MULTIKULTURAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya pengembangan kurikulum merupakan proses untuk membuat keputusan dan
untuk merevisi suatu program pendidikan. Adanya keberagaman model pengembangan
kurikulum pada dasarnya hanya untuk mencapai satu tujuan yaitu memperoleh perubahan yang
lebih baik.1[1] Dalam mengembangkan kurikulum berbasis multicultural, setidaknya
mendasarkan pada pendapat pakar kurikulum seperti Hilda Taba yang menyatakan bahwa
kebudayaan adalah salah satu landasan dalam pengembangan kurikulum.2[2] Murray Print yang
menyatakan Curriculum is a construct of that culture.3[3] Dengan demikian, pengembangan
kurikulum berbasis multicultural harus berpijak pada kebudayaan dalam mengembangkan
kurikulumnya.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama disebut sebagai masyarakat "multikultural".
Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak
untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating
force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat
dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang
ini, jumlah pulau yang ada di wilayah negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 15.504
pulau besar dan kecil.4[4] Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari
300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha,
Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010,
87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9%
Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38%
tidak terjawab atau tidak ditanyakan.5[5]
Keberpijakan pada keberagaman ini berlaku pula bagi pendidikan agama Islam yang
senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada di era modern ini. Lebih-lebih
dalam menjawab persoalan peradaban di masyarakat modern negeri ini yang masih
1[1] Herry Hernawan, dkk, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2008), hlm. 2.27.
2[2] Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York: Hartcourt Brace and Word,
1962), hal. 48.
3[3] Murray Print, Curriculum Development Theory and Design, (St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.,
1993), hal. 15.
4[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia
5[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
mengedepankan emosional-eksklusivitas dalam menjalankan budaya dan peradabannya.
Sehingga akibat dari pola pikir semacam ini, menjadikan kehidupan tidak harmonis, tidak
seiring-sejalan, selaras, dan pola hidup inklusif (terbuka) menjadi sesuatu barang yang langka
dan mahal untuk diwujudkan.6[6] Dengan demikian, merupakan tugas mulia seorang guru agama
Islam untuk berupaya menjawab persoalan tersebut dengan jalan mengembangkan kurikulum
berbasis multicultural dalam Pendidikan Agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana konsep pengembangan kurikulum?
2. Bagaimana kurikulum berbasis multikultural?
3. Bagaimana pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam teori dan praktiknya?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembahasan pada makalah ini adalah
memahami tentang:
1. Konsep pengembangan kurikulum
2. Konsep kurikulum berbasis multikultural
3. Pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam teori dan paktiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pengembangan Kurikulum
1. Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan berasal dari kata “kembang” yang artinya menjadi maju, sempurna,
berkembang. Jadi, pengembangan adalah proses, cara perbuatan mengembangkan suatu hal agar
dapat bertambah maju menuju ke arah yang lebih sempurna.7[7] Pengembangan ini juga dapat
diartikan sebagai perubahan dari masa ke masa, artinya merubah suatu struktur yang telah
direncanakan sebelumnya.
Pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning of learning
opportunities intended to bring about certain desired in pupils. And assesment of the extent to
which these changes have taken piece (Audrey Nicholls dan S. Howard Nichools).8[8] Rumusan
ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan
belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan
dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa. Sedangkan yang
6[6] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media Group, 2008), hal.5
7[7] Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press,
1991), hal. 700.
8[8] Oemar Hamolo, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
Cet. Pertama hal. 96
dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan
dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang
diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar direncanakan oleh
guru, bagi para siswa sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri.
2) Prinsip Efisiensi
Untuk menyelesaikan suatu program kita memerlukan waktu, tenaga dan biaya-biaya yang
kadang-kadang sangat besar jumlahnya. Kesemuanya itu tergantung pada banyaknya program
yang akan diselesaikan. Jadi efisiensi merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dan
pengeluaran (berupa waktu, tenaga dan biaya) yang diharapkan paling tidak menunjukkan hasil
yang seimbang.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar mengajar. Maka proses
belajar mengajar dikatakan efisien jika usaha dan biaya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan program pengajaran tersebut dapat merealisasikan hasil yang optimal.
d. Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas menunjukkan bahwa kurikulum adalah tidak kaku. Dalam arti tidak
kaku dalam arti bahwa ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam
bertindak. Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan program pendidikan harus
diperhatikan kondisi perbedaan yang ada dalam diri peserta didik. Oleh karena itu peserta didik
harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat,
kebutuhan dan lingkungannya.
