Anda di halaman 1dari 8

Makalah Fiqih Munakahat dan Mawaris

Bagian Bagian Ahli Waris

Disusun Oleh
Nama :
1. Rina yuni Asih C2017114
2. Riris Utari C2017116
3. Roikhatul jannah C2017122
4. Shinta dewi Anggraini c2017130
5. Sista aditama C2017132
Kelas : 6C

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH SURAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kami sehingga kami dapatvmenyusun makalah ini dengan lancar
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW yang kita nanti nantikan syafaatnya kelak di yaumul akhir.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih munakahat dan mawaris
dimana makalah ini berisi tentang bagian bagian ahli waris.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain maka penulis tidak akan dapat
menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam telah mengatur berbagai urusan dalam kehidupan manusia terkait aspek
ibadah, baik itu menyangkut hubungan antara hamba dengan Allah maupun hubungan
antara sesama manusia terkhususnya dalam hal waris-mewarisi harta peninggalan.
Masalah waris-mewarisi ini telah diatur dan dalam pengkajian Fiqh Mawaris tentunya
pembahasan kewarisan ini telah dijelaskan hal-hal mengenai pembagian warisan kepada
para ahli waris maupun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan terkait harta
peninggalan ini berdasarkan sumber hukum yang menjadi patokan utama yaitu Al-
Qur’an dan Hadits.

Dalam Islam tentunya sangat penting hal waris-mewarisi yang dimana didalamnya
menunjung aspek keadilan terhadap tiap-tiap ahli waris yang telah ditentukan yang
selalu mewujudkan kesejahteraan terhadap umat Islam.Terkait kewarisan ini
terkhusunya di Indonesia yang mayoritas umat muslim terbesar didunia tentunya juga
melakaksanakan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, meski tidak dipungkiri
bahwa banyak dari umat Islam sampai sekarang masih belum memahami secara jelas
perihal hukum kewarisan dan pembagiannya sesuai dengan syariat Islam.
Oleh sebab itu penting adanya mensosialisasikan hukum waris ini di masyarakat
sehingga perihal kewarisan mampu diwujudkan secara adil sesuai dengan hukum yang
telah ditetapkan didalam syariat Islam.
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah
sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah
wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli
waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian
tertentu.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana bagian-bagian ahli waris ?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


 Untuk mengetahui bagian bagian ahli waris dalam islam.

BAB II
HUKUM WARIS MENURUT ISLAM
A. Pengertian waris

Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
 
E. Bagian-bagian ahli waris
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara
pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa
yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalahilmu faroidl. Al-
Faraaidh ( ‫) الفرائض‬ adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh(‫) الفريضه‬ yang oleh
para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah
ditentukan kadarnya.
Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :

   Yang dapat 1/2:


1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak
meninggalkan anak. 
2. Seorang anak perempuan.
3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut
ijma’ (kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa
cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama
dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-
laki."
4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.

  Yang dapat 1/4 ; dua orang:


1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. 
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak
  Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.
 
  Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).

3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan
sebapak.
  Yang dapat 1/3; dua orang:
1.  Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang). 
2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya. 

  Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:


1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari
seorang.
2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu.
3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.
4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara
perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan
kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak.  
7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan
bahwa :

 Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup.

 Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an,


sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di
jamin kebenarannya.

DAFTAR PUSTAKA

http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-
kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-
faraidh/
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

Anda mungkin juga menyukai