Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MANDIRI

MAKALAH

HUKUM PERDATA

“HUKUM WARIS”

Dosen Pengampuh : Drs.Ukas, S.H., M.Hum.

DISUSUN
OLEH:

NAMA : Meri Yantika


NPM : 210710010
PRODI : Ilmu Hukum

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah tentang “Hukum Waris”

Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu

penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penulis

menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat

maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima

segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang “ Hukum Waris” dapat

memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Batam, 12 July 2022

Meri Yantika

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
2.1 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
3.1 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris ......................................................................................... 3
B. Hak waris menurut undang-undang.......................................................................... 6
C. Hak dan kewajiban ahli waris .................................................................................. 9
D. Pihak ketiga yang tersangkut dalam warisan ............................................................ 11
E. Perihal atau Testament ............................................................................................. 12
F. Fidei-commis........................................................................................................... 13
G. Legitieme portie ...................................................................................................... 15
H. Perihal Pembagian warisan ...................................................................................... 18
I. Harta peninggalan yang tidak terurus ....................................................................... 23
J. Ahli waris yang tidak patut mendapatkan warisan .................................................... 24

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan ............................................................................................................. 25
2. Saran ....................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang
di namakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal nya seseorang, di atur oleh hukum waris. Untuk
pengertian hukum waris sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia, belum terdapat
gambaran pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja,
Wirjono Prodjokoro menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin menggunakan istilah hukum
kewarisan dan soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris. Hukum waris yang berlaku di
Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris
yang di karenakan atau sebab dia menjadi ahli waris
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat
dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal.
Istilah-istilah yang dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian
hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertianya seperti dapat disimak
berikut ini: (1) Waris Istilah ini bersartikan orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)
orang yang telah meninggal. (2) Warisan berarti harta peninggala, pusaka,dan surat wasiat. (3)
Pewaris adalah orang yang memberi pusaka,yakni oaring yang meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka maupun surat wasiat. (4) Ahli waris yaitu
sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris. (5) Mewarisi yaitu mendapat harta pusaka biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi
harta peninggalan pewarisnya. (6) Proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna,
yaitu: Berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup dan berarti
pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
Pewaris adalah seseorang yang telah meniggal dunia dan meningalkan sesuatu yang dapat beralih
kepada keluarganya yang masih hidup (ahli waris) yang secara sederhana pewaris dapat diartikan
sebagai seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan
pada orang yang masih hidup.Sedangkan ahli waris adalah anggota keluarga orang yang
meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena
meninggalnya pewaris Perkembangan zaman tersebut menjadi problem besar bagi Hukum
Kewarisandi Indonesia karena latar belakang negara ini adalah negara yang majemuk suku dan
rasnya maka seringterjadi di dalam masyarakat dapat terjadi pembagian warisan secara berbeda-
beda, yang disesuaikan dengan budaya dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Namun
dalam perbedaan budaya dan kultur tersebut dapat menimbulkan masalah dikarenakan sistem
yang satu dengan yang lain tidak mempunyai pembagian warisan yang sama kepada ahli waris.

1
Contohnya, didalam garis patrilinealyang mendapatkan waris adalah pewaris laki-laki,
sedangkan dalam garis keturunan matrilineal adalah pewaris perempuan. Sedangkan dalam
hukum Islam juga memiliki pembagian waris Islam juga memiliki sistem pembagian waris
berdasarkan agamanya, begitu juga bangsa Indonesia yang dikuasai oleh Belanda selama 350
tahun juga memiliki sistem hukum waris barat berdasarkan burgerlijkwetboek yang kita kenal
sampai sekarang dengan Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berlaku sampai sekarang
bahwa setiap ahli waris atau anak mendapatkan bagian yang sama rata.

2.1 Rumusan Masalah


1. Pengertian hukum waris?
2. Apa Itu Hak waris menurut undang-undang?
3. Apa itu Hak dan kewajiban ahli waris?
4. Apa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang tersangkut dalam warisan?
5. Apa yang dimaksud dengan perihal atau Testment?
6. Apa itu Fidei-commis?
7. Apa itu Legitieme portie?
8. Apa itu Perihal pembagian warisan?
9. Apa yang dimaksud dengan Harta peninggalan yang tidak terurus?
10. Apa yang dimaksud dengan Ahli waris yang tidak patut mendapat warisan?

3.1 Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian hukum waris


2. Untuk Mengetahui Hak waris menurut undang-undang
3. Untuk mengetahui Hak dan kewajiban ahli waris
4. Untuk mengetahui dimaksud dengan pihak ketiga yang tersangkut dalam warisan
5. Untuk mengetahui perihal atau Testment
6. Untuk Mengetahui Fidei-commis
7. Untuk Mengetahui Legitieme portie
8. Untuk Mengetahui Perihal warisan
9. Untuk Mengetahui Harta peninggalan yang tidak terurus
10. Untuk Mengetahui Ahli waris yang tidak patut mendapat warisan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM WARIS
Hukum Waris adalah suatu Hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga keturunan lurus disesuaikan
dengan aturan adat masyarakat setempat yang lebih berhak.
Warisan adalah segala sesuatu peninggalan yang diturunkan oleh pewaris yang sudah meninggal
kepada orang yang menjadi ahli waris sang pewaris tersebut. Wujudnya bisa berupa harta bergerak
(mobil, deposito, logam mulia, dll) atau tidak bergerak (rumah, tanah, bagunan, dll), dan termasuk
pula hutang atau kewajiban sang pewaris. Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang
harta warisan tersebut. mengatur cara-cara berpindahnya, siapa-siapa saja orang yang pantas
mendapatkan harta warisan tersebut, sampai harta apa saja yang diwariskan.

Di Indonesia, hukum waris terbagi menjadi 3 yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata
dan Hukum Waris Adat.

1. Hukum Waris Islam

Dalam Pasal 171 ayat a KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Kewarisan adalah
hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”

Pembagian warisan dalam hukum Islam dibagi berdasarkan bagian masing-masing ahli waris yang
sudah ditetapkan besarannya. Namun warisan dalam hukum waris Islam dapat dibagi berdasarkan
wasiat kepada orang lain atau suatu lembaga dengan ketentuan pemberian wasiat paling
banyak sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

Besaran Bagian Ahli Waris berdasarkan hukum islam menurut Pasal 176-185 KHI adalah:
a. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan
anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian.
c. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak
atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
d. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah.
e. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
f. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.
g. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau
lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

3
h. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

2. Hukum Waris Adat

Hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku,
diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum
waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas dari Hukum waris adat
tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan hukum waris adat
dikenal beberapa macam sistem pewaris, yaitu:

Sistem keturunan: pewaris berasal dari keturunan bapak atau ibu ataupun keduanya.
a. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagisannya masing-masing.
b. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan
ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan hak untuk menggunakan ataupun
mendapatkan hasil dari harta tersebut.
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai pengganti ayah dan ibunya.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal
1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai
kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan
permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan
bermufakat dengan para waris lainnya.

Pada intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris Adat sangat beragam tergantung
ketentuan suatu Adat tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.

3. Hukum Waris Perdata


Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat
nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang
ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hukum waris
perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta
warisan menurut bagiannya masing-masing.
Hukum waris diatur di dalam Buku II KUHPer. Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300
pasal, yang dimulai dari Pasal 830 KUHPer sampai dengan Pasal 1130 KUHPer. Hukum waris
adalah hukum yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, mengenai
pemindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si pewaris. Terdapat tiga unsur di dalam warisan
yaitu:

4
1. Adanya pewaris
2. Adanya harta warisan
3. Adanya ahli waris

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menegaskan pembagian harta warisan baru
bisa dilakukan apabila terjadi kematian. Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil,
yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio
merupakan warisan yang didapatkan berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga
pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.
Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik
atau kakak, dan kakek atau nenek.
Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukkan ahli waris berdasarkan
surat wasiat. Dalam jalur ini, terdapat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
setelah ia meninggal dunia suatu saat nanti yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut
kembali selama ia masih hidup sesuai dengan KUHPer Pasal 992. Cara pembatalannya harus
dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku
bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18
tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang
ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
Di dalam KUHPer telah diatur mengenai penerima waris dalam Pasal 832 menyebutkan orang-
orang yang berhak menjadi ahli waris, yaitu:
 Golongan I
Keluarga yang berada pada garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri yang ditinggalkan, anak-
anak, dan keturunan beserta suami atau istri yang hidup lebih lama.
 Golongan II
Keluarga yang berada pada garis lurus ke atas, seperti orang tua dan saudara beserta
keturunannya.
 Golongan III
Terdiri dari kakek, nenek, dan leluhur.
 Golongan IV
Anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga lainnya hingga derajat
keenam.
Selain itu, terdapat peraturan yang membuat seorang ahli waris tidak berhak menerimanya
meskipun sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair
tetapi di dalam KUHPer telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris
dianggap tidak patut menerima warisan. Berikut adalah orang yang tidak berhak menerima
warisan meskipun sebagai ahli waris:
1. Orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena
membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. (Pasal 838 ayat 1 KUHPer).

5
2. Orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan
memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat
menurut kehendaknya sendiri. (Pasal 838 ayat 3 KUHPer).
3. Orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia
dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. (Pasal
838 ayat 2 KUHPer).
4. Orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Dengan dianggap tidak patut oleh undang-undang bila warisan sudah diterimanya maka
ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah
dinikmatinya sejak ia menerima warisan. (Pasal 838 ayat 4 KUHPer).
Sementara yang menjadi objek dari hukurn waris adalah harta warisan. Harta warisan adalah
kekayaan berupa keseluruhan aktiva dan passiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah
kepada para ahli waris. Keseluruhan kekayaaan yang berupa aktiva dan pasiva yang rnenjadi
milik bersarna ahli waris disebut boedel harta warisan (boedel waris) diberikan oleh pewaris
kepada ahli warisnya ketika syarat yang disebut dalam Pasal 830 KUHPer terjadi yakni dengan
adanya kernatian dari pewaris.
Adapun yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda
kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang
pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya
pewaris. Warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi
seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum
harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Sistem waris KUH Perdata tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta
yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam KUHPer dari siapa pun
juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari
tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.

B. HAK WARIS MENURUT UNDANG-UNDANG

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara
yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

6
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum
Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing
– masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua,
separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka
tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan berdasarkan KUHPerdata ;

A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima
warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami
atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau
keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu,
dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian
orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung
sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari
ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis
ibu.

7
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang
masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan
derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang
meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu
dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan
(Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu
namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu
harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh
Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika
dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala
sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat
pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan
panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang
dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau
melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta
peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris
dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah
telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).

Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama
dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan
Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya,
8
artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika
ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.

Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem
kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan
Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris
(meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli
waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut
oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus
dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan
zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah
bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal
tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para
ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah
sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata,
sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli
waris yang lain
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah
sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat
adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan
konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan
bersifat rohani (magis).

C. HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS

Ahli waris merupakan seseorang yang akan menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris serta seseorang yang akan menyelesaikan kewajiban-kewajiban dari si pewaris. Menurut
hukum waris islam terdapat beberapa kewajiban yang harus di dahulukan penyelesaian oleh ahli
waris sebelum pembagian warisan antara lain melunasi hutang pewaris,membayar biaya jenazah,
membayar zakat,serta melaksanakan wasiat jika ada.
Peralihan harta warisan kepada ahli waris terjadi pada saat si pewaris meninggal dunia. Menurut
hukum waris perdata terdapat beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh ahli waris
terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris diantaranya :

9
Seorang ahli waris wajib memelihara dan menjaga keutuhan harta warisan sebelum harta warisan
tersebut kemudian dibagikan kepada masing-masing ahli waris. Seorang ahli waris tidak boleh
menggunakan harta warisan yang belum dibagi kepada semua ahli waris yang memiliki hak untuk
menerima harta warisan tersebut tanpa persetujuan dari masing-masing ahli waris yang
bersangkutan.
Seorang ahli waris wajib untuk merundingkan sistem pembagian harta warisan kepada semua ahli
waris apakah menggunakan pewarisan menurut hukum perdata,menurut hukum islam,ataupun
menurut hukum adat.
Seorang ahli waris wajib melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
Seorang ahli waris wajib melaksanakan wasiat yang ditulis oleh pewaris jika terdapat surat wasiat.
Selain memiliki kewajiban,seorang ahli waris juga memiliki beberapa hak yang telah diatur di
dalam KUHPerdata antara lain :

 Hak Saisine

Menurut pasal 833 KUHPerdata hak saisine adalah hak yang menjadikan seorang ahli waris
dengan sendirinya karena hukum, mendapatkan hak milik atas semua barang,semua hak,dan
semua piutang orang yang meninggal. Ketika seorang pewaris meninggalkan dunia,maka harta
warisan yang ditinggalkan akan secara otomatis menjadi hak milik ahli warisnya.

 Legitime Portie
Menurut pasal 913 KUHPerdata, legitime portie merupakan suatu bagian harta peninggalan yang
harus diberikan kepada seorang ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang,terhadap
mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian yang
masih hidup maupun selaku wasiat. Legitimate portie merupakan hak seorang ahli waris yang
tidak dapat diganggu gugat yang berkaitan dengan pemberian harta warisan dan telah ditentukan
juga seberapa besar harta warisan yang dapat diterima oleh ahli waris berdasarkan KUHPerdata.
 Hereditatis Petitio
Menurut pasal 834 KUHPerdata, hereditatis petitio merupakan hak dimana setiap ahli waris
berhak untuk mengajukan gugatan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala
mereka, yang baik atas dasar hak yang sama,baik tanpa dasar sesuatu hak pun menguasai seluruh
atau sebagian harta peninggalan,sepertipun terhadap mereka yang secara licik telah
menghentikan penguasaannya.
Ketika hal seorang ahli waris menguasai seluruh harta warisan yang seharusnya dibagikan
kepada seluruh ahli waris secara rata,yang mengakibatkan seorang ahli waris kehilangan hak
mewarisnya karena hal tersebut maka ahli waris yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan negeri dengan menggunakan hak hereditatis petitio.

10
Tanggung jawab ahli waris terhadap harta pewaris dapat ditentukan oleh sikap seorang ahli waris
yang bersangkutan. Dalam kurun waktu empat bulan seorang ahli waris harus telah menentukan
sikapnya, terdapat 3 sikap ahli waris terhadap harta warisan yaitu :
1. Menerima harta warisan secara penuh
Pewarisan secara penuh yang dilakukan dengan tegas melalui akta otentik atau dibawah tangan.
Ahli waris memiliki tanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang pewaris jika ada.
2. Menerima harta warisan dengan beneficiare atau dengan syarat atau dengan mengadakan
pendaftaran harta warisanSeluruh harta warisan yang akan dibagi harus terpisah dari harta
kekayaan pribadi ahli waris, ahli waris tidak perlu bertanggung jawab atas hutang-hutang
pewaris, tetapi ahli waris akan dibatasi oleh banyaknya harta warisan yang diterimanya, jika
hutang pewaris telah dibagi semuanya dan masih ada sisa itulah yang menjadi harta warisan.
3. Menolak harta warisan
Ketika ahli waris menolak menerima harta warisan maka ia dianggap tidak pernah menjadi
seorang ahli waris dan diajukan kepada panitera pengadilan. Ketika pewaris tidak memiliki ahli
waris maka harta warisan akan dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus, tanpa
menunggu keputusan hakim, balai harta peninggalan wajib mengurus harta warisan tersebut yang
kemudian akan dilaporkan ke kejaksaan negeri setempat.
jika terjadi perselisihan tentang harta warisan tersebut apakah merupakan harta yang warisan
terurus atau tidak,maka hal ini akan diputuskan oleh hakim. Jika dalam waktu 3 tahun yang
dihitung dari terbukanya warisan tetapi belum juga ada ahli waris,maka balai harta peninggalan
akan memberikan pengurusan itu kepada negara.

