“HUKUM WARIS”
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
KELAS A
2020
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya selaku penulis kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. tanpa pertolongannya tentu
penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Penggolongan Ahli Waris dalam BW,
Islam, dan Adat” sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Waris.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Besar harapan penulis, di kemudian hari, makalah ini dapat menjadi tolak ukur
mengenai pembuatan makalah Hukum Waris. Adapun penulis juga berharap semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
ii
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan suatu masalah yang mendapat perhatian yang besar. Karena
pembagian dalam warisan tersebut sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Hubungan persaudaraan dapat
berantakan apabila masalah seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Oleh
karena itu, untuk menghindari timbulnya masalah tersebut sebaiknya pembagian warisan
diselesaikan dengan adil. Penggolongan ahli waris sangat diperhatikan sekali agar warisan
dapat terbagi secara adil menurut hukum waris BW, menurut islam harus sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan apabila dibagi menurut hukum waris adat harus sesuai
aturan adat yang berlaku di daerah tersebut.
Adapun banyaknya masalah-masalah yang timbul akibat dari perebutan waris ini, seperti
masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta warisan dengan adil atu adanya
ketidaksepakatan bersama dalam pembagian harta warisan tersebut. Oleh karenanya, dalam
pembagian warisan harus dilihat terlebih dahulu hukum mana yang akan digunakan oleh para
ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi agar mendapat bagian sesuai
dengan yang disepakati.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ahli waris menurut BW dibagi menjadi beberapa golongan dengan pengertian apabila
golongan pertama tidak ada maka golongan kedua yang berhak menerima sedangkan
golongan yang lainnya tidak berhak dan begitu seterusnya.1 Sehingga secara garis besar
tentang pembahagian ahli waris dan cara membagi warisan berdasarkan golongan ada
empat, yaitu:
2
Pada Pasal 914 KUHPerdata besarnya (Legitieme portie) pembagian waris adalah
sebagai berikut:
1) Bila hanya seorang anak, bagian mutlaknya adalah 1/2 (setengah) dari bagian yang
harus diterimanya.
2) Bila dua orang anak, bagian mutlaknya 2/3 (dua pertiga) dari apa yang seharusnya
diwarisi oleh masing-masing.
3) Tiga orang anak/lebih yang ditinggalkan, maka bagian mutlak dari masing-masing
anak adalah 3/4 (tiga perempat) bagian yang sedianya masing-masing mereka terima
menurut undang-undang.4
1) Golongan pertama yang mendapatkan warisan ialah suami/istri mendapat 1/4 bagian.
2) Golongan ke-2 yang mendapatkan warisan ialah ayah dan ibu, masing-masing
mendapat 1/4 bagian. Pada prinsipnya bagian orang tua tidak boleh kurang dari itu.
3) Golongan ke-3 yang mendapat warisan adalah kakek nenk baik dari ayah/ibu.
Pembagiannya dipecah menjadi 1/2 bagian untuk garis ayah dan 1/2 bagian untuk garis
ibu.
4) Golongan ke-4 yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis
atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat 1/2 bagian. Sedangkan ahli waris dalam
garis lain yang derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan 1/2 bagian
sisanya.
C. Penggantian Tempat
4
Anang Hadi Kurniawan dan Ade Darmawan Basri, “Analisis terhadap Pembagian Harta Warisan Ditinjau dari
Hukum Perdata dan Hukum Islam”, Alaudin Law Development Journal (ALDEV), Vol. 2 No. 2 (Agustus, 2020),
260.
3
Setiap anak yang meninggal dunia lebih dulu digantikan oleh anak-anaknya,
demikian pula jika di antara pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih
dulu lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya dan begitu seterusnya.
2) Penggantian dalam garis kesamping
Apabila saudara, baik saudara kandung maupun tiri pewaris meninggal lebih
dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh anaknya. Jika anak-anak saudara
telah meninggal maka digantikan keturunannya, begitu seterusnya.
3) Penggantian dalam garis kesamping menyimpang
Dalam hal yang tampil sebagai ahli waris itu dari anggota-anggota keluarga
yang lebih jauh tingkat perhubungannya daripada saudara, misalnya paman atau
keponakan, dan mereka ini meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya
digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam.5
D. Djawil Furud
Ahli waris yang dimaksud dengan djawil furud yaitu ahli waris yang mendapat bagian
tertentu menurut ketentuan-ketentuan yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan
hadis. Bagian-bagian tertentu yang disebut dalam Al-Qur’an adalah bagian 1/2, 2/3, 1/4, 1/6,
1 1/
/3, 8. Semua bilangan ini disebut dalam Al-Qur’an untuk ahli waris tertentu. Mereka
yang termasuk ahli waris djawil farud ialah ibu, bapak, duda, janda, saudara laki-laki
seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.