9[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Rema
Rosdakarya, 2009) cet ke II hlm. 160.
10[10] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang,
2009), hlm. 487.
11[11] Susilo Riwayadi dan Suci nur Anisyah, Kamus Lengkap... , hlm. 413
12[12] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 27-28. Lihat pula dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi,
Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 121-122.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan
dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara
mendidik.13[13] Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka
kesopanan14[14].
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi
keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama)15[15]. Pengertian seperti ini mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa
akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan Multikultural”.
Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para pakar, yaitu:
Anderson dan Chusher menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank mendifinisikan pendidikan
multicultural sebagai pendidikan untuk people for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian
bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat
egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara
sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang
dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas,
agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.16[16]
Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum
yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Hal ini jika
dikaitkan dengan pendidikan Islam, sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. Al-Hujurat ayat
13 yang berbunyi:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
13[13] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 28
14[14]Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press,
2010), hlm. 19
16[16] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 175-176.
Ayat lain menyatakan:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
17[17] Ihat Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007),
hlm. 7.19-7.22
hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak
beruntung.
Di dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi
manusia adalah membelajarkan peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki
bersama sehingga hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain
dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai untuk
melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta didik harus diberi
kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai inti yang terkait dengan
hak-hak asasi manusia di dalam kehidupannya.
c. Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi
manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling
mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain,
penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan
berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat
digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis pada semua
tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan perdamaian.
Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai strategi, yaitu:
1) Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
2) Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara tepat harus diperkenalkan di
semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu.
3) Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan
evolusinya.
C. Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural
Adapun pengembangan kurikulum berbasis multicultural bila dikaitkan dengan pendidikan
agama Islam harus memperhatikan dasar kurikulum PAI sebegaimana yang dikemukakan
Ramayulis dengan mengutip Herman H. Horne ada 3 macam yaitu:18[18]
1. Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh
dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and need of children)
2. Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari masyarakat (the
legitimate demand of society).19[19]
3. Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the
kind of universe in which we live).
Begitu pula dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam berbasis multicultural
harus memperhatikan prinsip-prinsip yang menjadi acuan kurikulum pendidikan Islam yang
menurut Syaibany20[20] adalah:
18[18] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 131.
19[19] Sering terjadinya konflik antar agama, etnis, suku dan semacamnya dinegeri ini menjdikan
kurikulum berbasis multicultural menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dirumuskan. Tugas guru agama
dalam hal ini juga sangat berkaitan erat, yakni guru agama akan menciptakan anak didiknya berpola pikir eksklusif
atau inklusif merupakan tugas utama bagi guru agama.
1. Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.21[21] Maka setiap yang
berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode
mengajar, cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga
pendidikan yang berdasarkan pada agama dan akhlak Islam.
2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3. Prinsip keseimbangan yang elative antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4. Prinsip interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
5. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara peserta didik, baik perbedaan dari
segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan sebagainya.
6. Prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan yang ada dengan tidak
mengabaikan nilai-nilai absolute.
7. Prinsip pertautan (integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifiti yang
terkandung didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum
dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat.
Zakiah Dardjat22[22] menawarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Relevansi: dalam arti kesesuaian pendidikan dalam lingkungan hidup murid, relevansi
dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2. Prinsip Efektifitas: baik efektifitas mengajar guru, ataupun efektifitas belajar murid.
3. Prinsip Efesiensi: baik dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
4. Prinsip Fleksibilitas: artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan
dalam bertindak, baik yang berorientasi pada fleksibilitas pemilihan program pendidikan maupun
dalam mengembangkan program pengajaran.
