Kewarisan Gharawain
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I
Disusun Oleh:
SALI
KASNAWI
Bismillahirrohmanirrahim
Puji ayukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sanngat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Didalam Hukum Kewarisan Islam ada masalah - masalah khusus. Adapun masalah -
masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan - persoalan kewarisan yang penyelesaiannya
menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu
tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Didalam hukum Kewarisan Islam ditemui beberapa persoalan kewarisan yang harus
diselesaikan secara khusus, diantaranya adalah masalah tentang Gharawain.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN GHARAWAIN
Ketika bersama mereka, sejatinya ibu mendapatkan hak warisan 1/3 harta sehingga
menyamai atau melebihi bagian ayah yang sederajat dengannya. Namun setelah itu haknya
dirubah menjadi 1/3 dari harta setelah diambil ayah dan suami atau istri terlebih dahulu.
Masalah Gharawain berkaitan erat dengan kasus yang diputuskan oleh syaidina Umar ibn
al-Khattab, sehingga kasus ini sering juga disebut dengan istilah “Umariyatain”yaitu dua
masalah yang diputuskan cara penyelesaiannya dan diperkenalkan oleh Syaidina Umar Ibn al
Khattab r.a
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan bapak jika bersama-sama
mewarisi dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan bapak
menerima ashabah. Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat sisa.
Mereka memandang sebagai suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian yang diterima ibu
lebih besar daripada bagian yang diterima bapak.
Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak 2/3, dengan kata lain bagian
lak-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan
bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri
diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.[3]
Kasus al-gharawain ini terjadi hanya dalam dua kemungkinan saja, yaitu :
· Suami
· Ibu
· Bapak
· Istri
· Ibu
· Bapak
Adapun maksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena boleh jadi
ahli waris yang lain masih ada, namun terhijab oleh bapak.
Jadi suatu kasus bisa dikatakan gharawain apabila telah diketahui dan ditentukan siapa
saja yang menjadi ahli waris dari yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab dan ternyata
yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri dari) suami/istri, ibu dan bapak.
Dan apabila ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari
suami/istri, ibu, bapak, maka dapat dipastikan bahwa persoalan kewarisan tersebut sadalah
persoalan yang khusus yaitu Al-Gharawain.
1. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
tinggal): suami, ibu, dan bapak.
2. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
tinggal): istri, ibu dan bapak.[5]
Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang tinggal adalah ahli waris yang tidak
terhijab, karena boleh jadi ahli waris yang lain masih ada, akan tetapi terhijab oleh bapak. Jadi
apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus Gharawain atau tidak, diketahui setelah
ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris dari si meninggal, kemudian siapa yang terhijab,
dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri) suami, ibu, dan
bapak atau istri, ibu dan bapak.
Apabila ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari
suami, ibu dan bapak atau istri, ibu dan bapak maka dapatlah dipastikan bahwa persoalan
kewarisan tersebut adalah persoalan yang khusus (istimewa) yang diistilahkan
dengan gharawain.
Apabila penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya bahwa untuk ibu
adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan bapak hanya memperoleh 1. Padahal semestinya pendapatan
bapak haruslah lebih besar dari pendapatan ibu. Sebab bapak selain sebagai ashabul furudh
juga merupakan ashabah (dapat menghabisi seluruh harta).
Jadi persoalan al-Gharawain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan
bapak. Untuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu
pendapatan ibu bukanlah 1/3 dari harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta.
Adapun yang dimaksud dengan sisa harta adalah keseluruhan harta warisan setelah dikurangi
bagian yang harus diterima oleh suami atau istri.[6]
Yang perlu diingat, bahwa untuk memudahkan dalam penyelesaiannya tempatkan suami
atau istri di tempat yang paling atas, sebab 1/3 dari sisa merekalah (setelah dikeluarkan bagian
mereka) untuk bagian ibu. Namun, apabila si mayit meninggalkan (ahli warits) istri lebih dari
satu orang maka akan mengakibatkan perbandingan jumlah ahli warits (istri) dengan jumlah
bagian yang mereka peroleh tidak akan pas (pecahan), maka untuk penyelesainya haruslah
dicari Sah Masalah (SM) .
Misalnya istri yang ditinggalkan oleh suami yang meninggal adalah dua orang, maka
penyelesainya sebagai berikut :
2 istri = 6
Dari kalangan sahabat yang mendukung pendapat Umar ibn al-Khattab adalah Zaid ibn
Tsabit dan Ali ibn Abi Thalib, kemudian diikuti oleh Jumhur Ulama. Adapun argumentasi yang
dikemukakan oleh Jumhur Ulama adalah jika ahli waris terdiri dari ibu dan bapak, maka ibu
mendapatkan 1/3 dan bapak sisanya, yaitu 2/3. Sehingga dalam hal ini sesuai dengan prinsip
„bagian laki-laki 2 (dua) bagian perempuan 1 (satu)‟. Menurut mereka hal ini juga berlaku jika
ada ahli waris lain dan bapak menerima bagian ashabah (sisa). Akan tetapi dalam
masalah Gharawainini, ada ulama yang tidak sependapat, yaitu sahabat Ibn Abbas, Qadli
Syuraih, Dawwud ibn Sirrin dan Jama‟ah. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah ibu
menerima bagian tertentu yaitu 1/3 dan bapak sisanya. Bagian sisa adalah bagian yang tidak
tertentu jumlah penerimaannya, kadang menerima bagian yang jumlahnya banyak, akan tetapi
terkadang menerima bagian yang sedikit. Penerimaan tersebut merupakan konsekuensi
penerima bagian sisa.[7]
Berkaitan dengan dua pendapat tersebut, maka dapat diberikan contoh dalam pembagian
warisan kasus Gharawain sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Abbas
Dalam hal ini hak yang diterima ahli warits (istri) dibagi dua maka ½ x 90.000.000 =
45.000.000/AW
2. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-
sama dengan ayah.[8]
Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara laki-laki atau saudara -
saudara perempuan dua orang atau lebih baik saudara-saudara sekandung, seayah atau seibu
baik laki - laki atau perempuan, mereka mendapat waris atau terhalang. Didalam firman-Nya
bahwasanya.[9]
ُ
ِ J ْيJَ يJَ ثJ ْنJ أْلJ اJَح ِّظJ J ُلJ ْثJ ِمJرJِ J َكJَّذJ لJ ِل Jۖ J ْمJ ُكJ اَل ِدJوJْ َJ أJ يJ ِفJُ هَّللاJ ُمJ ُكJ يJص
Jن Jِ J وJ ُي ۚ
Artinya: Allah mewajibkan atas kamu tentang anak – anak kamu,bahwa seorang anak laki laki
dapat bagian dua anak perempuan.
Anak laki laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian,
dari semua harta orang tua mereka, jika tidak ada ahli warits lain, atau mereka mendapatkan
sisa (ashobah), jika ada ahli waris lain yang bagianya tertentu. Jika tidak ada anak, maka cucu
menggantikan anak tentang mendapatkan warisan itu. Begitulah seterusnya, ashal saja dari
pihak laki laki.
َّ J ُهJَ لJَ فJ ِنJ ْيJَ تJَ نJ ْثJ اJ َقJوJْ Jَ فJ ًءJ اJس
Jَ كJ َرJَ تJ اJ َمJ اJَ ثJُ لJ ُثJن َّ J ُكJنJْ Jِ إJَف ۖ
َ J ِنJن
Artinya: Tetapi jika anak anak ( yang jadi ahli warits) itu, perempuan (dua orang) atau lebih dari
dua orang maka mereka mendapat dua pertiga dari apa ynag ditinggalkan (oleh bapaknya).
Jف Jْ J ِّنJلJ اJ اJَ هJَ لJَ فJ ًةJ َدJ ِحJ اJ َوJت
ُ Jص Jْ JَنJ اJ َكJنJْ Jِ إJ َو ۚ
Artinya: Dan jika (anak perempuan itu hanya ) seorang maka ia mendapatkan setengah.
Jَ ٌدJ لJ َوJَ ُهJ لJ َنJ اJ َكJنJْ Jِ إJك Jُ J ُدJُّJسJلJ اJ اJ َمJ ُهJ ْنJ ِمJ ٍدJ ِحJ اJ َوJِّJ لJ ُكJ ِلJ ِهJ ْيJ َوJَ أِل َ بJ َو ۚ
َ َرJ Jَ تJَّ اJ مJ ِمJس
Artinya: Tetapi jika simayit tidak mempunyai anak, dan menjadi ahli warisnya (hanya)ibu dan
bapak, maka bagi ibunya sepertiga.
Ibu mendapatkan sepertiga, dan selebihnya didapat ayah sebagai „ashobah, jika si mayit tidak
meinggalkan anak laki - laki, cucu laki - laki dan tidak meninggalkan ahli warits lain
ُ Jُ لJ ُّثJلJ اJ ِهJِّJ مJُ أِلJَ فJ ُهJ اJ َوJََ بJ أJ ُهJَ ثJرJِ J َوJ َوJَ ٌدJ لJ َوJ ُهJَ لJنJْ J ُكJَ يJ ْمJَ لJنJْ Jِ إJَف ۚ
Jث
Artinya: Tetapi jika (si mayit) ada mempunyai saudara – saudara, maka iunya mendapat
seperenam.
Saudara laki-laki seibu bila ia seorang diri mendapat waris seperenam. Begitu juga,
saudara perempuan seibu bila ia seorang diri ia mendapat warisan seperenam bagian. Dan
perempuan seibu mendapat bagian sama besar (tidak membedakan bagian antara laki-laki dan
perempuan). Lain halnya dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung atau
seayah kewarisan mereka tidak sama antara bagian laki-laki dan perempuan. Laki-laki
mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Pada dasarnya bagian waris seorang ibu apabila
bersama ayah sepertiga dari semua harta.
Kedua masalah ini dinamakan juga masalah Gharawain, di dalam masalah tersebut
seorang ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah diambil oleh bagian suami atau istri bukan
sepertiga dari seluruh harta warisan. Dalam masalah gharawain, yaitu jika seorang perempuan
meninngal dan meninggalkan suami, bapak dan ibu, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari
sisa. Namun, apabila kedudukan ayah ditempati oleh kakek (karena bapak telah terlebih dahulu
meninggal) ibu tetap mendapatkan bagian sepertiga dari seluruh harta warisan, menurut ijma‟.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gharawain mufrot dari lafadz ghara yang bermakna “bintang cemerlang” kemudian
ditsasniahkan menjadi Gharawain yang maknanya “dua bintang cemerlang” atau sering dikenal
juga dengan sebutan Umariyatain maksudnya dua masalah yang diputuskan cara
penyelesainya dan diperkenalkan oleh Syaidina Umar Ibn Al Khattab r.a.
Adanya masalah gharawain ini terjadi karena pada dasarnya bagian wanita dalam
masalah kewarisan tidak ada yang menyamai atau bahkan melebihi bagian laki - laki yang
sederajat dengannya. Oleh karena itu Syaidina Umar Ibn Al Khattab R.A memecahkan masalah
tersebut dengan menggunakan gharawain, dimana bagian ibu diubah ketika tidak ada anak dari
1/3 harta menjadi 1/3 dari sisa harta, ketika ahli waris (ibu) bersama dengan dua orang yaitu
ayah dan suami atau istri.
Jumhur Ulama sependapat dengan Syaidina Umar Ibn Al Khattab R.A, jka ahli waris terdiri
dari ibu dan bapak, maka ibu mendapatkan 1/3 dan bapak sisanya, dalam hal ini sesuai dengan
prinsip „bagian laki-laki dua dan perempuan satu‟. Sebagaiman yang tertuang dalam Q.S An
Nisa‟ ayat 11
DAFTAR PUSTAKA