E. Ashabah
Ahli Waris ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu dan
baginya menerima sisa setelah diambil (dikurangi) bagian djawil furud, sehingga
dimungkinkan menerima seluruh harta warisan apabila tidak ada djawil farud, atau
menerima sisa yang banyak apabila bagian djawil farud sedikit dan bisa juga
kemungkinan tidak menerima apabila harta warisan itu habis dibagi djawil farud. Ahli
waris ashabah dibagi menjadi 3, yaitu ashabah binafsihi, ashabah bil-ghairi dan ashabah
ma’al ghairi.
5
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia, 141-143.
4
Ashabah binafsihi adalah ahli waris ashabah karena dirinya sendiri, bukan karena
bersama ahli waris lainnya. Ahli waris ini adalah anak laki-laki, bapak, kakek,
cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki
sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, dan
anak laki-laki paman sebapak.
Ashabah bil-ghairi adalah ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya.
Dengan kata lain adalah seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh
orang laki-laki. Yang termasuk ialah anak perempuan yang mewaris bersama
dengan anak laki-laki, cucu perempuan yang mewaris bersama dengan cucu laki-
laki dengan kektentuan, semua cucu tersebut lewat anak laki-laki, saudara
perempuan kandung yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki kandung,
dan saudara peempuan sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki
sebapak.
Ashabah ma’al ghairi adalah saudara perempuan kandung atau sebapak yang
menjadi ashabah karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan. Yang
termasuk adalah saudara perempuan kandung yang mewaris bersama dengan anak
perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sebapak yang
mewaris bersama sengan anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki.6
F. Djawil Arham
Ahli waris djawil arham adalah mereka yang mempunyai hubungan keluarga dengan
pewaris tetapi tidak termasuk golongan waris djawil furud dan ashabah yaitu, terdiri dari
laki-laki dan perempuan dari garis perempuan. 7 Ahli waris djawil furudh ini terdiri dari
12 orang (8 perempuan dan 4 orang laki-laki). Bagian-bagiannya pun ada 6 macam yaitu
1
/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6.8
6
Alhafiz Limbanadi, “Kedudukan dan Bagian Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Islam”, Lex et Societatis,
Vol. II No. 8 (Sep-Nov, 2014), 173-174.
7
Abdul Jamil, “Waris Pengganti sebagai Penyelesaian Waris Islam di Indonesia”, JURNAL HUKUM, Vol. 10
No. 22 (Januari, 2003), 181.
8
Muhamad Rifa’I, Terjemahan Khifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), 249.
5
2) Cucu perempuan mendapat:
1
a) /2 jika sendirian dan tidak bersama cucu laki-laki
b) 2/3 jika 2 orang/lebih dan tidak bersama cucu laki-laki
1
c) /6 jika bersama seorang anak perempuan
3) Ibu, mendapat:
1
a) /6 jika ada anak/cucu/2 orang bersaudara atau lebih
b) 1/3 jika tidak meninggalkan anak/cucu/2 orang saudara atau lebih
1
c) /3 dari sisa, bila ahli waris terdiri ari ayah, ibu, suami/istri
4) Ayah, mendapat:
1
a) /6 jika ada anak laki-laki/cucu laki-laki
b) 1/6 jika + sisa jika tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki
5) Suami, (duda) mendapat:
1
a) /2 jika tidak meningalkan anak/cucu
b) 1/4 jika ada anak/cucu
6) Istri, (janda) mendapat:
1
a) /4 jika tidak ada anak/cucu
b) 1/8 jika ada anak/cucu
7) Saudara perempuan se ayah, mendapat:
1
a) /2 jika sendiri dan tidak ada saudara laki-laki maupun saudara perempuan seayah
b) 2/3 jika lebih dari seorang dan tidak bersama saudara laki-laki/saudara perempuan
seayah
1
c) /6 jika bersama dengan saudara perempuan kandung
8) Saudara perempuan se ibu, mendapat:
1
a) /6 jika sendiri saja
b) 1/3 jika ada seorang laki-laki maupun perempuan
9) Saudara perempuan kandung, mendapat:
1
a) /2 jika sendirian dan tidak ada saudara laki-laki
b) 2/3 jika lebih dari seorang dan tidak bersama saudara laki-laki
10) Saudara laki-laki se ibu, mendapat:
1
a) /6 jika seorang saja
b) 1/3 jika 2 orang/lebih
11) Kakek mendapat:
1
a) /6 jika ada anak atau cucu+sisa bila tidak ada anak/cucu laki-laki
b) 1/6 + sisa harta bila bersamanya anak/cucu perempuan
6
12) Nenek mendapat 1/6 selama tidak terhijab oleh ahli waris yang lain
G. Penggantian Tempat
Dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud ahli
waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh
anaknya. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat
menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris dengan syarat anak itu tidak
terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam Pasal 173.
