Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Macam Macam Ahli Waris Dan Permasalahan - Permasalahannya Dengan Benar


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu :

Imam Syafi’i, M.H

Disusun oleh:
1. Hosnawiyah
2. Erike Devliana Vinuri
3. Lubby Adabiyah W.R
4. Halimatus Sakdiyah
5. M. Rizki Rahmanda

PROGRAM STUDI MANAGEMENT KEUANGAN SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, dengan limpahan rahmat,
taufiq, hidayah dan inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Macam
Macam Ahli Waris Dan Permasalahan-Permasalahanya Dengan Benar ” ini. Dimaksud untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang mata kuliah fiqih mawaris.
Kami selaku penulis berterimakasih kepada :
1. Bapak Abdul Aziz Wahab M.Ag selaku rektor Universitas Islam Zainul Hasan
Genggong.
2. Bapak Nuntufa, S.E, M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam..
3. Ibu Zahida I’tisoma Billah, M.E. Selaku Ketua Prodi Managemen Keuangan Syari’ah.
4. Bapak Imam Syafi’i, M.H Selaku Dosen Mata Kuliah Fiqih Mawaris

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari anggota
kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya

Semoga makalah ini dapat bermanfaat meski masih terdapat kesalahan. Kami selaku
penyusun mohon kritik dan saran yang membangun agar dapa memperbaiki kesalahan pada
makalah. Terima kasih.

Genggong, 24 September 2001

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................
C. Tujuan..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Masalah Musytarokah.........................................................................
B. Masalah Kakek Bersama Saudara Dan Bagiannya ............................
C. Masalah Mu’adah................................................................................
D. Masalah Akdariyah..............................................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................


A. Kesimpulan..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

A. Masalah Musytarokah
B. Masalah Kakek Bersama Saudara Dan Bagiannya
C. Masalah Mu’adah
D. Masalah Akdariyah

C. Tujuan

A. Untuk Mengetahui Tentang Masalah Musytarokah


B. Untuk Mengetahui Tentang Masalah Kakek Bersama Saudara Dan Bagiannya
C. Untuk Mengetahui Tentang Masalah Mu’adah
D. Untuk Mengetahui Tentang Masalah Akdariyah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Musytarokah

Salah satu permasalahan yang terjadi di dalam pembagian harta warisan adalah masalah
musytarakah atau ada juga yang menyebut musyarrakah. Di dalam hukum waris Islam, masalah
musytarakah ini digambarkan di mana dalam pembagian warisan ahli waris yang ada terdiri
dari suami, dua orang saudara seibu atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan atau
campuran keduanya), seorang saudara laki-laki kandung atau lebih, dan seorang ibu atau nenek
(Muhammad bin Ali Ar-Rahabi, Matnur Rahabiyyah dalam ar-Rabahiyyatud Dîniyyah,
[Semarang: Toha Putra] tanpa tahun), halaman 46–47).

Dalam masalah musytarakah ini suami mendapatkan bagian 1/2, ibu atau nenek mendapat
bagian 1/6, saudara seibu memperoleh bagian 1/3, dan saudara laki-laki kandung mendapat
bagian ashabah. Namun pada kenyataannya semua ahli waris yang mendapatkan bagian pasti
menghabiskan seluruh harta waris yang ada sehingga saudara laki-laki sekandung yang
mendapat bagian ashabah atau sisa tidak mendapatkan apa-apa.

Untuk lebih mudah memahami masalah ini dapat digambarkan dalam sebuah tabel sebagai
berikut:  

Ahli Waris Bagian 6


Suami 1/2 3
Ibu / Nenek 1/6 1
2 Saudara Laki Laki Ibu 1/3 2
Saudara Laki Laki Ashabah -
Kandung
Majmu’ Siham 6

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa saudara laki-laki kandung pada akhirnya tidak
mendapatkan apa-apa dari harta waris dikarenakan telah dibagi habis oleh para ahli waris yang
memperoleh bagian pasti (dzawil furûdl).  

Untuk menyelesaikan masalah ini para ulama faraidl mengambil jalan dengan menjadikan
saudara laki-laki kandung sebagai saudara seibu di mana mereka bersama-sama mendapatkan
bagian pasti 1/3.  

5
Dengan demikian maka pembagian warisan dalam masalah musytarakah ini menjadi sebagai
berikut:  

Ahli Waris Bagian 6


Suami 1/2 3
Ibu / Nenek 1/6 1

2 Saudara Laki Laki 1/3 2


Ibu
Majmu’ Siham 6

Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa bagian 1/3 yang pada mulanya hanya menjadi bagian
saudara seibu kini juga dibagikan kepada saudara laki-laki kandung. Dengan demikian maka
siham 2 dibagikan secara rata kepada sejumlah ahli waris yang terdri dari saudara seibu dan
saudara laki-laki kandung.  

Menurut Musthafa Al-Khin masalah musytarakah ini pertama kali ditetapkan oleh sahabat
Umar bin Khathab dan disepakati oleh sekelomok sahabat di antaranya Zaid bin Tsabit. Atas
dasar ini pula Imam Syafi’i menjadikannya sebagai pendapat madzhabnya (Musthafa Al-Khin,
Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], juz V, halaman 113).  

B. Masalah Kakek Bersama Saudara Dan Bagiannya

1. Pengertian Kakek yang Sahih

Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis
wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita
disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah.
Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita
masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak
termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."

2. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara

Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek
yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas
sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat
takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini
pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik
sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakak yang
sahih dengan saudara."

6
Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:

"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia memvonis
masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan
saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi yang
menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan ijtihad. Akan
tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka
akan merugikan orang yang sebenarnya mempunyai hak untuk menerima warisan, dan
memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya tidak berhak. Terlebih lagi dalam
masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa
sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.

Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah
SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan
materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman
dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris.

Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad
para salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta
dibukukan secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap
orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih
(kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.

3. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek

Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan
saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw..
Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.

Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung, saudara
seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka
beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek
merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang
masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata
'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan),
kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan
berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau
habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak.
Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara,
kemudian barulah arah paman.

7
Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup kakek dan
seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para saudara akan
terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada
ayah.

Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar.
Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafi.

Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan saudara
laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah
menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah.

Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan
kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga
saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah,
karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama
derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan
kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris
kepada para saudara kandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.

Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang jelas
lebih muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek. Sebagai
gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para kakek,
kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya yang
berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para
saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.

Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin
Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf.
Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.

C. Masalah Mu’adah

Muwalah secara etimologi bermakna cintaa. Maka siapaun seseorang yang dicintai dengan
tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun disebut dengan Muwâlâh. Al-wilâyah (kecintaan)
lawan katanya adalah Al-‘adâwah (permusuhan).

Ringkasnya, al-muwâlâh atau al-walâ’ (loyalitas) adalah mencintai, menolong serta


mengikuti. Lafad tersebut diungkapkan untuk menjelaskan kedekatan seseorang kepada
sesuatu.

8
Sedangkan Mu’âdâh memiliki makna memusuhi dan menjauhi. Makna tersebut identik
dengan perasaan yang tersimpan kuat dalam hati untuk membalas dendam ataupun memberikan
mudharat kepada orang lain.

Adapun arti muwâlâh dan mu’âdâh secara syar’i, pada dasarnya arti muwâlâh adalah cinta


sedangkan mu’âdâh adalah benci. Kemudian dari makna keduanya berkembang amalan-amalan
yang bersifat hati maupun anggota tubuh yang masuk dalam hakikat
makna muwâlâh dan mu’âdâh, seperti menolong, mengasihi, membela, jihad dan hijrah. Jadi
makna muwâlâh adalah mendekati sesuatu dengan cara berucap, berbuat, dan niat.
Sedang mu’âdâh memiliki makna sebaliknya.

Dari kedua makna tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang muslim sepantasnya
mencintai karna Allah dan benci karena-Nya.  artinya cinta dan loyal terhadap kaum mukminin,
dan benci terhadap kaum musyrik dan kafir serta bara’ (berlepas diri) dari mereka. Akan tetapi
dalam hal ini terdapat pengklasifikasian secara khusus bagi orang yang mendapat loyalitas
secara mutlak dan bagi orang yang mendapat bara’ secara mutlak maupun hanya sebagiannya
saja.

Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat dan beriktikad bahwa muwâlâh dan mu’âdâh  termasuk


prinsip yang penting yang memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at. Ahlussunnah wal
Jama’ah mengklasifikasikan manusia dalam masalah muwâlâh dan mu’âdâh menjadi tiga :

Pertama: orang yang berhak mendapat wala’ (loyalitas) secara mutlak adalah kaum mukminin
yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan mendirikan syi’ar-syi’ar agama. Serta ikhlas
dalam mengerjakannya.

Kedua: orang yang berhak mendapat wala’ (loyalitas) dari satu segi dan bara’ (kebencian) dari
segi yang lain. Diantara  mereka adalah orang muslim yang bermaksiat, melalaikan kewajiban
dan mengerjakan hal-hal yang diharamkan namun tidak sampai kepada kekufuran, mereka
wajib dinasehati dan mengingkari perbuatan maksiatnya. Dengan demikian orang muslim wajib
mengingkarinya dan mencegahnya dengan perbuatan, jika tidak mampu, maka dengan ucapan,
dan bila tidak mampu dengan ucapan cukup dengan hati. Namun hal tersebut merupakan paling
lemahnya iman.

Ketiga: orang yang berhak mendapat bara’ secara mutlak adalah orang musyrik dan kafir, baik
dia Yahudi, Nasrani, Majusi, ataupun penyembah berhala. Hukum ini juga berlaku atas setiap
muslim manapun yang melanggar batas syari’at yang mampu mengeluarkan dirinya dari agama
Islam.

Sedangkan orang kafir yang tidak wajib diperangi dan tidak melakukan sesuatu yang dapat
memberikan pengaruh buruk pada lingkungannya menurut hemat penulis masuk pada kategori
orang yang berhak mendapat bara’ dari satu sisi sebab kekufurannya dan ia juga berhak
mendapat wala’ dari segi yang lain sebab tidak memerangi ataupun memusuhi kaum muslimin

9
dan tidak berbuat sesuatu yang dapat memberikan dampak buruk bagi diri sendiri maupun
lingkungannya. Wallahu A’lam.

D. Masalah Akdariyah

Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari
bani Akdar.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-
akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori
mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya
dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan
melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.

Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu,
kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah
disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya
adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat
setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6)
yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan
haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan
digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.

Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang
ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari
enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan
dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita.
Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut:
suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan
saudara kandung perempuan empat (4) bagian.

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin
Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut.

10
Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga
setelah ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)

Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh 3

Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh 2

Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya 1

Saudara kandung perempuan mahjub 0

Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)

Bagian suami menjadi 9

Bagian ibu menjadi 6

Bagian kakek menjadi 8

Bagian saudara kandung perempuan menjadi 4

Catatan : Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada
salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.

BAB III

11
PENUTUP

A. Kesimpulan

Salah satu permasalahan yang terjadi di dalam pembagian harta warisan adalah masalah
musytarakah atau ada juga yang menyebut musyarrakah. Di dalam hukum waris Islam, masalah
musytarakah ini digambarkan di mana dalam pembagian warisan ahli waris yang ada terdiri
dari suami, dua orang saudara seibu atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan atau
campuran keduanya), seorang saudara laki-laki kandung atau lebih, dan seorang ibu atau nenek.

Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis
wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita
disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah.
Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek
yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas
sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat
takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini.

Mu’âdâh memiliki makna memusuhi dan menjauhi. Makna tersebut identik dengan perasaan
yang tersimpan kuat dalam hati untuk membalas dendam ataupun memberikan mudharat
kepada orang lain.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-
akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori
mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya
dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan
melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.

DAFTAR PUSTAKA

12
Sumber: https://islam.nu.or.id/warisan/mengenal-konsep-musytarakah-dalam-hukum-waris-
islam-Kt5aY

http://media.isnet.org/kmi/islam/Waris/Kakek.html

https://tebuireng.online/prinsip-muwalah-dan-muadah-dalam-akidah-ahlussunnah/

http://media.isnet.org/kmi/islam/Waris/Akdar.html

13

Anda mungkin juga menyukai