Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIKIH MAWARIS

Tentang

JADDWAL IKHWAH DAN TAKHARRUJ

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah

Fikih Mawaris

DI SUSUN OLEH :

Kelompok 13

INDAH NURBAITI 2119264

MURNIATI 2119274

DOSEN PEMBIMBING :

MAULIDDIN, M.Sy

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami ucapkan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahirabbil'alamin


sebagai rasa syukur atas limpahan rahmat, karunia serta nikmat yang telah Allah berikan
sehingga kami sebagai pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “JADDWAL
IKHWAH DAN TAKHARRUJ”

Shalawat serta salam, tetap kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan
melafadzkan AllahummaShalli'Ala Sayyidina Muhammad Wa'Al Ali Sayyidina Muhammad,
yang mana telah menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia dan juga telah membawa
umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan,
sebagaimana yang kita rasakan saat ini.

Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa di dalam makalah ini masih mempunyai
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami sangat mengharap akan
kritikan dan saran yang sifatnya membangun, sehingga akan lebih baik lagi kedepannya.
Terakhir kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan
berpartisipasi dalam proses penyusunan makalah ini, semoga semua usaha kita diridhai dan
diberkahi oleh Allah SWT.

Sidodadi, 8 Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jad (kakek)...........................................................................................3


B. Hukum Warisan Antara Kakek dan Saudara.........................................................3
C. Pendapat Fuqaha Tentang Hak Waris Kakek Bersama saudara............................4
D. Prinsip Dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan Kakek Bersama Saudara.........6
E. Pengertian Takharuj...............................................................................................8
F. Dasar Hukum Takharuj.........................................................................................9
G. Bentuk-Bentuk Takharuj dan Solusinya................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................14
B. Saran....................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap peristiwa kematian membawa akibat hukum yang selanjutnya timbul,
seperti mengenai bagaimana mengurus dan melanjutkan hak-hak serta kewajiban
si mayit (pewaris). Mewaris berfungsi untuk menggantikan kedudukan dalam
memiliki dan memanfaatkan harta milik pewarisnya. Karena itu terwujud
hubungan yang menyebabkan dia berhak menjadi ahli waris, baik karena sebab
nikah ataupun nasab. Penyelesain dari permasalahan inilah yang diatur dalam
hukum waris (faraidh).
Hukum kewarisan islam memiliki sifat atau corak tersendiri sesuai dengan
system dan sumber digalinya hukum yang berlandaskan pada nash Al-Qur’an dan
hadits Nabi muhammad saw, yang merupakan salah satu ketentuan hukum islam
yang diatur secara terperinci. Kalaupun terdapat beberpa masalah kewarisan yang
belum diatur oleh kedua sumber hukum tersebut, maka ijtihad atau ijma para
sahabat berperan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dimaksud.
Seperti salah satu contohnya adalah kewarisan kakek bersama saudara.
Persoalan ini dianggap sebagai suatu permasalahan yang cukup rumit dalam
perkembangan hukum waris islam, karena ia merupakan persoalan dua golongan
keluarga nasabiyah dengan simayit melalui jalur laki-laki yang sama, yakitu ayah
pewaris. Oleh karena dalam bab selanjutnya penulis akan menjelaskan jaddwal
ikhwah wa takharuj

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Jad (kakek) ?
2. Jelaskan Hukum Warisan Antara Kakek dan Saudara ?
3. Jelaskan Pendapat Fuqaha Tentang hak Waris Kakek Bersama Saudara ?
4. Jelaskan Prinsip Dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan Kakek Bersama
Saudara?
5. Jelaskan Pengertian Takharuj ?
6. Jelaskan Dasar Hukum Takharuj ?

4
7. Jelaskan Bentuk-Bentuk Takharuj dan Solusinya ?