Disebutkan juga dalam KHI, bahwa bagian ahli waris pengganti belum tentu sama
jumlahnya dngan ahli waris yang digantikan sekiranya ia masih hidup, karena ada
disyartkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Memperhatikan Pasal 185 KHI, A. Sukris Sarmadi
menyebutkan : “Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris
yang menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama
pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni tidak boleh
melebihi bahagian orang yang sederajat dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan
semakna dengan Syi’ah dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi
tidak terhijab dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti.”
Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli
waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu mawali (ahli waris
pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang menjadi ahli waris karena
penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung
(ahli waris) antara mereka dengan si pewaris. Bila demikian hal nya, maka dimungkinkan
terjadi pada tiga arah hubungan kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke
samping.9
Imran AM. Menyatakan bahwa sistem kewarisan yang dianut Kompilasi Hukum
Islam adalah sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu
9
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1970), 165-166.
7
baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki
maupun cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris.10
H. Patrilinial
Sistem hukum waris adat patrilinial ini berpokok pangkal bahwa, hanya anak laki-laki
saja yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan diluar golongan patrilineal.
Adapun yang menjadi ahli waris dalam sistem hukum adat warisan patrilinial ini terdiri
dari:11
b. Anak laki-laki
c. Anak angkat
d. Ayah dan Ibu
e. Keluarga terdekat
f. Persekutuan adat
Semua anak laki-laki menjadi ahli waris, tentunya anak yang sah berhak menjadi ahli
waris dari orang tuanya, baik harta dari hasil perkawinan maupun harta pusaka. Jumlah
harta yang yang menjadi harta warisan sama diantara anak laki-laki pewaris, apabila
pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka bagian harta warisannya masing-
masing 1/3 bagian. Anak angkat angkat dalam masyarakat patrilineal merupakan mahli
waris yang berkedudukan sama seperti anak sah, akan tetapi anak angkat ini hanya
menjadi ahli waris dari harta yang di dapat dalam perkawinan dan tidak mempunyai ha
katas harta pusaka. Untuk ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung pewaris, muncul
sebagai ahli waris apabila tidak ada anak kandung dan anak angkat pewaris. Sehingga
menjadi ahli waris secara bersama-sama.12
I. Matrilinial
10
Imran, A.M, “Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam” dalam Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 (Jakarta: Al-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, 1996), 45.
11
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), 55-56.
12
Komari, “Eksistensi Hukum di Indonesia: antara adat dan Syariat”, Jurnal Asy Syari’ah, Vol. 17 No. 2
(Agustus, 2015), 162.
8
Pada dasrnya dalam susunan masyarakat matrilineal yang berhak menjadi ahli waris
adalah anak-anak wanita, sedangkan anak laki-laki ideologinya bukan ahli waris.
Kedudukan anaj perempuan pada ahli waris matrilineal ini berbeda dengan kedudukan
anak laki pada patrilineal, kedudukan anak laki pada patrilineal berdasar tata hukum
“kebapakan”, sedangkan dalam masyarakat matrilineal, kedudukan perempuan sebagai
ahli waris berdasar oleh kelompok “keibuan”. Golongan hli waris masyarakat matrilineal
ini adalah:
1) Anak perempuan
Para ahli waris perempuan boleh menggunakan, mengusahakan dan menikmati
harta pusaka (tanah sawah, pusaka, rumah gedung) secara bersama-sama di bawah
pengawasan kepala waris.
2) Anak laki-laki
Kemungkinan bagi anak laki-laki dalam masyarakat matrilineal menjadi ahli
waris, apabila salah satu dari mereka ditetapkan sebagai ahli waris dalam satu
keluarga yang tidak mempunyai anak perempuan.
