Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM PERDATA

“HUKUM WARIS”

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Suryaningsi, M. H

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

Muhammad Alamsyah (1905056045)

Cindy Milenia (1905056047)

Diana Rosita (1905056050)

Anjeli Wulandari (1905056066)

Elsa Carolina (1905056077)

Anisa Yulita Handayani (1905056075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
Kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,hidayah dan karuniah-Nya kepada saya,Sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Hukum Waris” dalam memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Perdata.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing Ibu Dr. Hj.
Suryaningsi, M. H yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat
dalam proses penyusunan makalah ini.

Semoga makalah yang penulis susun ini turut bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca.Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu,penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini
di kemudian hari.

Samarinda,30 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................................................

B. Saran....................................................................................................................... .

DAFTAR PUSTAKA

ii
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam
lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang hukum
perdata yang memiliki kesamaan sifat dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur
paksaan. Namun untuk hukum waris perdata, meski letaknya dalam bidang hukum perdata,
ternyata terdapat unsur paksaan didalamnya.

Unsur paksaan dalam hukum waris perdata, misalnya ketentuan pemberian hak mutlak
(legitime portie) kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau
ketentuan yang melarang pewaris telah membuat ketetapan seperti menghibahkan bagian tertentu
dari harta warisannya, maka penerima hibah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta
yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak
(legitimeportie) ahli waris yang mempunyai hak mutlak tersebut, dengan memperhatikan Pasal
1086 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang hibah-hibah yang wajib inbreng
(pemasukan).

Meskipun di dalam hukum waris perdata, terdapat unsur paksaan, namun posisi hukum waris
perdata, sebagai salah satu cabang hukum perdata yang bersifat mengatur tidak berpengaruh.
Konsekuensi dari hukum waris perdata, sebagai salah satu cabang hukum perdata yang bersifat
mengatur, adalah apa saja yang dibuat oleh pewaris terhadap hartanya semasa ia masih hidup
adalah kewenangannya, namun kalau pelaksanaan kewenangan itu melampui batas yang
diperkenankan oleh Undang-Undang, maka harus ada resiko hukum yang dikemudian hari akan
terjadi terhadap harta warisannya setelah ia meninggal dunia.

Hukum waris perdata, sangat erat hubungannya dengan hukum keluarga, maka dalam
mempelajari hukum waris perlu dipelajari pula sistem hukum waris yang bersangkutan seperti
sistem kekeluargaan, sistem kewarisan, wujud dari barang warisan dan bagaimana cara
mendapatkan warisan. Sistem kekeluargaan dalam hukum waris perdata adalah system

1
kekeluargaan yang bilateral atau parental, dalam sistem ini keturunan dilacak baik dari pihak
suami maupun pihak isteri. Sistem kewarisan yang diatur dalam hukum waris perdata adalah
sistem secara individual, ahli waris mewaris secara individu atau sendiri-sendiri, dan ahli waris
tidak dibedakan baik laki-laki maupun perempuan hak mewarisnya sama.

Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia
(pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para
ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum harta
kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Sistem
hukum waris perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum waris lainnya, yaitu
menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat dibagi-bagi kepada
mereka yang berhak atas harta tersebut.

Kalaupun harta peninggalan pewaris hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, maka
harus melalui persetujuan oleh seluruh ahli waris, adapun perbedaan antara harta warisan dan
harta peninggalan adalah harta warisan belum dikurangi hutang dan biaya-biaya lainnya,
sedangkan harta peninggalan sudah dikurangi hutang dan telah siap untuk dibagi.