Sedangkan Muhammad Zuhaili menyatakan bahwa kurikulum yang digunakan harus serius
dan membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan kedalam akal para pemuda (baca;
anak didik) hal-hal yang bermanfaat dalam agama dan dunia mereka. Karena kurikulum
pendidikan haruslah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tradisi orang-orang terdahulu yang
shalih, serta cendekiawan muslim yang membawa cahaya terang selama berabad-abad.23[23]
Dengan demikian, dari berbagai dasar dan prinsip-prinsip diatas dapat disimpulkan bahwa
untuk mengembangkan kurikulum berbasis multicultural dalam PAI merupakan hal yang sangat
lentur, mudah dirubah, tak seperti kedudukan “kitab fikih” yang sulit untuk dirubah. Dalam hal
ini, HM. Irsjad Djuwaeli menyatakan bahwa pertimbangan kekinian, kedisinian, dan kenantian
(masa depan) penting dipertimbangkan dalam pelaksanaan dan pengembangan kurikulum.
Karena setiap kurikulum dipersiapkan hanya untuk masa tertentu dan tempat tertentu, maka
aspek elastisitas, integritas, dan efektifitas menjadi sangat penting untuk dituangkan kedalam isi
20[20] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Dr. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang,
1979), hal. 485. Lihat pula dalam Ramayulis, hal. 132-133.
21[21] Termasuk nilai-nilai dalam Islam adalah menghargai keragaman (multikultur). Lihat QS. Al-Hujurat:
13, QS. Ar-Rum: 22
22[22] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1992), hal. 125-127.
23[23] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H.
Ba’adillah Press, 1999), hal. 104.
kurikulum.24[24] Kurikulum yang berorientasi kepada masa lalu cenderung menciptakan image
diri (self image) yang eksklusif dan anti perubahan. Semangat kemapanan status quo merupakan
cirri khas dari kondisi pendidikan dimana isi kurikulumnya berorientasi kepada paradigma
konservatisme yang menilai bahwa masyarakat berada dalam ketidaksejajaran dan terikat oleh
suatu belenggu takdir yang tidak mungkin berubah.
Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi
nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan
dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang mesti
diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam
segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan.
Edi Susanto mengutip pendapat Zakiyuddin Baidhawy memerinci karakteristik pendidikan
agama Islam berwawasan multikultural, yaitu:
1. Belajar hidup dalam perbedaan
2. Membangun saling percaya
3. Memelihara saling pengertian (mutual understanding)
4. Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), konflik dan rekonsiliasi
nirkekerasan.25[25] Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara
lain adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan pluralitas,
perjumpaan lintas batas, interdependensi dan kerja sama, pembelajaran efektif dan proses
interaksi.
Selanjutnya, dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa
materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara
lain26[26]
1. Materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga
perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap
ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam
sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan
al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:148); b) Materi
yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama
(al-Mumtahanah/60:8-9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-
Nisa’/4:135).
2. Materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah
terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat
ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad
mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
24[24] HM. Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri,
1998), hal. 155-156.
25[25] Susanto, Edi. ringkasan Disertasi “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan Agama Slam
Multikultural Pluralistik (Perspektif Sosiologi Pengetahuan), 2011. hal. 31
A. Kesimpulan
27[27] Bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan Islam tampil secara inklusif dan sangat
menghargai non-muslim. Sikap inklusif ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius plurality. Bagi orang Islam, dianut
suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun kebenaran agama ada pada
Islam (lihat: QS. Âli Imrân : 13), namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama
tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (lihat: QS. al-Baqarah : 256). Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan
Islam sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
28[28] Muhaemin, el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From:
http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3
1. Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang
dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai
hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
2. Pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi
yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan
beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender,
etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan. Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah
kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
3. Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan
agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa, 1992..
Djuwaeli, HM. Irsjad. Pembaharuan Pendidikan Islam. Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998.
El-Ma’hady, Muhaemin. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004.
From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3.
Hamolo, Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Hatimah, Ihat dkk. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.
Hernawan, Herry, dkk. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka,
2008.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Masgnud. Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya. Yogyakarta: Idea Press,
2010.
Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media Group, 2008.
Print, Murray. Curriculum Development Theory and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.,
1993.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Riwayadi, Susilo dan Anisyah, Suci Nur. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Terang,
2009.
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah
(Karya Tulis). sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-
membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html.
Salim, Peter dan Salim, Yeni. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press,
1991.
Syaodih Sukmadinata, Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Rema
Rosdakarya, 2009.
Taba, Hilda. Curriculum Development Theory and Practice. New York: Hartcourt Brace and Word,
1962.
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan
Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zuhaili, Muhammad. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999.