C. Tujuan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Jad (kakek) ?
2. Jelaskan Hukum Warisan Antara Kakek dan Saudara ?
3. Jelaskan Pendapat Fuqaha Tentang hak Waris Kakek Bersama Saudara ?
4. Jelaskan Prinsip Dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan Kakek Bersama
Saudara?
5. Jelaskan Pengertian Takharuj ?
6. Jelaskan Dasar Hukum Takharuj ?
7. Jelaskan Bentuk-Bentuk Takharuj dan Solusinya ?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian jad (kakek)


Makna kakek dalam hukum waris terbagi dua macam, yaitu:
1. Kakek shahih, adalah kakek yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi
oleh pihak perempuan. Misalnya ayahnya ayah. Kakek yang shahih, adalah
kakek yang sah, atau sering pula disebut dengan istilah kakek sejati. Ia
merupakan orang yang bisa menempati kedudukan (posisi/status) pabak dalam
menerima warisan di saat bapak pewaris tidak ada.
2. Kakek fasid, adalah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh
perempuan.misalnya ayahnya ibu. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah
yang menyatakan bahwa apabila di antara orang laki-laki dimasuki orang
perempuan, maka kakek itu bukan sejati. Apabila tidak dimasuki orang
perempuan, maka ia kakek sejati. Sekalipun tinggi derajatnya, seperti
bapaknya bapak, bapaknya bapaknya bapaknya bapak. Demikianlah seterusnya
sampai Nabi Adam as.
B. Hukum Warisa Antara Kakek dan Saudara
Sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa permasalahan kakek bersama
yang mewaris bersama-sama ini, disyarati dengan pengertian atau makna tertentu.
Sebagaimna halnya dengan kakek, saudarapun dimaksudkan dengan saudara yang
punya hubungan kekerabatan seibu sebapak (sekandung) ataupun sebapak saja
dengan si mayit. Jadi pengertian untuk saudara di sini tidak termasuk di dalamnya
saudara seibu.
Persoalan pembagian warisan antara kakek bersama saudara ini dianggap
sebagai suatu permasalahan yang rumit dalam perkembangan hukum waris islam.
Ia merupakan persoalan dua golongan keluarga nasabiyah dengan si mayit melalui
jalur laki-laki yang sama, yakni ayah pewaris.1
Masalah ini tidak terdapat penjelasannya baik dalam Al-Qur’an ataupun
Hadits Nabi saw, sehingga mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menangani
kasus ini. Bahkan mereka cenderung sangat berhati-hati untuk mengeluarkan fatwa

1
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta. 1992) hal. 84

6
yang berhubungan dengan kasus ini. Ini terungkap dalam beberapa pernyataan
sahabat seperti Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa :
.‫سلو نا عن عضلكم {أي مشا كلكم العو يصة} واتركونا من الجد ال حياء هللا وال بياه‬
“Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun,
namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakek yang
shahih bersama saudara”2
Demikian juga halnya dengan sahabat Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan
dengan:
.‫من سره أن يقتحم جهنم فليقض بين الجد والخوة‬
“Barang siapa yang senang terjun kedalam neraka jahannam, maka putuskanlah
kewarisan kakek yang bersama dengan saudara.”3
Ketentuan dan kehati-hatian mereka memang sangat beralasan, karena
disamping tidak adanya nash yang menjelaskan mengenai masalah yang
dimaksud, juga didasarkan pada adanya kekhawatiran tentang hasil ijtihad yang
salah. Terlebih lagi dalam masalah yang berhubungan dengan materi atau hak
kepemilikan. Mereka takut akan berbuat dzalim atau aniaya dengan memberikan
hak waris kepada orang yang tidak berhak atau sebaliknya.
C. Pendapat Fuqaha Tentang Hak Waris Kakek Bersama Saudara
Meski sebelumnya ada kekhawatiran dari para sahabat untuk melakukan
ijtihad mengenai masalah kewarisan kakek bersama saudara ini, tetapi akhirnya
kekhawatiran itupun hilang bersamaan dengan munculnya ijtihad para salaf ash
shalihin dan imam mujtahidin yang telah dibukukan secara lengkap dan detail
beserta dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan ijtihad ini, para sahabat dan ulama-ulama berikutnya
berbeda-beda pendapatnya:
1. Abu Bakar Ash Shiddieq, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Abu Hanifah berpendapat bahwa kedudukan kakek sama dengan bapak, jika
bapak tidak ada, sehingga dapat menghijab saudara sekandung dan seayah
secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Abu Saur, Al Zhahiry. 4 Alasan
yang diajukan adalah, bahwa penggunaan kata “Ab” (Ayah) dalam Al-Qur’an

2
Ali Ash Shabuny. Al Mawarits fi Al Syariat Al Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab wa al sunnah, terj.
A.M. Basalamah. Pembagian waris Menurut Islam. (Jakarta : Cet.1. Gema Insani Press) hal 84
3
Dahlan, dkk. Hukum Waris Dalam Islam Disertai Contoh-Contoh Pembagian Harta Pusaka.
(Bandung : cet.2. CV. Diponegoro. 1992)hal.118
4
Ahmad Rofiq. Fiqh Mawaris. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1998) hal. 114

7
maupun Al Sunnah menunjuk kata “Jadd” (kakek) sebagaimana terdapat
dalam Firman-Nya : QS. Yusuf ayat 38
..…    
“ Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim…”
Begitu juga dalam ayat selanjutnya yang berbunyi; QS. Yusuf ayat 40
..…         
“ Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama kamu dan nenek moyangmu membuat buatnya…”
Disaat bapak tidak ada, kakek menempati kedudukan bapak. Ini sama
dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki yang bisa menempati posisi anak
laki-laki, jika ia tidak ada. Sehingga wajar kiranya kalau kakek menghalangi
saudara untuk mewarisi. Selain itu alas an yang dikemukakan oleh pendapat
pertama ini adalah mendasarkan pada segi derajat kekerabatan, kakek
menempati derajat ushul, sedangkan saudara berada dalam “jihat”
menyamping (ukhuwwah) dalam prinsip penerimaan ashobah bi al nafsi.
Yang demikian inipun sejalan dengan perintah Rasulullah saw;
‫ا س‬y‫ه عن ابن عب‬y‫ا وس عن ابي‬y‫ا و هيب عن ابن ط‬yy‫د ثن‬y‫حد ثنا عبد األ على بن حماد (وهو النرسى) ح‬
.‫ر‬yy‫ل ذك‬yy‫و ألولى رج‬yy‫ا بقي فه‬yy‫ا فم‬yy‫رائض بأهله‬yy‫وا الف‬yy‫ الحق‬: ‫ قال رسو ل هللا صلى هللا عليه و سلم‬: ‫قال‬
)‫(رواه مسلم‬
Alasan lainnya yang dikemukakan oleh pendapat ini adalah disandarkan
pada hajib mahjub, yakni hanya dapat dihijab oleh bapak saja, sementara
saudara terhijab oleh bapak dan keturnunan laki-laki. Di sinilah kenyataan
bahwa kedudukan kakek tersebut menerima warisan melalui dua cara, yaitu
furudhul muqaddarah dan ashobah, sedangkan saudara hanya bisa dengan
jalan ashobah saja.
2. Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid Bin Tsabit, dan beberapa sahabat lain
berpendapat bahwa kakek hanya dapat menghijab terhadap saudara seibu saja.
Alas an mereka adalah bahwa status kakek setaraf dengan saudara. Oleh sebab
itu mereka bisa mewaris secara bersama-sama. Sependapat dengan pendapat
kedua ini, imam Malik, imam Syafi’I, dan imam Ahmad bin Hambal.
Demikian pula ulama Hanafiyah yaitu Muhammad Ibn al Hasan al Syaibani
dan Qadi Abu Yusuf. Mereka beralasan:

8
a. Antara kakek dan saudara sama-sama dihubungkan kekerabatannya
melalui perantaraanpewaris.
b. Tidak ada nash yang menjelaskan atau menunjukkan bahwa kakek bisa
menghijab saudara. Sehingga kedua-duanya memiliki hak yang sama
dalam menerima bagian.
c. Meski Zaid Bin Tsabit menempatkan cucu laki-laki dari anak laki-laki
pada kedudukan anak laki-laki, tetapi beliau tidak menempatkan kakek
persis sama dengan kedudukan bapak.
Ibnu Rusyd memilih pendapat dan menganggap bahwa perbedaan
pendapat para ulama tersebut adalah karena terdapatnya pertentangan dua
qiyas. Sementara mayoritas ulama mengikuti pendapat kedua, dengan
member hak kewarisan pada saudara. Hanya saja mereka menghendaki
bagiannya tidak sama dengan bagian kakek pewaris.
D. Prinsip Dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan Kakek Bersama Saudara
Ada dua prinsip yang digunakan dalam menyelesaikan masalah kewarisan
kakek bersama saudara ini, yaitu;
1. Apabila kakek dan saudara tidak bersama ahli waris lain, member kakek
bagian yang lebih menguntungkan dari dua perkiraan, yaitu;
a. 1/3 dari harta warisan
b. Muqasamah, artinya kakek berbagi sama dengan saudara-saudara. Jika ada
saudara perempuan, ketentuan li al dzakari mitslu hazh al untsayain
diberlakukan.
Dari perkiraan diatas, dapat ditegaskan, apabila saudara-saudara terdiri
dari dua orang atau lebih, kakek lebih untung menerima bagian 1/3. Sebaliknya
kakek akan lebih untung menerima bagian muqasamah bersama saudara,
apabila saudara hanya satu orang. Misalnya , ahli waris si mati terdiri dari;
kakek dan saudara laki-laki sekandung. Harta warisnya sejumlah Rp.
1.200.000,- bagian masing-masing adalah;
1) Perkiraan kakek mendapat bagian 1/3

No Ahli Waris Faradh Asal Masalah =3


Bagian/Perolehan
1. Kakek 1/3 1/3 x Rp. 1.200.000,- = Rp. 400.000,-
2. 1org. Sdr. Kdg ashobah 2/3 x Rp. 1.200.000,- = Rp. 800.000,-

9
Jumlah Rp. 1.200.000

2) Perkiraan muqasamah kakek bersama saudara

No Ahli Waris Faradh Asal Masalah = 2


Bagian/Perolehan
1. Kakek 1 1/2 x Rp. 1.200.000,- = Rp. 600.000,-
2. 1org. Sdr. Kdg 1 1/2 x Rp. 1.200.000,- = Rp. 600.000,-
Jumlah Rp. 1.200.000

Jadi bagian kakek dengan muqasamah adalah sebesar Rp. 600.000,- itu
lebih menguntungkan daripada bagian 1/3 yang hanya sebesar Rp. 400.000,-
2. Apabila kakek dan saudara masih bersama ahli waris lainnya. Maka kakek
boleh memilih tiga bagian yang lebih menguntungkan baginya.
a. 1/6 harta peninggalan
b. 1/3 dari sisa setelah diambil ahli waris lain (bukan saudara)
c. Muqasamah dari sisa antara kakek dan saudara.
Contoh ; harta warisan sebesar Rp. 3.600.000,- ahli waris terdiri dsri
suami, kakek, dan saudara seayah. Bagian masing-masing adalah;
1) Perkiraan kakek menerima 1/6

No Ahli Waris Faradh Asal Masalah = 6


Bagian/Perolehan
1 Suami 1/2 3/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 1.800.000,-
2 Kakek 1/6 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-
3 1 org. Sdr. sbp Ashobah 2/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 1.200.000,-
Jumlah Rp. 3.600.000

2) Perkiraan kakek menerima 1/3 sisa

No Ahli Waris Faradh Asal Masalah = 6


Bagian/Perolehan
1 Suami 1/2 3/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 1.800.000,-
2 Kakek 1/3 sisa 1/3 x Rp. 1.800.000,- = Rp. 600.000,-
3 1 org. Sdr. sbp Ashobah 2/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 1.200.000,-
Jumlah Rp. 3.600.000