Pewaris sebagai pemilik harta, adalah mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang
dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekwensi dari hukum waris sebagai hukum yang
bersifat mengatur. Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari
harta warisan, disebut ahli waris Legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia dari harta
warisan yang merupakan hak ahli waris Legitimaris, dinamakan Legitime Portie. Jadi hak
Legitime Portie adalah, hak ahli waris Legitimaris terhadap bagian yang tidak tersedia dari harta
warisan disebut ahli waris legitimaris. Di dalam hukum waris perdata, dikenal ada dua cara untuk
memperoleh warisan, yaitu :

1. Ketentuan undang-undang atau wettelijk Erfrecht atau Abintestato, yaitu ahli waris yang
telah diatur dalam undang-undang untuk mendapatkan bagian dari warisan, karena
hubungan kekeluargaan atau hubungan darah dengan si meninggal.
2. Testament atau wasiat atau testamentair erfrecht, yaitu ahli waris yang mendapatkan
bagian dari warisan, karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu surat wasiat yang
ditinggalkan oleh si meninggal.

2
Ahli waris menurut undang-undang (abintestato), yaitu karena kedudukannya sendiri
menurut undang-undang, demi hukum dijamin tampil sebagai ahli waris, sedangkan ahli waris
menurut surat wasiat (ad Testamento), yaitu ahli waris yang tampil karena “ kehendak terakhir”
dari si pewaris, yang kemudian dicatatkan dalam surat wasiat (testament). Ahli waris yang tampil
menurut surat wasiat, atau testamentair erfrecht, dapat melalui dua cara yaitu Erfstelling, yang
artinya penunjukan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau
seluruh harta peninggalan, sedangkan orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam,
yang kemudian dicatat dalam surat wasiat, cara kedua yaitu Legaat (hibah wasiat), adalah
pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament/wasiat yang khusus, orang yang menerima
legat disebut legataris. Pemberian dalam wasiat tersebut baru dapat dilaksanakan, setelah
pemberi hibah wasiat (pewaris) meninggal dunia.

Manakah yang lebih didahulukan dan diutamakan, ahli waris menurut undang-undang atau
ahli waris menurut surat wasiat. Dalam pelaksanaan dari hukum waris perdata, ahli waris
menurut surat wasiat yang lebih diutamakan, dengan pengecualian selama isi dan pembagian
dalam surat wasiat tidak bertentangan dengan undang-undang. Pertimbangan hukumnya karena
surat wasiat merupakan “kehendak terakhir” dari si pewaris terhadap harta warisannya, dengan
ketentuan tidak boleh merugikan bagian ahli waris menurut undang-undang, karena ahli waris
menurut undang-undang memiliki bagian mutlak (legitime Portie), yang diatur dalam Pasal 913
KUHPerdata yang sama sekali tidak bisa dilanggar bagiannya.

Ahli waris yang memiliki bagian mutlak disebut juga legitimaris, artinya selama ahli waris
yang bagiannya ditetapkan dalam surat wasiat tidak merugikan bagian mutlak ahli waris
legitimaris, wasiat tersebut bias dilaksanakan, kalaupun bagian mutlak ahli waris legitimaris
dirugikan oleh ahliwaris testamentair, maka harus dikembalikan kepada ahli waris legitimaris,
sesuai dengan bagian yang seharusnya mereka dapatkan.

Dalam hukum waris BW (Perdata) suatu pewarisan terdapat tiga unsur penting, yaitu: (1)
adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris, (2) adanya harta kekayaan yang
ditinggalkan dan, (3) adanya ahli waris. Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang
meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud ahli waris
adalah orang-orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum harta
kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Selanjutnya yang dimaksud warisan adalah harta

3
kekayaan yang dapat berupa kumpulan aktiva dan pasiva dari si pewaris yang berpindah kepada
para ahli waris.

Selanjutnya agar dapat menjadi ahli waris harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

1. Harus ada orang yang meninggal dunia.


2. Ahli waris harus ada pada saat si pewaris meninggal dengan tetap memperhatikan pasal 2
KUH Perdata yang menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan seorang ibu,
dianggap sebagai telah lahir bilamana kepentingan si anak tersebut menghendaki, dan
apabila anak ini lahir meninggal maka ia dianggap tidak pernah ada.
3. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewarisi dalam arti tidak dinyatakan oleh
undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewarisi karena kematian, atau
dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.

Mengenai kriteria ahli waris yang dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris menurut J.
Satrio, 8 adalah :

1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh si pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena fitnah telah
mengajukan bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara 5 tahun atau lebih.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk
membuat surat wasiat.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari si pewaris.

Ketentuan dalam pasal 839 KUHPerdata mewajibkan seorang ahli waris yang tidak patuh itu
untuk mengembalikan apa yang telah ia ambil dari barang-barang warisan semenjak warisan
jatuh terluang.

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Hukum Waris?
2. Apa saja sifat Hukum Waris?
3. Apa saja subyek Hukum Waris?
4. Bagaimana pihak ketiga yang tersangkut dalam Warisan?
5. Bagaimana Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris?
6. Bagaimana Pembagian Warisan?
7. Apa saja obyek Hukum Waris?
8. Apakah yang dimaksud dengan Legitime Portie?
9. Bagaimana harta warisan yang tidak Terurus?
10. Bagaiamana ahli waris yang tidak patut menerima Harta Warisan?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Waris.
2. Untuk mengetahui sifat Hukum Waris.
3. Untuk mengetahui subyek Hukum Waris.
4. Untuk mengetahui pihak ketiga yang tersangkut dalam Warisan.
5. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris.
6. Untuk mengetahui Pembagian Warisan.
7. Untuk mengetahui obyek Hukum Waris.
8. Untuk mengetahui apa itu Legitime Portie.
9. Untuk mengetahui harta warisan yang tidak terurus.
10. Untuk mengetahui ahli waris yang tidak patut menerima Harta Warisan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM WARIS

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata, belu terdapat kodifikasi. Hal
ini berati bahwa bagi berbagai golongan penduduk Indonesia masih berlku hukum yang berbeda-
beda, seperti:

1. Hukum waris Adat, sampai saat sekarang hukum waris adat pada masing-masing daerah
masih diatur secara berbeda-beda.
2. Hukum waris Islam, bagi mereka yang bneragama islam (sebagian penduduk Indonesia
yang beragama islam). Hukum wris islam ini diatur dalam instruksi Presiden No;1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171-214 KHI).
3. Hukum waris Barat, bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, berlaku
ketentua dalam KUHPerdata (BW). Hukum waris diatur bersama-sama dengan hukum
benda, alasannya:
a. Hukum waris dianggap sebagai suatu hak kebendaan (Pasal 528 KUHPerdata).
b. Hukum waris merupakan salah satu cara yang ditentukan secara limitative oleh
UU untuk memperoleh hak milik (Pasal 584 KUHPerdatta).

Sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu
hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian sehingga istilah untuk hukum waris
masih beraneka ragam.

Misalnya Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah hukum warisan. Hazairin,


mempergunakan hukumkewarisan, dan Soepomo mengemukakan istilahhukum waris.

Hukum waris (Soepomo, 1966 : 72) Hukum Waris itu memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang
yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya
seseorang maka aka nada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat

6
dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka
maupun antara mereka dengan pihak ketiga (Sarini Ahlan sjarif1983 : 9)

R. Santoso Pudjosubroto, bahwa yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum
yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup
(1964 : 8)

Selanjutnya A. Pitlo (1979 : 1), memberikan batasan hukum waris adalah kumpulan
peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-
orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga .

Dengan istilah hukum waris diatas, terkandung suatu pengertian yang mencakup kaidah-
kaidah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-
kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

Dari beberapa difinisi diatas dapat diketahui beberapa istilah, yaitu :

1. Pewaris ialah orang yang meninggal dunia, dan meninggalkan harta kekayaan kepada
orang lain.
2. Ahli waris : orang yang berhak atas harta kekayaan/warisan.
3. Harta warisan : kekayaan yang ditinggalkan berupa aktiva dan passive (boedel).
4. Pewarisan : proses beralihnya harta kekayaan (hak dan kewajiban) seseorang kepada para
ahli waris. Menurut Hilman Hadikusumah (1980 : 23), istilah pewarisan mempunyai dua
pengertian/makna,yaitu :
a. Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih hidup.
b. Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Selanjutnya beliau berpendapat berkaitan dengan peristilahan tersebut bahwa warisan


menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris,
baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi (Himan
Hadikusumah, 1980 : 21).

7
Dari pengertian pewarisan, akan menimbulkan pertanyaan- pertanyaan, yaitu :

1. Apa syarat-syaratnya agar harta kekayaan pewaris beralih kepada ahli waris ?
2. Kapan harta kekayaan itu beralih ?
3. Harta kekayaan apa saja yang beralih ?
4. Bagaimana caranya harta kekayaan itu beralih?
1) Harta kekayaan beralih, harus memenuhi 2 syarat, yaitu :
a. Syarat umum :
1. Ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata).
2. Ada ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUHPerdata) 3. Ada harta kekayaan
yang ditinggalkan (Pasal 1100).
b. Syarat mutlak
Harus ada orang yang meninggal dunia, kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir
(Pasal 467 jo 470 KUHPerdata) bahwa pewaris belum meninggal.
2) Demi hukum (van rechtswege) seketika itu pula, dikenal dengan asas le mort saisit le vif.
Asas ini terkandung dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata, disingkay dengan asas hak
saisine Karena itu seketika itu pula para ahli waris yang ditinggalkan dapat menuntut
kepada pihak III yang menhuasai harta warisan agar harta warisan itu dikembalikan
kepada boedel warisan. Hak ini disebut dengan istilah hereditatis petitio (Pasal 834
KUHPerdata).
3) Harta kekayaan dalam lapangan hukum harta kekayaan yang terdapat dalam buku II dan
buku III KUHPerdata, walupun ada kekecualian. Sedangkan hak dan kewajiban yang ada
dalam buku I KUHPerdata tidak beralih, juga ada kekecualian. Harta kekayaan (hak dan
kewajiban) yang tidak beralih dari buku II dan buku III KUHPerdata adalah :
a. Hak dan kewajiban dari perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata).
b. Hak dan kewajiban dari perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan (Pasal 1601 a
KUHPerdata
c. Keanggotaan suatu persekutuan/perseroan (Pasal 1646 KUHPerdata).
d. Hak bunga cagak hidup (Pasal 1776 KUHPerdata).
e. Hak pakai hasil (Pasal 756 KUHPerdata).
f. Ada dengan pembatasan, yaitu hak pengarang selama 70 tahun (Pasal 58 ayat (1) jo
Penjelasan butir a UU No.28 Tahun 2014 tentang hak cipta) Adapun hak dan kewajiban

8
yang beralih dari buku I KUHPerdata adalah hak mengingkari keabsahan seorang anak
Pasal 257 KUHPerdata). Ada hak dan kewajiban dari buku I KUHPerdata yang
mempunyai nilai uang tetapi tidak beralih, sepertinhak nikmat hasil (Pasal 311
KUHPerdata ) dan hak alimentasi (Pasal 225 KUHPerdata).
4) KUHPerdata mengenal 2 macam system pewarisan, yaitu : a. System pewarisan ab
intestate (menurut UU/karena kematian/tanpa wasiat) b. System pewarisan menurut surat
wasiat (testament).

B. SIFAT HUKUM WARIS

Hukum waris yang ada dab berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belu merupakan
unifikasi hukum. Bentuk dan system hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sisten kekeluargaan pada masyarakat Indonesia,
berpokok pangkal pada system menarik garis keturunan yang pada dasarnya dikenal ada tiga
macam system keturunan. Bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia
menurut system keturunan, yaitu :

1. System patrilineal/sifat kebapaan Pada prinsipnya system yang menarik garis keturunan
ayah atau garis keturunan nenek moyanmgnya yang laki-laki. System ini di Indonesia
terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon,Irian Jaya, Timor, dan
Bali.
2. System matrilineal/sifat keibuan System yang menarik garis keturunan dari nenek
moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat
dp satu daerah, yaitu Minangkabau.
3. System bilateral atau parental/sifat kebapak-ibuan Menarik garis keturunan baik melalui
garis bapak maupun garis ibu sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada
hakekatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah : Jawa, Madura,
Sumatera Timur, Seluruh Sulawesi, Ternate, Lombok, Riau, Aceh, Sumatera Selatan.

9
C. SUBYEK HUKUM WARIS
1. Pewaris : orang yang meninggal dan meninggalkan harta benda/kekayaan. Inilah adalah
merupakan syarat sebagai pewaris yaitu adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan uang .
2. Ahli waris :
a. Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofed) atau mewaris
secara langsung,misalnya jika ayah meninggal, maka sekalian anak-anaknya
tampil sebagai ahli waris. Menurut KUHPerdata penggolongan ahli waris ini,
adalah :
a. 1. Golongan pertama, yaitu anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus
kebawah. Mulai tahun 1935 hak mewaris suami atau istri yang hidup terlama
disamakan dengan seorang anak yang sah (Pasal 852a KUHPerdata).
a. 2. Golongan kedua, orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya bagian
orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan
di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat hartapeninggalan.
a. 3. Golongan ketiga, Pasal 853 dan Pasal 854 KUHPerdata, dalam hal tidak ada
gol. Pertama dan gol. Kedua, maka harta peninggalan harus dibagi menjadi dua
(kloving), setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, dan setelah lagi untuk
kakek-nenek dari pihak ibu.
a. 4. go;ongan ke empat, sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajat ke enam.
b. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), disebut juga sabagai
ahli waris tidak langsung (cucu-cucu pewaris).
b. 1. Penggantian dalam garis lurus ke bawah, Pasal 848 KUHPerdata : hanya orang-
orang yang telah mati saja yang dapat digantikan.
b. 2. Penggantian dalam garis ke samping, tiap saudara kandung/tiri yang meninggal
lebih dulu digantikan oleh sekalian anaknya.
b. 3. Penggantian dalam garis samping, juga melibatkan penggantian
anggotaanggota keluarga yang lebih jauh, misalnya paman/keponakan, jika
meninggal lebih dulu digantikan oleh turunannya.

10
c. Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan,
dalam hal ini kemungkinan timbul karena KUHPerdata terdapat ketentuan tentang
pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan
pewaris berdasarkan suatu testament/wasiat.

D. PIHAK KETIGA YANG TERSANGKUT DALAM WARISAN

Selain ahli waris dan pewaris dalam KUHPerdata, juga dikenal adanya :

1. Suatu fidei comis, ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan
ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya waktu,
warisan itu harus diserahkan pad orang lain. Cara pemberian warisan semacam ini oleh
UU disebut sebagai pemberian warisan secara melangkah.
2. Executeur testamentair, pelaksanaan wasiat yang ditunjuk oleh pewaris, yang bertugas
mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak
pewaris.
3. Bewindvoerder/pengelola, seseorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus
kekayaan, sehingga para ahli waris/legataris hanya menerima penghasilan dari harta
peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kekayaan tersebut
dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris/legataris.

E. HAK DAN KEWAJIBAN PEWARIS DAN AHLI WARIS


a. Hak dan kewajiban pewaris
1. Hak pewaris, timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti sebelum pewaris
meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament/wasiat, yang
berupa :
a) Erfstelling, suatu penunjukan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk
mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan (testamentair erfgenaam :
ahli waris menurut wasiat).

11
b) Legaat, pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament/wasiat yang khusus,
yang berupa :
 Hak atas satu/atau beberapa benda tertentu.
 Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu.
 Hak vruchtgebruik, atas sebagian/seluruh warisan (Pasal 957
KUHPerdata).

Orang yang menerima legaat disebit legataris

Bentuk testament :

1. Openbaar testament, testament yang dibuat oleh seorang notaries dengan dihadiri oleh
dua orang saksi.
2. Olographis testament, testament yang ditulis oleh si calon pewaris sendiri, kemudian
diserahkan kepada seorang notaries untuk disimpan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi.
3. Testament rahasia, dibuat oleh calon pewaris tidak harus ditulis tangan, kemudian
testament tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang notaries dengan disaksikan
oleh empat orang saksi.

2. Kewajiban pewaris
Merupakan pembatasan terhadap haknya yang ditentukan UU. Ia harus mengindahkan
adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak
dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan (Pasal 913 KUHPerdata).

b. Hak dan kewajiban ahli waris

Hak ahli waris, setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap :

1. Menerima secara penuh, yang dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Secara
tegas , jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akta yang memuat
penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam-diam , jika ahli waris tersebut melakukan
perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus mencerminkan

12
penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu dengan mengambil, menjual atau
melunasi hutanghutang pewaris.
2. Menerima dengan reserve, (hak untuk menukar). Voorrecht van boedel beschijving atau
beneficiare annvaarding.Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri di
tempat warisan terbuka.akibat yang terpenting dari warisan secara beneficiare ini adalah
kewajiban untuk melunasi hutang-hutang danbeban lain si pewaris dibatasi sedemikian
rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si
ahli waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaan sendiri,
jika hutang pewaris lebih besar dari harta bendanya.
a. Menolak warisan, ini mungkin, jika jumlah harta kekayaan yang berupa
kewajiban membayar hutang lebih besar daripada hak untuk menikmati harta
peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera
Pengadilan Negeri setempat.

Kewajiban Ahli Waris

1. Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.


2. Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dll.
3. Melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang.
4. Melaksanakan wasiat jika ada.

F. PEMBAGIAN WARISAN

Pasal 1066 KUHPerdata menentukan/isinya dapat disimpulkan :

a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan tidak
terbagi.
b. Pembegian harta warisan dapat dibagi sewktu-waktu.
c. Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan
jangka waktu 5 tahun, tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5 tahun lagi dengn
persetujuan sebua ahli waris.

13
KUHPerdata tidak menentukan cara tertentu dalam pembagian warisan, jika ternyat
semua ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada ditempat (hadir) pada saat
pembegian warisan tersebut maka cara pembagian warisan diserahkan kepada mereka sendiri,
tetapi dalam hal ada dianrata ahli waris anak-anak di bawah umur atau ada yang ditaruh di bawah
curatele (pengampuan), maka pembagian warisan harus dilakukan dengan suatu akta notaries dan
dihadapan wees kamer (Balai Harta peninggalan).

Inbreng yaitu mengembalikan benda-benda ke dalam boedel. Masalah ini timbul jika
ternyata pewaris semasa hidupnya telah memberikan benda-benda secara schenking kepada
sementara ahli waris yang dianggapnya sebagai suatu voorschot atas bagian warisn yang akan
diperhitungkan kemudian.

Menurut UU yang diharuskan melakukan inbreng adalah para ahli waris dalam garis
lurus kebawah, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima dengan
catatan, tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang telah menerima
pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng. Sifat peraturan inbreng
berbeda dengan peraturan legitieme protie : untuk melindungi kepentingan ahli waris yang
mempunyai hubungan yang sngat rapat dengan pewaris karenanya peraturan tersebut bersifat
memaksa artinya tidak dapat disingkirkan. Seseorang yang pernah menerima pemberian benda
sewaktu hidup tidak perlu melakukan inbreng jika ia bukan ahli waris, ia hanya dapat dituntut
pengurangan jika ternyata pemberian itu melanggar legitieme portie.

Pasal 1079 KUHPerdata, cara pembagian warisan :

1. Masing-masing ahli wris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata seperti
misalnya seperdua harta warisan jika ahli waris hanya terdiri dari dua orang saja,
seperlima jika ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
2. Bila diantara ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya, di
pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya.

maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang
tunai pada yang mendapat kurang dari bagiannya Jika terdapat perselisihan tentang siapa di
antara mereka yang mendapat barang tertentu selaku bagiannya, maka hal ini harus diundi.
Apabila tidak ada kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan

14
kepada masingmasing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri Setelah
menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUHPerdata membuka kemungkinan
tukar menukar bagian masing-masing di antara para ahli waris Pasal 1083 KUHPerdata
menegaskan : apabila pembagian warisan sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dinggap
sebagai pemilik barang yang diterimanya sejak saat pewaris meninggal.

G. OBYEK HUKUM WARIS

Pada prinsipnya obyek hukum waris adalah harta kekayaan yang dipindahkan dari
pewaris kepada ahli waris, yang dapat berupa :

1. Aktiva, sejumlah bnda yang nyata ada dan/atau berupa tagihan/piutang kepda pihak
ketiga. Selain itu aktiva dapat berupa hak immaterial seperti hak cipta, hak paten dsbnya.
2. Pasiva, sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun
kewajiban lainnya (menyimpan benda orang lain).

Jadi obyek hukum waris adalah harta kekayaan yang dapat berupa benda berwjud dan tidak
berwujud, yang berarti hak dan kewajiban pewaris yang lahir dari hubungan hukum
kekeluargaan tidak dapat diwariskan, kecuali hak suami/ayah untuk menyangkal anaknya.

H. Legitieme portie

Adalah suatu bagian warisan tertentu yang harus diterima seorang ahli waris dari harta
peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat.

Yang berhak menerima/memperoleh adalah ahli waris dalam garis lurus, baik ke bawah
maupun ke atas. Dan baru timbul apabila seorang dalam suatu keadaan sungguh-sungguh tampil
ke muka sebagai ahli waris menurut UU. Dalam hal ini ada prioritas/penutupan, missal nya jika
si pewaris meninggal meninggalkan anak-anak dan cucu-cucu sebagai ahli waris golongan
pertama, maka orang tua sebagai ahli waris dan karenanya tidak berhak atas suatu legitieme
portie. Seorang yang berhak atas legitieme portie dinamakan legitimaris. Ia dapat meminta
pembatalan tiap testament yang melanggar haknya dan ia berhak pula untuk menuntut supaya

15
diadakan pengurangan (inkoeting) terhadap segala macam pemberian warisan, baik yang berupa
erstelling maupun berupa legaat yang mengurangi haknya.

Peraturan mengenai legitieme portie oleh UU dipandang sebagai suatu pembatasan hak
pewaris dalam membuat testament menurut kehendak hatinya sendiri. Karena itu pasal-pasal
tentang legitieme portie itu dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat
(testamentair erfrecht).

I. HARTA WARISAN YANG TAK TERURUS

Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorangpun ahli waris yang tampil ke muka
sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus.

Dalam hal ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus
harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada Kejaksaan Negeri
setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan dianggap tidak terurus
atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim

Tugas Balai Harta Peninggalan (BHP)

1. Wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan, yang
didahului dengan penyegelan barang-barang.
2. Wajib membereskan warisan, dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar
semua hutang pewaris, apabila diminta oleh pihak yang berwajib. BHP juga wajib
memberikan pertanggungjawaban.
3. Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau
panggilan resmi lainnya.

Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai pada saatter bukanya warisan, belum juga
ada ahli waris yang tampil kemuka, BHP akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu
kepada Negara, selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik Negara.