D. PIHAK KETIKA YANG TERSANGKUT DALAM WARISAN

Selain ahli waris dan pewaris,dalam KUH Perdata dikenal adanya :

1. Fidei comnis,yaitu suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan
ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya suatu
waktu atau apabila si pewaris meninggal dunia,maka warisan itu harus diserahkan
kepada orang lain yaitu penunggu (verwachter). cara pemberian semacam ini oleh
Undang-undang disebut Pemberian warisan secara melangkah (erfstelling over de
hand). Menurut pasal 879 KUH Perdata “Suatu ketentuan dalam wasiat yang berisi
pengangkatan waris atau pemberian hibah lompat tangan (fidei comnis) dilarang”.
dalam hal ini apabila seorang mendapat sesuatu dari pewaris dengan ketentuan bahwa
barang itu kemudian harus diberikan kepada orang tiga,kecuali apabila pemberian itu

11
dilakukan kepada anaknya untuk semua anak-anak dari orang itu,kepada saudaranya
untuk semua anak dari saudara itu (Pasal 973 – 991 KUH Perdata). disamping itu
dikenal Fidei comnis recidu (Pasal 881 KUH Perdata) ,dimana seorang waris
(legataris) mendapat keuntungan dari pewaris dengan syarat bahwa sisa dari barang
yang diterima itu kemudian haru diberikan kepada orang ketiga,atau kepada anak-
anaknya.
2. Executeur testamentair (Pelaksana wasiat), yaitu pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh
pewaris,yang bertugas mengawasi pelaksanaan wasiat secara sungguh-sungguh sesuai
dengan kehendak pewaris.
3. Bewind voerder (Pengelola),yaitu seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk
mengurus harta peninggalan (kekayaan),sehingga ahli waris hanya menerima
penghasilan dari harta peninggalan tersebut. maksudnya supaya harta peninggalan
tidak diboroskan atau dihabiskan para ahli waris. Hal ini tidak boleh melanggar
larangan fidei comnis dan legitime portie.

E. PERIHAL ATAU TESTAMENT

Surat Wasiat (testament) adalah sebuah akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia nanti. Karena wasiat
harus dibuat dalam sebuah akta, maka syarat wasiat adalah “tertulis” (dalam bentuk Surat
Wasiat). Ucapan dan kehendak Pewaris sewaktu masih hidup tentang apa yang dikehendakinya
kelak terhadap boedel waris, jika tidak dituangkan kedalam bentuk tertulis (akta/surat), tidak
dapat dikatakan sebagai sebuah wasiat. Selama Pewaris belum meninggal dunia, Surat Wasiat itu
dapat dirubah atau dicabut kembali olehnya.
Meskipun Surat Wasiat harus dibuat dalam bentuk akta, namun hukum perdata tidak
mensyaratkan apakah Surat Wasiat itu harus dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta
otentik. Namun dalam prakteknya, Surat Wasiat umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik
(dibuat di hadapan Notaris). Hal ini penting mengingat dalam segi pembuktian akta otentik
memiliki nilai pembuktian yang sempurna.
Surat Wasiat harus berisi tentang pernyataan kehendak dari Pewaris, yaitu apa yang
dikehendakinya terhadap harta kekayaan yang ditinggalkannya. Karena sifatnya pernyataan
kehendak, maka surat wasiat bersifat sepihak dari sisi Pewaris, dan tidak membutuhkan
persetujuan dari Ahli Waris. Hal ini berbeda misalnya dengan perjanjian yang membutuhkan
kesepakatan para pihak yang terlibat di dalamnya

12
Bentuk surat Wasiat
Hukum perdata, khusunya pasal 931 KUHPerdata, membagi jenis-jenis surat wasiat atas akta
olografis (ditulis sendiri oleh Pewaris), akta umum (dibuat di hadapan Notaris) dan akta rahasia
(tertutup).
Surat Wasiat Olografis
Surat wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani
sendiri oleh Pewaris, lalu surat wasiat itu dititipkan kepada Notaris untuk disimpan. Notaris
kemudian wajib membuat akta penitipan yang ditandatangani oleh Notaris sendiri, Pewaris, dan
para saksi. Bila surat wasiat itu dititipkan kepada Notaris secara terbuka, maka keterangan
mengenai akta penitipan itu harus dijelaskan di bagian bawah surat wasiatnya. Sebaliknya, jika
surat wasiat itu diserahkan kepada Notaris dalam bentuk tersegel, maka penjelasan mengenai
akta penitipan itu dibuat di kertas tersendiri.
Surat Wasiat Olografis yang telah disimpan oleh Notaris mempunyai kekuatan yang sama
dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum. Tanggal pembuatan Surat Wasiat Olografis
dianggap telah dibuat pada tanggal pembuatan akta penitipan (tanpa memperhatikan hari
penandatanganan surat wasiatnya). Jika dikehendaki, Pewaris dapat meminta kembali surat
wasiat olografis-nya sewaktu-waktu, dan pengembalian itu dibuktikan dengan akta otentik
tersendiri.
Surat Wasiat dengan Akta Umum
Surat Wasiat dengan akta umum dibuat di hadapan Notaris dan dua orang saksi. Notaris yang
menulis sendiri Surat Wasiat tersebut, atau menyuruh orang lain untuk menulis kehendak
Pewaris. Selanjutnya, Surat Wasiat itu ditandatangani oleh Pewaris, Notaris, dan saksi-saksi.
Surat Wasiat dengan Akta Rahasia
Surat Wasiat dengan akta tertutup atau rahasia dibuat dan ditandatangani sendiri oleh Pewaris
atau orang lain yang disuruh Pewaris. Kemudian Pewaris menyampaikan Surat Wasiat itu dalam
keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris di hadapan empat orang saksi. Dalam penyerahan
itu Pewaris harus menerangkan bahwa dalam surat tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa
wasiat itu ditulis olehnya sendiri atau oleh orang lain yang disuruhnya, dan ia telah
menandatangani surat Wasiat tersebut. Notaris kemudian membuat akta penjelasan mengenai hal
tersebut dan akta penjelasan itu ditandaangni oleh Pewaris, Notaris, dan para saksi.