10
3) Kakek menerima muqasamah dari sisa bersama saudara

No Ahli Waris Faradh Asal Masalah = 6


Bagian/Perolehan
1 Suami 1/2 3/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 1.800.000,-
2 Kakek 1 1/2 x Rp. 1.800.000,- = Rp. 900.000,-
3 1 org. Sdr. sbp 1 1/2 x Rp. 1.800.000,- = Rp. 900.000,-
Jumlah Rp. 3.600.000

Dari ketiga perkiraan di atas dapat diketahui bahwa, bagian kakek yang
lebih menguntungkan adalah dengan muqasamah dari sisa bersama
saudara, karena penerimaannya berjumlah Rp. 900.000,- sedangkan
dengan dua alternative bagian lainnya, ia hanya menerima sebesar
Rp.600.000,- saja, (baik dengan bagian 1/6, ataupun 1/3 sisa setelah waris
lain yang bukan saudara mengambil bagiannya). Oleh karennya, dalam
kondisi struktur kewarisan seperti ini, kakek hendaknya diberikan
(menerima) bagian tersebut.5
E. Pengertian Takharruj
Takharuj dapat didefinisikan sebagai perjanjian diantara para ahli waris untuk
mengeluarkan (mengundurkan) sebagian ahli waris dari menerima harta warisan
dan meninggalkan bagiannya dalam harta warisan dengan diganti imbalan tertentu
dari harta warisan atau di luar harta warisan, baik perjanjian itu di antara seluruh
ahli waris maupun sebagian dari mereka. Ahli waris yang mengeluarkan
(mengundurkan) ahli waris lain dalam hal ini disebut al-mukharij ( ‫ارج‬yy‫)المخ‬,
sementara ahli waris yang bersedia keluar (mengundurkan diri) itu disebut al-
kharij ( ‫ )الخارج‬atau al-mukharaj ( ‫)المخارج‬.
Perjanjian/perdamaian takharuj dibolehkan secara syariat karena merupakan
akad (kesepakatan) yang berdasarkan prinsip suka sama suka di antara para ahli
waris yang melakukan takharuj. Takharuj dapat dipandang sebagai tiga macam
akad;
a. Takharuj dianggap sebagai akad jual beli jika harta yang diserahkan oleh
pihak pertama (al-mukharij) dianggap sebagai harga pembelian, sementara
harta yang diserahkan oleh pihak kedua (al-kharij) dianggap sebagai barang
yang dibeli.
5
Wahidah. Buku Ajar Fikih Waris. Cet.1 .(Yogyakarta : IAIN ANTASARI PRESS. 2014) hal. 78-88

11
b. Takharuj dianggap sebagai akad tukar menukar jika harta yang diserahkan
oleh pihak pertama dianggap sebagai alat penukar terhadap harta yang akan
diterimanya dari pihak kedua.
c. Takharuj dianggap sebagai akad pembagian jika harta yang diserahkan kepada
orang yang diundurkan (dikeluarkan) itu diambil dari harta peninggalan itu
sendiri.
F. Dasar Hukum
Para ulama membolehkan adanya takharuj dengan dasar sebagai berikut :
a. Sebuah atsar dari Ibnu Umar r.a. sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa beliau memperbolehkan takharuj di
antara para ahli waris dengan jalan perjanjian/perdamaian seperti diriwayatkan
bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. pada saat sakaratul maut menceraikan
istrinya, Tumadhir binti al-Ashba’ al-kalbiyah. Setelah beliau wafat dan
istrinya dalam masa iddah, Usman r.a. membagikan warisan kepada istrinya itu
beserta tiga orang istrinya yang lain. Kemudian mereka (bertiga) mengadakan
perjajian perdamaian dengannya (Tumadhir) atas bagiannya sebanyak 1/32
bagian (yaitu ¼ dari 1/8 bagian) dengan pembagian sebanyak 83.000 dirham.”
b. Sebuah analogy bahwa setiap perjanjian yang bersifata timbale balik antara
dua pihak, baik berupa perjanjian jual beli, perjanjian tukar- menukar, maupun
perjanjian pembagian (warisan), yang ketiga jenis perjanjian ini dapat
diterapkan juga pada perjanjian takharuj.
G. Bentuk-Bentuk Takharuj dan Solusinya
Perjanjian takharuj dapat dibagi atas tiga bentuk:
I. Seorang ahli waris (Pihak I) “mengeluarkan” atau “mengundurkan” ahli
waris lain (Pihal II) dengan memberikan sejumlah imbalan yang diambil
dari miliknya sendiri.
Dalam hal inji, Pihak I di samping mendapat bagiannya sendiri yang
harus diterimanya, juga memperoleh bagian dari Pihak II. Jadi, Pihak I
seolah-olah telah membeli bagian warisan Pihak II dengan sejumlah imbalan
tertentu (misalnya uang)
II. Beberapa orang ahli waris (Pihak I) mengundurkan ahli waris lain
(Pihak II) dengan memberikan sejumlah imbalan yang diambil dari
harta warisan yang akan dibagi.

12
Dalam hal ini, Pihak I memperoleh seluruh sisa harta warisan setelah
diambil jumlah tertentu sebagai imbalan yang diberikan kepada Pihak II. Dan
para ahli waris Pihak I memperoleh bagian menurut perbandingan saham
mereka masing-masing jika dibagi tanpa takharuj. Dengan kata lain,
perbandingan bagian warisan yang harus diterima masing-masing Pihak I
akibat takharuj harus sama dengan perbandingan bagian mereka sebelum
dilakukan takharuj. Takharuj seperti ini merupakan kasus yang umum terjadi
di masyarakat.
III. Beberapa ahli waris (Pihak I) mengundurkan seorang ahli waris (Pihak
II) dengan memberikan imbalan sejumlah tertentu yang diambil dari
harta mereka masing-masing (Pihak I) secara urunan (patungan)
Bentuk takharuj seperti ini dapat dibagi lagi atas tiga corak menurut cara
pembayaran oleh Pihak I :
a. Pembayaran oleh Pihak I menurut perbandingan saham mereka masing-
masing. Dalam hal ini, masing-masing dari Pihak I menerima tambahan
dari bagian Pihak II menurut perbandingan saham mereka masing-masing.
b. Pembayaran oleh Pihak I secara sama rata. Dalam hal ini, masing-masing
dari Pihak I menerima tambahan dari bagian Pihak II secara sama rata.
c. Pembayaran oleh Pihak I secara bebas jumlahnya. Dalam hal ini, masing-
masing dari Pihak I menerima tambahan dari bagian Pihak II menurut
perbandingan pembayaran mereka masing-masing kepada Pihak II.
Contoh :
1. Bentuk I
Seorang perempuan wafat dengan ahli waris terdiri dari suami, anak
perempuan, ibu, dan paman kandung dengan meninggalkan harta berupa uang
tabungannya senilai Rp. 120 juta. Paman kandungnya sepakat untuk tidak
menerima warisan dengan kompensasi bahwa suaminya bersedia memberikan
pengganti berupa sebidang tanah dari harta suaminya sendiri.
Penyelesaian :
Sebelum takharuj;
a. Suami : ¼ bagian = 3/12 x 120 Juta = 30 Juta
b. Anak Perempuan : ½ bagian = 6/12 x 120 Juta = 60 Juta
c. Ibu : 1/6 bagian = 2/12 x 120 Juta = 20 Juta
d. Paman : Sisa = 1/12 x 120 Juta =10 juta

13
Setelah takharuj
a. Suami : 30 Juta + 10 Juta = 40 Juta
b. Anak Perempuan : 60 Juta
c. Ibu : 20 Juta
d. Paman : Sebidang tanah dari harta suami
2. Bentuk II
Seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang istri, seorang
anak perempuan, dan seorang saudara laki-laki kandung dengan harta warisan
berupa uang Rp 240 Juta dan sebuah mobil. Saudara laki-lakinya sepakat
dengan seluruh ahli waris yang lain bahwa ia hanya akan mengambil mobil
dan tidak mengambil bagiannya yang berupa uang.
Penyelesainnya :
sebelum takharuj :
a. Istri : 1/8 Bagian = 1/8 x (240 Juta + mobil)
= 30 juta + 1/8 dari nilai mobil
b. Anak Perempuan : ½ bagian = ½ bagian = 4/8 x (240 Juta + mobil)
= 120 Juta + 4/8 dari nilai mobil
c. Saudara laki-laki : Sisa = 3/8 x (240 Juta + mobil)
= 90 Juta + 3/8 dari nilai mobil
Setelah takharuj
a. Istri : 1/5 x 240 Juta = 48 Juta
b. Anak Perempuan: 4/5 x 240 Juta = 192 Juta
c. Saudara laki-laki : Mobil
3. Bentuk III
a. Seorang laki-laki wafat meninggalkan ibu, seorang anak perempuan, dan
seorang saudara laki-laki sebapak. Harta yang diwariskannya berupa tanah
sawah seluas 12 ha. Ibu dan anak perempuan mengadakan perundingan
dengan saudara laki-laki bahwa saudara laki-laki itu tidak mengambil
tanah sawah, dan sebagai gantinya, ibu dan anak perempuan si mayit
memberikan uang tunai sejumlah Rp. 8 Juta yang berasal dari uang pribadi
ibu dan anak perempuan itu, masing-masing sebesar Rp 2 juta dan Rp 6
juta.
Penyelesaian :
Sebelum takharuj :

14
a. Ibu : 1/6 bagian = 1/6 x 12 ha = 2 ha
b. Anak Perempuan : ½ bagian = 3/6 x 12 ha = 6 ha
c. Saudara laki-laki : Sisa = 4 ha
Setelah takharuj
Karena perbandingan saham ibu dan anak perempuan dalam
pembayaran kepada saudara laki-laki adalah 2 : 6 = 1: 3, sama seperti
perbandingan bagian mereka dalam pembagian warisan, maka:
a. Ibu : 2 ha + (1/4 x 4 ha) = 3 ha
b. Anak Perempuan : 6 ha + (3/4 x 4 ha) = 9 ha
c. Saudara laki-laki : Rp. 8 juta
b. Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri
dari suami, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, dan
saudar perempuan seibu. Harta yang diwariskannya adalah kebun sawit
seluas 24 ha. Karena memerlukan uang tunai yang mendesak, maka pada
saat pembagian, suami telah sepakat untuk tidak mengambil bagian
warisannya, dan sebagai gantinya ia menerima sejumlah uang tunai yang
berasal dari ketiga saudara perempuan itu dengan perbandingan yang
sama.
Penyelesaian :
Sebelum takharuj
Dalam kasus ini, asal masalah 6 di-‘aul-kan menjadi 8, dan perbandingan
saham adalah ½ ; ½ ; 1/6 ; 1/6 ; = 3 : 3 : 1 : 1
1. Suami : ½ bagian = 3/6 bagian 3/8 x 24 ha = 9
ha
2. Saudara perempuan kandung: ½ bagian = 3/6 bagian 3/8 x 24 ha = 9
ha
3. Saudara perempuan sebapak : 1/6 bagian 1/8 x 24 ha = 3 ha
4. Saudara perempuan seibu : 1/6 bagian 1/8 x 24 ha = 3 ha
Setelah takharuj
Karena pembayaran kepada suami oleh ketiga saudara perempuan ini
secara sama rata, maka penambahan bagian warisan untuk ketiga saudara
perempuan ini juga sama, yaitu (1/3 x 9 ha) = 3 ha
1. Suami : sejumlah uang tunai
2. Saudara perempuan kandung : 9 ha + 3 ha = 12 ha

15
3. Saudara perempuan sebapak : 3 ha + 3 ha = 6 ha
4. Saudara perempuan seibu : 3 ha + 3 ha = 6 ha
c. Ahli waris dari seorang wanita yang wafat dengan mewariskan harta
berupa tanah untuk perumahan seluas 1.300 m 2 adalah suami, seorang
anak perempuan, ibu, dan kakek. Karena sudah tua dan masih dalam
perawatan karena sakit, karenanya tidak mengambil warisan tanah, tetapi
meminta uang sejumlah Rp 20 Juta untuk berobat, dan disetujui oleh
suami, anak perempuan, dan ibu dengan pembayaran masing-masing
sebesar 10 Juta, 5 Juta, dan 5 Juta.
Penyelesaian :
Sebelum takharuj
Dalam kasus ini, asal masalah 12 di-‘aul-kan menjadi 13, dan
perbandingan saham adalah ¼ ; ½ ; 1/6 ; 1/6 = 3 : 6 : 2 : 2
1. Suami : ¼ bagian =3/12 bagian = 3/13 x 1.300 m2 =
1300 m2
2. Anak Perempuan : ½ bagian = 6/12 bagian = 6/13 x 1.300 m 2 =
600 m2
3. Ibu : 1/6 bagian = 2/12 bagian = 2/13 x 1.300 m2 =
200 m2
4. Kakek : 1/6 bagian = 2/12 bagian = 2/13 x 1.300 m2 =
200 m2
Setelah takharuj
Karena perbandingan saham suami, anak perempuan, dan ibu dalam
pembayaran kepada kakek adalah 10 : 5 : 5 = 2 : 1 : 1, maka :
1. Suami : 300 m2 + (2/4 x 200 m2) = 400 m2
2. Anak Perempuan : 600 m2 + (1/4 x 200 m2) = 650 m2
3. Ibu : 200 m2 + (1/4 x 200 m2) = 250 m2
4. Kakek : Rp 20 Juta6

BAB III

PENUTUP

6
Achmad Yani. Faraidh dan Mawaris Bunga Rampai Hukum Waris Islam Edisi Pertama. Cet 1.
(Jakarta : KENCANA. 2016) hal. 110-117

16
A. Kesimpulan
Jadwal ikhwah (kakek bersama saudara) merupakan permasalahan yang
paling luas melahirkan perbedaan pendapat di masa sahabat dan memiliki berbagai
latar belakang yang beragam dalam pembentukan hukumnya. Sedangkan takharuj
yaitu sebagai perjanjian diantara para ahli waris untuk mengeluarkan
(mengundurkan) sebagian ahli waris dari menerima harta warisan dan
meninggalkan bagiannya dalam harta warisan dengan diganti imbalan tertentu dari
harta warisan atau di luar harta warisan, baik perjanjian itu di antara seluruh ahli
waris maupun sebagian dari mereka.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan
dalam penulisan makalah ini, baik itu dari segi penulisan maupun pembahasan.
Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritikan yang bersifat membangun
sehingga dalam penulisan makalah-makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik
dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono. 1992. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta.


Ali Ash Shabuny. Al Mawarits fi Al Syariat Al Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab wa al
sunnah, terj. A.M. Basalamah. Pembagian waris Menurut Islam. Jakarta : Cet.1. Gema

17
Insani Press
Dahlan, dkk. 1992. Hukum Waris Dalam Islam Disertai Contoh-Contoh
Pembagian Harta Pusaka. Bandung : cet.2. CV. Diponegoro.
Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Wahidah. 2014. Buku Ajar Fikih Waris. Cet.1 .Yogyakarta : IAIN ANTASARI
PRESS.

Yani,Achmad.2016. Faraidh dan Mawaris Bunga Rampai Hukum Waris Islam


Edisi Pertama. Cet 1. Jakarta : KENCANA. 2016

18

Anda mungkin juga menyukai