3) Anak tidak sah, dalam masyarakat matrilineal yang sebagian besar beragama
islam, pada umumnya tidak menghendaki adanya anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak sah. Berdasarkan hal tersebut maka anak yang lahir dari perkawinan
tidak sah, tidak berhak mewarisi harta pusaka orang tuanya, apalagi harta pusaka
tinggi yang sifatnya kolektif.
4) Anak angkat, anak tiri, anak akuan
Anak akuan bukan ahli waris dari orang tua yang mengangkatnya, kecuali anak
angka itu berkedudukan sebagai pengganti untuk meneruskan keturunan wanita
yang terputus karena tidak mempunyai anak. Anak tiri, bukan ahli waris dari ibu
tirinya, ia tetap sebagai ahli waris dari ibu/ayah kandungnya. Begitu pula dengan
anak akuan bukan ahli waris dari orang tua yang mengakuinya.
5) Ahli waris janda/duda
Masyarakat matrilineal ini apabila terjadi perceraian/kemtian maka harta
pencaharian/kematian akan dipisah menjadi 2 bagian. Harta kepunyaan istri akan
tinggal, harta yang dibawa suami akan kembali ke asalnya. Jadi, istri bukan waris
dari suami dan suami bukan ahli waris istrinya.
J. Parental atau Bilateral
9
Pada dasarnya dalam mayarakat yang bersifat “keorangtuaan” (parental)/yang
menarik garis keturunan dari 2 sisi yaitu pihak ayah dan ibu (bilateral), tidak
membedakan kedudukan anak laki-laki maupun anak perempuan sebagai ahli waris.
Golongan ahli waris nya adalah:
1) Anak pria dan wanita, kedudukan anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama untuk mendapatkan pembagian harta warisan.
2) Anak tidak sah, sebaagaimana dalam masyarakat patrilineal/matrilineal, begitu
pula dalam masyarakat parental yang menganut agama islam, anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak sah, tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tuanya.
Anak yang tidak sah itu hanya mungkin mewarisi dari ibu/kerabat ibunya, karena
sebagaimana dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, ia hanya mempunyai hubungan perdata dengn ibunya serta
keluarga ibunya.
3) Anak angkat, dikalangan keluarga parental terjadi pengangkatan anak dikarenakan
tidak mempunyaia anak sama sekali, atau tidak ada penerus keturunan/ juga
karena belas kasihan kepada anak yatim dan kurang mampu. Kedudukan anak
angkat dalam masyarakat parental ini tidak dibedakan antara anak angkat adat
yang diresmikan dalam upacara adat, dan anak angkat yang merupakan anak
akuan tanpa upacara adat (anak kukut). Anak angkat menurut hukum adat tetap
berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri, tetapi
hanya dari harta bersama, bukan harta pusaka.
4) Janda/duda, dalam masyarakat parental ini janda/duda tidak saling mewaris.
Tetapi janda atau duda apabila salah satu teman hidupnya wafat, maka yang masih
hidup dapat tetap menguasai harta peninggalan untuk kebutuhan biaya hidupnya
dan anak-anaknya.13
K. Penggantian Tempat
L. Kedudukan tanah gogol, sanggan atau pekulen
Pada tanah pekulen dan gogol yang bergilir ini, ketentuan hukum yang ada masih
menimbulkan konflik karena dianggap
13
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), 83-90.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penggolongan waris menurut
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jaya, Dwi Putra. 2020. Hukum Kewarisan di Indonesia. Bengkulu: Zara Abadi.
Rifa’I, Muhamad. 1978. Khifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra.
Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Hukum Waris Adat di Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam.
12
Samadi, A. Sukri. 1970. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Suparman, Eman. 1985. Inti Sari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Amico
Jurnal
AM, Imran. Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam. Mimbar Hukum
Aktualisasi Hukum Islam. (24), 45.
Jamil, Abdul. 2003. Waris Pengganti sebagai Penyelesaian Waris Islam di Indonesia. JURNAL
HUKUM. 10(22), 181.
Komari. 2015. Eksistensi hukum di Indonesia: antara adat dan syariat. Jurnal Asy Syari’ah. 17(2),
162.
Kurniawan, Anang Hadi dan Ade Darmawan Basri. 2020. Analisis terhadap Pembagian Harta
Warisan Ditinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam. Alaudin Law Development Journal
(ALDEV). 2(2), 260.
Limbanadi, Alhafiz. 2014. Kedudukan dan Bagian Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Islam. Lex et
Societatis. II(8), 173-174.
13