F. FIDEI-COMMIS
Fidei commis adalah pemberian warisan kepada seorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia
diwajibkan menyimpan warisan itu, dan setelah lewat suatu waktu tertentu atau kalau si ahli
waris tersebut meninggal dunia, maka warisan itu harus diterimakan kepada orang lain yang
sudah ditetapkan dalam surat wasiat. Hal ini bisa juga disebut pewarisan dengan cara lompat
tangan atau pewarisan secara melangkah (erfstelling over de hand). Orangnya yang dibebani

13
disebut fideicommisarius. Sedangkan orang yang ditunjuk untuk menerima warisan terkemudian
ini disebut verwachter.
Misalnya : A adalah pewaris, mempunyai anak B, dan B mempunyai 2 anak yaitu C dan D. A
membuat wasiat bahwa yang berhak atas warisan A adalah C dan D, bukan B sebagai ahli waris
yang sah. Disini B dibebani tugas supaya menyerahkan warisan tersebut kepada C dan D. B
hanya boleh menikmati hasil dari warisan tersebut. Penyerahan warisan dari B kepada C dan D
harus dalam waktu tertentu. Jadi secara hukum B memang ahli waris, tapi sebenarnya B hanya
menyimpan warisan tersebut dan ia tidak dapat memakai atau menggunakan harta warisan
tersebut.
Bahaya fidei commis menurut undang-undang :
Adanya penyalahgunaan harta untuk waktu yang lama oleh ahli waris, dimana ia memperoleh
keuntungan dari harta tersebut setinggi mungkin. Misalnya uang tersebut dibungakan, bukannya
di depositokan.
Si ahli waris mula-mula tersebut akan menyia-nyiakan pemeliharaan harta warisan.
Kreditur dari ahli waris yang mula-mula, tidak dapat menuntut pengeksekusian dari harta
warisan tersebut. Karena ternyata harta tersebut bukan haknya.
Meskipun ahli waris tersebut hanya sebagai pemakai hasil tetapi ia juga seorang penguasa dari
harta warisan yang diikat secara fidei commissioner. Jadi apabila ia tidakmempunyai keturunan,
maka ia dapat membuat wasiat atas harta tersebut.
Jika pada waktu ahli waris yang dibebani meninggal dunia, maka seorang verwachter langsung
memperoleh warisan menurut hukum. Jadi dalam hal ini tanpa adanya penyerahan eigendom.
Bahkan ia bertindak sebagai ahli waris dari orang yang dibebani harta tersebut. Kalau si
verwachter ini meninggal terlebih dahulu sebelum warisan jatuh kepadanya, maka kedudukannya
hapus, kecuali jika ia mempunyai anak maka anaknyalah yang mengganti kedudukannya.
Ada 2 macam fidei commis yang diperbolehkan undang-undang, yaitu :
1. untuk memenuhi keinginan seseorang yang hendak mencegah kekayaannya dihabiskan oleh
anak-anaknya. Orang diperbolehkan membuat penetapan agar anaknya tidak boleh menjual
benda-benda warisan dan supaya benda-benda itu kemudian diwariskan lagi kepada anak-anak si
waris sendiri.
2. yang lazim dinamakan fideicommis de residuo, di mana hanya ditetapkan, bahwa seorang
waris harus mewariskan lagi di kemudian hari apa yang masih ketinggalan dari warisan yang
diperolehnya itu. Jadi hanya sisanya saja kepada seorang lain sudah ditetapkan.
Fidei commis adalah suatu ketetapan wasiat, di mana orang yang diangkat sebagai ahli waris
atau yang menerima hibah wasiat diwajibkan untuk menyimpan barang-barang warisan atau
hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya baik

14
seluruh maupun sebagian kepada orang lain (berkewajiban untuk menyimpan yang mereka
terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima,
menyampaikannya/menyerahkannya kepada orang ketiga.
Ada 3 (tiga) pihak di dalam fidei commis, yaitu:
1. Pewaris /insteller
2. Orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, sengan tugas/kewajiban
menyimpan barang tersebut dan menyampaikannya kepada pihak ketiga (bezwaarde/pemikul
beban)
3. Orang yang akan menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde
disebut verwachter (penunggu) Pelarangan fedei commis di dalam membuat suatu ketetapan
yang mempunyai akibat hukum beruntun, seri atas satu/beberapa barang yang sama terhadap
beberapa orang secara urutan dengan akibat bahwa barang tersebut untuk suatu jangka waktu
lama tidak dapat dipindahtangankan. Akibatnya menjadi batal demi hukum. Tujuan larangan
tersebut adalah untuk menyelundupi ketentuan yang terdapat dalam Hukum Romawi dimana
orang-orang tertentu adalah bukan ahli waris dan karenanya tidak mewaris dari orang-orang
tertentu atau ia adalah ahli waris.
Fidei commis oleh undang-undang diperbolehkan asal, yaitu:
1. Yang menjadi bezwaarde adalah seorang anak atau lebih
2. Verwachter adalah sekalian anak/keturunan
3. Yang diberikan adalah bagian bebas daripada warisan.

