Anda di halaman 1dari 12

AHLI WARIS YANG TIDAK JELAS KEDUDUKANNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Fiqih Mawarits

Dosen Pengampu: Drs. H. Djedjen Zaenuddin, M.Pd

Disusun Oleh:

Nur Lailatul Maghfiroh


(21.01.00.097)
Ridwan Arsyad (21.01.00.100)
Shafina Azzahra (21.01.00.109)
Wahyu Jati Supriyanto (21.01.00.118)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-MAHBUBIYAH
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas rahmat dan karunia-nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ahli Waris Yang Tidak
Jelas Kedudukannya” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu
tugas pada mata kuliah Fiqih Mawarits.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Djedjen


Zaenuddin, M.Pd selaku dosen pembimbing pada mata kuliah ini, karena atas
bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah ini serta pihak-pihak
yang telah membantu yang tidak dapat penulis sampaikan satu-persatu.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar
lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Jakarta, 02 Juli 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Masalah.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3

A. Orang Hilang (Mafqud).............................................................................3


B. Bayi Dalam Kandungan (Al-Haml)...............................................................4
C. Banci Atau Khunsa Musykil...............................................................................7
D. Orang Meninngal Dalam Waktu Bersamaan......................................................

BAB III PENUTUPAN........................................................................................13

A. Kesimpulan................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aspek penting dalam hukum Islam adalah mengutamakan keadilan
dan kemaslahatan. Prinsip ini menjadi rujukan dalam penetapan dan
pemutusan hukum Islam. Prinsip ini bersifat mutlak dan pasti karena
merupakan keadilan dan kemaslahatan Ilahi. Dalam hal ini Ibnu al-
Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa sesungguh- nya bangunan dasar
hukum Islam adalah hikmah dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan.
Hikmah berupa keadilan yang utuh, rahmat yang hakiki, kemaslahatan,
dan kemanfataan.
Pelaksanaan hukum pengecualian (darurah) dalam hukum Islam
sangatlah alami, karena mengutamakan azas kemudahan dan
menghindarkan kesempitan dan kesulitan. Ditambah karakter ajaran yang
lemah lembut sehingga tidak ada ada dalih untuk meninggalkan hukum
Islam hanya karena mengalami kesulitan dan kesempitan.1
Kaidah ‫رريزال‬FF‫( الض‬kemudaratan harus dihilangkan), kembali kepada
tujuan untuk merealisasikan maqasid al syari’ah dengan menolak yang
mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya
meringankannya. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai:
pengertian darurah, sumber dalil kaidah darurah, beberapa kaidah minor,
dan contoh penggunaanya dalam kasus hukum islam kontemporer.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kalalah?
2. Apa Pengertian Anak Zina beserta Pembagian Kewarisannya?
3. Apa Pengertian Anak Li’an beserta Pembagian Kewarisannya?

C. Tujuan Masalah
1
Iin Sholikhin, “Konsep Darurah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Al-Manahij, Vol.
2, No. 2, 2008, h. 116

1
2

1. Untuk Memahami Pengertian Kalalah?


2. Untuk Memahami Pengertian Anak Zina beserta Pembagian
Kewarisannya?
3. Untuk Memahami Pengertian Anak Li’an beserta Pembagian
Kewarisannya?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Orang Hilang (Mafqud)


Mafqud secara etimologi merupakan isim maf‟ul yang diambil dari
kata”faqada‟ (hilang) yaitu sesuatu yang pergi tanpa kembali. Firman
Allah surah an-Naml:20 yang artinya “dan Dia memeriksa burung-burung
lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, Apakah Dia Termasuk
yang tidak hadir.”. Dan mafqud secara terminologi adalah orang yang
terputus beritanya, yang tidak diketahui keadannya apakah masih hidup
atau sudah meninggal dunia, boleh jadi karena melakukan safar (perjalan)
atau menghadiri peperangan, atau ditawan oleh musuh, atau lain
sebagainya dari bentuk kehilangan. Sedangkan ia memiliki status
kewarisan dalam dua kemungkinan yakni: sebagai pewaris yang diwarisi
hartanya yang tertinggal oleh mereka yang berhak sebagai ahli waris dan
sebagai orang yang berhak waris terhadap pewaris (karena dekatnya
hubungan kewarisan dengan mayit) di mana ia termasuk sebagai ahli
waris.”2
Adapun Status hukum waris yang hilang (mafqud) dalam islam
sebagai berikut: pada syarat-syarat kewarisan dikemukakan bahwa
seseorang yang dapat menjadi ahli waris adalah seseorang (ahli waris)
yang pada saat si pewaris meninggal dunia jelas hidupnya. Berdasar
persyaratan tersebut tentunya menimbulkan persoalan terhadap hak
mewaris bagi orang yang hilang."
Secara normatif pembagian warisan menurut hukum waris Islam
hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara konkrit
dalam Al- Qur'an dan Al Sunnah (Al Hadis). Para ulama sepakat bahwa
ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan sunnah
yang menunjukan petunjuk3 yang pasti. Pada kenyataannya, dalam
2
Muhib Bussabry, Fikih Mawaris, (Medan: Pusdika Mitra Jaya, 2020), h. 61, diakses
dari http://repository.uinsu.ac.id/8802/1/BUKU%20FIKIH%20MAWARIS.pdf, didownload pada
hari Senin, 3 Juli pukul 23:10 WIB
3
Ahmad Rofiq. Fiqh Mawaris. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 168.
4

