Anda di halaman 1dari 33

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG AUL DAN RADD

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kewarisan


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda
Oleh:

FARAH MAHDIAH NIM: 2320400023

MUHAMMAD NARTO NIM: 2320400036

Dosen Pengampu:

Dr. H. Akhmad Haries, S.Ag., M.S.I.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA

2024

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ketentuan atau peraturan peralihan harta dari orang yang meninggal kepada
orang-orang yang ditinggalkan, oleh para fuqaha>’ dinamai H{ukum al-Mi>ra>th, ‘Ilm al-
Fara>’id{, dan atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah hukum waris Islam. 1 Hukum
waris Islam yang dalam istilah peneliti Barat dikenal dengan nama Islamic law of
inheritance, adalah hukum Islam yang mengatur perpindahan kepemilikan harta kepada
sanak keluarga yang masih hidup dari salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia,
dan ketentuan mengenai pembagian hartanya kepada orang yang berhak secara adil, hak-
hak tirkah sebelum dibagikan, serta kelompok ahli waris dan bagian mereka.2
Proses pembagian harta, dalam hukum waris dalam Islam tidak hanya
ditentukkan ahli waris dan bagian yang diterima, akan tetapi juga diatur dan dijelaskan
cara penyelesaian pembagian harta tersebut. Oleh karena demikian, dalam hukum waris
Islam terdapat kaidah-kaidah yang dianggap sepele, namun merupakan ketentuan penting
ketika dihadapkan dengan persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan konsep biasa.
Dalam penyelesaian pembagian harta warisan, terkadang jumlah bagian (al-
siha>m) yang akan diperoleh para ahli waris sama besar dengan harta yang dibagikan,
yang dikenal dengan masalah ‘a>dilah. Selain itu, apabila dalam pembagian harta ada
sebagian ahli waris tidak dapat memperoleh bagian karena sudah habis diambil oleh
bagian ahli waris lain, disebut dengan masalah „ a>’ilah. Masalah tersebut menurut Jumhur
fuqaha>’ dapat diselesaikan dengan konsep „awl. Kemudian, apabila keadaannya masih
terdapat sisa harta, setelah harta warisan diberikan kepada ahli waris, maka dikenal
dengan masalah na>qis}ah, dan dapat diselesaikan dengan konsep radd. Dengan demikian,
dalam bab ini akan dijelaskan perihal perhitungan harta warisan dengan konsep „awl dan
radd, yang berisikan uraian mengenai gambaran konsep tersebut menurut fuqaha>’,

1
David S. Powers, Studies in Qur‟an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance
(Berkeley: University of California Press, 1986), 236.
2
H}usni>n Muh}ammad Makhlu@f, al-Mawa>ri>th fi al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah (Beirut:Da@r al-Kita@b, t.t), 8.

2
sejarah dan penyelesaian pembagian harta warisan dengan menggunakan konsep „awl dan
radd.3

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Perbedaan Pendapat tentang Aul dan Radd?

C. Tujuan Penulisan
Agar dapat mengetahui perbedaan pendapat tentang Aul Radd.

3
Hafidz Taqiyuddin, ArgmentasiKeadilan dalamKonsep Awl dan Radd, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah,
2014). 47.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. AUL4
1. Pengertian Aul
Istilah „aul dalam defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta waris
dari yang telah ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli
waris (ashabul furud). Keadaan seperti ini terjadi disaat dalam pembagiannya bagian
ashabul furudh makin banyak sehingga harta yang dibagikan habis sedangkan
diantara mereka ahli waris (ashabul furudh) belum semua menerima pembagian
warisannya. Maka jalan keluarnya adalah ditambahkan jumlah asal masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat dibagi secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris
(ashabul furudh) yang tentunya menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris
menjadi berkurang.5
Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada bab IV Pasal 192 yang
menyatakan bahwa:
“apabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan sesudah itu harta warisan
dibagi secara Aul menurut angka pembilang”.
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna
azh-zhulm (aniaya)6 dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." QS.
An-nisa (4: 3).
Al-'aul juga dapat dimaknai 'naik' atau 'melimpah' dan 'bertambah'. Dapat
dicontohkan jika seorang suami yang seharusnya menerima setengah (1/2) bisa
berubah menjadi sepertiga (1/3) karena keadaan khusus atau karena keadaan
tertentu saja. Jika asal masalah yang tadinya enam (6) dapat dinaikkan menjadi

4
Huliya Syahendra, “Aul dalam Teori dan Praktek Hukum Waris Islam”, dalam Jurnal Hukum Replik,
Vol.6, No.1, Maret 2018. 99.
5
Ahmad Saebani dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2011,
234.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, 502.

4
sembilan (9). Maka karena asal masalahnya dinaikkan menjadi Sembilan (9) yang
seharusnya seorang suami mendapat setengan (1/2) bagian atau tigaperenam (3/6)
menjadi mendapat tigapersembilan (3/9) atau sepertiga (1/3) bagian. Begitu pula
berlaku hal yang sama untuk ahli waris (ashabul furudh) lainnya.7

2. Latar Belakang Terjadinya Aul


Sebelumnya pada awal-awal turun risalah Islam hingga pada masa pemerintahan
kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. perkara 'aul atau adanya penambahan asal
masalah dalam masalah waris tidak pernah terjadi. Kasus 'aul untuk pertama kali
terjadi pada masa pemerintahan ke khalifahan kedua yaitu khalifah Umar bin Khattab
r.a. beliau sendiri sebagai pemecah masalah tersebut.
Dalam perkara pertama kali terjadi tersebut seorang wanita wafat dan
meninggalkan ahli warisnya (ashabul furudh) yaitu suami dan dua orang saudara
kandung perempuan. Jika melihat dari pembagian (furudhul muqoddaroh) dalam
ilmu faraid maka bagian suami setengah (1/2) bagian, sedangkan bagian dua saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3). Jika pembagian harta mengikuti cara yang
biasa seperti tersebut maka pembagian warisnya telah melebihi nominal pembagian
yang diterima ahli waris (ashabul furudh). Dalam keadaan begini suami sebagai ahli
waris istrinya menuntut haknya untuk dapat diberikan haknya setengah (1/2)
begitupun dua orang saudara kandung perempuan tetap meminta duapertiga (2/3)
bagian karena juga merupakan haknya.
Khalifah Umar bin Khattab r.a belum bisa langsung memberikan jawaban atas
ahli waris siapa diantara mereka yang di dahulukan. Jika Umar mendahulukan hak
suami,maka tentu pembagian untuk saudara kandung perempuan akan menjadi
berkurang dan begitu juga sebaliknya maka hak suami yang akan berkurang jika
didahulukan hak saudara kandung perempuan. Atas dasar permasalahan tersebut
Umar mengundang seluruh para sahabat untk dapat memberikan pemahaman
agamanya untuk memutus suatu perkara yang belum pernah terjadi sebelumnya pada
masa rasulullah masih hidup.8

7
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996, 110.
8
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013, 47.

