Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AUL DAN RAD


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Fikih Mawaris

Dibuat Oleh

Kelompok 10
Jayusman 2121251

Rani Syafitri 2121259

Rezkya Salsabila 2121277

Dosen Pengampu:

Dr. Etri Wahyuni, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

2023 M / 1444 H

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT karena
dengan rahmat dan karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang AUL DAN RADD. Kami menyadari
sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan
saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat


memberikan manfaat dan insprasi bagi yang membacanya.

Bukittinggi, 22 Mei 2023

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3

A. Pengertian Aul ............................................................................................. 3


B. Pengertian Radd........................................................................................... 8

BAB III PENUTUP............................................................................................. 16

A. Kesimpulan.................................................................................................. 16
B. Saran ............................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 17

LAMPIRAN ........................................................................................................ 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan sesama manusia yang diatur oleh Allah Swt. dan


Rasulullah saw. dalam Al-Qur`an maupun Sunnah antara lain ialah
mengenai hukum kewarisan. Meskipun sudah diatur secara eksplisit
mengenai kewarisan ini dalam dua sumber hukum Islam, namun banyak
manusia yang tidak mengetahui proses atau cara pembagian kewarisan
tersebut.
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris
meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus
mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing. Di
dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang
diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini
adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang
dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu
tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul
karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara
khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika
pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dalil dari Aul ?
2. Bagaimana Cara Penyelesaian Aul ?
3. Apa Pengertian dan Dalil dari Radd ?
4. Siapa Saja Ahli Waris Radd ?
5. Bagaimana Cara Penyelesaian Radd ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian dan Dalil dari Aul
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Cara Penyelesaian Aul
3. Untuk Mengetahui Apa Pengertian dan Dalil dari Radd
4. Untuk Mengetahui Siapa Saja Ahli Waris Radd
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Cara Penyelesaian Radd

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aul
1. Pengertian Dan Dalil Aul

Aul secara etimologi mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-mailu


„anil haq wa al-jaūr (kecenderungan untuk takut dan tidak adil), al-ẓiyādah
(bertambah), alirtifā‟ (naik/meluap), seperti dalam kata „āla al-māu izā ẓāda wa
irtafa‟a „an ḥaddihi (air yang naik jika ditambah dan melampaui batasannya),
dan „aul dalam farāiḍ yaitu bertambahnya hitungan dalam farāiḍ dengan
bertambah sahamnya, maka berkuranglah bagian bagi ahli farāiḍ. Sedangkan
„aul secara terminologi adalah bertambahnya saham (bagian) masalah dari
aslinya, yang menjadikan berkurangnya bagian yang akan diterima oleh ahli
waris. Dikatakan „aul karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal
masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima
oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil, karena apabila pembagian
warisan diselesaikan menurut ketentuan yang semestinya, maka akan terjadi
kekurangan harta.1

Istilah ‘aul defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta waris


dari yang telah ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian
para ahli waris (ashabul furud). Keadaan seperti ini terjadi disaat dalam
pembagiannya bagian ashabul furudh makin banyak sehingga harta yang
dibagikan habis sedangkan diantara mereka ahli waris (ashabul furudh) belum
semua menerima pembagian warisannya. Maka jalan keluarnya adalah
ditambahkan jumlah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat dibagi

1
Muhibussabry, Fikih Mawaris. (Medan: Pusdikra Mitra Jaya,2020), hlm. 41.

3
secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris (ashabul furudh) yang tentunya
menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris menjadi berkurang.2

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 192, disebutkan bahwa “Apabila


dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris żawil furūḍ menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut
dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan
dibagikan secara „aul menurut angka pembilang”. Dengan demikian, berarti
tidak ada perbedaan antara defenisi terminologi yang telah dirumuskan oleh
para ulama farāiḍ dengan kompilasi hukum islam di Indonesia.