pelaksanaannya sering dijumpai kasus- kasus yang melibatkan pemikiran


yang bersifat ijtihadiyah."
Ijtihad hanya dapat dilakukan terhadap suatu peristiwa yang tidak ada
ketentuan ayatnya sama sekali maupun suatu peristiwa yang ada ketentuan
ayatnya, namun tidak pasti." Lewat ijtihad para fuqaha tersebut,
sebenarnya telah 4 memberikan kontribusi pengetahuan" yang berkaitan
dengan hukum orang yang hilang (mafqud) ini. Terkait hal ini dapat
dipedomani riwayat dari Malik, bahwa dia berkata, "empat tahun", karena
Umar ra., berkata: "Setiap istri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya,
sedang dia tidak mengetahui di mana suaminya, maka dia menunggu
empat tahun, kemudia dia ber-iddah selama empat bulan sepuluh hari,
kemudian lepaslah dia". (Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Asy- Syafi'i).
Khalifah Umar bin Khattab pernah memutuskan perkara mafqud melalui
perkataan beliau yang diriwayatkan oleh imam al-bukhari tersebut.5
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum
Islam menetapkan bahwa: 6
1. Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan.
2. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan.
3. Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ketidak bolehan ketiga hal di atas sampai orang yang hilang tersebut
diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih
hidup atau sudah meninggal dunia.7
Para ulama fiqih yang cenderung memandang dari segi positif
mengenai penetapan status mafqud apakah ia masih hidup atau tidak, yaitu
dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat
dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil

4
Rachmadi Usman. Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam.
(Bandung:cv mandar maju,2009),h.12
5
Ahmad Rofiq, Op. Cit, h. 169.
6
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 63.
7
Ibid.
5

ulama fiqih ini berdasarkan kaidah istishab 8yaitu menetapkan hukum yang
berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukkan hukum lain."
Terkait anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus-
menerus karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Terkait
itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan
status hukum bagi si mafqud. Para ulama fiqih telah sepakat bahwa yang
berhak untuk menetapkan status bagi orang yang hilang tersebut adalah
hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau
belum."
Adapun dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum mafqud, yaitu:9
1. Berdasarkan bukti-bukti autentik yang dapat diterima secara syar'i.
Sebagaimana dalam kaidah: tsaa bitu bil bayyinati katsaabitu bil
mu'aa yanah, yang artinya "yang tetap berdasarkan bukti seperti yang
tetap berdasarkan kenyataan.”
Jadi, misalnya ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk
memberikan kesaksian bahwa yang hilang (mafqud) telah meninggal
dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk
menetapkan status kematian mafqud.
2. Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian mafqud.
Pertimbangan dan upaya hukum demikian memang tidak cukup kuat
secara hukum, akan tetapi sebagian dapat diterima dan mempunyai
referensi atau acuan hukum" mengenai tenggang waktu untuk
menghukumi/menetapkan kematian orang yang hilang.10

B. Bayi dalam Kandungan (Al-Haml)

8
Pengertian istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya, atau melangsungkan berlakunya hukum yang
telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
9
Ahmad Rofiq, Op. Cit, h. 168-169.
10
Muhammad Ali As-Shabuni. Hukum Waris dalam Syari’at Islam (Disertai
Contohcontoh Pembagian Harta Waris). (Bandung: CV Diponegoro, 1988), h.236
6