5
Maka atas usulan sahabat yaitu Zaid bin Tsabit, Umar menambahkan hak para
ahli waris (ashhabul furudh). Selanjutnya atas penerapan „aul (penambahan)
tersebut disepakatilah dan menjadi hukum sebagai keputusan yang disepakati seluruh
sahabat Nabi saw yang pemberlakuannya hingga saat ini digunakan.

3. Cara Mengaulkan atau Menaikkan Asal Masalah


Di dalam ilmu waris Islam atau ilmu fara‟id dikenal asal masalah keseluruhannya
ada tujuh (7) bentuk asal masalah sebagai berikut:

Asal masalah yang dapat di „aul kan adalah:9

a. Asal masalah dari enam (6) merupakan asal masalah yang hanya dapat di 'aul
sebanyak empat kali saja yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau
sepuluh.
b. Asal masalah dari dua belas (12) merupakan asal masalah hanya di „aul kan atau
dinaikkan sebanyak tiga kali untuk angka ganjil saja di dinaikkan ke tiga belas
(13), lima belas (15) dan tujuh belas (17).
c. Asal masalah dari dua puluh empat (24). Merupakan asal masalah yang hanya
dapat di 'aul kan satu kali saja kepada dua puluh tujuh (27). Masalah ini dikenal
dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".

Mari kita lihat contoh-contoh sebagaimana dimaksud asal masalah yang dapat
di „aul kan dalam contoh sebagai berikut:
a. Contoh asal masalah dari enam (6).
1) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu ibu, ayah, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut: asal masalahnya dari enam (6) jadi hak
bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu (1) bagian, bagian ayah seperenam
(1/6) berarti satu (1) bagian, bagian anak perempuan setengah (1/2) atau tiga
per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) atau duapertiga (2/3) berarti satu
(1) bagian. Dalam contoh ini tidak perlu di „aul kan dikarenakan jumlah

9
Hasbi Ashshiddiqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, Cet.I, 215.

6
harta atau bagiannya diterima sesuai jumlah kepala ahli waris ashabul
furudh). Lihat tabel berikut:

2) Asal masalah dari enam (6).


b. NASHHAB FURUDH SAHAM
o
1 Ayah 1/6 1
2 Ibu 1/6 1
3 Anak perempuan 1/2 (3/6) 3
4 Cucu perempuan dari anak 1/6 (2/3) 1
laki-laki
Jumlah 6

Mari kita coba buat contoh harta peninggalan warisnya Rp. 10.000.000
makapembagiannya sebagai berikut:
Asal Masalah dari enam (6) yang tidak membutuhkan „aul.

No ASHHAB FURUDH
1 Ayah 1/6 x 1 = 1/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.666.666
2 Ibu 1/6 x 1 = 1/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.666.666
3 Anak perempuan 1/2 x 3 = 3/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.
5.000.000
4 Cucu perempuan dari 1/6 x 1 = 1/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.666.666
anak laki-laki
Jumlah = Rp. 10.000.000

Contoh di atas tidak perlu untuk di „aul kan karena antara harta yang
dibagikan sudah sesuai dengan porsi bagian yang diterima oleh semua ahli
waris.
3) Seorang wafat dan meninggalkan ahli waris yaitu suami, saudara kandung

7
perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: asal masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti
tiga (3) bagian, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti
tiga (3) bagian, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6)
berarti satu (1) bagian. Dalam contoh berikut keadaan jumlah
pembagian lebih besar melebihi asal masalah, karenanya asal masalah enam
(6) harus di „aul kana atau dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan cara
begitulah menjadikan cocok pembagiannya dengan asal masalahnya. Lihat
tabel berikut:

Asal masalah dari enam (6) yang di „aul kan ke tujuh (7).

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Suami 1/2 3
2 Sdr kandung perempuan 1/2 3
3 Sdr perempuan seibu 1/6 1
Jumlah 7

Jika dibuat contoh harta peninggal warisnya Rp.


10.000.000 makapembagiannya sebagai berikut:

Sebelum di „aul kan:

No ASHHAB FURUDH
1 Suami 1/2 x 3 = 3/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.5.000.000
2 Sdr Kandung 1/2 x 3 = 3/6 x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000
perempuan
3 Sdr perempuan seibu 1/6 x 1 = 1/6 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.666.666
Jumlah= Rp.11.666.666

Pembagian diatas terlihat janggal karena bagian harta yang harus


dibagikan melebehi harta waris yang dititnggalkan oleh karenanya

8
sudah seharusnya dalam hal ini asal masalahnya dari enam (6) di „aul
kan menjadi tujuh (7) maka hasilnya akan sesuai dengan jumlah harta
waris yang dibagikan kepada semua ahli warisnya. Lihat tabel berikut:

Setelah diaulkan dari asal masalah enam (6) ke asal maslah (7):

No ASHHAB FURUDH
1 Suami 1/2 x 3 = 3/7 x Rp. 10.000.000 = Rp.4.285.714
2 Sdr Kandung 1/2 x 3 = 3/7 x Rp. 10.000.000 = Rp 4.285.714
perempuan
3 Sdr perempuan seibu 1/6 x 1 = 1/7 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.428.572
Jumlah = Rp. 10.000.000

Demikian contoh diatas jika dibuat harta peninggalan nya Rp.


10.000.000 dan untuk contoh-contoh selanjutnya untuk di „aulkan atau
asal masalahnya dari enam (6) dinaikan ke delapan (8), ke Sembilan (9)
dan kesepuluh (10) sama saja dengan contoh diatas tinggal mengikuti
cara yang sudah ditentukan.

4) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu suami, ibu, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya
seperti berikut: asal masalahnya dari enam (6). maka bagian suami setengah
(1/2) berarti tiga (3) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu (1) bagian,
saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga (3) bagian,
sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu (1) bagian.
Jika dala keadaan demikian jumlah pebagiannya telah melebihi jumlah asal
masalah, yaitu jumlah pembagiannya delapan (8) sedangkan asal masalah
dari enam (6). Oleh karena itu, asal masalah enam (6) di „aul kan atau
dinaikkan menjadi delapan (8). Permasalahan demikian ini dikenal dengan
istilah al- mubahalah. Lihat tabel berikut:

9
Asal masalah dari enam (6) yang di „aul kan ke delapan (8).

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Suami 1/2 3
2 Ibu 1/6 1
3 Sdr kandung perempuan 1/2 3
4 Sdr perempuan seibu 1/6 1
Jumlah 8

5) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu seorang suami, dua
orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu.
Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga (3) bagian. Sedangkan bagian dua saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, dan bagian
dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua (2) bagian. Dalam
seperti ini jumlah pembagian yang ada melebihi asal masalahnya, maka
sudah seharusnya asal masalahnya dari enam (6) di 'aul kan menjadi
sembilan (9), agar jumlah pembagian sesuai dengan asal masalahnya.
permasalahan ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah. Lihat tabel
berikut:
Asal masalah dari enam (6) yang di „aul kan ke sembilan (9).

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Suami 1/2 3
2 2 Sdr kandung perempuan 2/3 4
3 2 Sdr laki-laki seibu 1/3 2
Jumlah 9

10
6) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu suami, ibu, dua orang
saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut: adapun asal masalahnya enam (6). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga (3) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti
satu bagian, bagian dua orang saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)
berarti empat (4) bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) berarti dua (2) bagian.
Dalam contoh dibawah ini jumlah pembagiannya sepuluh (10) telah
melebihi asal masalahnya, yaitu enam (6). Maka harus di „aul kan atau
dinaikkan asal masalahnya yang semula enam (6) menjadi sepuluh. Masalah
ini dikenaldengan istilah syuraihiyah. Lihat tabel berikut:
Asal masalah dari enam (6) yang di „aul kan ke sepuluh (10)

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Suami 1/2 3
2 Ibu 1/6 1
3 2 Sdr perempuan seayah 2/3 4
4 2 Sdr perempuan seibu 1/3 2
Jumlah 10

b. Contoh asal masalah dari dua belas (12).


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa asal masalah dua belas (12) hanya
dapat di 'aul kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau
tujuh belas (17). Berikut contoh-contohnya

1) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu istri, ibu, dan dua orang
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: asal
masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga (3)
bagian, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua (2) bagian, sedangkan bagian
dua orang saudara perempuan kandung duapertiga (2/3) berarti delapan (8)
bagian.

Dapat diperhatikan contoh ini jumlah pembagiannya sebanyak tigabelas


(13) telah melebihi asal masalahnya duabelas (12). Oleh karenanya harus di

11
„aul kan atau dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga pembagiannya akan
sesuai dengan jumlah asal masalah. Lihat tabel berikut:

Asal masalah dari dua belas (12) yang di „aul kan ke tiga belas (13).

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Istri 1/4 3
2 Ibu 1/6 2
3 2 Sdr perempuan kandung 2/3 8
Jumlah 13

Sama dengan contoh sebelumnya diatas yang jika harta peninggalan


warisnyaRp. 10.000.000 dapat dilakukan pembagiannya sebagai berikut:
Sebelum di „aul kan:
No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/4 x 3 = 3/12 x Rp. 10.000.000 = Rp.2.500.000
2 Ibu 1/6 x 2 = 2/12 x Rp. 10.000.000 = Rp.
1.666.666,66669
3 2 Sdr perempuan kandung 2/3 x 4 = 8/12 x Rp. 10.000.000 =
Rp.6.666.666,66669
Jumlah = Rp. 10.833.333,3333

Pembagian diatas memang tidak sesuai bagian harta yang harus


dibagikan melebihi nilai yang harus dibagikan kepada semua ahli waris
oleh karenanya sebagaiamana contoh-contoh yang sudah ada dalam hal
ini asal masalahnya dari dua belas (12) harus di „aul kan menjadi tiga
belas (13). Lihat tabel berikut:
Setelah di aul kan dari asal masalah dua belas (12) ke asal masalah (13).

No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/4 x 3 = 3/13 x Rp. 10.000.000 = Rp.2.307.693
2 Ibu 1/6 x 2 = 2/13 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.538.461

12
3 2 Sdr perempuan kandung 2/3 x 4 = 8/13 x Rp. 10.000.000 = Rp.6.153.846
Jumlah = Rp. 10.000.000

Demikian contoh diatas dan untuk contoh selanjutnya untuk di „aul kan
kepada lima belas (15) dan tujuh belas (17) dengan nilai harta
warisnya Rp. 10.000.000 disesuaikan saja mengikuti cara yang sudah
ditentukan.
2) Seseorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu seorang istri, ibu,
seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah,
dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: asal masalahnya dua belas (12). Maka bagian istri seperempat (1/4)
berarti tiga (3) bagian, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua (2) bagian,
saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam (6)
bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua pertiga (2/3) berarti dua (2) bagian, dan bagian saudara
perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua (2) bagian. Ada
perbedaan jumlah bagian menjadi limabelas (15) melebihi asal masalahnya
duabelas (12), maka asal masalahnya dari duabelas (12) di 'aul kan menjadi
lima belas (15). Lihat tabel berikut:
Asal masalah duabelas (12) yang di „aul kan ke lima belas (15)

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Istri 1/4 3
2 Ibu 1/6 2
3 Sdr perempuan kandung 1/2 6
4 Sdr perempuan seayah 1/6 2
(2/3)
5 Sdr perempuan seibu 1/6 2
Jumlah 15

3) Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya tiga orang istri, dua orang
nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara

13
perempuan seibu. Maka pembagiannya dengan asal masalahnya dua belas
(12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga (3)
bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti
dua (2) bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)
berarti delapan (8) bagian, dan terakhir bagian keempat saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat (4) bagian.
Pembagian diatas kepada jumlah bagian ahli waris (ashhabul furudh)
telah melampaui asal masalahnya dengan jumlah tujuh belas (17)
berbanding dua belas (12). Sebagaimana biasanya asal masalahnya di 'aul
kan atau di naikkan dari dua belas (12) menjadi tujuh belas (17). Lihat tabel
berikut:
Asal masalah dua belas (12) yang di „aul kan ke tiga belas (13)

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 3 Istri 1/4 3
2 2 Nenek 1/6 2
3 8 Sdr perempuan seayah 2/3 8
4 4 Sdr perempuan seibu 1/3 4
Jumlah 17

c. Contoh asal masalah dari dua puluh empat empat (24).


Bahwa untuk asal masalah ini khusus hanya bisa di „aul kan menjadi
angka dua puluh tujuh (27) saja. Permasalahan adalah masalah khusus juga yang
dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Dinamakan al-mimbariyah karena
diputuskannya perkara ini diatas mimbar (podium) oleh Ali bin Abi Thalib pada
saat berceramah sejak saat itu permasalahan ini disebut masalah al-mimbariyah .
CONTOH.:
Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu seorang istri, ayah,
ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Asal
masalahnya dari dua puluh empat (24) maka pembagiannya adalah sebagai
berikut: Istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga (3) bagian, ayah mendapat
seperenam (1/6) berarti empat (4) bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti
14
empat (4) bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas (12)
bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian.

Dapat dilihat dalam pembagiannya dari contoh ini akan tampak sangat
jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ahli waris
(ashhabul furudh) melebihi jumlah asal masalahnya. Seperti contoh-contoh yang
sudah maka disinipun juga harus di „aul kan asal masalahnya menjadi dua puluh
tujuh (27) dan setelah itu dapat kita pastikan pembagian harta nya akan sama
sesuai dengan asal masalahnya. Lihat tabel berikut:
Asal masalah dari dua puluh empat (24).

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Istri 1/8 3
2 Ayah 1/6 4
3 Ibu 1/6 4
4 Anak perempuan 1/2 12
5 Cucu perempuan dari 1/6 (2/3) 4
anak laki-laki
Jumlah 27

Maka jika ingin kita buat contoh dengan nilai harta peninggalan sebesar Rp.
10.000.000 berikut kita uraikan hak masing-masing ahli warisnya.
Sebelum di „aul kan:

No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/8 x 3 = 3 / 24 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.250.000
2 Ayah 1/6 x 4 = 4 / 24 x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.666.666
3 Ibu 1/6 x 4 = 4 / 24 x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.666.666
4 Anak perempuan 1/2 x 12 = 12/24 x Rp. 10.000.000 = Rp 5.000.000
5 Cucu perempuan 1/6 x 4 = 4 / 24 x Rp. 10.000.000 = Rp 1.666.666
dari anak laki-laki
Jumlah = Rp. 11.250.000

15
Contoh diatas akan terlihat ahli waris menerima pembagian tidak sesuai
bagian harta yang harus dibagikan terlalu banyak melebihi nilai yang harus
diterima semua ahli waris makasama dengan contoh-contoh sebelumnya dalam
hal ini asal masalahnya dari dua puluh empat (24) harus di „aul kana tau di
naikkan menjadi dua puluh tujuh (27). Lihat tabel berikut:

Setelah di aul kan dari asal masalah dua puluh empat (24) ke asal
masalahdua puluh tujuh (27).

No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/8 x 3 = 3/27 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.111.111
2 Ayah 1/6 x 4 = 4/27 x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.481.481
3 Ibu 1/6 x 4= 4/27 x Rp. 10.000.000 = Rp.1.481.481
4 Anak perempuan 1/2 x 12 = 12/27 x Rp.10.000.000 = Rp4.444.444
5 Cucu perempuan dari 1/6 x 4 = 4/27 x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.481.481
anak laki-laki
Jumlah = Rp. 10.000.000

Sedangkan asal masalah yang tidak dapat di 'aul kan ada empat adalah:
1) Asal masalah dari dua (2).
Bahwa jika terdapat ahli waris mendapatkan bagian setengah (1/2) atau
dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian
setengah (1/2) dari harta waris atau ada hali waris yang mendapatkan sisanya
setengah (1/2) maka asal masalahnya dari dua (2) maka dalam keadaan ini
tidak dapat di'aul kan.
Contoh asal masalah dari dua (2).
Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya (ashabul furudh) yaitu
suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
sebagai berikut: asal masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah (1/2)
berarti satu bagian, dan bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2)
berarti mendapat satu (1) bagian. Lihat tabel:
No ASHHAB FURUDH SAHAM
1 Suami 1/2 1

16
No ASHHAB FURUDH
1 Suami 1/2 x 1 = 1/2 x Rp. 10.000.000 = Rp.5.000.000
2 Sdr Kandung perempuan 1/2 x 1 = 1/2 x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000
Jumlah = Rp. 10.000.000
2 Sdr kandung perempuan 1/2 1
Jumlah 2

Jika kita mencoba membuat contoh yang asal masalahnya dari dua (2)
pembagian waris dengan nilai harta warisannya Rp. 10.000.000 maka
pembagiannya sebagai berikut:

2) Asal masalah dari tiga (3).

Pembagian ahli waris yang di dalamnya terdapat ahli waris mendapat


bagian sepertiga (1/3) dan ahli waris lainnya sisanya atau ada dua orang ahli
waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua
per tiga (2/3) maka asal masalahnya dari tiga (3) demikian ini juga tidak perlu
di'aul kan.

Contoh asal masalah dari tiga (3).

Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu ayah dan ibu.
Pembagiannya seperti ini asal masalah dari tiga (3) maka ibu mendapat
sepertiga (1/3) jadi menerima satu (1) bagian, dan sisanya menjadi bagian
ayah dua (2) bagian.

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Ayah „ashobah 2
2 Ibu 1/3 1
Jumlah 3

Hal yang sama juga dapat kita contohkan yang asal masalahnya dari tiga
(3) pembagian waris dengan nilai harta warisannya Rp. 10.000.000 maka
pembagiannya sebagai berikut:

17
No ASHHAB FURUDH
1 Ayah „ashobah = Rp. 6.666.666
2 Ibu 1/3 x 1 = 1/3 x Rp. 10.000.000 = Rp. 3.333.333
Jumlah = Rp. 10.000.000

3) Asal masalah dari empat (4).


Pembagian waris di dalamnya terdapat ahli waris bagian seperempat (1/4)
dan yang lain sisanya, atau jika ada dua ahli waris bagian masing-masing yang
satu seperempat (1/4) dan yang satunya lagi mendapat setengah (1/2), jadi
asal masalahnya dari empat (4) demikian juga hal seperti ini tidak
membutuhkan 'aul.
Contoh asal masalah dari empat (4).
Seorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu istri, saudara
kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
seperti berikut: asal masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4)
berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara
saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan
ketentuan bagianlaki-laki dua kali bagian perempuan.

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Istri 1/4 1
2 Sdr kandung laki-laki
„ashobah (3/4) 3
3 Sdr kandung perempuan
Jumlah 4

Jika di buat contoh dengan harta warisan Rp. 10.000.000 maka


pembagiannya sebagaimana berikut:
No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/4 x 1 = 1/4 x Rp. 10.000.000 = 2.500.000
2 Sdr kandung laki-laki
„ashobah 3/4 x 1 = 3/4 x Rp. 10.000.000 = 7.500.000
3 Sdr kandung perempuan
Jumlah = Rp. 10.000.000

18
4) Asal masalah dari delapan (8).

Dan terakhir dalam keadaan pembagian ahli waris bagian seperdelapan


(1/8) dan yang lain sisanya, atau jika terdapat dua orang ahli waris yang
satunya mendapat seperdelapan (1/8) dan satunya lagi mendapat setengah
(1/2) maka asal masalahnya dari delapan (8) demikian ini juga tidak perlu di
'aul kan

Contoh asal masalah dari delapan (8).

Seseorang wafat dan meninggalkan ahli warisnya yaitu seorang istri, anak
perempuan, dan saudara kandung perempuan. Dari asal masalah delapan (8)
jadi pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu
bagian, anak perempuan setengah (1/2) berarti empat (4) bagian, sedangkan
saudara kandung perempuan menerima tigaperdelapan (3/8) sebagai „ashobah.

No ASHHAB FURUDH SAHAM


1 Istri 1/8 1
2 Anak perempuan 1/2 4
3 Sdr kandung perempuan „ashobah (3/8) 3
Jumlah 8

Dan yang terakhir asal masalah dari delapan dengan harta warisan Rp.
10.000.000 maka pembagiannya seperti berikut:
No ASHHAB FURUDH
1 Istri 1/8 x 1 = 1/8 x Rp.10.000.000 = Rp. 1.250.000
2 Anak perempuan 1/2 x 4 = 4/8 x Rp.10.000.000 = Rp. 5.000.000
3 Sdr kandung perempuan „ashobah 3/8 x 1 = 3/8 x 10.000.000 =Rp.3.750.000
Jumlah = Rp. 10.000.000

Empat contoh diatas yang terdiri dari asal masalah dua (2), tiga (3), empat

19
(4) dan delapan (8) secara sederhana bisa dipahami semuanya tidak dapat
di 'aul kan, dikarenakan asal masalah tersebut sesuai dan tepat dengan
pembagian harta warisan dengan penerima warisannya (ashhabul furudh).

B. RADD
1. Pengertian Radd
Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-
Kahfi ayat 64 yaitu :

‫صص ًۙا‬ ٰ ٰٓ ٰ َ ِ‫قَا َل ٰذل‬


ِ َ‫ك َما ُكنَّا نَب ِۖ ِْغ فَارْ تَ َّدا عَلى اث‬
َ َ‫ار ِه َما ق‬

Dia (Musa) berkata, “Itulah yang kita cari.” Lalu keduanya kembali dan
menyusuri jejak mereka semula.10

Menurut istilah radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya


jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih
kecil daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul, aul pada
dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah
diadakan pembagian.11

Radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat
sebagai berikut :12
1. Adanya ashhabulfurudh
2. Tidak adanya ashabah
3. Ada sisa harta waris

Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâbl
al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima
radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah
atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau akan
menjadi ashabah dan berhak mengambil seluruh sisa harta warisan.

10
Kementrian Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemahnya, edisi revisi (Jakarta : Pustaka. Adhi abadi
indonesia, 2011), 576.
11
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Ed. 2,
Cet. 4, 2013), 165.
12
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 4, 2019), 216.

20
Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa harta, karena
kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkan hubungan
sababiyah, yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus karena
kematian. Sejalan dengan itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali
Ash Shabuni dengan memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena
adanya hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan
hukum dan bukan karena hubungan rahim.13

Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama yang
mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil bagiannya dan tidak
ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul mal. Kelompok kedua yang
mengatakan bahwa harta dikembalikan kepada ashabul furud selain suami istri
sesuai dengan presentase bagian-bagian mereka. Ahli waris yang berhak mendapat
radd yaitu semua ashhabul furudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak
berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya
ikatan tali pernikahan.

Ashhabul furudh yang berhak menerima radd hanya delapan orang yaitu anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan,
saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara
perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila
dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin
ada radd karena keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.

Contoh radd: Pak Romi adalah seorang pemborong sawah. Ia mempunyai


seorang istri dan seorang anak laki-laki. Istri meninggal sebulan yang lalu karena
terkena serangan jantung. Sehingga Pak Romi kehilangan istri yang dicintainya.

Akhir-akhir ini kesehatan pak Romi mengalami penurunan akibat penyakit


paru-paru yang dideritanya. Rokok yang merupakan sesuatu yang digandrungi pak
Romi telah merenggut nyawanya tahun ini. Pak Romi meninggalkan, seorang anak
laki-laki, dan empat orang cucu perempuan dari anak perempuan, selain itu pak romi

13
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 1. 2004), 107.

21
tergolong jutawan meninggalkan ahli waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-

1. Kedudukan dan Posisi Ahli Waris

a. Ashabul Furudh

b. Dzawil Furudh Nasabiyah

2. Seorang anak perempuan (bagian 1/2 harta waris)14

Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa‟ ayat 11.

ْ َ‫َواِ ْن َكان‬
ۗ ُ‫ت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ ف‬

Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, dia memperoleh setengah (harta
15
yang ditinggalkan). Berdasarkan dalil aqli jika seorang suami istri hanya
memiliki seorang anak perempuan secara otomatis harta tersebut akan jatuh di
tangan anak perempuan tersebut. Akan tetapi Islam memberikan bagian bagi
anak perempuan tunggal sebesar ½ bagian.

3. Empat orang cucu perempuan (bagian 1/6 harta waris)16

Berdasarkan dalil aqli jelas bahwa cucu perempuan berhak mendapatkan 1/6
bagian harta waris karena mereka termasuk dzawil furudh nasabiyah.

4. Diagram Pohon Ahli Waris

Suami

Anak laki-
laki

14
Dian Khairul Umam, Fiqih mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2006), 56.
15
kementrian Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemahnya, edisi revisi (Jakarta : Pustaka. Adhi abadi indonesia,
2011), 144.
16
Dian Khairul Umam, Fiqih mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2006), 64.

22
Keterangan:

1) Pak Roni (pewaris)


2) Istri (mati)
3) Anak laki-laki ( ½ bagian)
4) Cucu perempuan (4 orang 1/6 bagian)

5. Penyelesaian kasus Melalui radd

Ahli Waris Fard Asal Masalah: 6, Penerimaannya (di-radd- kan)


sahamnya Penyebut jadi 4 (3+1)

Anak laki- ½ ½x6=3 ¾ x Rp. 6.000.000.000,- =


laki Rp.4.500.000.000,-

4 Cucu pr 1 1/6 x 6 = 1 ¼ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp.


Dari anak /6 1.500.000.000,-
laki laki

Sumber data : Dian Khairul Umam, Fiqih mawari.

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan


asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp.
2.000.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,-
sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Akan tetapi setelah di-radd-
kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris adalah sesuai
dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan mendapatkan Rp.
4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-

Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun


adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah
kepada mereka, sesuai dengan besar-kecilnya bagian masing-masing bila tidak
ada lagi orang lain yang berhak menerimanya. 17

17
Dian Khairul Umam, Fiqih mawaris,174.

23
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan
dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah
memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris mendapat bagian yang
semestinya. Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung
dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah mereka.
Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat diselesaikan dengan cara
yang mudah dalam tempo yang singkat.

Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan,


maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka
sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd.
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan
mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.

6. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.


Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli
waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan dari
anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan
jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah
atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.

7. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka
penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada
orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan
jumlah mereka.
Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.
Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan
kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok

24
masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti
satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi
secara rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang
tidak menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah
(sisa). Kemudian jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.
8. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan menjadi
dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri,
sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada suami/istri. Masing-
masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah dibandingkan dengan
salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan),
dan tabaayun (perbedaan).
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
a. Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan radd menjadi dari tiga (yakni dari
jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
b. Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang
tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat (1/4) berarti
memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek
dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara
bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka
tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi. Kemudian bila istri
mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga
bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah radd.
Karenanya tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan
ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

C. Sejarah dan Perkembangan Aul dan Radd


Mengkaji sejarah hukum Islam, dimulai dari masa sahabat Nabi Saw, kita akan
menemukan permasalahan yang dihadapi oleh para pakar hukum islam dalam
menyelesaikan kasus-kasus pembagian harta yang ditinggal mati. Misalnya kasus yang

25
terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khattab (581 - 644 M.)18. Suatu ketika datang
kepadanya seseorang yang mengajukan pertanyaan mengenai hukum membagi harta
warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami dan dua orang saudara perempuan.
Umar tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi melemparkan pertanyaan
tersebut kepada sahabat yang lain yang kebetulan berada dalam satu majelis. Kemudian
persoalan tersebut dijawab oleh Abbas, dengan memberikan sumbangan pemikiran yang
berisikan bahwa dalam kasus seperti ini harus dilakukan pembagian harta dengan cara
mengurangi bagian setiap ahli waris dimana pengurangan disesuaikan dengan proporsi
masing-masing. Penyelesaian perhitungan seperti ini kemudian dikenal dengan istilah
aul.
Pendapat Abbas ini disetujui oleh Umar dan sahabat Nabi yang lainnya.
Pemikiran mengenai aul adalah hasil dari metodologi yang istimewa dan penting pada
masa itu, pemikiran ini menekankan pada penempatan maksud dari hukum lebih
diutamakan daripada peraturan yang tertulis dalam ayat-ayat mengenai kewarisan.
Penggunakan konsep aul bisa terjadi, jika bagian yang diterima ahli waris melebihi asl
al-mas‟alah, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya masalah yakni
sebagian ahli waris tidak mendapatkan bagian yang seharusnya diterima. Misalnya,
seseorang mati meninggalkan beberapa ahli waris: suami, saudara perempuan sekandung,
ibu dan saudara perempuan sebapak.
Bagian suami adalah 1/2, saudara perempuan sekandung mendapat 1/2, ibu
mendapat 1/6, dan saudara perempuan sebapak memperoleh 1/6. Kemudian dari bagian-
bagian tersebut diperoleh asal masalah yakni 6. Dengan demikian, suami mendapat
bagian 3 bagian dari 6, saudara perempuan sekandung memperoleh 3 dari 6, ibu
mendapatkan satu bagian, dan saudara perempuan sebapakpun mendapat bagian satu dari
6. Jika dijumlahkan bagian-bagian tadi, jumlahnya menjadi 8, maka asal masalah tersebut
terjadi aul dari 6 menjadi 8. Hal tersebut dilakukan tidak lain agar sebagian ahli waris
tidak merasa dirugikan. Jika hal itu terjadi, maka konsep kasus dalam hukum waris Islam
akan hilang, karena ada sebagian ahli waris yang merasa dirugikan.

18
Fathurrahman dan addys aldizar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan Abadi
Publising, Cet. V, 2015), 77.

26
Dari uraian yang dijelaskan di atas, terdapat ungkapan bahwa asal masalah yang
tadinya 6 berubah menjadi 8. Hal seperti ini (terjadinya aul dari suatu masalah satu
menjadi masalah lain). Walaupun ketentuan aul ini disetujui oleh sebagian besar jumhur
sahabat, dan kemudian diikuti oleh jumhur fuqaha‟, aul dipermasalahkan oleh „Abdullah
bin„Abbas (619 - 687 M.), yang merupakan putera dari „Abbas. Singkatnya, ada dua
kelompok golongan yang berselisih tentang ketentuan aul dalam hukum waris Islam,
yaitu: Pertama, menurut kelompok ini, jika terjadi kekurangan harta pada waktu
pembagian harta warisan kepada ahli waris, maka harus dilakukan pengurangan bagian
yang didapat oleh setiap ahli waris. Pendapat mereka berdasarkan atas al-nass (al-Qur‟an
dan Hadith), ijma‟ dan qiyas19.
Kedua, Abdullah bin „Abbas mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan
ketentuan yang dikeluarkan oleh „Umar bin Khattab mengenai aul.20 Menurutnya, Umar
telah melakukan kesalahan dan tidak mengetahui siapa saja ahli waris yang harus
diutamakan. Selain itu menurutnya, Aul tdk akan terjadi jika dalam pembagian harta
warisan mendahulukan ahli waris yang didahulukan Allah dan mengahirkan ahli waris
yang seharusnya diakhirkan (ma qaddamahu Allah dan ma ta‟akharahu).
Adapun ahli waris yang didahulukan yaitu ahli waris yang bagiannya hanya
ditentukan oleh al-Qur‟an, yakni: suami, isteri, ibu. Sementara itu, ahli waris yang
seharusnya diakhirkan adalah ahli waris yg mendapatkan hak mewaris lebih dari satu
jalan, yakni: anak perempuan, para saudara (laki-laki dan perempuan).
Menurut ulama Zahiri dikutip oleh Amir Syarifuddin yang merupakan
pembanding dari kedua pendapat di atas, mengungkapkan bahwa, golongan pertama
sebenarnya telah melaksanakan ketentuan sesuai dengan zahir dari ayat- ayat waris.
Namun menurut mereka pula, bahwa bila ketentuan di atas tetap dilaksanakan ketika
keadaan genting (kekurangan harta yang dibagikan), maka akan timbul penyimpangan
dalam arti orang yang diberi hak terakhir tidak mendapat bagian sesuai dengan furud-nya

19
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam
Madzhab,(Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 2014), 111.
20
Muhammad Jawwad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Madhahib al-Khamsah: al- Ja‟fari, al-
Hanafi, al-Maliki, al-Shafi„i,(Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dawlah, Cet. Ke 2, 2008), 425.

27
dan bahkan tidak mendapat bagian sama sekali, Kemudian jika hal ini dilakukan, maka
akan timbul ketidakadilan dalam berbuat.21
Akan tetapi radd bisa terjadi jika terdapat beberapa keadaan yang mengakibatkan
adanya radd, yaitu: 1) Adanya sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris yang ada; 2)
Tidak terdapat ahli waris yang termasuk ke dalam golongan asabah; dan 3) Hanya ada ahl
al-Furud yang tidak pernah mendapatkan assabah.
Hukum Islam memberikan ketetapan mengenai persoalan keuangan, misalnya
diatur dalam hukum waris, untuk menjamin sebuah keluarga. Jadi, sepatutnya sisa harta
waris diberikan pula kepada kepada Isteri. Ini tidak lain, karena isteri (atau ibu dari anak
yang meninggal) memiliki kapabilitas dalam hal merawat dan memberikan keadilan.

D. Pendapat Ulama tentang Aul dan Radd


Berkaitan dengan konsep aul tersebut, ulama fiqh memiliki perbedaan pendapat
dalam mendefinisikan aul, yaitu:
Menurut Khanjar Hamiyah, aul merupakan situasi yang menunjukkan kelebihan
bagian ahli waris (siham) dibanding dengan jumlah harta warisan, sehingga
mengakibatkan harus dilakukannya pengurangan bagian yang diterima ahli waris.22
Sementara itu, menurut Nabil Kamal al-Din, yang dimaksud dengan aul adalah akumulasi
bagian ashab al-furud lebih besar dari asl al-masalah (angka terkecil yang bisa dibagi
angka penyebut ahli waris yang ada), sehingga harus dilakukan perubahan angka
penyebut pecahan dirubah sesuai dengan jumlah akumulasi bagian ashab al-furud, dan
berimplikasi kepada pengurangan bagian yang diterima ahli waris. Tindakan tersebut
dilakukan baik itu pada situasi adanya ahli waris „asabah maupun tidak ada.
Abu Zahrah mendifinisikan bahwa aul merupakan jumlah siham lebih besar dari
asl al-masalah, dalam keadaan ini setiap ahli waris tidak menerima bagian mereka secara
sempurna, melainkan lebih kecil dari bagian yang seharusnya diterima. Sementara itu,
menurut Jum„ah Muhammad Barraj, masalah atau konsep aul terjadi pada waktu

21
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 1. 2004), 167-168.
22
Khanjar Hamiyah, Fiqh al-Mawarith wa al-Fara‟id}: Bahth Fiqh Muqarin,
juz 1 (Beirut: Dar al-Malak, 2000), 108-109.

28
perhitungan harta warisan, dimana kuota harta (yang diisyaratkan dengan angka asl al-
masalah) tidak dapat memenuhi kebutuhan akumulasi bagian para ahli waris.
Oleh karena itu, angka tersebut harus dinaikkan dengan disesuaikan dengan
besarnya akumulasi bagian ahli waris, yang kemudian berakibat berkurangnya bagian
tiap ahli waris. Berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut, menurut Hasan al-Najifi,
ketika terjadi kekurangan harta yang dibagikan kepada ahli waris, maka yang harus
dikurangi bagian asalnya adalah anak perempuan, dan para kerabat dari bapak.
Dari beberapa definisi mengenai konsep aul di atas, dapat disimpulkan bahwa aul
merupakan konsep untuk menyelesaiakan permasalahan dalam pembagian harta warisan
ketika terjadi situasi harta warisan yang ada lebih kecil dari kebutuhan bagian ahli waris
yang harus dipenuhi, sehingga perlu dilakukan beberapa hal, yakni menaikkan angka asl
al-masalah sesuai dengan jumlah bagian waris yang ada, dan mengurangi bagian tiap ahli
waris tanpa terkecuali.
Berkaitan dengan definisi konsep radd, ada beberapa pendapat ulama fiqih yang
dapat layak dikemukakan, ibn Qudamah misalnya, mendefinisikan radd dengan keadaan
dalam perhitungan harta warisan, yakni harta warisan yang dibagikan melebihi bagian
pasti yang diterima para ahli waris, dan tidak adanya ahli waris asabah. Kemudian,
menurut Muhammad ibn „Ali al-Haskifi, yang dimaksud dengan radd ialah memberikan
sisa harta kepada ahli waris yang mempunyai bagian pasti, kepcuali suami dan isteri,
karena adanya harta yang dibagikan melebihi bagian waris yang harus diberikan. Hal ini
dilakukan ketika tidak ada asabah.23
Menurut Ali ibn Muhammad al-Jurjani, radd adalah suatu kondisi siham (dalam
bentuk harta yang dibagikan) lebih besar dari asl al-masalah (hasil akumulasi bagian yang
akan diterima ahli waris). Dengan kata lain, kelebihan dari harta tersebut diberikan
kepada ahli waris yang ada kecuali dan suami dan isteri.
Sementara itu, menurut Hasan al-Najifi, yang dimaksud dengan radd adalah
mengembalikan sisa harta dari kelebihan harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan

23
Muhammad ibn Ali al-Haskifi, al-Durr al-Mukhtar, diedit oleh Abd al-Mun‟im (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2002), 766-67.

29
tingkatan keutamaannya, kecuali suami dan isteri. Dalam keadaan tertentu di mana tidak
ada imam suami bisa memperoleh sisa harta.
Dari uraian beberapa definisi mengenai radd, dapat simpulkan bahwa terdapat
beberapa unsur yang menjadikan dalam pembagian harta warisan diberlakukan konsep
radd, yaitu: kelebihan harta, tidak ada ahli waris asabah, dan tidak ada ahli waris yang
memperoleh warisan dengan dua jalan, yakni fard dan „asabah.

30
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Aul merupakan penambahan atau peningkatan Asal Masalah. Disebut peningkatan karena
dalam pelaksanaan pembagian warisan untuk angka Asal Masalah di naikkan sesuai dengan
besaran angka yang diterima ahli waris.

Radd dalam pandangan ulama memiliki perbedaan terkait dengan ahli waris penerima
Radd . Mereka memiliki dalil tersendiri yang memperkuat argumen mereka. Masalah ini
diperselisihkan oleh para ulama, karena tidak ada nash yang shahih , baik dari Al Quran dan Al
Hadits, yang mereka sepakati. Sehingga dalam hal ini ada beberapa ulama yang menolak tentang
adanya masalah tersebut dalam pembagian harta waris, di antaranya Zait Bin Tsabit, Imam Malik
dan Syafi‟i. Menurut mereka apabila terdapat sisa harta setelah diambil bagiannya oleh ahli waris
ash -hab al -furudl dan tidak terdapat ahli waris „ashabah , maka sisa harta tersebut diserahkan
kepada baitul maal. Sedangkan jumhur ulama menyetujui masalah tersebut dalam pembagian
harta hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ahli waris ash -hab al -furudl yang
manakah yang berhak mendapatkan sisa harta tersebut. Sehingga dalam masalah Radd, ada
ulama yang menerima Radd dan juga ada yang menolak Radd .

31
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Ali, Muhammad ibn al-Haskifi, al-Durr al-Mukhtar, diedit oleh Abd al-Mun‟im (Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002).

Ashshiddiqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, Cet.I.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam

Madzhab,(Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 2014).

Fathurrahman dan addys aldizar, Hukum Waris, Jakarta Selatan: Senayan Abadi Publising,

Cet. V, 2015.

Hamiyah, Khanjar Fiqh al-Mawarith wa al-Fara‟id}: Bahth Fiqh Muqarin,

juz 1 (Beirut: Dar al-Malak, 2000).

Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,

Ed. 2, Cet. 4, 2013).

Makhlu@f, H}usni>n Muh}ammad, al-Mawa>ri>th fi al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah, Beirut:Da@r al-Kita@b,

t.t.

Mughniyah, Muhammad Jawwad, al-Fiqh „ala al-Madhahib al-Khamsah: al- Ja‟fari, al-

Hanafi, al-Maliki, al-Shafi„i,(Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dawlah, Cet. Ke 2, 2008).

Powers, David S, Studies in Qur‟an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of

Inheritance, Berkeley: University of California Press, 1986.

Redaksi, Dewan Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996.

RI, Kementrian Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, edisi revisi (Jakarta : Pustaka. Adhi

32
abadi indonesia, 2011).

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.

Saebani , Ahmad dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka

Setia. 2011.

Saebani, Beni Ahmad Fiqh Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 4, 2019).

Syarifudin, Amir Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 1. 2004).

Syarifudin, Amir Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 1. 2004).

Taqiyuddin, Hafidz ArgmentasiKeadilan dalamKonsep Awl dan Radd, Jakarta:UIN Syarif

Hidayatullah, 2014.

Umam, Dian Khairul Fiqih mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2006).

JURNAL:

Syahendra, Huliya “Aul dalam Teori dan Praktek Hukum Waris Islam”, dalam Jurnal Hukum

Replik, Vol.6, No.1, Maret 2018.

33

Anda mungkin juga menyukai