G. LEGITIEME PORTIE
Legitieme portie adalah suatu bagian mutlak tertentu dari harta warisan terutama bagi anak sah
maupun anak luar kawin yang disahkan, yang dijamin hukum tidak dapat dihapuskan oleh
siapapun termasuk pewaris dengan surat wasiat. Hak legitieme portie baru timbul jika ada ahli
waris ab intestato tampil me-nuntut pembatalan suatu surat wasiat dan/atau menuntut supaya
diadakan pengurangan terhadap pembagian warisan jika ia merasa dirugikan karena dikurangi
legitieme portie.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang tersebut memperoleh kedudukan sebagai
legitimaris, adalah:
1. Orang tersebut adalah keluarga sedarah dalam garis lurus.
2. Orang tersebut adalah merupakan ahli waris menurut ketentuan undang-undang pda saat si
peninggal warisan meninggal dunia.

15
Contoh kasus:
P meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak, yaitu C dan D. Legitimaris adalah C dan
D, sebab adalah keluarga sedarah P dalam garis lurus C dan D tersebut adalah ahli waris ab-
intestato. P meninggal dunia dengan meninggalkan A (kakek), B dan C (saudara). A bukan
legitimaris, karena pada waktu meninggalnya P, A bukan ahli waris. Dan C dan B juga bukan
karena tidak merupakan sedarah dalam garis lurus.
Legitieme portie ini harus dihitung, apabila salah satu atau beberapa ahli waris menuntut haknya,
atau salah satu/beberapa orang ahli waris/legitimaris masih ada di bawah umur (minderjarig).
Legitieme portie
masing-masing legitimaris:
1. Legitieme portie untuk anak keturunan yang sah adalah sebagai berikut:
a. 1 (satu) orang anak legitieme portie nya adalah 1/2 dari bagian menurut undang-undang.
b. 2 (dua) orang anak legitieme portie adalah 2/3 dari bagian menurut undang-undang.
c. 3 (tiga) orang anak legitieme portie adalah 3/4 dari bagian menurut undang-undang.
2. Legitieme portie untuk keluarga sedarah dalam garis lurus keatas adalah 1/2 dari bagian
menurut undang-undang.
3. Legitieme portie untuk anak luar kawin adalah 1/2 dari bagian menurut undang-undang.
Jadi dengan adanya ketentuan tentang bagian mutlak atau legietieme portie ini dapat disimpulkan
bahwa, seseorang boleh saja mewariskan atau menghibahkan hartanya kepada orang lain namun
tidak boleh mengurangi bagian mutlak dari ahli waris, jika terjadi pelanggaran terhadap hal ini
maka dilakukan pemotongan atau sering disebut dengan istilah
“incorting” dengan urutan-urutan sebagai berikut:
1. Yang harus dikurangi terlebih dahulu adalah wasiat.
2. Jika wasiat belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.
3. Pengurangan terhadap beberapa wasiat harus dilakukan dengan perbandingan.
Cara menghitung legitieme portie, yaitu:
1. Harta peninggalan sewaktu peninggal warisan meninggal dunia, dihitung dan diinventarisir
untuk mengetahui berapa nilai harganya.
2. Nilai harga dari barang-barang yang mungkin ketika si peninggal warisan masih hidup
diberikan ditambahkan dengan yang di atas.
3. Jumlah di atas dikurangi dengan utang-utang yang pernah dibuat oleh si peninggal warisan.
4. Sisa dari pengurangan tersebut menjadi dasar perhitungan legitieme portie.

16
Legitieme portie dan penggantian tempat dapat digantikan oleh ahli warisnya/keturunannya. Hal
ini adalah sesuai dengan Pasal 914 KUH Perdata bahwa, jika ada anak yang telah meninggal
terlebih dahulu, kedudukan anak yang telah meninggal lebih dahulu dapat digantikan oleh
keturunannya.
Contoh kasus:
A meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak B dan C, serta Ca dan Cb anak sah dari
C.
Legitieme portie untuk B dan C adalah dari bagian menurut UU.
Legitieme portie B = 2/3 x 1/2 = 1/3 dan Legitieme portie C = 2/3 x 1/2 = 1/3. Jika C telah
meninggal dulu dan digantikan Ca dan Ca, maka legitieme portie Ca = AL Cb = 1/2 x 1/3 =1/6.
Dalam hal legitimaris menolak atau tidak patut menerima, besarnya
legitieme portie adalah dikaitkan dengan besarnya warisan menurut undang-undang, sedangkan
adanya penolakan harta warisan sangat mempengaruhi besarnya harta warisan, demikian juga
adanya seseorang yang dianggap tidak patut menerima juga mempengaruhi besarnya harta
warisan. Adanya penolakan atau ketidak patuhan ahli waris untuk menerima tidak
mempengaruhi besar kecilnya
legitieme portie. Jika terjadi pelanggaran terhadap legitieme portie
sehingga hak mutlak tidak dapat dicapai besarnya, maka diadakan pemotongan atau incorting
terhadap wasiat dan jila masih belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.
Dalam keadaan biasa B dan C masing-masing menerima 1/3 dari
legitieme portie masing-masing adalah 3/4 x 1/3 =1/4.
Contoh kasus:
A meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak, yaitu B dan C, di samping itu
meninggalkan wasiat yang isinya menerangkan X sebagai ahli waris dengan bagian 3/4 dari
seluruh harta warisan. Jumlah harta warisan A senilai Rp. 120 juta.
Para legitimaris menurut legitieme portie. Bagaimana penyelesaiannya? Harta peninggalan A
senilai Rp. 120 juta.
Pelaksanaan wasiat kepada X = 3/4 x Rp. 120 juta = Rp. 90 juta.
Sisa = Rp 120 juta- Rp. 90 juta = Rp. 30 juta
Pembagian menurut undang-undang:
B = C, masing-masing = 1/2 x Rp. 30 juta = Rp. 15 juta, Bagaimana penghitungan legitieme
portie?

17
Legitieme portie B = legitieme portie C masing-masing = 2/3 x 1/2 x Rp. 120 juta = RP 40 juta.
Jadi B dan C tidak boleh menerima kurang dari Rp. 40 juta, karena itu merupakan hak mutlakya,
padahal mereka masing-masing baru menerima Rp. 15 juta, jadi masing-masing kurang = Rp. 40
juta – Rp 15 juta, atau total (B+C) kurang = Rp. 50 juta.

H. PERIHAL PEMBAGIAN WARISAN

Pembagian Harta Waris Menurut Islam

Pada hukum Islam tentang harta warisan mengatur bahwa jumlah yang diterima laki-laki adalah
dua kali jumlah yang diterima perempuan. Hal ini merujuk pada ketentuan yang sudah tertulis
dalam Alquran, surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-


anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).

Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak
dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia
(yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

1. Apa yang Wajib Ditunaikan?

Tafsir dari ayat di atas, jelas artinya bahwa harta warisan dibagikan jika memang orang yang
wafat meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta warisan itu
diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan sebagai
peninggalan dari mayit, yakni:

 Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah

18
 Wasiat dari orang yang meninggal
 Utang piutang sang mayit

Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi, selanjutnya pembagian harta warisan bisa dilakukan
kepada ahli waris yang berhak. hukum kewarisan sebagai salah satu bagian dari hukum
kekeluargaan (al-ahwalus syahsiyah) sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaannya tidak
terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya.

Pasalnya, dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka ahli waris dapat menunaikan hak-
hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris atau pewaris, dan
disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Lebih jauh, hal ini juga
ditegaskan Rasulullah SAW, “Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan
belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan
mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan
mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan an-Nasa’i)”.

2. Hukum Kewarisan Sesuai KHI

Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam pasal 171
KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, diantaranya:

 Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing.
 Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
 Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum unutk menjadi ahli waris.
 Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.

19
 Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
 Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
 Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
 Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

1. Pembagian Harta waris menurut Adat

Pada beberapa kondisi di lapangan, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk mengikuti
hukum adat sebagai patokan dalam pembagian harta warisan. Dalam materi Hukum Adat,
disebutkan bahwa di dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat satu sifat
kekerabatan/kekeluargaan yang sama.

Ini lantaran di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat
dimasukkan dalam tiga macam golongan, sebagai berikut:

1. Patrilinial, menarik dari garis keturunan bapak


2. Matrilinial, menarik dari garis keturunan ibu
3. Parental, menarik garis keturunan kedua belah pihak yaitu bapak dan Ibu

Oleh karenanya, ketika membicarakan salah satu bidang Hukum Adat sebagai pegangan dalam
pembagian harta warisan, maka akan selalu dipengaruhi oleh sistem atau sifat kekerabatan di
atas. Sedangkan kalau melihat masing-masing sistem kekerabatan tersebut, maka pengaruhnya
terhadap hukum waris akan terlihat perbedaan-perbedaannya.

Berdasarkan definisinya, hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku
tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut.
Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya, terlepas dari hukum
waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.

20
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal
1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan

tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat
waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan
dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

2. Pembagian Harta Waris menurut Hukum Perdata

Waris menurut Hukum Perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang
mengatur akibat-akibat hukum. Umumnya di bidang hukum harta kekayaan karena kematian
seseorang, yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mendiang beserta akibat bagi para
penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga.
Golongan ahli waris menurut Hukum Perdata dapat dibedakan atas empat golongan.

A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima
warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami
atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau
keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu,
dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian
orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung
sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari
ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis
ibu.

21
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang
masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan
derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

Yang Perlu Dilakukan Sebelum Harta Warisan Dibagikan

Dalam Islam, bila ada seorang muslim yang meninggal dunia dan memiliki harta yang
ditinggalkan (tirkah), maka ada kewajiban sebelum melaksanakan pembagian harta warisan
kepada ahli waris. Kewajibannya adalah sebagai berikut.

 Kewajiban pemilik harta (al-haqq bi ‘ayn at-tirkah)

Contoh kewajiban ini adalah zakat, kafarat dan gadai. Jadi, apabila terdapat pewaris meninggal
dunia dan ternyata ia memiliki tanggungan zakat, kafarat dan gadai misalnya, maka tirkah atau
harta peninggalannya harus digunakan untuk kepentingan ini.