Secara etimologi Al-haml adalah apa yang ada di dalam perut


perempuan yang mengandung pada semua makhluk. Jamaknya adalah
ḥimālun, dan aḥmālun, maksudnya adalah sesuatu yang ada di dalam perut
perempuan yang mengandung. Orang Arab berkata: perempuan bisa
disebut ḥublā jika dia sudah mengandung dan membawa beban. Apabila
seorang perempuan membawa beban dipunggung atau di atas kepalanya,
perempuan itu disebut ḥāmilah.11 Sedangkan al-ḥamlu secara terminologi
adalah sesuatu yang ada di dalam perut perempuan yang mengandung,
mendapat warisan atau terhijab, atau membawa dampak kepada ahli waris
lain dalam semua keadaan atau sebagiannya saja.12
Adapun syarat kewarisan bagi anak dalam kandungan (Al-haml)
sebagai berikut:
1. Anak didalam kandungan tersebut ditetapkan sebagai anak yang telah
ada didalam kandungan, hal ini dapat di indikasikan dengan anak dalam
kandungan dilahirkan pada masa-masa yang diyakini sebagai masa
kehamilannya, yakni paling sedikitnya adalah 6 bulan, dan paling
lamanya adalah 5 (lima) tahun, atau 4 tahun (menurut kelompok
Syafi’iyah dan Hambaliyah), atau 2 (dua) tahun (menurut kelompok
Hanafiyah), ataupun 9 (sembilan) bulan(menurut kelompok
Dzahiriyah).
2. Anak dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup
meskipun dalam waktu sebentar. Dalam hal ini, imam Hanafi
berpendapat bahwa ketika anak didalam kandunan dilahirkan lebih
banyak anggota tubuhnya dalam keadaan hidup maka sudah
mencukupi, sebab hukum aktsar sama halnya dengan hukum
keseluruhan, seperti ketika anak didalam kandungan dilahirkan dalam
keadaan hidup dari bagian kepala hingga dadanya atau dari kaki hingga
pusarnya saja. Namun menurut jumhur ulama’ anak dalam kandungan
untuk memperoleh harta waris harus dilahirkan dalam keadaan hidup
keseluruhan, sebab kebenaran terhadap keberadaan anak dalam

11
Ibnu Manżūr al-Ifrīqī, Lisān al-„Arab..., Jilid III, h. 331- 332.
12
Maṣur bin Yusuf al-Bahūtī, Kasyāf al-Qinā‟,..Jilid IV, h. 461
7

kandungan tidak akan terbukti kecuali dengan kelahirannya secara


keseluruhan anggota badannya.5
C. Banci Atau Khunsa Musykil
1. Pengertian Khunsa Musykil
Secara etimologi khunṡa adalah al-takassur (terpecah) dan al-
tasanni (mendua). Sedangkan secara terminologi khunṡa adalah orang
yang memiliki kelamin laki-laki dan kelamin perempuan sekaligus, atau
tidak memiliki kedua-duanya sama sekali, hanya memiliki lubang untuk
kencing.
Khunṡa musykil adalah orang yang keadaannya sulit ditentukan,
tidak tampak pada dirinya ciri-ciri seorang laki-laki atau perempuan,
atau ciri-ciri yang dimiliki berlawanan dengan ciri umum seorang laki-
laki dan perempuan, misalnya jenggot dan payudara. Dengan demikian,
statusnya menjadi tidak jelas apakah ia seorang laki-laki atau
perempuan.
2. Status Hukum Khunsa Musykil
a. H Asy Sya’bi r.a pernah ditanya tentang seorang bayi yang lahir
bukan laki-laki dan bukan perempuan, bayi itu tidak memiliki
kelamin laki-laki atau perempuan. Dari pusarnya keluar sesuatu
seperti urine kental. Ammir Asy Syabi‟ lalu ditanya tentang hak
waris bayi itu, ia pun menjawab bahwa hak warisnya adalah
setengah bagian laki-laki dan setengah bagian perempuan. Berarti
Khunsa Musykil memperoleh bagian setengah bagian perempuan dan
setengah bagian laki-laki.1331
b. Khunsa Musykil memperoleh bagian yang paling sedikit, maksudnya
dengan menghitung bagian warisan menurut furudh dua kali, yang
pertama memposisikan si Khunsa sebagai laki-laki dan yang kedua
memposisikannya sebagai perempuan. Dari kedua penghitungan ini
dicari yang lebih sedikit, itulah yang diberikan kepada si khunsa.