16
J. AHLI WARIS YANG TIDAK PATUT MENERIMA HARTA WARISAN

Undang-undang menyebutkan ada empat hal, seseorang ahli waris tidak patut mewaris, yaitu :

1. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan membunuh
atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris.
2. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum, karena dipersalhkan memfitnah
dan mengadukan pewaris, bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancamhukuman
pehjara empat tahun atau lebih.
3. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk
membuat atau menarik kembali surat wasiat.
4. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini menguasai sebagian atau seluruh harta
peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahliwaris, ia wajub mengembalikan semua yang
dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dinikmatinya.

17
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Ahli waris masih tetap dapat menolak warisan sekalipun pada saat meninggal,pewaris
meninggalkan perjanjian yang mengikatkan diri ahli waris untuk membayar hutang-
hutang dari si pewaris. Hal ini terjadi karena kedudukan ahli waris untuk menolak
warisan merupakan hal yang diatur pada buku II KUHPerdata, sedangkan kewajiban
yang ada pada perjanjian, diatur pada buku III KUHPerdata. Kedua buku ini baik buku II
dan buku III memiliki sifat yang berbeda yaitu buku II yang bersifat dwingendrechts dan
buku III yang bersifat aanvulenrechts. Karena buku II KUHPerdata yang mengatur
tentang kedudukan ahli waris bersifat dwingenrechts, dan buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang perjanjian bersifat aanvulenrechts, maka dapat dikatakan bahwa buku II
memiliki sifat yang lebih memaksa dan tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak.
Maka dari itu, karena buku II sifatnya lebih kuat dibanding buku III, maka sekalipun ada
perjanjian yang mengikat para pihak, perjanjian tersebut tidak akan meniadakan hak ahli
waris untuk menolak warisan.
2. Kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi kepada ahli waris yang menolak warisan
atas dasar klausul dalam perjanjian yang berbunyi apabila debitur meniggal dunia, maka
hutang-hutang debitur yang ada dalam perjanjian tersebut akan dibayarkan oleh ahli
warisnya. Hal ini dapat dilakukan karena pada dasarnya apabila melihat syarat sahnya
perjanjian, 4 buah syarat yang diperlukan untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian
sudah terpenuhi semua. Akibatnya, karena syarat sahnya perjanjian sudah terpenuhi,
maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur tentang asas pacta sunt
servanda, maka perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, dan
harus dijalankan. Kewajiban untuk menjalankan perjanjian ini tidak semata-mata berlaku
bagi debitur dan kreditur saja, melainkan bagi ahli waris dalam debitur yang diikatkan
pada perjanjian tersebut.

18
Maka dari itu, apabila ahli waris menolak warisan, kreditur tetap dapat memintakan
pertanggungjawaban atas dasar perjanjian yang ada tersebut, apabila ahli waris tidak ingin
melaksanakan perjanjian dengan alasan karena ahli waris telah menolak harta warisan, maka
kreditur dapat menggugat ahli waris atas dasar wanprestasi.

B. SARAN

Hukum Waris tidak semata-mata mengatur mengenai bagaimana cara seseorang dapat
memperoleh hak kebendaan yang diatur pada buku II. Di dalam Hukum Waris terdapat pula
mengenai hal-hal mengenai suatu perikatan misalnya seperti pewarisan dengan sistem
testamenter / wasiat yang lebih condong kepada buku III. Agar tidak terjadi pertentangan antara
buku II dan buku III yang dapat menyebabkan adanya perbedaan pendapat, maka ada baiknya
Indonesia turut mengikuti perkembangan hukum seperti pada peraturan di negara Belanda yang
memperbaharui KUHPerdata yang berlaku di sana. Pada KUHPerdata baru yang diberlaku di
Belanda, di dalamnya hukum waris terdapat pada bab tersendiri karena memang pada
kenyataannya hukum waris merupakan campuran dari buku II tentang kebendaan dan buku III
tentang perikatan.

19

Anda mungkin juga menyukai