Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Kewarisan Gharawain
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Disusun Oleh:
SALI
KASNAWI

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON


TAHUN 2019
JL.Widarasari III Tuparev Cirebon
Tlp.(0231)246215
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim

Puji ayukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sanngat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 17 juli 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG

Didalam Hukum Kewarisan Islam ada masalah - masalah khusus. Adapun masalah -
masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan - persoalan kewarisan yang penyelesaiannya
menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu
tidak dilakukan sebagaimana biasanya.

Masalah - masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila


penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan atau dibagi secara biasa. Untuk
menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu
dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk
persoalan-persoalan yang khusus pula.

Didalam hukum Kewarisan Islam ditemui beberapa persoalan kewarisan yang harus
diselesaikan secara khusus, diantaranya adalah masalah tentang Gharawain.

B.            RUMUSAN MASALAH

1.             Apa Yang Dimaksud Dengan Gharawain?

2.             Bagaimana Pembagian GharawainDalam Islam ?

3.             Bagaimana Pendapat Ulama tentang Masalah Gharawain ?

C.           TUJUAN PENULISAN

1.             Untuk Mengetahui Maksud DariGharawain

2.             Untuk Mengetahui PembagianGharawain Dalam Islam

3.             Untuk Mengetahui Pendapat Ulama tentang Masalah Gharawain


BAB II

PEMBAHASAN

           

A.           PENGERTIAN GHARAWAIN

Gharawain mufrot dari lafadz ghara yang bermakna “ bintang cemerlang” kemudian


ditsasniahkan menjadi Gharawain yang maknanya “dua bintang cemerlang”. Akan tetapi ada
yang memaknai berbeda,Gharawain dimaknai dari kata gharra artinya menipu. Menurut Abd al-
Rahim, dimaknai menipu, karena dalam masalah Gharrawainterjadi “penipuan” kepada ahli
waris ibu. Dimana ahli waris ibu yang menerima bagian 1/3 dikarenakan tidak ada anak dan
atau cucu, bukan menerima 1/3 dari harta warisan, akan tetapi menerima 1/3 dari sisa ketika
bersama dengan dua orang yakni ayah dan suami atau istri.[1]

Ketika bersama mereka, sejatinya ibu mendapatkan hak warisan 1/3 harta sehingga
menyamai atau melebihi bagian ayah yang sederajat dengannya. Namun setelah itu haknya
dirubah menjadi 1/3 dari harta setelah diambil ayah dan suami atau istri terlebih dahulu.

Masalah Gharawain berkaitan erat dengan kasus yang diputuskan oleh syaidina Umar ibn
al-Khattab, sehingga kasus ini sering juga disebut dengan istilah “Umariyatain”yaitu dua
masalah yang diputuskan cara penyelesaiannya dan diperkenalkan oleh Syaidina Umar Ibn al
Khattab r.a

Masalah Gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah


diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur  ulama.
Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kasus kewarisan yang
hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.[2]

Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan bapak jika bersama-sama
mewarisi dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan bapak
menerima ashabah. Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat sisa.
Mereka memandang sebagai suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian yang diterima ibu
lebih besar daripada bagian yang diterima bapak.

Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak 2/3, dengan kata lain bagian
lak-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan
bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri
diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.[3]

Kasus al-gharawain ini terjadi hanya dalam dua kemungkinan saja, yaitu :

1.            Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris :

·         Suami

·         Ibu

·         Bapak

2.            Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris :

·         Istri

·         Ibu

·         Bapak

Adapun maksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena boleh jadi
ahli waris yang lain masih ada, namun terhijab oleh bapak.

Jadi suatu kasus bisa dikatakan gharawain apabila telah diketahui dan ditentukan siapa
saja yang menjadi ahli waris dari yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab dan ternyata
yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri dari) suami/istri, ibu dan bapak.

Dan apabila ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari
suami/istri, ibu, bapak, maka dapat dipastikan bahwa persoalan kewarisan  tersebut sadalah
persoalan yang khusus yaitu Al-Gharawain.

Gharawain termasuk ke dalam masalah-masalah khusus. Adapun yang dimaksud


masalah-masalah khusus adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesainnya
menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan tidak
dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan
apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan atau dibagi secara biasa.
Untuk menghilangkan masalah kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta
warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku
untuk persoalan - persoalan yang khusus pula.[4]
B. PEMBAGIAN GHARAWAIN

Kasus Gharawain ini terjadi hanya dalam 2 kondisi atau 2 kemungkinan saja, yaitu:

1.    Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
tinggal): suami, ibu, dan bapak.

2.  Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
tinggal): istri, ibu dan bapak.[5]

Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang tinggal adalah ahli waris yang tidak
terhijab, karena boleh jadi ahli waris yang lain masih ada, akan tetapi terhijab oleh bapak. Jadi
apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus Gharawain atau tidak, diketahui setelah
ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris dari si meninggal, kemudian siapa yang terhijab,
dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri) suami, ibu, dan
bapak atau istri, ibu dan bapak.

 Apabila ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari
suami, ibu dan bapak atau istri, ibu dan bapak maka dapatlah dipastikan bahwa persoalan
kewarisan tersebut adalah persoalan yang khusus (istimewa) yang diistilahkan
dengan gharawain.

Contoh Kondisi atau Kemungkinan Pertama:

Ahli Waris Jumlah Bagian AM = 6


Suami 1 ½ 3
Ibu 1 1/3 2
Bapak 1 1/6 + Asobah 1
6/6

Apabila penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya bahwa untuk ibu
adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan bapak hanya memperoleh 1. Padahal semestinya pendapatan
bapak haruslah lebih besar dari pendapatan ibu. Sebab bapak selain sebagai ashabul furudh
juga merupakan ashabah (dapat menghabisi seluruh harta).
Jadi persoalan al-Gharawain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan
bapak. Untuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu
pendapatan ibu bukanlah 1/3 dari harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta.

Adapun yang dimaksud dengan sisa harta adalah keseluruhan harta warisan setelah dikurangi
bagian yang harus diterima oleh suami atau istri.[6]

Dengan demikian penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

Ahli Waris Jumlah Bagian AM = 6


Suami 1 ½ 3 (sisa = 3)
Ibu 1 1/3 (dari sisa) 1/3 x 3 = 1
Bapak 1 1/6 + Ashabah 1+1=2
6/6

Contoh Kemungkinan atau Kondisi yang Kedua:

Ahli Waris Jumlah Bagian AM = 12


Istri 1 ¼ 3 (sisa = 9)
Ibu 1 1/3 (dari sisa) 1/3 x 9 = 3
Bapak 1 1/6 + Ashabah 5+1=6
12/12

Yang perlu diingat, bahwa untuk memudahkan dalam penyelesaiannya tempatkan suami
atau istri di tempat yang paling atas, sebab 1/3 dari sisa merekalah (setelah dikeluarkan bagian
mereka) untuk bagian ibu. Namun, apabila si mayit meninggalkan (ahli warits) istri lebih dari
satu orang maka akan mengakibatkan perbandingan jumlah ahli warits (istri) dengan jumlah
bagian yang mereka peroleh tidak akan pas (pecahan), maka untuk penyelesainya haruslah
dicari Sah Masalah (SM) .

Misalnya istri yang ditinggalkan oleh suami yang meninggal adalah dua orang, maka
penyelesainya sebagai berikut :

Ahli Waris Jumlah Bagian Asal Muasal Sah Masalah


12x2 24
Istri 2 ¼ 3 (sisa = 9) 6
Ibu 1 1/3 dari sisa 1/3 x 9 = 3 (2) 6
Bapak 1 1/6 + Ashabah 6 12
12/12 24/24

Untuk menentukan Sah Masalahnya lakukan :

Sah Masalah = 2 (jumlah AW) x Asal Masalah (AM) = 2 x 12 = 24

Jadi, hasil akhirnya

2 istri = 6

1 istri = ½ x 6 = 3/24 dari harta.

Ibu = 6/24 dari harta.

Bapak = 12/24 dari harta.

C. PENDAPAT ULAMA TENTANG MASALAH GHARRAWAIN

Dari kalangan sahabat yang mendukung pendapat Umar ibn al-Khattab adalah Zaid ibn
Tsabit dan Ali ibn Abi Thalib, kemudian diikuti oleh Jumhur Ulama. Adapun argumentasi yang
dikemukakan oleh Jumhur Ulama adalah jika ahli waris terdiri dari ibu dan bapak, maka ibu
mendapatkan 1/3 dan bapak sisanya, yaitu 2/3. Sehingga dalam hal ini sesuai dengan prinsip
„bagian laki-laki 2 (dua) bagian perempuan 1 (satu)‟. Menurut mereka hal ini juga berlaku jika
ada ahli waris lain dan bapak menerima bagian ashabah (sisa). Akan tetapi dalam
masalah Gharawainini, ada ulama yang tidak sependapat, yaitu sahabat Ibn Abbas, Qadli
Syuraih, Dawwud ibn Sirrin dan Jama‟ah. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah ibu
menerima bagian tertentu yaitu 1/3 dan bapak sisanya. Bagian sisa adalah bagian yang tidak
tertentu jumlah penerimaannya, kadang menerima bagian yang jumlahnya banyak, akan tetapi
terkadang menerima bagian yang sedikit. Penerimaan tersebut merupakan konsekuensi
penerima bagian sisa.[7]

Berkaitan dengan dua pendapat tersebut, maka dapat diberikan contoh dalam pembagian
warisan kasus Gharawain sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Abbas

Ahli Bagian AM HW Penerimaan


Waris
Suami ½ 3 3/6 x 360.000.000 = 180.000.000
Ibu 1/3 2 2/6 x 360.000.000 = 120.000.000
Bapak Ashaba 1 1/6 x 360.000.000 = 60.000.000
h
6 Jumlah = 360.000.000

Ahli Bagian AM HW Penerimaan


Waris
Istri ¼ 3 3/12 x 360.000.000 = 90.000.000
Ibu 1/3 4 4/12 x 360.000.000 = 120.000.000
Bapak Ashaba 5 5/12 x 360.000.000 = 150.000.000
h
12 Jumlah = 360.000.000

Ahli Jlh Bagian 12 AM SM HW Penerimaan


waris
(2)
Istri 2 ¼ 3 3/12 6/24 x 360.000.000 = 90.000.000
Ibu 1 1/3 3 3/12 6/24 x 360.000.000 = 90.000.000
Bapak 1 Ash 6 6/12 12/24 x 360.000.000 = 180.000.000
12 Jumlah = 360.000.000
Dalam hal ini hak yang diterima ahli warits (istri) dibagi dua maka ½ x 90.000.000 =
45.000.000/AW

2. Jika diselesaikan menurut Umar ibn al-Khattab


Ahli Bagian AM HW Penerimaan
Waris
Suami ½ 3 3/6 x 360.000.000 = 180.000.000
Ibu 1/3 2 2/6 x 180.000.000 = 60.000.000
Bapak Ashaba = 120.000.000
h
Jumlah = 360.000.000

Ahli Bagian AM HW Penerimaan


Waris
Istri ¼ 3 3/12 x 360.000.000 = 90.000.000
Ibu 1/3 4 4/12 x 270.000.000 = 90.000.000
Bapak Ashaba = 180.000.000
h
Jumlah = 360.000.000

Ahli Jlh Bagian 12 AM SM HW Penerimaan


waris
(2)
Istri 2 ¼ 3 3/12 6/24 x 360.000.000 = 90.000.000
Ibu 1 1/3 3 3/12 6/24 x 270.000.000 = 67.500.000
Bapak 1 Ash 6 = 202.500.000
12 Jumlah = 360.000.000

Dalam hal ini hak yang diterima ahli warits (istri) dibagi dua maka ½ x 90.000.000 =
45.000.000/AW

Berkaitan dengan kasus Gharawain ini, maka di Indonesia mengikuti pendapat Umar atau


Jumhur Ulama. Hal tersebut sebagaimana diketentuan dalam Pasal 178 Kompilasi Hukum
Islam:
1.Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada
anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

2. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-
sama dengan ayah.[8]

Hal ini sesuai firman Allah SWT QS An-Nisa ayat 11

Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara laki-laki atau saudara -
saudara perempuan dua orang atau lebih baik saudara-saudara sekandung, seayah atau seibu
baik laki - laki atau perempuan, mereka mendapat waris atau terhalang. Didalam firman-Nya
bahwasanya.[9]

ُ
ِ J‫ ْي‬Jَ‫ ي‬Jَ‫ ث‬J‫ ْن‬J ‫أْل‬J‫ ا‬J‫َح ِّظ‬J J‫ ُل‬J‫ ْث‬J‫ ِم‬J‫ر‬Jِ J‫ َك‬Jَّ‫ذ‬J‫ ل‬J‫ ِل‬ Jۖ  J‫ ْم‬J‫ ُك‬J‫ اَل ِد‬J‫و‬Jْ َJ‫ أ‬J‫ ي‬J‫ ِف‬Jُ ‫ هَّللا‬J‫ ُم‬J‫ ُك‬J‫ ي‬J‫ص‬
J‫ن‬ Jِ J‫ و‬J‫ ُي‬ ۚ

Artinya: Allah mewajibkan atas kamu tentang anak – anak kamu,bahwa seorang anak laki laki
dapat bagian dua anak perempuan.

Anak laki laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian,
dari semua harta orang tua mereka, jika tidak ada ahli warits lain, atau mereka mendapatkan
sisa (ashobah), jika ada ahli waris lain yang bagianya tertentu. Jika tidak ada anak, maka cucu
menggantikan anak tentang mendapatkan warisan itu. Begitulah seterusnya, ashal saja dari
pihak laki laki.

َّ J‫ ُه‬Jَ‫ ل‬Jَ‫ ف‬J‫ ِن‬J‫ ْي‬Jَ‫ ت‬Jَ‫ ن‬J‫ ْث‬J‫ ا‬J‫ َق‬J‫و‬Jْ Jَ‫ ف‬J‫ ًء‬J‫ ا‬J‫س‬
  Jَ‫ ك‬J‫ َر‬Jَ‫ ت‬J‫ ا‬J‫ َم‬J‫ ا‬Jَ‫ ث‬Jُ‫ ل‬J‫ ُث‬J‫ن‬ َّ J‫ ُك‬J‫ن‬Jْ Jِ‫ إ‬Jَ‫ف‬ ۖ
َ J‫ ِن‬J‫ن‬

Artinya: Tetapi jika anak anak ( yang jadi ahli warits) itu, perempuan (dua orang) atau lebih dari
dua orang maka mereka mendapat dua pertiga dari apa ynag ditinggalkan (oleh bapaknya).

J‫ف‬ Jْ J‫ ِّن‬J‫ل‬J‫ ا‬J‫ ا‬Jَ‫ ه‬Jَ‫ ل‬Jَ‫ ف‬J‫ ًة‬J‫ َد‬J‫ ِح‬J‫ ا‬J‫ َو‬J‫ت‬
ُ J‫ص‬ Jْ Jَ‫ن‬J‫ ا‬J‫ َك‬J‫ن‬Jْ Jِ‫ إ‬J‫ َو‬ ۚ

Artinya: Dan jika (anak perempuan itu hanya ) seorang maka ia mendapatkan setengah.

J‫َ ٌد‬J‫ ل‬J‫ َو‬J‫َ ُه‬J‫ ل‬J‫ َن‬J‫ ا‬J‫ َك‬J‫ن‬Jْ Jِ‫ إ‬J‫ك‬ Jُ J‫ ُد‬JُّJ‫س‬J‫ل‬J‫ ا‬J‫ ا‬J‫ َم‬J‫ ُه‬J‫ ْن‬J‫ ِم‬J‫ ٍد‬J‫ ِح‬J‫ ا‬J‫ َو‬JِّJ‫ ل‬J‫ ُك‬J‫ ِل‬J‫ ِه‬J‫ ْي‬J‫ َو‬Jَ‫ أِل َ ب‬J‫ َو‬ ۚ
َ ‫َر‬J Jَ‫ ت‬J‫َّ ا‬J‫ م‬J‫ ِم‬J‫س‬

Artinya: Tetapi jika simayit tidak mempunyai anak, dan menjadi ahli warisnya (hanya)ibu dan
bapak, maka bagi ibunya sepertiga.

Ibu mendapatkan sepertiga, dan selebihnya didapat ayah sebagai „ashobah, jika si mayit tidak
meinggalkan anak laki - laki, cucu laki - laki dan tidak meninggalkan ahli warits lain

ُ Jُ‫ ل‬J‫ ُّث‬J‫ل‬J‫ ا‬J‫ ِه‬JِّJ‫ م‬Jُ ‫ أِل‬Jَ‫ ف‬J‫ ُه‬J‫ ا‬J‫ َو‬Jَ‫َ ب‬J‫ أ‬J‫ ُه‬Jَ‫ ث‬J‫ر‬Jِ J‫ َو‬J‫ َو‬J‫َ ٌد‬J‫ ل‬J‫ َو‬J‫ ُه‬Jَ‫ ل‬J‫ن‬Jْ J‫ ُك‬Jَ‫ ي‬J‫ ْم‬Jَ‫ ل‬J‫ن‬Jْ Jِ‫ إ‬Jَ‫ف‬ ۚ
  J‫ث‬
Artinya: Tetapi jika (si mayit) ada mempunyai saudara – saudara, maka iunya mendapat
seperenam.

Saudara laki-laki seibu bila ia seorang diri mendapat waris seperenam. Begitu juga,
saudara perempuan seibu bila ia seorang diri ia mendapat warisan seperenam bagian. Dan
perempuan seibu mendapat bagian sama besar (tidak membedakan bagian antara laki-laki dan
perempuan). Lain halnya dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung atau
seayah kewarisan mereka tidak sama antara bagian laki-laki dan perempuan. Laki-laki
mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Pada dasarnya bagian waris seorang ibu apabila
bersama ayah sepertiga dari semua harta.

Kedua masalah ini dinamakan juga masalah Gharawain, di dalam masalah tersebut
seorang ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah diambil oleh bagian suami atau istri bukan
sepertiga dari seluruh harta warisan. Dalam masalah gharawain, yaitu jika seorang perempuan
meninngal dan meninggalkan suami, bapak dan ibu, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari
sisa. Namun, apabila kedudukan ayah ditempati oleh kakek (karena bapak telah terlebih dahulu
meninggal) ibu tetap mendapatkan bagian sepertiga dari seluruh harta warisan, menurut ijma‟.

Dapat dikatakan pula masalah Gharawainapabila seorang suami meninggal dunia dengan


meninggalkan istri, bapak dan ibu maka ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa harta istri.
Namun, apabila kedudukan bapak diganti oleh kakek (karena bapak terlebih dahulu meninggal)
maka ibu tidak mendapat bagian sepertiga sisa namun mendapat bagian sepertiga dari seluruh
harta, menurut ijma‟.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gharawain mufrot dari lafadz ghara yang bermakna “bintang cemerlang” kemudian
ditsasniahkan menjadi Gharawain yang maknanya “dua bintang cemerlang” atau sering dikenal
juga dengan sebutan Umariyatain maksudnya dua masalah yang diputuskan cara
penyelesainya dan diperkenalkan oleh Syaidina Umar Ibn Al Khattab r.a.
Adanya masalah gharawain ini terjadi karena pada dasarnya bagian wanita dalam
masalah kewarisan tidak ada yang menyamai atau bahkan melebihi bagian laki - laki yang
sederajat dengannya. Oleh karena itu Syaidina Umar Ibn Al Khattab R.A memecahkan masalah
tersebut dengan menggunakan gharawain, dimana bagian ibu diubah ketika tidak ada anak dari
1/3 harta menjadi 1/3 dari sisa harta, ketika ahli waris (ibu) bersama dengan dua orang yaitu
ayah dan suami atau istri.

Jumhur Ulama sependapat dengan Syaidina Umar Ibn Al Khattab R.A, jka ahli waris terdiri
dari ibu dan bapak, maka ibu mendapatkan 1/3 dan bapak sisanya, dalam hal ini sesuai dengan
prinsip „bagian laki-laki dua dan perempuan satu‟. Sebagaiman yang tertuang dalam Q.S An
Nisa‟ ayat 11

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, A. 1992. Fara’id Ilmu Pembagian Warisan, (Surabaya: Pustaka Progressif

Hayati, Amal. Etc. 2015. Hukum Warisan.Medan: Manhaji

Lubis, Suhrawardi K., Komis Simanjuntak.2008. Hukum Waris Islam Lengkap

Dan Praktis. Jakarta: Sinar grafika

Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqh Mawaris. Cet IV. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Suhairi. 2013.  Fikih Mawaris. Yogyakarta: Idea Press

Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai