FAKULTAS SYARIAH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penulis,
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. RUMUSAN MASALAH
3. TUJUAN
BAB II PEMBAHSAN
1. PENGERTIAN AUL
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta
warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan harta warisan sesuai
dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara
khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan
kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata
lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-
masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian
harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul yaitu ketika pembagian harta warisan
terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Aul
2. Apa saja asal masalah terjadinya aul
3. Apa pendapat ulama tentang auld an cara mengatasinya serta contoh kasus aul
3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aul
2. Untuk mengetahui Apa asal masalah terjadinya aul
3. Untuk mengetahui Apa saja pendapat ulama tentang auld an cara mengatasinya serta
kasus aul
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN AUL
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-
zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a
yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian
fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski
bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat
berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah
Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan
pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh
yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua
orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang
mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan
sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena
1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk
menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang
saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak
waris keduanya.
Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah
di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku
berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan
karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu
hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian
suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah
saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit
mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran
tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para
sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat
Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini
Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini
pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara
perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4,
sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan
saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian
perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat
menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8,
bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara
perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak
dapat menggunakan ‘aul.
Ketika Ibnu Abbas didesak dengan pertanyaan, “Bagaimana jika terjadi masalah
aul?” beliau menjawab, “Kugabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek
keadaannya, yaitu anak-anak perempuan dan saudara perempuan.” Atas dasar
penjelasan Ibnu Abbas di atas, laki-laki penanya berkomentar: “Fatwamu itu tidak
berfaidah bagimu sedikitpun, sebab andaikata kamu meninggal, sungguh harta
peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa mengindahkan fatwamu itu.”
Mendengar bantahan ini, Ibnu Abbas marah sekali seraya mengatakan: “Katakan
kepada mereka yang berpendapat adanya aul, sampai nanti kami berkumpul, lalu
kami berdoa kepada Tuhan hingga A;llah menipakan laknat-Nya kepada para
pembohong. Sungguh Zat yang sanggup enghitung jumlah butir-butir pasir di padang
Alij tidak akan menjadikan harta peninggalan dua paroan dan satu pertigaan. Oleh
karena apabila ini telah dikurangi separo dan separo lagi, maka di manakah tempat
yang sepertiga?” Penanya kemudian menjawab, “Mengapa hal itu tidak anda
katakana pada masa Umar bin Khatab dahulu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Umar adalah orang yang ditakuti rakyatnya dan aku salut
padanya.” Hal inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan pendapat di kemudian
hari.
Merujuk pada pendapat Ibnu Abbas di atas, jika persoalan pembagian warisan
yang dihadapi oleh Umar bin Khatab diselesaikan menurut pemikiran Ibnu Abbas,
hasilnya adalah sebagai berikut:
AM 6
Suami 1/2 3
2 sdr. Pr. Skd As 3/6
KESIMPULAN
‘Aul merupakan kata dari bahasa Arab yang banyak arti, ada kalanya bermakna adz-
dzulmu (kelaliman) juga al-jauru (kecurangan). Kadang juga ‘aul berarti al-irtifa yang berarti
naik. Singkatnya ‘aul yaitu hal kurangnya harta warisan yang terjadi dalam pembagian harta
waris dimana setelah dilakukan pembagian harta waris kepada orang-orang yang berhak
menerima (ashabul furudh) yang menjadikan bertambahnya jumlah saham yang telah
ditentukan dan berkurangnya bagian-bagian ahli waris.
Penyelesaian ‘aul secara teori dalam beberapa literatur kewarisan banyak ditemukan apa yang
disebut sebagai masalah imajinatif. Yang terdapat di dalamnya adalah beberapa kemungkinan
susunan ahli waris yang menyebabkan perbedaan penyebut. Misalkan dari yang asalanya
perenam (.../6) ditingkatkan menjadi pecahan pertujuh (.../7), perdelapan (.../8), persembilan
(.../9) dan persepuluh (.../10). Dari yang asalanya pecahan perdua belas (.../12) ditingkatkan
menjadi pertiga belas (.../13), perlima belas (.../15) dan pertujuh belas (.../17). Dari yang
asalnya perdua puluh empat (.../24) ditingkatkan menjadi pecahan perdua puluh tujuh (.../27).
Para ahli faraidh juga memberikan sebutan tertentu untuk berbagai kemungkinan ‘aul ini
dan disebutnya sebagai masalah: nama-nama masalah itu diantaranya Mubahalah, Gharra’,
Ummu al-Furukh, Ummu al-Aramil, Minbariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam.Jakarta : Sinar Grafika
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan
Kompilasi Hukum Islam.Jakarta : Rajawali Pers