 Sebelum mewariskan harta si pewaris, harta miliki si pewaris harus digunakan untuk
biaya perawatan mayit seperti biaya untuk memandikannya, mengkafani hingga
menguburkannya.
 Bila yang wafat masih memiliki hutang, maka harta peninggalannya (tirkah) harus
digunakan untuk membayar seluruh utang si pewaris.
 Apabila pewaris sebelum meninggal dunia telah mewasiatkan sesuatu yang berkaitan
dengan hartanya (tirkah), maka wasiatnya harus didahulukan terlebih dahulu sebelum
membagi warisan.

Pajak Warisan

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementrian Keuangan menyatakan bahwa harta warisan bukan
merupakan objek pajak. Penerapan pajak baru akan dikenakan kepada ahli waris jika warisan itu
belum terbagi. Adapun aturan tersebut tertuang dalam UU PPh No 36 tahun 2008 pada pasal 4
ayat 3 yang menjelaskan bahwa harta warisan merupakan bukan objek pajak.

22
Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan
dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya. Walaupun warisan tersebut merupakan tambahan
kemampuan ekonomis bagi ahli waris, namun tidak merupakan objek pajak.

Warisan yang dimaksud ini adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang bergerak
maupun harta yang tidak bergerak. Walaupun warisan dikategorikan ke dalam bukan objek
pajak, namun tetap harus diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan ataukah belum.

I. PENINGGALAN YANG TIDAK TERURUS

Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorangpun ahli waris yang tampil ke muka
sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus Dalam hal ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta
Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus
dilaporkan kepada Kejaksaan Negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu
harta peninggalan dianggap tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Berdasarkan pasal 1126, 1127, 1128 KUH Perdata, maka istilah Harta Tak Terurus berarti : “Jika
suatu suatu warisan terbuka, tiada seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang
terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”
Bila batasan pengertian harta peninggalan tak terurus tersebut di atas di analisa dengan cermat,
dapat diketahui beberapa unsur yang membentuk pengertian harta tak terurus, yaitu:

1. Adanya orang yang meninggal dunia


2. Adanya harta yang ditinggal oleh almarhum
3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada, para ahli waris menolak warisan tersebut
4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu.

Pada dasarnya proses pengurusan harta peninggalan tidak terurus tidak jauh beda dengan proses
pengurusan harta yang dinyatakan tidak hadir berawal dari Penetapan Pengadilan tentang
Ketidakhadiran orang tersebut, maka pengurusan harta peninggalan tak terurus bertolak dari
proses pemeriksaan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yang akta
kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan SIpil.
Apabila dalam pemeriksaan terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi hukum Balai
Harta Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut antara lain dengan melakukan
pendaftaran budel. Bila dirasa perlu, maka Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan
atas harta tersebut.
Tugas Balai Harta Peninggalan (BHP) 1. Wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang
keadaan harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang 2. Wajib
membereskan warisan, dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar semua
hutang pewaris, apabila diminta oleh pihak yang berwajib. BHP juga wajib memberikan

23
pertanggungjawaban 15 3. Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui
surat kabar atau panggilan resmi lainnya Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung muali
pada saatterbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil kemuka, BHP akan
memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada Negara, selanjutnya harta
peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi Hak milik Negara.

J. AHLI WARIS YANG TIDAK PATUT MENDAPATKAN WARISAN

Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris
dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:

1. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan
membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris.
2. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum, karena dipersalhkan
memfitnah dan mengadukan pewaris, bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang
diancamhukuman pehjara empat tahun atau lebih.
3. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris
untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
4. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini menguasai sebagian atau seluruh harta
peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahliwaris, ia wajub mengembalikan semua yang
dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dinikmatinya.

Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
1. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu
Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
2. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Bardah.
3. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama
Islam atau kafir.
4. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek
dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris
ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan),
ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat
(2) KHI).

24
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
yang dimaksud hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai harta
peninggalan dari orang yang meninggal duniakepada orang yang masih hidup atau yang
ditinggalkannya.Ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan:
golongan I : Terdiri suami isteri dan anak bersertaketurunannya.
golongan II : Terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya.
golongan III : Terdiri kakek dan nenek serta seterusnya keatas.
golongan IV : Terdiri dari keluarga dalam garis menyampingyang lebih jauh termasuk saudara-
saudara ahli waris golongan))) beserta keturunannya.
SARAN
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

25
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_waris
https://indonesiare.co.id/id/article/hukum-waris-di-indonesia
https://pdb-lawfirm.id/pembagian-waris-berdasarkan-kuh-perdata/
https://sugalilawyer.com/pembagian-harta-waris-menurut-hukum-islam-dan-kuh-perdata-
bw/
https://www.kompasiana.com/marshandaapriyudsy/60ee8e2006310e40855da302/kewajiban
-dan-hak-serta-tanggung-jawab-ahli-waris-terhadap-pewaris-dan-harta-
warisannya?page=all#sectionall
https://butew.com/2018/05/02/4-golongan-ahli-waris-dan-subjek-hukum-waris-menurut-
hukum-perdata/
http://millamantiez.blogspot.com/2013/04/fidei-commis.html
https://123dok.com/article/fidei-commis-dan-legitieme-portie-hukum-waris.zxx0rpnz
https://www.rumah.com/panduan-properti/harta-warisan-islam-adat-hukum-perdata-
51312
https://bhpsurabaya.kemenkumham.go.id/layanan-publik/harta-peninggalan-yang-tidak-
terurus-onbeheerde-nalatenschap

26

Anda mungkin juga menyukai