Dalil aul terdapat dalam Quran Surat An Nisa Ayat 3 ;

Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
agar kamu tidak berbuat zalim ( Quran Surat An Nisa : 3 )

2. Cara Penyelesaian Aul

Khalifah Umar menyelesaikan kasus Aul dengan cara memperbesar asal


masalahnya yang mengakibatkan berkurangnya bagian yang harus diterima para
waris, seperti dalam kasus pertamanya seorang suami yang berhak 1/2 harta

2
Hulia Syahendra. Aul Dalam Teori Dan Praktek Hukum Waris Islam. Jurnal Hukum Replik,
Vol,6 No.1 (Maret 2018).

4
warisan, justru hanya bisa mendapatkan sebesar 3/7 nya saja dari seluruh harta
warisan. Begitu juga dengan dua orang saudara perempuan kandung yang
hanya mendapatkan 4/7, padahal sebelumnya ia memiliki farḍ 2/3. Hasil
penyelesaian yang diterapkan ini, kemudian menjadi perbincangan para fuqaha
khususnya di masa itu, dan bahkan telah menjadi satu diantara masalah-masalah
yang diperselisihkan secara meluas di kalangan mereka. Dalam artian telah
terjadi pro dan kontranya sebagian mereka dalam menanggapi masalah
demikian. Ini dapat dilihat pada alasan yang dikemukakan dengan para pelopor
serta pendukungnya masing-masing, yang pada prinsipnya terdapat dua
kelompok besar, yakni: Ibnu Abbas menyatakan bahwa pada lahirnya, ayatayat
kewarisan itu telah menjelaskan furūḍul muqaddarah (bagian tetap) secara
sempurna, karena itu setiap aṣhab (ahli waris) haknya harus dipenuhi selagi
keadaan memungkinkan, jika tidak, maka hak sebagian waris, seperti anak-anak
perempuan atau saudara perempuan hendaknya tidak dipenuhi.3

Menurut Syiah jika jumlah bagian ahliwaris melebihi dari total penyebut
atau asal masalah atau jumlah harta kurang dari bagian fard ahli waris maka
cara menyelesaikannya adalah dengan mendahulukan sebagian ahliwaris untuk
menerima bagian fardnya secara penuh sesuai dengan bagian yang ditentukan
al-Quran Pengurangan tersebut dibebankan kepada yang lebih dekat kepada
kedua orang tua selain suami-istri dan selain yang punya hubungan kedekatan
dengan ibu, sehingga pengurangan tersebut tidak dibebankan kepada seluruh
ahliwaris secara merata. Syiah menolak konsep ‘aul yang dikemukakan oleh
‘Umar bin Khattab yang membebankan pengurangan bagian waris kepada
seluruh ahliwaris yang ada sesuai porsi bagiannya yakni dengan menaikkan
(‘aul) asal masalah atau penyebut sesuai jumlah bilangan bagian keseluruhan
ahli waris. Menurut syiah tidak ada ‘aul dalam warisan karena mustahil Allah
menentukan bagian fard untuk ahli waris sementara harta yang dibagikan tidak

3
Opcit, hal. 45.

5
mencukupi berdasarkan ketentuan bagian fard tersebut. Atas dasar itu, menurut
mereka konsep ‘aul itu adalah batal Langkah yang ditempuh syiah untuk
menyelesaiakan permasalahan dalam keadaan apabila bagian fard dari
keseluruhan ahliwaris melebihi asal masalah adalah dengan mengurangi bagian:
Pertama, anak perempuan sendirian atau lebih dari satu orang. Kedua, saudari
kandung atau saudari seayah baik sendiri maupun lebih dari satu, tetapi bukan
saudari seibu. Dalam hal ini al-Sharîf al-Murtaḍâ mengatakan “Dan pendapat
yang diikuti Syiah Imamiyah: sesungguhnya jika harta tidak mencukupi bagian
ahliwaris maka didahulukan ahliwaris yang mempunyai bagian yang kuat yakni
mendahulukan orang tua dan suami/istri daripada anak perempuan, dan
mendahulukan saudari seibu daripada saudari seayah dan saudar kandung,
kemudian menjadikan sisanya kepada mereka (anak perempuan, saudari
seaayah atau saudari sekandung)” Pemberian beban pengurangan terhadap anak
perempuan dan saudari sekandung atau saudari seayah bukan tanpa alasan.
Menurut syiah setiap ahli waris yang hanya mempunyai satu bagian fard dalam
al-Quran dan tidak disebutkan bagian lain dalam alQuran jika bagian yang
pertama turun maka ahliwaris ini diakhirkan atau memdapat beban
pengurangan.4 Akan tetapi ahli waris yang disebutkan bagian minimal dan
maksimalnya dalam al-Quran, maka ahli waris ini tidak dapat menerima
pengurangan. Ilustrasi langkah syiah tersebut dapat dicontohkan dalam
beberapa keadaaan berikut:

Pertama, jika seseorang mati meninggalkan ahli waris yang terdiri dari
suami, ibu, ayah dan satu anak perempuan. Menurut penganut konsep ‘aul yang
diikuti ulama’ Sunni, maka bagian suami yang asalnya 3/12 diubah menjadi
3/13, ibu yang asalanya 2/12 diubah menjasdi 2/13, ayah yang asalnya 2/12
menjadi 2/13 dan anak perempuan yang asalnya mendapat 6/12 menjadi 6/13.
Penambahan asal masalah atau penyebut dimaksutkan untuk pemerataan
4
Syabbul Bachri, Pro Kontra ‘Aul Dalam Kewarisan Islam: Studi Komparatif Antara
Pandangan Sunni dan Syiah, “Jurnal Hukum dan Syari’ah”. Vol. 10, No. 2,2018,hlm.56-58.

6
pengurangan bagian kepada seluruh ahliwaris. Akan tetapi, menurut syiah,
pengurangan hanya berlaku pada anak perempuan sedangkan ahliwaris yang
lain tetap mendapatkan bagian warisnya sesuai dengan fard-nya.

Kedua, jika seorang mati meninggalkan suami, saudari seibu, dan dua
saudara kandung. dalam keadaan ini menurut penganut ‘aul, bagian suami yang
asalnya 3/6 diubah menjadi 3/8. Bagian saudari seibu yang asalnya 1/6 diubah
menjadi 1/8 dan bagian dua saudari kandung yang asalnya 4/6 diubah menjadi
4/8. Sedangkan menurut Syiah, pengurangan pada kelompok ini dibebankan
kepada dua saudari kandung. Sementara ahliwaris yang lain tetap mendapatkan
sesuai dengan porsi fardnya.5

Mengenai kemungkinan-kemungkinan keadaan yang menyebabkan


bagian ahli waris yang berimplikasi pada kurangnya harta untuk dibagikan,
menurut konsep Syiah, akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan konsep
Sunni. Hal ini karena Syiah menganut konsep pembagian kelas atau tingkatan
antara ahliwaris yang menentukan bahwa ahliwaris pada tingkat ke II tidak
akan bisa mewarisi bersamaan dengan ahli waris tingkat I. Begitu juga
ahliwaris tingkat III tidak dapat mewarisi selama ada ahliwaris tingkat I dan II.
Dengan demikian permasalahan-permasalahan yang menyebabkan kekurangan
harta waris (‘aul menurut Sunni) yang melibatkan ahliwaris antar tingkatan
tidak akan terjadi. Misalnya pada kasus yang dikenal dalam fikih Sunni dengan
mubahalah ketika ahli waris terdiri dari suami, saudari kandung dan ibu.
Menurut Sunni, suami mendapat 1/2 atau 3/6. Saudari kandung mendapat 1/2
atau 3/6. dan ibu mendapat 1/3 atau 2/6. Jumlah dari keseluruhan bagian adalah
8/6. Dalam keadaan ini terjadilah ‘aul menurut Sunni karena asal masalah atau
penyebut lebih kecil dari pada pembilang. Jumlah total yang asalnya 8/6
dinaikkan (‘aul) menjadi 8/8. Permasalahan mubahalah ini jika dianalisa

5
Ibid, hlm. 59

7
berdasarkan konsep syiah tentu tidak akan terjadi, karena ibu menempati
golongan ahli waris tingkat I sedangkan saudari kandung menempati golongan
tingkat II. Sehingga saudari akan terhalang oleh ibu untuk mendapat warisan.
Jadi dalam konteks kasus mubahalah tersebut yang mewarisi adalah suami dan
ibu saja. Suami mendapat 1/2 atau 3/6 dan ibu mendapat 1/3 atau 2/6 ditambah
1/6 sisa bagian dari total bagian keseluruhan melalui radd (radd menurut syiah
yaitu pengembalian sisa kepada ahli waris dzawil furûd selain suami atau istri.6

B. Pengertian Radd
1. Pengertian Dan Dalil Radd

Radd secara bahasa berarti mengembalikan (i’adah waal-Sarf).


Sedangkan secara istilah adalah mengembalikan sisa harta kepada ahli waris
tertentu secara proporsional sesuai bagian yang diterimanya.7

Dalam pengertian lain Kata radd berarti i’adah yang bermakna


mengembalikan, sebagaimana kalimat radda ‘alayh haqqah yang berarti ‘adahu
‘alayh yang artinya dia mengembalikan hak kepadanya. Kata radd juga berarti
sarf yaitu memulangkan kembali. Sebagaimana kalimat radda ‘anhu kaida
‘aduwwih, bermakna memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya. Dalam
literatur lain disebutkan bahwa radd berarti al-irja’ yang bermakna
pengembalian. Radd dalam bahasa Arab secara umum berarti adalah
kembali/kembalikan atau juga bermakna berpaling/palingkan dan menghalau.

Menurut Wahbah al-Zuhayli, radd adalah adanya harta yang tersisa dalam
perhitungan dan apa yang tersisa dikembalikan kepada dhawil furud nasab
(selain suami/isteri) sesuai dengan bagian-bagian perhitungan mereka. Wahbah
menyangkal adanya pengembalian kepada suami/isteri dengan alasan bahwa,
mereka tidak memiliki hubungan nasab tetapi hanya dibatasi dengan hubungan
6
Ibid, hal.59.
7
Maimun Nawawi ,Pengantar Hukum Kewarisan Islam ,( Surabaya:Buku Pustaka
Radja,2016 ), hlm. 164.

8
sebab, yaitu hubungan perkawinan. Sehingga, bagian harta yang tersisa hanya
diberikan kepada dhawil furud nasab sesuai dengan hak mereka masing-masing
ketika tidak dijumpai adanya ‘asabah. Apabila dalam kasus tersebut terdapat
‘asabah, maka kasus ini tidak dinamakan dengan radd, karena harta dapat
dihabiskan oleh ahli waris ‘asabah,sehingga tidak ada harta yang tersisa.Ibnu
Rusyd mendefinisikan radd adalah berkurangnya jumlah siham (pembilang
dhawil furud) dari asl mas’alah (penyebut/harta waris) sehingga menyebabkan
bertambahnya jatah bagian dan masing-masing pewaris. Tidak jauh berbeda
dengan ulama lainnya, Ibn Rusyd memfokuskan permasalahan radd ini dalam
bentuk pengembalian harta yang tersisa karena berkurangnya jumlah pembilang
pada dhawil furud, sehingga mereka memperoleh bagian mereka masing-
masing dan memperoleh tambahan dari sisa harta tersebut.

Dengan demikian, radd dapat dipahami sebagai salah satu kasus waris
yang terjadi apabila jumlah saham-saham ahli waris lebih kecil dari pada asal
masalah yang akan dibagi. Sehingga menyebabkan adanya sisa lebih dari saham
yang tidak habis terbagi tersebut dan dikembalikan bagian yang tersisa dari
bagian dhawil furud nasabiyyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya
bagian, apabila tidak ada orang lain yang berhak menerimanya. Saham yang
tersisa tersebut harus dikembalikan melalui penyelesaian yang tepat
berdasarkan nass. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya perselisihan antar
dhawil furud.8

Dalil radd terdapat dalam Quran Surat Al Anfal Ayat 75 :

8
Lia Murlisa, “Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Sosial Kemasyarakatan”, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA, Vol. 14. No. 2,
(Februari 2015).

9
“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)”. (QS. Al Anfal: 75)

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa yang berhak menerima


radd adalah semua as-habul furudh selain suami, istri, ayah, dan kakek.

Ahli waris yang terjadi Radd pada mereka adalah Ahli waris fardhu (as-
habul furudh) dari para kerabat terdekat mayit, sehingga tidak ada radd pada
salah seorang pasutri, karena kedunya tidak terikat dengan kekerabatan rahim.
Mereka ada delapan orang: Anak-anak perempuan, Cucu-cucu perempuan dari
anak laki-laki, Saudari-saudari kandung, Saudari-saudari seayah, Saudara
seibu,Saudari seibu, Ibu, Nenek (seorang atau lebih secara mutlak).9

2. Ahli Waris Radd

Ahli Waris Penerima Radd dalam Faroid dan Kompilasi Hukum


Islam :

a. Utsman bin ‘Affan


Utsman bin Affan berpendapat bahwa jika harta melebihi saham dan
tidak ada ‘asabah dari jalur nasab dan juga dari jalur sebab pewarisan, maka
harta dibagikan seluruhnya kepada dhawil furud tanpa terkecuali (radd
boleh diberikan kepada siapa saja tanpa ada pengecualian) sesuai

9
M. Saifuddin Masyhuri ,Ilmu Faraidl ( Pembagian Harta Warisan Perbandingan 4
Mazhab ), ( Kediri: Santri Salaf Pres,2016 ), hlm.108.

10
dengan bagian mereka masing-masing. Menurutnya lagi, radd juga
dapat diberikan kepada suami atau isteri sebagaimana diberikan kepada
dhawil furudlainnya. ‘Utsman merujuk pada permasalahan ‘awl,
dimana suami atau isteri menanggung kekurangan ketika ‘awl.
Jika terjadi ‘awl pada pewarisan, tentu akan ada pengurangan bagian
dari semua dhawil furud, tanpa terkecuali. Agar imbang, mereka juga
wajib menerima tambahan ketika ada pengembalian untuk harta yang
tersisa.10

Adapun ahli waris penerima radd menurut ijtihad ‘Utsman bin


‘Affan antara lain adalah sebagai beriku ;

1) Suami/isteri
2) Ayah
3) Kakek, ke atas
4) Ibu
5) Nenek
6) Anak perempuan
7) Cucu perempuan pancar laki-laki
8) Saudari kandung
9) Saudari seayah
10) Saudari seibu
11) Saudara seibu
b. Ibnu Mas’ud
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sisa harta warisan dikembalikan
kepada ahli waris dhawil furudkecuali tujuh orang, di antaranya
suami/isteri (keduanya secara mutlak), cucu perempuan garis laki-laki
jika ada anak perempuan, saudara perempuan seayah jika bersama
10
Agustina Kumala, “Ahli Waris Penerima Radd Dalam Perspektif Fiqih Mawaris (Faratdh)
Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)”, Jurnal Bilancia, Vol. 10, No. 2, (Juli –Desember 2016), hlm.
187

11
saudara perempuan sekandung, saudara-saudara ibu apabila bersama ibu,
nenek jika ada dhawil furudyang lebih berhak. Dalam hal ini Ibnu Mas’ud
( yang diikuti oleh Alqamah dan Imam Ahmad bin Hanbal )
memprioritaskan ahli waris yang berhak menerima radd adalah ahli waris
yang terdekat. Sebagai contoh nenek. Nenek dekat dengan si mayit karena
adaperantara perempuan lain yaitu ibu sehingga memperlemah nenek
untuk mendapatkan hak waris, secara otomatis nenek tidak dapat ikut
bergabung kepada mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan yang
lebih kuat.
c. Ibnu ‘Abbas

Ibnu Abbas berpendapat bahwa pengembalian terhadap harta


warisan yang tersisa itu diserahkan kepada dhawil furud selain
suami/isteri, juga selain nenek jika ia bersama dengan seorang dhawil
furudyang memiliki hubungan kekerabatan karena nasab. Jika tidak ada,
maka ia boleh memiliki pengembalian harta tersebut. Adapun dalil yang
digunakan Ibnu ‘Abbas untuk memperkuat pengecualiannya terhadap
nenek adalah sabda Rasulullah Saw. yang artinya “Dari Ibnu Buraidah r.a.
yang menerangkan bahwasanya Nabi MuhammadSaw. menjadikanbagian
seperenam untuk nenek, bila tidak didapati ibubersamanya” Oleh karena
itu, nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah
ditetapkan, kecuali jika tidak ada dhawil furud yang memiliki hubungan
kekerabatan karena nasab. Dengan demikian menurut Ibnu ‘Abbas,
dhawil furud yang berhak menerima radd adalah ayah, kakek ke atas,
ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudari
kandung, saudari seayah, saudari seibu dan saudara seibu.11

d. Ali Bin Abi Thalib

11
Ibid, hlm. 188-189.

12
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa radd bisa digunakan untuk
menyelesaikan pembagian harta warisan yang tersisa dan hak radd
diberikan kepada semua dhawil furud berdasarkan garis keturunan,
artinya suami/isteri tidak dapat menerima hak tersebut karena
mereka saling pusaka mempusakai oleh sebab perkawinan dan
terputus hubungan mereka karena salah satunya meninggal dunia.
Hubungan kekerabatan karena nasab akan tetap kekal, walaupun ahli
warisnya telah meninggal dunia.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan untukmencegah dhawil furudyang
memiliki ikatan nasab dengan ahli waris untuk mewarisi dengan cara radd,
karena mereka lebih berhak mendapatkan warisan daripada yang lain.
Alasan Ali bin Abi Talib ialah bahwa nassyang mengatur hak
suami/isteri mengenai kewarisan telah demikian tegas dan hanya dalam
ayat mawaris saja. Tetapi untuk sanak kerabat, kecuali ada pengaturan
dalam ayat mawaris masih ada terdapat dalam ayat-ayat lainnya. Di dalam
ayat itu terdapat ketentuan yang dapat dipandang sebagai petunjuk
adanya hak kewarisan untuk mereka, di antaranya terdapat dalam Surah al-
Anfal ayat 75. Sehingga ‘Ali bin Abi Talib (yang diikuti jumhur
‘ulama) merumuskan dhawil furudyang berhak menerima radd di
antaranya adalah ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan
pancarlaki-laki, saudari kandung, saudari seayah, saudari seibu dan
saudara seibu.Ayah dan kakek tidak menerima radd karena radd itu ada
apabila tidak ada ahli waris ‘asabah, sedangkan ayah dan kakek
termasuk ahli waris ‘asabah yang mengambil sisa dengan jalan ta’sib dan
bukan dengan cara radd.12

3. Cara Penyelesaian Radd


12
Ibid.

13
Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta ke ahli waris
seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional.
Caranya adalah mengurangi angka asal masalah,sehingga sama besarnya
dengan jumlah bagian yang diterima oleh: mereka Apabila tidak ditempuh
dengan cara radd akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak
menerimanya, sementara tidak ada ahli waris yang menerima ashabah.13

Contoh penyelesaian kasus Radd

Ahli waris Fard Asal Masalah: 6 Penerimaan (di-Aul-kan)


Sahamnya Penyebut jadi 9 (3+2+4)

Suami ½ ½x6=3 3/9x Rp. 900.000.000,-= Rp.


300.000.000,-

Ibu 1/3 1/3x 6 = 2 2/9 x Rp 900.000.000,-= Rp.


200.000.000,-

2 sdri kandung 2/3 2/3 x 6 = 4 4/9xRp. 900.000.000,-= Rp.


400.000.000,-

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris


menggunakan asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami
kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena bagian ahli waris total
sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar
Rp.900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing
harta waris yang

13
Amal Hayati. “dkk”, Hukum Waris, ( Medan: Manhaji,2015), hlm. 66.

14
diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni
suami mendapatkan Rp. 300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-,
dan dua saudari kandung mendapatkan Rp. 400.000.000,-

Suami dan istri tidak termasuk ahli waris yang mendapatkan radd,sebab
hak waris mereka hanya sebatas karena hubungan pernikahan bukan
kekerabatan. Dengan kematian,hubungan pernikahan dapat berakhir,namun
hubungan kekerabatan tetap utuh, sehingga yang mendapat radd hanya ahli
waris kerabat.

Jika terdapat ayah dan kakek, maka tidak akan ada radd, sebab meskipun
ayah dan kakek mendapat bagian pasti, ayah dan kakek juga dapat berstatus
menjadi ahli waris ashabah, sehingga jika ada sisa harta warisan maka otomatis
akan diambil ayah atau kakek.

Dalam hitungan radd, ada 4 kondisi :

a. Para ahli waris mendapat bagian warisan sama besar, dan tanpa
ada suami atau isteri.

b. Para ahli waris mendapat bagian warisan tidak sama besar, dan
tanpa ada bagian suami atau isteri.

c. Para ahli waris mendapat bagian warisan sama besar, dan


terdapat suami atau isteri.

d. Para ahli waris mendapat bagian tidak sama besar, dan terdapat
suami atau isteri.14

BAB III

PENUTUP

14
Opcit, hlm. 109.

15
A. Kesimpulan
Menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi kekurangan
harta ketika pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar dari angka
penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan
inilah yang dinamakan ‘aul.
Menurut fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian warisan
dimana pembilang lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta dibagikan ke
delapan ahli waris tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli waris tanpa
terkecuali.
Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi Hukum islam
yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd
yaitu tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd
terjadi pada delapan ahli waris ash-hab al-furudl. Dalam masalah aul tidak ada
perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi
Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
B. Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung
jawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
tentang pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA

16
Agustina Kumala. 2016. Ahli Waris Penerima Radd Dalam Perspektif Fiqih Mawaris
(Faratdh) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Vol 10 Nomor 2. Jurnal
Bilancia.
Amal Hayati, dkk. 2015. Hukum Waris. (Medan: Manhaji).

Hulia Syahendra. 2018. Aul Dalam Teori Dan Praktek Hukum Waris Islam, Vol 6
Nomor 1. Jurnal Hukum Replik.
Lia Murlisa. 2015. Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Sosial Kemasyarakatan,Vol 14 Nomor 2. Jurnal Ilmiah
ISLAM FUTURA.
M. Saifuddin Masyhuri. 2016 ,Ilmu Faraidl ( Pembagian Harta Warisan
Perbandingan 4 Mazhab ), ( Kediri: Santri Salaf Pres ).
Maimun Nawawi. 2016. Pengantar Hukum Kewarisan Islam. (Surabaya: Buku
Pustaka Radja).
Muhibussabry. 2020. Fikih Mawaris. (Medan: Pusdikra Mitra Jaya).
Syabbul Bachri. 2018. Pro Kontra Aul Dalam Kewarisan Islam: Studi Komparatif
Antara Pandangan Sunni dan Syiah, Vol 10 Nomor 2. Jurnal Hukum dan
Syari’ah.

LAMPIRAN

17
18

Anda mungkin juga menyukai