13
Muhammad Thaha Abdul Eka Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari‟at
Islam, Tiga Serangkai, Solo, h. 592
8

c. Jika di dalam salah satu penghitungan waris seorang Khunsa


Musykil haknya berkurang, gugur, mengurangi bagian ahli waris
lain, atau hak waris para ahli waris lain gugur, harta warisan yang
akan dibagikan ditunda terlebih dahulu, sampai jelas kelamin si
Khunsa atau seluruh ahli waris berdamai. Pendapat ini menurt
pengikut Syafi’i.
Ada tiga pendapat yang berkaitan dengan status hukum Khunsa
Musykil:
a. Memperoleh bagian yang paling sedikit dari dua macam
penghitungan.
b. Memperoleh setengah bagian dari hasil kedua penghitungan
(setengah laki-laki dan setengah perempuan).
c. Penghentian pembagian warisan jika ada mudarat yang disebabkan
oleh si banci, sampai jelas kelaminnya atau dia berdamai dengan
ahli waris.
3. Bagian Warisan Khunsa Musykil
a. Tidak ada perbedaan bagian yang diterima si Khunsa, baik sebagai
laki-laki maupun perempuan, sebagaimana bagian para ahli waris
lain juga tidak berubah.
b. Ada perbedaan bagian yang diterima Khunsa antara dirinya sebagai
laki-laki dan perempuan, sebagaimana bagian para ahli waris lain
juga berubah.
c. Ada perbedaan bagian yang diterima si Khunsa antara dirinya
sebagai laki-laki dan perempuan, tetapi bagian para ahli waris lain
tidak berubah.
d. Tidak ada perbedaan bagian yang diterima Khunsa, baik sebagai
laki-laki maupun perempuan, tetapi ada perubahan bagian para ahli
waris lain.

D. Orang Meninggal dalam Waktu Bersamaan


Masalah kewarisan orang yang mati bersama dapat diartikan bahwa
beberapa orang yang memiliki hubungan kewarisan satu sama lain, baik
9

karena sebab pernikahan maupun hubungan nasab yang mengalami


kecelakaan bersama. Pada satu waktu atau tempat yang sama sebelum
meninggal mereka bersama, dan pada saat meninggal tidak ada yang bisa
memastikan siapa yang terlebih dahulu meninggal, atau tidak dapat
diketahui waktu meninggal keduanya atau salah satunya, maka hal ini
dihukumi sebagai mati bersama.
Seperti pada kasus kecelakaan mobil yang mengakibatkan suami dan
istri meninggal dunia, pada saat yang bersamaan, pada tempat yang sama
dan tujuan yang sama sebelum kematian. Pada saat terjadi kematian tidak
ada seorangpun yang dapat memastikan lebih dulu suami atau istri, tidak
diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian, sehingga kasus
seperti ini dihukumi sebagai mati bersama. Problematikanya yakni siapa
yang menjadi pewaris serta siapa yang menjadi ahli warisnya. 14
Dampak hukum yang timbul dari masalah mati bersama adalalah tidak
saling waris mewarisi satu sama lain. Hal ini dimaksudkan menghindari
kemungkinan kesalahan dalam menetapkan waktu kematian, sehingga
akan lebih mudah jika tidak dapat dipastikan kapan meninggalnya maka
lebih baik dihukumi sebagai mati bersama. Dalam kewarisan normal,
seseorang yang mati lebih dulu akan menjadi pewaris, sedangkan orang
yang mati lebih akhir adalah ahli waris dari orang mati lebih dulu. Apabila
kedudukan antara pewaris dan ahli waris ini di balik, maka sudah pasti
tidak akan menemukan kecocokan lagi dengan sistem kewarisan Islam,
seumpama seseorang yang seharusnya menjadi pewaris kemudian
dihukumi sebagai ahli waris, hal ini jelas keliru dan tidak sesuai. Maka
untuk menghindari terjadinya hal tersebut, jumhur ulama menyepakati
dalam kasus seperti ini untuk dihukumi sebagai mati bersama. Karena
dampak hukumnya jelas, yakni tidak saling mewaris antara keduanya.

14
Fariani, “Problematika Pembagian Harta Warisan Pasca Tsunami Di
Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat,” Jurnal Ilmiah Islam Futura, 14.1
(2014), h.97 .

Anda mungkin juga menyukai