakarta: Darul Haq. Hlm. 57.
596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar
penetapan fatwa dituangkan pada Bab II yang menyatakan bahwa:
(1) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, Sunnah (hadits),
ijma’, dan qiyas;
(2) Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif;
(3) Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu
lembaga yang dinamakan komisi fatwa.
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum
yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum
yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam
penetapan fatwa MUI adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketika
menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para
ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang,
sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung pada kedua
ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan, tengah antara dua pendapat yang bertolak
belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan
fatwa adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan
tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya31.
Dalam kaitannya Multi akad, DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa yang
dapat dijadikan pedoman pelaksanaannya. Sehingga dikatakan sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat-syarat pada masing-masing akad yang
membentuknya. Hingga november 2017, fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI
berjumlah 109 fatwa32. Aspek yang tetap (tsawabit) adalah pemeliharaan
kemashlahatan. Maslahat yang didapat dengan mengkomodasi kebolehan multi
akad (ta’addud al-‘uqud fi shafqah wahidah) adalah ketika praktisi ekonomi dapat
mengaplikasikan syari‟ah sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan aplikasi

31
http://www.muidkijakarta.or.id/bagaimana-metode-penetapan-fatwa-mui/
32
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/
tersebut, sektor-sektor usaha syari`ah terpacu untuk berkembang dan mencakup.
Sebaliknya, apabila multi akad tidak diperbolehkan, maka sektor-sektor usaha
dengan sistem syari`ah dapat mengalami kesulitan/kendala (mudlarah)33.
Kemudian aspek yang berubah (mutaghayyirah) adalah aspek cara, yakni Nabi
Muhmmad Saw melarang multi akad, sedangkan DSN-MUI membolehkan
dengan syarat agar pelaksanaan multi akad tersebut memperhatikan standar yang
ditentukan agar tidak mengandung ketidakjelasan (jahalah), ketidakpastian
manipulatif (gharar) dan riba. Dengan kata lain, DSN-MUI membolehkan multi
akad selama terhindar dari riba, jahalah dan gharar34.

E. Batasan dan Ketentuan (dhawabit) hybrid contract


Para ulama yang membolehkan praktik hybrid contract (multi akad) bukan
berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh
dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang.
Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:35

1. Dilarang karena nash agama


Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multiakad
yang dilarang, yaitu
a. multi akad dalam jual beli dan pinjaman,
b. dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan;

33
Hasanuddin. Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI). Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.
34
Hasanudin Maulana, Multiakad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah Di Indonesia, Al-Iqtishad: Vol. III, No. 1, Januari 2011. Hlm 170
35
Hasanudin,” Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah Di Indonesia”, Multi Akad Pada lembaga Keuangan syariah, (Mei,
2009), Hlm. 18
c. dua transaksi dalam satu transaksi.36
Dari Abu Hurairah R.A, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam
satu jual beli”. (HR. Malik)
Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya
dikarenakan transkasi itu mengandung riba dan gharar.
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya
diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas,
maka hukum dari akad itu dilarang.
2. Hybrid Contract (multi akad) sebagai hîlah ribawi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan
jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah riba fadhl
1. Al-‘inah
Contoh ‘înah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga
seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali
kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada
transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya
merupakan ‘înah riba dalam pinjaman, karena objek akad semu dan
tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual
beli yang ditentukan yariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.37
2. Hîlah riba fadhl
Transaksi ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di
mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas
sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo
dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan
beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar

36
Ibid, 19.
37
Ibid, 21
dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas
sempurna juga dengan harga sendiri.38
3. Hybrid Contract (multi akad) menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti
riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya
adalah boleh.
Penghimpunan akad yang hukumnya asal boleh namun
membawanya kepada yang dilarang maka hukumnya dilarang.
Seperti: multiakad antara salaf dan jual beli, contoh A meminjamklan
uang kepada B sebesar 1 juta, dengan ketentuan B harus membeli HP
sia dengan harga sekian.
Multiakad dari gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang
syariah. Ulama’ sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan
persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Misalnya si A
meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat A menempati rumah si
B. Termasuk dalam kategori ini menggabungkan qardh dan ijarah
dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas biaya operasional,
yaitu untuk menutupi riel cost.
4. Hybrid Contract (multi akad) terdiri dari akad-akad yang akibat
hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan.
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-
akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya
saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas
larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini
mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan

38
Ibid, 22.
muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-
rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang
mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih saying serta tujuan
mulia. Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas
ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka
beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya
keabsahan akad.
Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad
jenis ini adalah pendapat yang unggul. Larangan multi akad ini karena
penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hokum
menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi
karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara
hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad
menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan
inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaki. 39
5. Akad Sejenis (al-uqud mutajanisab)
Al-uqud al- murakhabah al-mutajanisab adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi
didalam hukum dan akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat
terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli,
atau dari beberapa jenis akad jual beli dan sewa menyewa. Multiakad
jenis dapat pula terbentuk dari dari dua akad yang memiliki hukum
yang sama atau berbeda.

F. Hybrid Contract yang dilarang

39
Ibid, 23.
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad
salaf (memberi pinjaman) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku
sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam
satu akad untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu
terjadi karena seseorang meminjamkan seribu, lalu menjual barang yang bernilai
delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga
delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh
kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga
sepakat elarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu
transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun
dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijârah dan qardh, salam dan
qardh, dan sebagainya. Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang,
namun menurut al-„Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini
diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk
melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman
kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya
padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya
boleh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian multi akad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan
suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, sehingga semua akibat hukum
dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisahpisahkan, yang
sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad.

Mengenai status hukum multiakad, ulama berbeda pendapat terutama


berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multiakad
sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal
ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut, yaitu membolehkan dan melarang.
Dari banyaknya pendapat dari kalangan ulama madzhab dan fatwa dari DSN-MUI
yang membolehkan transaksi hybrid contract/multi akad dengan alasan bahwa :
1. Hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya.
2. Maslahat yang didapat dengan mengkomodasi kebolehan multi akad
(ta’addud al ‘uqud fi shafqah wahidah) adalah ketika praktisi ekonomi
dapat mengaplikasikan syari‟ah sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan aplikasi tersebut, sektor-sektor usaha syari`ah terpacu untuk
berkembang dan mencakup. Sebaliknya, apabila multi akad tidak
diperbolehkan, maka sektor-sektor usaha dengan sistem syari`ah dapat
mengalami kesulitan/kendala (mudlarah).
3. Kesesuaian dengan tujuan syariah (maqashid syariah)
4. Lelaksanaan multi akad harus memperhatikan standar yang ditentukan
agar tidak mengandung ketidakjelasan (jahalah), ketidakpastian
manipulatif (gharar) dan riba.
Adapun ulama yang melarang transaksi hybrid contract/multi berpendapat bahwa
:
1. Akad hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang
ditunjukkan boleh oleh agama. Merekan beralasan bahwa Islam sudah
sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap
perbuatan yang tidak disebutkan dalam nas-nas agama berarti membuat
ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama. Istimbat hukum
berdasarkan pada Q.S Al-Baqarah : 229
2. Akad dan syarat yang tidak diajarkan oleh agama adalah bentuk tindakan
melampaui ketentuan agama dan membuat hal baru dalam agama. Allah
telah menyempurnakan turunnya Islam semasa Muhammad, seperti
dijelaskan dalam Q.s. Al-Maidah (5): 3, Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untukmu agamamu

Batasan dan Ketentuan (dhawabit) hybrid contract


1. Dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multiakad
yang dilarang, yaitu
a. multi akad dalam jual beli dan pinjaman,
b. dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan;
c. dua transaksi dalam satu transaksi.
2. Hybrid Contract (multi akad) sebagai hîlah ribawi
a. Al-inah
b. Hîlah riba fadhl
3. Hybrid Contract (multi akad) menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti
riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya
adalah boleh.
4. Hybrid Contract (multi akad) terdiri dari akad-akad yang akibat
hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan.
5. Akad Sejenis (al-uqud mutajanisab)
Al-uqud al- murakhabah al-mutajanisab adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi
didalam hukum dan akibat hukumnya
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai