Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI ‘AUL DAN RADD DALAM


PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Di Susun Untuk Memenui Mata Kuliah Fiqih Munakahat

Dosen pembimbing :

Ilyas Hibatullah A.Q, S.H.IP., M.Si., M.H.

Disusun Oleh:

Roni Paslah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


SYAMSUL 'ULUM GUNUNG PUYUH SUKABUMI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT. Kepada-Nya kita memuji dan
bersyukur, memohon pertolongan dan ampunan. Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah SWT, maka tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barangsiapa
disesatkan oleh-Nya maka tak seorang pun dapat memberi petunjuk kepadanya.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, juga pada orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah-
sunnahnya.
Dengan rahmat dan pertolongan-Nya alhamdulillah makalah yang
berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI ‘AUL DAN RADD
DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangan baik dari segi sumber acuan
materi, maupun pembahasan materi dalam makalah ini, karena keterbatasan waktu,
tenaga dan pikiran.
Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari
pembaca guna perbaikan terhadap makalah ini. Akhirnya kata kami ucapkan terima
kasih.

Sukabumi, 8 Juli 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Pengertian A’ul .........................................................................................................2
B. Sejarah Penetapan‘Aul ........................................................................ 2
C. Asal Masalah yang Mengalami ‘Aul .................................................. 4
D. Contoh ‘Aul dan Cara Penyelesaiannya ............................................. 4
E. Pengertian Radd ................................................................................. 5
BAB III PENUTUP .................................................................................... 10
A. Kesimpulan ...................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................ 10\
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris
meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan
harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang
diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah
persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari
penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak
dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena
adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang ‘aul, radd yaitu ketika
pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta dan wasiat
wajibah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan ‘Auldan bagaimana penyelesaiannya?
2. Apakah yang dimaksud dengan Radd dan bagaimana penyelesaiannya?
3. Apakah yang dimaksud dengan Wasiat Wajibah?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian A’ul
Istilah ‘aul dalam defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta waris
dari yang telah ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli waris
(ashabul furud). Keadaan seperti ini terjadi disaat dalam pembagiannya bagian ashabul
furudh makin banyak sehingga harta yang dibagikan habis sedangkan diantara mereka ahli
waris (ashabul furudh) belum semua menerima pembagian warisannya. Maka jalan
keluarnya adalah ditambahkan jumlah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat
dibagi secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris (ashabul furudh) yang tentunya
menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris menjadi berkurang.
Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada bab IV Pasal 192 yang
menyatakan bahwa:
“Apabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan sesudah itu harta warisan dibagi
secara Aul menurut angka pembilang”.
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-
zhulm (aniaya)2 dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya: ... ‫"ذَٰ لِكَٰ أ َٰ ْدن َٰٰى أَٰالَّ تَٰعُولُوا‬...
ٰ
“ Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." QS. An- nisa
(4: 3).
Al-'aul juga dapat dimaknai 'naik' atau 'melimpah' dan 'bertambah'. Dapat
dicontohkan jika seorang suami yang seharusnya menerima setengah (1/2) bisa berubah
menjadi sepertiga (1/3) karena keadaan khusus atau karena keadaan tertentu saja. Jika asal
masalah yang tadinya enam (6) dapat dinaikkan menjadi sembilan (9). Maka karena asal
masalahnya dinaikkan menjadi Sembilan (9) yang seharusnya seorang suami mendapat
setengan (1/2) bagian atau tigaperenam (3/6) menjadi mendapat tigapersembilan (3/9) atau
sepertiga (1/3) bagian. Begitu pula berlaku hal yang sama untuk ahli waris (ashabul furudh)
lainnya.
B. Sejarah Penetapan‘Aul
Sebelumnya pada awal-awal turun risalah Islam hingga pada masa pemerintahan
kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. perkara 'aul atau adanya penambahan asal

4
masalah dalam masalah waris tidak pernah terjadi. Kasus 'aul untuk pertama kali terjadi
pada masa pemerintahan ke khalifahan kedua yaitu khalifah Umar bin Khattab r.a. beliau
sendiri sebagai pemecah masalah tersebut.
Dalam perkara pertama kali terjadi tersebut seorang wanita wafat dan
meninggalkan ahli warisnya (ashabul furudh) yaitu suami dan dua orang saudara kandung
perempuan. Jika melihat dari pembagian (furudhul muqoddaroh) dalam ilmu faraid maka
bagian suami setengah (1/2) bagian, sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan
dua per tiga (2/3). Jika pembagian harta mengikuti cara yang biasa seperti tersebut maka
pembagian warisnya telah melebihi nominal pembagian yang diterima ahli waris (ashabul
furudh). Dalam keadaan begini suami sebagai ahli waris istrinya menuntut haknya untuk
dapat diberikan haknya setengah (1/2) begitupun dua orang saudara kandung perempuan
tetap meminta duapertiga (2/3) bagian karena juga merupakan haknya.
Khalifah Umar bin Khattab r.a belum bisa langsung memberikan jawaban atas
ahli waris siapa diantara mereka yang di dahulukan. Jika Umar mendahulukan hak
suami,maka tentu pembagian untuk saudara kandung perempuan akan menjadi berkurang
dan begitu juga sebaliknya maka hak suami yang akan berkurang jika didahulukan hak
saudara kandung perempuan. Atas dasar permasalahan tersebut Umar mengundang seluruh
para sahabat untk dapat memberikan pemahaman agamanya untuk memutus suatu perkara
yang belum pernah terjadi sebelumnya pada masa rasulullah masih hidup.
Maka atas usulan sahabat yaitu Zaid bin Tsabit, Umar menambahkan hak para
ahli waris (ashhabul furudh). Selanjutnya atas penerapan ‘aul (penambahan) tersebut
disepakatilah dan menjadi hukum sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi
saw yang pemberlakuannya hingga saat ini digunakan.
Adapun cara penyelesaiaan kasus ‘aul ini ialah menentukan bagian masing-
masing ashabul furudh, sekaligus menetukan asal masalah. Kemudian dicari porsi
mereka masing-masing dan semua mereka dijumlahkan. Selanjutnya jumlah dari
porsi mereka dijadikan menjadi asal masalah baru.
Contoh : Suami : 1/2
Dua saudara perempuan : 2/3
Asal masalah dari penyebutnya (2 dan 3) adalah 6
Maka cara pembagiaannya adalah :
Suami : 1/2 x 6 = 3
Dua saudara perempuan : 2/3 x 6 = 4

5
Jumlah ............................................................ = 7
Angka 7 dijadikan sebagai asal masalah yang baru maka
Suami : 3/7 dari jumlah harta warisan.
Dua saudara perempuan : 4/7 dari jumlah harta warisan.[3]
Pendapat kedua adalah pendapat Abdullah bin Abbas yang tidak
membenarkan ‘aul, hanya saja pendapat beliau tidak dikemukakannya ketika Umar
bin Khattab menetapkan ‘aul tersebut. Setelah kekuasaan Umar berakhir, barulah
muncul fatwa dari Abdullah bin Abbas yang bertentangan dengan fatwa dari Umar
bin Khttab dan Abbas bin Abdul Muthalib (Ayah dari Abdullah).
Pendapat jumhur ulama mengikuti pendapat yang paling kuat dan lebih adil,
yaitu dengan menyamakan kedudukanpara ahli dalam pengurangan bagian mereka
secara proporsional. Jadi pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi rujukan.
C. Asal Masalah yang Mengalami ‘Aul
Di dalam ilmu waris Islam atau ilmu fara’id dikenal asal masalah keseluruhannya
ada tujuh (7) bentuk asal masalah sebagai berikut: Asal masalah yang dapat di ‘aul kan
adalah:5 a. Asal masalah dari enam (6) merupakan asal masalah yang hanya dapat di 'aul
sebanyak empat kali saja yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh.
b. Asal masalah dari dua belas (12) merupakan asal masalah hanya di ‘aul kan atau
dinaikkan sebanyak tiga kali untuk angka ganjil saja di dinaikkan ke tiga belas (13), lima
belas (15) dan tujuh belas (17).
c. Asal masalah dari dua puluh empat (24). Merupakan asal masalah yang hanya
dapat di 'aul kan satu kali saja kepada dua puluh tujuh (27). Masalah ini dikenal dengan
sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mari kita lihat contoh-contoh sebagaimana dimaksud
asal masalah yang dapat di ‘aul kan dalam contoh sebagai berikut.
D. Contoh ‘Aul dan Cara Penyelesaiannya
Dalam catatan sejarah ada dua kasus ‘Aul yang terkenal dikalangan ulama’,
yaitu :
1. Ahli Waris Bagian AM Harta Warisan Penerimaan
6 Rp50.000.000,-
Suami 1/2 3 3/10 x 50.000.000 15.000.000
2 Sdr PerKandung 2/3 4 4/10 x 50.000.000 20.000.000
2 Sdr Per Seibu 1/3 2 2/10 x 50.000.000 10.000.000

6
Ibu 1/6 1 1/10 x 50.000.000 5.000.000
Jumlah 10 50.000.000
Penetapan tersebut diatas pernah dilakukan oleh Qadi (hakim)
Syuraih, sehingga kasus ini terkenal dengan nama masalah
(kasus) Syuraihiyah.
2. Ahli Waris Bagian AM Harta Warisan Penerimaan
24 Rp.54.000.000,-
Istri 1/8 3 3/27x 54.000.000. 6.000.000
2 AnakPer 2/3 16 16/27 x 54.000.000. 32.000.000
Ibu 1/6 4 4/27x 54.000.000. 8.000.000
Ayah 1/6 4 4/27 x 54.000.000. 8.000.000
Jumlah 27 54.000.000
Penetapan tersebut pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam
pidatonya di atas mimbar Kufah, untuk menjawab pertanyaan dari Haidar,
sehingga kasus ini terkenal dengan nama masalah (kasus) Minbariyah.[4]
E. Pengertian Radd
Radd adalah membagi sisa harta peninggalan kepada para ahli waris sesuai
dengan bagiannya masing-masing. Masalah radd adalah kebalikan dari masalah
‘aul/yaitu dimana jumlah semua bagian ahli waris ternyata lebih sedikit dari pada
jumlah harta warisa yang ada (jumlah harta warisan lebih banyak dari pada jumlah
bagian-bagian ahli waris.
Tidak terjadi radd dalam suatu masalah, kecuali bila terdapat tiga rukun
dibawah ini:
1. Adanya Ashhab Al-Furudh saja.
2. Tidak adanya ahli Al-‘Ashabah sama sekali.
3. Adanya sisa harta waris.
Yang tidak bisa mendapatkan Ar-Radd hanyalah suami atau istri ketika ada
ahli waris An-Nasabiyyah ‘hubungan nasab’ yaitu Al-Ashlu Al-Warits, Al-Far’u
Al-Warits, Al-Hawasyi dan Al-A’mam.[5]
1. Pendapat Para Ulama tentang Radd

7
Tidak ada nash yang menjadi rujukan mengenai masalah radd. Oleh sebab
itu, para ulama berbeda pendapat tentang radd ini. Menurut Zaid bin Tsabit, apabil
a tidak ada ahli waris ashabah maka kelebihan dalam pembagian harta peninggala
n (radd) tidak diberikan kepada seorang pun diantara ashabul furudh, tetapi disera
hkan kepada baitulmal (kas pendaharaan negara).
Menurut pendaapat jumhur ulama bahwa radd diberikan kepada semua ashabul fu
rudh, kecuali kepada suami / istri, ayah dan kakek. Dengan demikian radd diberik
an kepada delapan golongan sebagai berikut:
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki
3) Saudara perempuan sekandung
4) Saudara perempuan seayah
5) Ibu
6) Nenek
7) Saudara laki-laki seibu
8) Saudara perempuan seibu
2. Perselisihan Seputar Radd
Dalam masalah radd ini, ada beberapa orang diantaranya Ulama
mutaqaddimin yang tidak menyetujui, yaitu Zaid bin Tsabit, Az Zuhry, Maliki,
Syafi’i dan Ibnu Hazm. Alasan mereka ialah bahwa besarnya bagian-bagian para
ahli waris telah ditetapkan secara pasti oleh nash. Adanya radd berarti merubah
ketetapan nash. Oleh karena itu apabila ada kelebihan harta warisan, tidak perlu
dikembalikan lagi kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke baitul mal untuk
kebutuhan kaum muslimin. Menurut Imam Syafi’i, jika kas Negara tidak berfungsi,
maka sisa sisa itu boleh diberikan kepada ashabul furud.[6]
Kelompok Utsman bin Affan mengakui adanya radd dalam pembagian
harta peninggalan dan diserahkan kepada semua ahli waris kecuali suami-istri.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Ahmad bin Hambal dan fuqaha
mutaakhirin dari madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah. [7]
Semua ahli waris yang mempunyai bagian tertentu (ashabul furud), kecuali
suami istri, berhak menerima kembali sisa harta yang masih ada :

8
1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki.
3. Saudara perempuan seayah dan seibu (saudari kandung).
4. Saudari perempuan seayah.
5. Ibu nenek sahihah.
6. Saudara perempuan seibu.
7. Saudara laki-laki seibu.
Mengenai ayah dan kakek meskipun termasuk ahli waris ashabul
furud, merka tidak mempunyai hak untuk menerima pengembalian (Radd). Hal ini
karena mereka juga termasuk ahli waris golongan ashabah. Sehingga tidak
mungkin memenuhi persyaratan adanya radd.
3. Cara Memecahkan Masalah-masalah Radd
Apabila bersama ashabul furudh didapatkan ahli waris yang tidak mendapatan
fardh berupa salah seorang suami/istri, maka salah seorang suami/istri mengambil
fardh nya (bagiannya) dari pokok harta peninggalan. Sisa sesudah fardh ini untuk
ashabul furudh sesuai dengan jumlah mereka apabila terdiri atas satu golongan, ba
ik yang ada itu hanya seorang diantara mereka, seperti anak perempuan ataupun b
anyak sepertiga orang anak perempuan. Apabila ashabul furudh lebih banyak dari
satu golongan, seperti seorang ibu dan seorang anak perempuan maka sisanya dib
agikan sesuai dengan fardh mereka dan dikembalikan sesuai dengan perbandingan
fardh mereka pula.
Contoh
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri atas suami, anak perempuan dan
ibu. Harta yang ditinggalkan setelah dipotong biaya pemakaman dan keperluan y
ang lain, masih tersisa Rp 72 juta.

Ahli waris Bagian Asal masalah 12 Bagian yang diterima


Suami 1/4 3 3 x 6 juta= 18 juta

Anak perempuan 1/2 6 6 x 6 juta = 36 juta


Ibu 1/6 2 2 x 6 juta = 12 juta

9
Jumlah 11 66 juta
Keterangan:
Jumlah asal masalah yang semula 12, kemudian di radd kan menjadi 11, sehingga
uang 72 juta dibagi 12 dari asal masalahnya maka hasil nya adalah 6 juta.
Ada sisa uang setelah dibagi kepada ahli waris Rp 6 juta. Dalam masalah radd sisa
uang tersebut dibagi selain kepada suami atau istri dengan membuat perbandingan.

Bagian anak perempuan 1/2 = 6


Ibu 1/6 = 2
8
Jadi bagian anak perempuan 6/8 x 6 = 4,5 juta
Ibu 2/8 x 6 = 1,5 juta
6 juta
S

Maka bagian anak perempuan 36 juta – 4,5 juta = 40,5 juta


Ibu 12 juta – 1,5 juta = 13,5 juta
54 juta
Suami 18 juta
72 juta
Didalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa apabila dalam pembagian harta
warisan diantara para ahli waris zawil furudl menunjukan bahwa angka pembilan
g lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, m
aka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd , yaitu sesuai dengan
hak masing-
masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara beimbang diantara mereka.
Sebagai contoh apabila ahli waris hanya seorang anak perempuan dan seorang ibu
. Penyelesaian pembagian warisan ini sebagi berikut.
Seorang anak perempuan : 1/2
Ibu : 1/6

10
Asal masalah (kelipatan persekutuan terkecil) dari 2 dan 6 adalah 6
Seorang anak perempuan : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/6 x 6 = 1
4
Angka 4 pada jumlah tersebut dijadikan sebagai alat masalah baru, sehingga pemb
agian warisannya menjadi sebagi berikut:
Seorang anak perempuan : 3/4 x harta warisan
Ibu : 1/4 x harta warisan

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas mengenai Aul dan Radd serta penyelesaiannya ma
ka dapat diambil kesimpulan bahwa aul adalah bertambah atau meningkat. Dikata
kan ‘aul karena karena dalam praktik pembagian warisan, angka asal masalah har
us ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris
yang ada.
Sedangkan Radd adalah penyerahan kembali sisa (kelebihan) dari zawil furud, den
gan porsi masing-
masing pada saat tidak ada lagi yang berhak terhadap kelebihan tersebut. Ar radd t
idak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud dalam tiga syarat, yai
tu:
1) Adanya pemilik fardh (shahibul fardh)
2) Adanya sisa peninggalan
3) Tidak adanya ahli waris ashabah)
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis megharapkan
kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca agar penulisan makalah ya
ng akan datang menjadi lebih baik dari yang ini. Semoga makalah bermanfaat dan
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amin husein. 2012. Hukum Kewarisan, Jakarta: Rajawali Pers.


Asshabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Warisan Menurut Islam, Jakarta: g
ema Insani Press.
Muhibbin. 2011. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 2012. Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Me
dia Group.

Anda mungkin juga menyukai