Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AUL DAN CARA PENYELESAIANNYA

Untuk memenuhi tugas Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu : Dra. Masnidar , M.Ei

Disusun Oleh Kelompok 10 :

Fauzan Dima Pradana

Reza Adinda Pramesti

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jambi, 11 November 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

2. RUMUSAN MASALAH

3. TUJUAN

BAB II PEMBAHSAN

1. PENGERTIAN AUL

2. ASAL MASALAH TERJADINYA AUL

3. PENDAPAT ULAMA TENTANG AUL DAN CARA MENGATASINYA SERTA


CONTOH KASUS AUL

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta
warisannya dan ahli waris, maka ahli waris  harus mendapatkan harta warisan sesuai
dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara
khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan
kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata
lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-
masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian
harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul yaitu ketika pembagian harta warisan
terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Aul
2. Apa saja asal masalah terjadinya aul
3. Apa pendapat ulama tentang auld an cara mengatasinya serta contoh kasus aul
3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aul
2. Untuk mengetahui Apa asal masalah terjadinya aul
3. Untuk mengetahui Apa saja pendapat ulama tentang auld an cara mengatasinya serta
kasus aul
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN AUL

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-
zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:

"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)

Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a
yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian
fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski
bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat
berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.

2. ASAL MASALAH TERJADINYA AUL

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah
Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan
pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh
yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua
orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang
mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan
sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena
1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk
menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang
saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak
waris keduanya.

Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah
di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku
berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan
karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu
hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian
suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah
saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit
mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran
tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para
sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat
Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini

Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aulkan


Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan
sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian
saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam
masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini
pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara
perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4,
sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan
saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian
perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat
menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8,
bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara
perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak
dapat menggunakan ‘aul.

Pembagi yang Dapat Di-’aulkan


Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun,
ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.
Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari
angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.
Kemudian pembagi 12 hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu
tidak bisa. Maka pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.
Sedangkan pembagi 24 hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya
pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan
sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin
Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7


Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6,
bagian suami 1/2 berarti tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga,
sedangkan bagian saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian,
jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi
6 dinaikkan menjadi 7.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8


Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan
seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya
dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan
sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu
bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu
8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9


Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan
sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut:
pembaginya 6. Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara
perempuan sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki
seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi
jumlah pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10


Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah,
dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut:
pembaginya enam. Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua
orang saudara seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara
perempuan seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah
melebihi jumlah pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi
10.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13


Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan
sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri
1/4 berarti tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang
saudara perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah
bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12
dinaikkan menjadi 13.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15


Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan
sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti
tiga, ibu mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh
1/2 berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai
penyempurna dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan
seibu juga 1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi
jumlah pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17


Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang
saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4
berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian,
bagi kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian
keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian,
jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu,
pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.
Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
Masalah ini dikenal dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang
wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini:
pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti
empat bagian, istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2
berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki
mendapat 1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan
demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena
itu, pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.

3. PENDAPAT ULAMA TENTANG AUL DAN CARA MENGATASINYA SERTA


CONTOH KASUS
Maslaah aul yang timbul berdasarkan hasil ijtihad ini bukan tanpa kritik. Di antara
sahabat sendiri ada yang menentangnya, yakni Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menentang
menentang pendapat ayahnya sendiri, Abbas bin Abdul Mutallib. Sayangnya,
meskipun ia menentang pendapat ayahnya sendiri, ia tidak berani mengemukakannya
kepada Umar bin Khatab. Baru setelah Umar wafat, ia mengeluarkan fatwanya. Ia
mengatakan, “Demi Allah, andaikata didahulukan orang yang oleh-Nya didahulukan,
atau diakhirkan orang yang oleh Allah diakhirkan, maka tidak ada masalah aul dalam
pembagian warisan sama sekali.”

Ketika Ibnu Abbas didesak dengan pertanyaan, “Bagaimana jika terjadi masalah
aul?” beliau menjawab, “Kugabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek
keadaannya, yaitu anak-anak perempuan dan saudara perempuan.” Atas dasar
penjelasan Ibnu Abbas di atas, laki-laki penanya berkomentar: “Fatwamu itu tidak
berfaidah bagimu sedikitpun, sebab andaikata kamu meninggal, sungguh harta
peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa mengindahkan fatwamu itu.”

Mendengar bantahan ini, Ibnu Abbas marah sekali seraya mengatakan: “Katakan
kepada mereka yang berpendapat adanya aul, sampai nanti kami berkumpul, lalu
kami berdoa kepada Tuhan hingga A;llah menipakan laknat-Nya kepada para
pembohong. Sungguh Zat yang sanggup enghitung jumlah butir-butir pasir di padang
Alij tidak akan menjadikan harta peninggalan dua paroan dan satu pertigaan. Oleh
karena apabila ini telah dikurangi separo dan separo lagi, maka di manakah tempat
yang sepertiga?” Penanya kemudian menjawab, “Mengapa hal itu tidak anda
katakana pada masa Umar bin Khatab dahulu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Umar adalah orang yang ditakuti rakyatnya dan aku salut
padanya.” Hal inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan pendapat di kemudian
hari.

Menurut Ahmad Rofiq, memperhatikan perdebatan yang cukup sengit di atas,


boleh jadi Ibnu Abbas tidak menemui sendiri secara langsung kasus pembagian harta
warisan yang harus diselesaikan dengan cara aul. Sebab andaikata beliau pernah
menghadapinya, besar kemungkinan sikapnya akan lain. Pendapat Ibnu Abbas
tersebut diikuti oleh Fuqaha Syiah Imamiyah dan Ja’fariyah.

Merujuk pada pendapat Ibnu Abbas di atas, jika persoalan pembagian warisan
yang dihadapi oleh Umar bin Khatab diselesaikan menurut pemikiran Ibnu Abbas,
hasilnya adalah sebagai berikut:

AM 6
Suami 1/2 3
2 sdr. Pr. Skd As 3/6

Bagian 2 saudara perempuan sekandung yang sedianya 2/3 bagian, menjadi ½


meskpiun tidak ada ahli waris lain yang kedudukannya bisa mengubah ketentuan
bagian saudara. Jadi, seakan-akan saudara menerima bagian asabah ma’a al-ghair,
karena ada suami. Padahal sesungguhnya ahli waris yang bisa mengubah hak waris
saudara perempuan sekandung adalah anak perempuan atau cucu perempuan garis
laki-laki. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa saudara perempuan bisa
berubah bagiannya menerima asabah ma’a al-ghair ketika bersama anak perempuan
atau cucu perempuan garis laki-laki, atau menerima asabah ma’a bi al-ghair ketika
bersama-sama dengan saudara laki-laki.

Sebagaimana telah disebutkan, Syiah memiliki pendangan yang berbeda terhadap


aul. Mereka berpendapat bahwa aul tidak ada. Mereka tidak menerima konsep aul,
tetapi menerima konsep radd. Bagi mereka, aul dianggap mengurangi bagian saham
ahli waris, karena itu konsep aul tidak dapat diterapkan dalam perhitungan pewarisan.
[13] Prinsip Syiah tentang aul ini tampaknya mengikuti pendapat Ibnu Abbas di atas.
Dalam kasus pembagian warisan sebagaimana di atas, mereka berpendapat
kekurangan kadar bagian dibebankan kepada bagian anak perempuan atau saudara-
saudara perempuan, tidak pada suami, isteri,atau ibu dan bapak. Sebab anak-anak
perempuan dan saudara-saudara perempuanhanya hanya mempunyai bagian fardh.
Menurut Syiah Imamiyah, mereka yang disebut terakhir ini, tidak akan menerima
bagian waris kurang dari bagian minimalnya dan sedikitpun tidak boleh dikurangi hak
mereka.
Contoh Penyelesaian Warisan dengan Aul

Beberapa contoh pembagian warisan dengan cara aul dapat dilihat di bawah ini


1. Seseorang meninggal dunia, harta warisannya sebesar Rp. 60.000.000,- Ahli warisnya
terdiri dari: isteri, ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian
masing-masing adalah:
 Jika diselesaikan dengan apa adanya:
Ahli Waris        bag       AM 12              HW     Rp. 60.000.000,    Penerimaan
Isteri                ¼         3                      3/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp.15.000.000,-
Ibu                   1/6       2                      2/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp.10.000.000,-
2 sdr. Pr. skd   2/3       8                      8/12 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 40.000.000,-
Sdr. Seibu       1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
15                                Jumlah                = Rp. 75.000.000,-
Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 75.000.000,- Rp. 60.000.000,- = Rp.
15.000.000,-
 Jika diselesaikan dengan cara aul, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut:
Ahli Waris       bag       AM 12-15         HW    Rp. 60.000.000,         
Penerimaan
Isteri                ¼         3                      3/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 12.000.000,-
Ibu                   1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 8.000.000,-
2 sdr. Pr. skd   2/3       8                      8/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 32.000.000,-
Sdr. Seibu       1/6       2                      2/15 x Rp. 60.000.000,- = Rp.  8.000.000,-
15                                Jumlah                = Rp. 60.000.000,-
Angka asal masalah diaulkan dari 12 menjadi 15, karena apabila tidak diaulkan akan
terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 15.000.000,-
2. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari: isteri, ibu, 2 anak perempuan dan
bapak. Harta warisannya sebesar Rp. 64.800.000,- Bagian masing-masing adalah:
 
Ahli Waris        bag       AM 24-27         HW      Rp. 64.800.000,           
Penerimaan
Isteri                1/8       3                      3/27 x Rp. 64.800.000,-  = Rp. 7.200.000,-
Ibu                   1/6       4                      4/27 x Rp. 64.800.000,-  = Rp. 9.600.000,-
2 ank. Pr.         2/3       16                    16/27 x Rp. 64.800.000,- = Rp. 38.400.000,-
Bapak              1/6       4                      4/27 x Rp. 64.800.000,- = Rp.  9.600.000,-
+ As
27                                Jumlah                 = Rp. 64.800.000,-
Angka asal masalah diaulkan dari 24 menjadi 27. Jika tidak diaulkan akan terjadi
kekurangan harta sebesar Rp. 8.100.000,-
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
‘Aul merupakan kata dari bahasa Arab yang banyak arti, ada kalanya bermakna adz-
dzulmu (kelaliman) juga al-jauru (kecurangan). Kadang juga ‘aul berarti al-irtifa yang berarti
naik. Singkatnya ‘aul yaitu hal kurangnya harta warisan yang terjadi dalam pembagian harta
waris dimana setelah dilakukan pembagian harta waris kepada orang-orang yang berhak
menerima (ashabul furudh) yang menjadikan bertambahnya jumlah saham yang telah
ditentukan dan berkurangnya bagian-bagian ahli waris.
Penyelesaian ‘aul secara teori dalam beberapa literatur kewarisan banyak ditemukan apa yang
disebut sebagai masalah imajinatif. Yang terdapat di dalamnya adalah beberapa kemungkinan
susunan ahli waris yang menyebabkan perbedaan penyebut. Misalkan dari yang asalanya
perenam (.../6) ditingkatkan menjadi pecahan pertujuh (.../7), perdelapan (.../8), persembilan
(.../9) dan persepuluh (.../10). Dari yang asalanya pecahan perdua belas (.../12) ditingkatkan
menjadi pertiga belas (.../13), perlima belas (.../15) dan pertujuh belas (.../17). Dari yang
asalnya perdua puluh empat (.../24) ditingkatkan menjadi pecahan perdua puluh tujuh (.../27).
Para ahli faraidh juga memberikan sebutan tertentu untuk berbagai kemungkinan ‘aul ini
dan disebutnya sebagai masalah: nama-nama masalah itu diantaranya Mubahalah, Gharra’,
Ummu al-Furukh, Ummu al-Aramil, Minbariyah.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabani, Muhammmad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam.Jakarta : Gema Insani Press

DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya

Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam.Jakarta : Sinar Grafika

Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan
Kompilasi Hukum Islam.Jakarta : Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai