Anda di halaman 1dari 36

AKIBAT HUKUM PELAKSANAAN HIBAH WASIAT YANG

MELANGGAR HAK MUTLAK AHLI WARIS (LEGITIME PORTIE)


MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum keluarga dan waris B.W
dengan dosen pengampu: Neng Yani Nurhayani, S.H., M.H.

Disusun oleh :
1. Alya Dzakiyyah Amani 1173050008
2. Eka Sri Oktaviani 1173050025
3. Gita Ramaida Hamada 1173050038
4. Fajar Hidayatullah 11730500

Kelas/ Semester :
Ilmu Hukum A/ V

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena telah melimpahkan rahmat serta

anugerah-Nya sehingga kami mampu untuk menyelesaikan tugas makalah ini

dengan judul “Akibat Hukum Pelaksanaan Hibah Wasiat yang Melanggar Hak

Mutlak Ahli Waris (Legitime Portie)”. Shalawat serta salam selalu kita curahkan

kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang sudah menyampaikan

petunjuk Allah untuk kita semua.

Makalah ini adalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Keluarga dan

waris menurut Burgelijk Wetboek dengan harapan agar bisa memenuhi tugas dan

lebih paham. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan

makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Neng

Yani Nurhayani, S.H., M.H. selaku Dosen pengampu matakuliah Hukum keluarga

danwaris menurut Burgerlijk Wetboek yang telah banyak memberikan materi

pendukung dan bimbingan kepada penulis.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang

kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran yang

mampu membangun untuk kesempurnaan susunan tugas-tugas berikutnya.

Bandung, 20 November 2019

Tim penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah..................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
D. Manfaat Penulisan.....................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORITIS..........................................................................4
A. Hukum Waris Menurut BW......................................................................4
B. Hibah.........................................................................................................4
C. Wasiat......................................................Error! Bookmark not defined.
D. Hibah Wasiat...........................................Error! Bookmark not defined.
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................12
A. Pembagian Harta Benda Untuk Bagian Istri Kedua....Error! Bookmark
not defined.
B. Harta Persatuan, Harta Pribadi Suami dan Harta Pribadi Istri........Error!
Bookmark not defined.
C. Pembagian Harta Benda Terhadap Harta Persatuan yang UntungdanRugi
.................................................................Error! Bookmark not defined.
D. Pembagian Harta Benda Untuk Anak Diluar Kawin...Error! Bookmark
not defined.
BAB IV PENUTUP..............................................................................................31
A. Simpulan..................................................................................................31
B. Saran........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu subjek hukum, manusia yang pada akhirnya meninggal,
juga akan meninggalkan kewajiban dan hak yang harus dilakukan peralihan
karena sebagai anggota dalam masyarakat, manusia banyak melakukan hubungan
hukum yang tidak dapat lenyap begitu saja ketika ia meninggal dunia sebab
berakibat pada subjek hukum lainnya bukan hanya terhadap barang saja, berkaitan
dengan hal itu maka dikenal istilah pewarisan yang diatur dengan hukum waris.
Hukum Waris ialah aturan yang mengatur peralihan-peralihan hak dan kewajiban
tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagai aturan
tertulis yang telah dikodifikasikan di Indonesia memuat aturan tentang warisan
dalam Buku II yaitu tentang Kebendaan dan ada juga diatur sebagian di Buku
IIIyaitu tentang Perikatan. bahwa warisan adalah hanya berlangsung karena
kematian, dan cara mendapatkan warisan adalah dengan dua cara yaitu:
1. Ab.Intestato yaitu pewarisan menurut undang-undang;
2. Testamentair yaitu pewarisan karena ditunjuk surat wasiat atau Testamen.
Jika dilihat dari isinya, menurut Pasal 954 dan 957 KitabUndang-Undang
Hukum Perdata, wasiat terdiri dari:
1. Wasiat pengangkatan ahli waris (Erfstelling).
2. Wasiat yang berisi hibah/hibah wasiat (Legaat)
Dari beberapa jenis wasiat yang terdapat di atas dan pada praktiknya, dengan
testamen pewaris memiliki kebebasan mengatur pembagian harta peninggalannya.
Tetapi kebebasan tersebut bukanlah tanpa batas, hal inilah yang sering dilupakan
oleh si pewaris, ketika si pewaris membagi harta peninggalannya dengan
testameny ang melebihi bagian hak mutlak dari ahli waris (dalam hal terdapat ahli
waris).

1
2

Oleh karena itu penulis merasa perlu dalam mengkaji dan mempelajari apasaja
akibat hukum yang timbul jika pelaksanaan hibah wasiat melebihi hak mutlak dari
ahli waris atau yang biasa disebut dengan Legitime Portie. Penulis menuangkan
dalam bentuk makalah dengan judul“AKIBAT HUKUM PELAKSANAAN
HIBAH WASIAT YANG MELANGGAR HAK MUTLAK AHLI WARIS
(LEGITIME PORTIE)”.

B. Identifikasi Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini dituangkan dalam pertanyaan sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang hibah wasiat?
2. Bagaimana pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap
Hibah Wasiat apabila melanggar hak mutlak Ahli Waris?
3. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan jika pelaksanaan hibah wasiat
melanggar hak mutlak Ahli Waris?
4. Bagaimana Contoh Kasus Hibah Wasiat?
5. Bagaimana Contoh Soal Hibah Wasiat?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang hibah wasiat.
2. Untuk mengetahui pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terhadap Hibah Wasiat apabila melanggar hak mutlak Ahli Waris.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan jika pelaksanaan hibah
wasiat melanggar hak mutlak Ahli Waris.
4. Untuk mengetahui contoh kasus Hibah Wasiat.
5. Untuk mengetahui contoh soal Hibah Wasiat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat hasil penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi Mahasiswa :
3

1) Membantu mahasiswa agar paham pelaksanaan pengaturan Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata terhadap Hibah Wasiat apabila
melanggar hak mutlak Ahli Waris ditinjau dari perspektif hokum
waris burgerlijk wetboek.
2) Menjadikan mahasiswa paham akibat hukum yang ditimbulkan jika
pelaksanaan hibah wasiat melanggar hak mutlak Ahli Waris ditinjau
dari perspektif hukum waris burgerlijk wetboek .
b. Bagi Universitas
1) Agar dapat mencetak mahasiswa yang unggul dalam penegakkan
hukum di Indonesia khususnya jurusan Ilmu Hukum.
2) Dapat mengambil hikmah untuk menjalankan sistem hukum yang ada
di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Hukum Waris
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.1
Menurut A.Pitlo, hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini dari
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.2
Sedangkan KUHPerdata sendiri tidak ada pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum kewarisan, hanya pada Pasal 830 menyatakan bahwa
“perwarisan hanya berlangsung karena kematian”.3 Jadi harta peninggalan baru
terbuka untuk dapat diwarisi kalau pewaris sudah meninggal dunia (Pasal 830
KUHPerdata) dan si ahli waris harus masih hidup saat harta warisan tersebut
terbuka untuk diwarisi (Pasal 836 KUHPerdata).

B. Hibah
Menurut Kansil, “hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama akan
menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima
kebaikannya itu”.4
Menurut KUHPerdata pengertian hibah tercantum dalam Pasal 1666
KUHPerdata menyebutkan bahwa ”hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si
penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu”.

1
Effendi Purangin, Hukum Waris,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 3.
2
A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,diterjemahkan
oleh Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm. 1.
3
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Wipress, Jakarta, 2007, hlm. 194.
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 2002,
hlm. 252

4
5

C. Wasiat
Wasiat adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875 KUHPerdata,
wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat
dicabut kembali. Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih
hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat meninggal
dunia.
Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang
yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-
undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.
Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat yang
sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila tidak
ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.
Ada dua jenis wasiat, yaitu wasiat pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah
wasiat (legaat).
1. Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)
Pemberi wasiat memberikan harta kekayaannya dalam bentuk bagian
(selurhnya, setengah, sepertiga). Pemberi wasiat tidak menyebutkan secara
spesifik benda atau barang apa yang diberikannya kepada penerima wasiat.
(Pasal 954 KUHPerdata)
2. Hibah Wasiat (legaat)
Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari
suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).
Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat dalam
bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan,
pada praktiknya surat wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris.
Hal ini penting agar surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di
6

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan diakui keberadaannya pada
saat Surat Keterangan Waris dibuat.5

D. Hibah Wasiat
Pengertian hibah wasiat tercantum dalam Pasal 957 KUHPerdata
menyebutkan bahwa “hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus, dengan
mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa
barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang
bergerak atau tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh ataus
ebagian harta peninggalan.6

E. Unsur-unsur Hibah dan Hibah Wasiat


Unsur-unsur dari hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut :
1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan cuma-cuma,
artinya tidak ada kontra prestasi dari penerimaan hibah (Pasal 1666
KUHPerdata);
2. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai
maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah;
3. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala harta benda milik
penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap
maupun benda bergerak, termasuk juga segala piutang penghibah;
4. Hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1688 KUHPerdata);
5. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup
(Pasal 1682 KUHPerdata);
6. Pelaksanaan penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia;
7. Hibah harus dilakukan dengan akta notaries (Pasal 1682 KUHPerdata).7

5
Misael, Hibah, Waris, Wasiat,dan Hibah Wasiat, [onine] Melalui:
<http://misaelandpartners.com/artikel-hibah-waris-wasiat-dan-hibah-wasiat/> [Diakses 20
November 2019, 19.18]
6
Pasal 957 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
7
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 136.
7

F. Hak Mutlak Ahli Waris


Hak mutlak ahli waris sering disebut legitime portie yang apabila secara
harfiah memiliki pengertian sebagai warisan menurut undang-undang yang secara
rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pada Pasal 913 memiliki
pengertian sebagai berikut:“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu
bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis
lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak
diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih
hidup, maupun selaku wasiat”.
Beberapa ahli hukum juga mengemukakan pendapat tentang definisi atau
pengertian dari bagian mutlak/legitime portie, yaitu:
Menurut Subekti legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta
peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan.Hak atas legitime portiebarulah timbul apabila seseorang dalam keadaan
sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris.
Dalam hal ini yang berhak atas suatu legitime portie dinamakan legitimaris. Ia
dapat meminta pembatalan setiap testamen yang melanggar haknya dan berhak
menuntut dilakukan pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan,
baik berupa erfstelling maupun legaat, atau bersifat schenking yang mengurangi
haknya.8
Tujuan pembuat undang-undang dalam menetapkan legitime portie ini adalah
untuk menghindarkan dan melindungi anak si wafat dari kecenderungan si wafat
menguntungkan orang lain, demikian kata Asser-Meyers dalam bukunya tentang
Hukum Warisan di Negeri Belanda. Jadi apabila ditelaah lebih jauh sesungguhnya
hal ini sama dengan Hukum Adat dan Hukum Islam di mana dalam hal ini juga
membatasi hak si penghibah untuk membuat hibah wasiat. Lebih lanjut dijelaskan
oleh Asser Meyers, bahwa tentang legitime portie terdapat dua sistem, pertama
yaitu sistem Perancis Jerman zaman dahulu kala di mana seperti Hukum Islam
melarang si peninggal warisan menetapkan hibah wasiat mengenai bagian tertentu

8
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXII,Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 113.
8

yakni 4/5 bagian atas semua harta warisan. Kemudian sistem yang kedua ialah
sistem Romawi yang menetapkan bagian seorang anak setidak-tidaknya harus
diserahkan kepada seorang anak tersebut harta warisan ayahnya.Sistem kedua
inilah yang dianut dalam Burgerlijk Wetboek di Negeri Belanda dan Indonesia.9
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sifat hukum mengatur bukan
memaksa meberikan kebebasan bagi si pewaris untuk menetukan apa yang terjadi
pada harta kekayaanya setelah ia meninggal dunia tetapi memberikan batasan
dengan adanya ahli waris yang menerima bagian dengan mutlak (legitimaris). Jadi
terdapat dua bagian harta peninggalan yaitu bagian mutlak atau legitime portie
sedangkan yang satunya adalah bagian tersedia (beschikbaar). Bagian yang
tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya
sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya. Hampir dalam perundang-
undangan semua negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu
tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah
yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa. Sedangkan bagian mutlak
diperuntukkan bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang
legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris (onwaardig) untuk
memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak dapat
dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris
lainnya. Jadi bila masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu
tetapdiperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya,
iniberarti bahwa apabila legitimaris itu sepanjang tidak menuntutnya, maka
pewarismasih mempunyai “beschikking-srecht” atas seluruh hartanya. Hal ini
sesuai dengan isi Pasal 1058 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi sebagai berikut “Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak
pernah telah menjadi waris”.
Tujuan dari adanya lembaga bagian mutlak atau legitime portieadalah agar
harta warisan sebagai harta keluarga, jatuh ke tangan keluarga. Jadi dasarnya
adalah harta keluarga sedapat-dapatnya tetap berada dalam keluarga.Secara tidak
langsung, bagian mutlak atau legitime portiemempunyai fungsi pemerataan

9
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 86.
9

diantara anak-anak sebagai ahli waris. Hal ini berarti dengan adanya bagian
mutlak atau legitime portietidak mungkin ada pewarisan mayorat, di mana anak
yang satu memperoleh seluruh warisan dan yang lain sama sekali tidak menerima
apa apa.10
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ahli waris mutlak
atau legitimaris yaitu sebagai berikut:11
a. Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat;
b. Bagian mutlak harus selalu dituntut, apabila tidak dituntut tidak diperoleh
bagian mutlak atau legitime portie. Jadi, kalau ada tiga legitimaris danyang
menuntut hanya satu, maka yang menuntut itu saja yang dapat,sedangkan
yang dua lagi (yang tidak menuntut) maka tidak dapat;
c. Seorang legitimaris berhak menuntut atau melepaskan bagian mutlak atau
legitime portie-nya tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris
lainnya;
d. Penuntutan atas bagian mutlak atau legitime portiebaru dapat dilakukan
terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkurangnyabagian
mutlak atau legitime portie dalam suatu harta peninggalan setelah warisan
terbuka;
e. Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang
telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling (pengangkatan
sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian
yangdilakukan oleh pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah);
f. Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk
seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntu
titu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu;
g. Orang yang dinyatakan tidak patut mewaris atau menolak warisan, akan
kehilangan bagian mutlak atau legitime portie;
h. Ahli waris yang dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris
atauonterfd, tetap berhak atas bagian mutlak atau legitime portienya.

10
J.Satrio, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 244.
11
Effendi Peranginangin, Op.cit., hlm. 84.
10

Ketentuan bagian mutlak atau legitime portie diadakan oleh KitabUndang-


Undang Hukum Perdata untuk melindungi ahli waris legitimaris, agar
mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris;
i. Menurut Pasal 902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kepada suami
atau istri kedua atau selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi
hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibandingkan
bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah ¼
(seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya.
Adapun pada Pasal 914 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan
lebih rinci tentang pembagian legitime portie untuk keturunan dalam garis luruske
bawah, yaitu sebagai berikut:12
1. Jika hanya ada seorang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime
portie adalah 1/2 (setengah) dari bagian yang sebenarnya yang akan
diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang;
2. Jika ada dua orang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime
portie adalah 2/3 (dua per tiga) dari bagian yang sebenarnya akan
diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang;
3. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah bagian mutlak atau
legitime portie adalah 3/4 (tiga per empat) dari bagian yang
sebenarnyaakan diperoleh ahli waris menurut undang-undang;
4. Jika si anak sebagai ahli waris menurut Undang-undang meninggal dunia
lebih dahulu, maka hak bagian mutlak atau legitime portie beralih kepada
sekalian anak-anaknya bersama-sama sebagai penggantian.
Kemudian pada Pasal 915 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur
mengenai besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam
garis lurus ke atas yang berbunyi sebagai berikut :“Dalam garis lurus ke atas,
bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apayang menurut undang-
undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itudalam pewarisan karena
kematian”.

12
Maman Supraman, Op.cit., hlm.93.
11

Artinya, bahwa garis lurus ke atas adalah orang tua atau nenek atau
seterusnya keatas sehingga jumlah bagian mutlak adalah 1/2 (setengah) dari
bagiannya sebagaiahli waris menurut undang-undang.Pada Pasal 917 Kitab
Undang-UndangHukum Perdata, dijelaskan dalam hal tidak terdapat keluarga
sedarah pun tak adaanak-anak luar kawin yang sah, hibah-hibah antara yang
masih hidup atau dengansurat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Hibah Wasiat


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur hibah wasiat dalam Buku
Kedua tentang Kebendaan dalam Bab XIII tentang surat wasiat pada Bagian VI
tentang Hibah Wasiat, berbeda dengan hibah yang diatur dalam Buku Ketiga
tentang perikatan karena hibah wasiat memiliki unsur yang lebih mendekati
dengan wasiat dibanding dengan sebuah perjanjian bernama yang diatur dalam
Buku Ketiga karena jelas bahwa hibah wasiat merupakan salah satu jenis dari
wasiat apabila dilihat dari isinya dan pelaksanaanya berbeda dengan hibah yang
mana hibah wasiat dilaksanakan setelah seseorang meninggal dunia. Hibah Wasiat
diatur dalam Pasal 957-972 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga
disinggung dalam Pasal 902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penerima
hibah wasiat atau sering disebut dengan legataris memiliki kewajiban seperti
mana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Menanggung semua beban pajak, kecuali ditentukan lain (Pasal 961 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata);
2. Umumnya legataris tidak menanggung beban utang kecuali ditentukan
lain.13
Dalam kondisi tertentu, suatu legaat atau hibah wasiat juga dapat dibatalkan.
Sebab-sebab batalnya legaat atau hibah wasiat karena:
1. Bendanya tidak ada lagi atau musnah di luar kesalahan ahli waris (Pasal
999 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
2. Orang yang akan dapat wasiat tidak ada karena di dalam pelaksanaan
legaat atau hibah wasiat tidak dikenal plaatsvervulling (Pasal 975 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata);

13
Effendi Peranginangin, Op.cit., hlm. 79.

12
13

3. Orang yang menerima hibah wasiat menolak atau dinyatakan tidak


cakapuntuk menikmati (Pasal 1000 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).14
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga diatur bahwa pewari
hanya dapat menghibah wasiatkan barang miliknya sendiri sesuai pada Pasal 966
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni “Apabila si yang mewasiatkan telah
menghibahkan sesuatu barang tertentu milik orang lain, maka batallah hibah
wasiat yang demikian, baik kesalahan ini disadari atau tidak disadari”.
Pengaturan di atas dapat saja menyangkut suatu benda yang dimiliki oleh ahli
waris atau legataris, bahkan oleh seorang pihak ketiga. Setelah pewaris meninggal
dunia, legataris belum merupakan pemilik benda yang dihibah wasiatkan
kepadanya, melainkan kedudukannya hanya sebagai kreditur karena itulah
disimpulkan bahwa hibah wasiat bukan cara memperoleh hak milik, melainkan
sama halnya dengan persetujuan jual beli, tukar menukar, atau hibah suatu alas
hak untuk pengalihan hak milik.15Jelaslah bahwa dari kedudukan yang menerima
hibah wasiat, legataris tidak memiliki tanggung jawab atas hutang-hutang si
peninggal warisan.Terdapat pendapat yang berlainan tentang persoalan apakah
seseorang legataris dengan adanya wasiat, menjadi pemilik barang yang diberikan
atau hanya berhak untuk menuntut penyerahan barang yang diberikan itu
kepadanya dan setelah penyerahan barulah menjadi milik. Pendapat pertama
dianut oleh jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda (Putusan 4 Maret 181
W.4622) sedang pendapat kedua ialah pendapat yang dianut oleh kebanyakan ahli
hukum Belanda seperti Asser-Meyers, Suyling-Dubois, Klaassen Eggens dan juga
Hooggerechtshof dari Hindia Belanda yang pernah memutuskan demikian
padatanggal 5 Maret 1936 dan juga beberapa Hakim rendahan di Negeri
Belanda.16
Dalam Staatsblaad 1926-253 yang memuat firman Raja Belanda tanggal
23April 1926 No. 17, yang memungkinkan Mahkamah Agung atau disebut
14
Ibid., hlm. 79.
15
Gregor van der Burght, Seri Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker,
Cet. Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 1.
16
Wirjono Projodikoro, Hukum Kewarisan di Indonesia, IS Gravennage Vorkink van Hove,
Bandung, 1962, hlm. 94.
14

Hooggerechtshof dulunya, bahwa untuk kepentingan umum, mengubah atau


menghapuskan suatu perjanjian yang ditetapkan dalam suatu testamen
diperbolehkan, apabila sudah lampau 40 tahun setelah wafat si peninggal
warisan,yaitu mengenai:
1. Tempat dan cara hasil kesenian atau barang atau surat ilmu
pengetahuanharus disimpan dalam suatu pengumpulan barang-barang yang
terbukauntuk umum.
2. Sampai dimana dan dengan syarat-syarat apa umum diberi
kesempatanuntuk melihat dan memakai hasil kesenian dan barang-barang
tadi,
3. Tujuan yang harus diberikan kepada sejumlah uang untuk
keperluankesenian atau ilmu pengetahuan.
Permohonan untuk perubahan perjanjian ini harus dimajukan oleh pihak yang
diwajibkan dengan disertai alasan-alasan.Sebelum memberi putusan, Mahkamah
Agung harus mendengar saksi-saksi dan ahli-ahli, dan baru mendapat kekuatan
setelah disahkan oleh Gubernur Jendral yang menurut Wirjono adalah Menteri
Kehakiman.
Hibah wasiat juga mengenal istilah penarikan kembali layaknya KitabUndang-
Undang Hukum Perdata mengatur penarikan pada wasiat pada penjelasan
sebelumnya, karena hibah wasiat adalah jenis dari wasiat. Gugurnya hibah
wasiatsebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
apabila:17
1. Berdasarkan Pasal 997 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu
apabila pembelian barang testamen disertai suatu syarat yang
pemenuhannya tergantung tarif suatu keadaan yang belum tentu akan
terjadi dan ahli waris yang diberi barang itu kemudian wafat sebelum
keadaan itu terjadi maka penghibahan itu adalah gugur (vervalleng)
artinya tidak berlaku.

17
Ibid., hlm. 108.
15

2. Berdasarkan Pasal 998 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


menunjukkan bahwa pada suatu pemberian dalam testamen yang hanya
pelaksanaannya saja dipertangguhkan.
3. Mendapat pemberian barang itu beralih pada ahli warisnya apabila ia
wafat sebelum pemberian itu dapat dilaksanakan. Pasal ini ditafsirkan
sedemikian rupa oleh kebanyakan ahli hukum bahwa yang dimaksud
dalam Pasal 998 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang suatu
pemberian yang pelaksanaannya tergantung dari suatu keadaan yang ada;
4. Berdasarkan Pasal 999 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemberian
barang dalam testamen dapatgugur apabila:
a) Barangnya lenyap pada waktu penghibah masih hidup atau;
b) Barang itu kemudian musnah setelah wafatnya si penghibah, namun
kemusnahan tidak diakibatkan karena perbuatan atau kesalahan si
waris atau orang-orang lain yang harus menyerahkannya.
5. Berdasarkan Pasal 1000 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu
menunjuk pada penghibahan atau penghitung yang dianggap gugur,
apabila hutang itu kemudian biaya kepada sipenghibah pada waktu ia
belum wafat.
6. Berdasarkan Pasal 1001 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
a) Suatu hibah wasiat adalah dianggap gugur, apabila ahli waris yang
diberi barang warisan itu, menolak akan menerima barang itu atau oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi ahli waris;
b) Apabila dengan penghibahan ini dimaksudkan akan memberikan
keuntungan kepada seorang ketiga, maka pengibahan ini tidak gugur,
artinya kewajiban menguntungkan seorang ketiga, ini tetap melekat
pada ahli waris yang akan menggantikan yang menolak itu
menuruthukum warisan tanpa testament.
7. Berdasarkan Pasal 1004 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menunjukkan pada kemungkinan adanya penuntutan supaya suatu
penghibahan dalam testamen oleh hakim dinyatakan gugur yaitu apabila
16

yang dihibahi itu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh si


penghibah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga meberikan batasan dalam
pemberian hibah wasiat berkenaan dengan besar kecilnya bagian yang akan
diterima ataudiperoleh oleh ahli waris yang sering disebut legitime portie atau
wettelijk erfdeel( jumlah yang ditentukan oleh undang-undang).18

B. Pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap Hibah


Wasiat apabila melanggar hak mutlak Ahli Waris
Setelah dibahas legitime portie/hak mutlak ahli waris dapat disimpulkan
bahwa sifat dari legitime portie adalah sebagai berikut:19
a. Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-perbuatan si
pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak).
b. Si pewaris bagaimanapun tidak boleh beschikken (membuat ketetapan)
mengenai bagian mutlak itu.
Akan ada akibanya bila ketentuan di dalam testamen melanggar peraturan
mengenai legitime portie itu yaitu ada tiga kemungkinan:20
1. Ketetapan itu adalah batal;
2. Ketetapan itu adalah “eenvoudige vernietigbaarheid” (dapat dibatalkan
secara sederhana);
3. Ketetapan itu adalah sah akan tetapi si legitimaris mempunyai hak tuntut
pribadi untuk mendapatkan ganti rugi.
Pembuat undang-undang tidak memilih penyelesaian yang pertama, karena
apabila dilihat dari Pasal 920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu segala
pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat
wasiat yang mengakibatkan kurangnya bagian mutlak dalam suatu warisan, kelak
boleh dilakukan pengurangan apabila warisan itu terbuka, akan tetapi hanyalah
atas tuntutan para legitimaris dan ahli waris pengganti mereka. Bahwa juga

18
Ibid., hlm. 72.
19
Andreas P Senoadji, Tesis: Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian
Waris Menurut Kitab Undang Hukum Perdata, UNDIP, Semarang, 2007, hlm. 42.
20
Ibid., hlm. 43.
17

undang-undang tidak memilih penyelesaian yang ketiga, sebagaimana pada Pasal


924, 925, 926, 927 dan 928 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
diperbolehkannya ada ganti rugi saat ada penuntutan dari ahli waris yang berhak
atas bagian mutlak. Jadi ternyata undang-undang memilih penyelesaian yang
kedua, yaitu “eenvoudige vernietigbaarheid” (dapat dibatalkan secara sederhana).
Namun apabila ahli waris mengambil sikap berdiam diri (zich berusten), hal itu
tidak dilarang oleh undang-undang karena dikenal prinsip hak adalah hak, jadi
terserah ahli waris mutlak atau legitimaris, apakah ia mau mempergunakan atau
tidak mempergunakan haknya.Apabila ahli waris mutlak atau legitimaris yang
terlanggar bagian mutlak atau legitime portie adalah mengajukan perlawanan
(gugatan) dengan meminta kepada sesama ahli waris dan penerima hibah agar
bagian mutlak atau legitime portie-nya dipenuhi.Dengan adanya gugatan dari para
ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pada prinsipnya tuntutan bagian mutlak
atau legitime portie harus dipenuhi, kalau perlu dengan memotong hibah atau
hibah wasiat.

C. Akibat Hukum Hibah Wasiat Yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberi kebebasan pada ahli
waris dalam menentukan pembagian harta peninggalannya, kerap kali ditemui si
pewaris melewati batas dalam memberikan wasiat berupa hibah ataupun
pengangkatan ahli waris. Namun ada akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya hal
itu yaitu si ahli waris yang berhak atas bagian mutlak memiliki hak untuk
menuntut sepanjang hal itu menyinggung haknya sebagai penerima bagian
mutlak. Maka perlu adanya pemenuhan bagian mutlak dalam pewarisan sehingga
diketahui apakah pembagiannya telah melewati batas bagian mutlak. Berdasarkan
Pasal 921Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, besarnya bagian mutlak atau
legitime portie dihitung dengan cara yaitu sebagai berikut:21
1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa
hidupnya, termasuk hibah yang diberikan kepada salah seorang atau para
ahli waris mutlak atau legitimaris;

21
Maman Supraman, Op.cit., hlm. 94.
18

2. Jumlah tersebut ditambahkan dengan aktiva warisan yang ada;


3. Kemudian, dikurangi utang-utang pewaris;
4. Dari hasil penjumlahan dan pengurangan di atas, kemudian dihitung
besarnya bagian mutlak atau legitime portiedari ahli waris mutlak atau legitimaris
yang menuntut bagiannya. Besarnya bagian mutlak atau legitime portie yang
didapat tersebut adalah jumlah yang benar-benarditerima ahli waris mutlak atau
legitimaris yang bersangkutan.
Dari ketentuan di atas, terkait dengan hibah yang melanggar bagian mutlak
atau legitime portie ahli waris, maka bagian yang diterima oleh penerima hibah
dapat dikurangi untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie yang
terlanggar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penerima hibah mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke
dalamharta warisan guna memenuhi bagian mutlak atau legitime portieahli waris
ataulegitimaris, dengan memperhatikan Pasal 1086 sampai dengan Pasal 1099
KitabUndang-Undang Hukum Perdata tentang kewajiban memperhitungkan
semuahibah yang pernah diberikan oleh ahli waris semasa hidupnya atau sering
disebutdengan inbreng (pemasukan).22
1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting)
Berbeda dengan hibah wasiat yang akan diketahui setelah si pewaris
meninggal dunia dan dapat ditentukan setelah dihitung oleh ahli waris dan
dinyatakan melewati batas bagian mutlak. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah
dilakukannya pemotongan (inkorting). Dasar hukum dilakukannya
pemotonganadalah pada Pasal 920 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang
berbunyi :
“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup,
maupun dengan surat wasiatnya mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak
(legitime portie) dalam warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan bilamana
warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan paraahli waris
mutlak atau pengganti mereka”.

22
Anistius Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 1.
19

Pemotongan atau inkorting dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai


berikut:
1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) disebut juga pemotongan tidak
langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidakberhak atas
bagian mutlak atau legitime portie dan pemotongan daripemberian yang dilakukan
dengan wasiat seperti hibah wasiat atau pengangkatan sebagai ahli waris.
Pemotongan semu(oneigenlijkeinkorting) dibagi dua yaitu:23
a. Pemotongan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagianmutlak
atau legitime portie;
b. Hibah wasiat yang sudah dihitung tetapi belum diberikan, karenabagian
mutlak atau legitime portie tersinggung, maka hibah wasiatitu dipotong
dan jumlah potongan itu dipersamakan untuk menutupkekurangan bagian
mutlak atau legitime portie.
2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting)
Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotonganyang
sungguh-sungguh dilaksanakan, seperti pemotongan hibah yang telahdiberikan
dan telah diterima.Si penerima hibah tersebut harusmengembalikan suatu jumlah
untuk menutup bagian mutlak atau legitimeportie.24
Pasal ini menjelaskan bahwa pemotongan (inkorting) dapat dilaksanakan
dengan mengacu urutan dilaksanakannya pemotongan (volgorde der inkorting)
yaitudilihat dari tanggal pemberian hibah/hibah wasiat, adapun urutannya
adalahsebagai berikut:
Hibah wasiat termasuk dalam pemotongan semu yaitu pemotongan yang
terjadi pada wasiat dari si pewaris. Pemotongan terhadap hibah dan hibah wasiat
adalah berbeda sesuai Pasal 924 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi:
“Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh
dikurangi,melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah
diwasiatkan tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan.

23
Maman Supraman, Loc. Cit.
24
Effendi Peranginangin, Op.Cit., hlm. 114.
20

Apabila kendati itu masih harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah


antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dari hibah
yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua, dandemikian
selanjutnya”.25
a. Pemotongan dilakukan terhadap sisa harta peninggalan yang tidak
ditegaskan oleh pewaris, yang tidak disebut dalam wasiat (perolehansecara
ab-intestato) dengan mempergunakan asas perimbangan;
b. Apabila belum cukup, kekurangan dipotong dari perolehan
secaratestamentair,baik berupa hibah wasiat (legaat) maupun
pengangkatan sebagai ahli waris (erfstelling). Pemotongan ini dilakukan
dengan asas perimbangan; dan
c. Kalau pemotongan kesatu dan kedua belum mencukupi menutup
bagianmutlak atau legitime portie, maka dilakukan pemotongan dari
hibah-hibahyang telah dilakukan oleh pewaris pada waktu pewaris masih
hidup. Pemotongan dilakukan bukan dengan asas perimbangan, melainkan
berdasarkan jenjang usia hibah. Ini berarti pemotongan hibah dilakukan
berurutan mulai dari hibah yang tanggalnya terdekat dengan pewaris
padawaktu meninggalnya terus berlanjut sampai kekurangan legitime
portieterpenuhi.
Pelaksanaan inkorting atau pemotongan terjadi apabila terdapat pembatalan
dari penerima bagian mutlak ahli waris dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan atau tanpa melalui pengadilan dengan adanya kesadaran para pihak
melakukan pemotongan dengan menuangkannya dalam suatu akta dihadapan
notaris.

D. Contoh Kasus
Kasus Posisi
Sengketa pewarisan bukan hal yang jarang ditemui dalam kehidupan
bermasyarakat, karena semua manusia akan meninggal dan melakukan perbuatan
hukum mewaris. Dalam kasus ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor

25
Maman Supraman, Op.Cit. hlm. 160.
21

433/ PDT. G/ 2011/ PN. JKT. PSTmemeriksa dan mengadili sebuah perkara
Pembatalan Akta Hibah Wasiat yang gugatannya diajukan oleh AEM, YH dan
HM selaku para penggugat yaitu anak-anak dari perkawinan pertama pewaris
dengan Ny.BDJK yang berlangsung pada tanggal 20 Februari 1954 dan berakhir
dengan perceraian berdasarkan Putusan Pengadilan Istimewa Jakarta tertanggal
6April 1963. Para Penggugat mengajukan gugatan kepada JM dan JRM, di
manaJM adalah istri dari perkawinan kedua dengan pewaris yang berlangsung
padatanggal 8 Oktober1966 dan JRM adalah anak dari perkawinan kedua dengan
JM.
Pada hari Selasa tanggal 17 Mei 1994, (almarhum) DBM dinyatakan telah
meninggal dunia, yang adalah bapak dari AEM, YH dan HM (Para Penggugat)
dan JRM (Tergugat II) dan suami dari JM (Tergugat I). Bahwa Para Penggugat
menuntut legitime portie atas harta warisan dariPewaris sehingga isi dalam
AktaWasiat tidak boleh melanggar legitimeportie dari Para Penggugat, yaitu ¾
(tiga perempat) bagian dari harta peninggalan Pewaris (Pasal 914 Kita Undang-
Undang Hukum Perdata).
Adapun objek gugatan dari pihak para penggugat adalah Akta Hibah Wasiat
yang No. 1 tertanggal 2 Oktober 1992 yang dibuat di hadapan Notaris F.J. Mawati
yaitu berisi:
1. Hibah wasiat untuk:
AEM, YH, HM (ketiganya disebut Para Penggugat), JM (Tergugat I) dan
JRM (Tergugat II) berupa Hotel dan Restoran PT. LNI yang terletak di
Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Kecamatan Cisarua, Kelurahan
Desa Kopo dengan segala aset-asetnya;
2. Pembagian saham untuk PT LNI kepada:
a) JM (Tergugat I) sebesar 40%;
b) AEM, YH, HM (ketiganya disebut Para Penggugat) dan JRM(Tergugat
II), masing-masing sebesar 15 %;(dengan ketentuan: saham hanya boleh
diperjualbelikan atar pemegangsaham).
3. Susunan pengurus PT LNI, setelah Pewaris meninggal yaitu:
Presiden Komisaris : JM (Tergugat I);
22

Komisaris : AEM, HM (Para Penggugat);


Direktur : JM (Para Penggugat);
Wakil Direktur : JRM (Tergugat II).
4. Pembagian keuntungan PT LNI untuk:
I. JM (Tergugat I) sebesar USD 3.000,-, AEM (Para Penggugat) sebesar
Rp. 500.000,-ditambah gaji dan fasilitas-fasilitas hotel PT LNI, YH danHM
(Para Penggugat), masing-masing sebesar Rp. 500.000,-, JRM
sebesar USD 3.000 sampai lulus S2, selanjutnya sebesar Rp. 500.000,-;
II. 2500 US$ untuk pembayaran cicilan pembelian rumah di Canada
hingga lunas;
III. sisa/ kelebihan keuntungan untukpemeliharaan hotel dan restoran;
IV. pembayaran kredit card tidak ditanggung oleh PT, tetapi secara pribadi.
5. Pembagian harta bergerak dan tak bergerak:
I. Rumah X di Jakpus (berdiri di atas tanah pihak ketiga): bagian depan
untuk HM (Para Penggugat), bagian belakang untuk AEM (Para
Penggugat) dan JRM (Tergugat II)
II. Tanah di Y, W, Z (Minahasa): AEM, YH, HM (ketiganya disebut Para
Penggugat), JM (Tergugat I) dan JRM (Tergugat II), masing- masing
1/5 bagian;
III. Tanah dan rumah di Canada dan California: JM (Tergugat I) dan JRM
(Tergugat II) masing-masing 1/2 bagian;
IV. Deposito yang ada di Bank dalam dan luar negeri untuk modal kerja
PT
LNI dan dilakukan oleh AEM (Para Penggugat) dan JRM (Tergugat II)
sebagai pelaksana wasiat.
Adapun yang menjadi dalil gugatan dari Para Penggugat adalah almarhum
DBM yang ialah Pewaris dinyatakan telah meninggal dunia pada tanggal 17 Mei
1994 dan terhadap Pewaris diberlakukan Hukum Perdata Barat dan meninggalkan
anak-anak dari perkawinan pertama yaitu AEM, YH, HM (Para Penggugat) serta
seorang istri dari perkawinan kedua yaitu JM (Tergugat I) dan anak dari
perkawinan kedua yaitu JRM (Tergugat II). Berdasarkan pada asasnya yang
23

berhak menjadi ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan
si pewaris dan suami atau isteri yang hidup terlama sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 832 dan 852 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sehingga
yang berhak menjadi ahli waris yaitu AEM, YH, HM, JM, serta JRM. Kemudian
kelima pihak tersebut bukanlah termasuk pihak yang tak patut mewaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 838 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bahwa selama hidupnya, Pewaris membuat wasiat yang dituangkan dalam Akta
Wasiat No.1 tertanggal 2 Oktober 1992 yang dibuat di hadapan Notaris FJM atas
nama Pewaris DBM. Kemudian sesuai asas yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata pada Pasal 913 bahwa bagian mutlak atau legitime portie
adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada parawaris
dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang
meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara
yang masih hidup, maupun selaku wasiat dan Para Penggugat menuntut legitime
portie dari harta warisan dari Pewaris sehingga isi dari Akta Wasiat tidak boleh
melanggar bagian mutlak dari Para Penggugat yaitu 3/4 bagian dari harta
peninggalan Pewaris. Lebih jelas Para Penggugat memberikan uraian mengenai
Hibah Wasiat yang terdapat dalam Akta Wasiat Pewaris bahwa terhadap harta
kekayaan milik Persekutuan PT LNI tidak dapat dibagi tanpa persetujuan
bersamapeserta persekutuan sehingga hanya dapat dibagi sebatas setoran pribadi
dariPewaris. Lalu yang kedua, mengenai pembagian saham dalam Wasiat
Pewaristelah melanggar Legitime Portie karena Pewaris mewariskan modal
kepadaTergugat I sebesar 40% di mana telah melebihi bagian sisa yang dapat
dibagi.
Kemudian yang ketiga, bahwa sesuai Pasal 1641 Kitab Undang-Undang
HukumPerdata, susunan pengurus hanya dapat ditentukan melalui keputusan
bersamapara persekutuan perdata. Keempat, mengenai pembagian keuntungan PT
LNImerupakan ketetapan yang berakibat batal karena termasuk dalam hibah
wasiat lompat tangan atau fidei commisdi mana telah menunjuk PT LNI sebagai
pemikulbeban untuk menyimpan modal yang disetor dari Pewaris agar kemudian
PT LNImenyerahkan keuntungan ke para ahli waris dari Pewaris selaku
24

penunggusehingga pembagian keuntungan tidak dapat dilaksanakan. Sehingga isi


AktaWasiat terkait PT LNI adalah tidak sah atau batal demi hukum. Berkaitan
denganobjek gugatan yang kelima dalam Akta Wasiat, mengenai harta bergerak
dan takbergerak bukanlah harta bersama dengan Istri Pewaris melainkan harta
bawaanyang menjadi hak dari para ahli waris sehingga menerima bagian yang
samabesarnya sebagaimana dikatakan dalam Pasal 852 ayat (2) dan Pasal 852a
KitabUndang-Undang Hukum Perdata.
Para Penggugat mengajukan gugatan dengan petitum sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hukum bahwa AEM, YH, HM, JM dan JRM adalah
ahliwarisyang sah dari (alm.) DBM;
3. Menyatakan bahwa Akta Wasiat No. 1 tertanggal 2 Oktober 1992
yangdibuat di hadapan Notaris FJM tentang "Wasiat" atas nama Pewaris
DBM,sepanjang isinya mengenai PT LNI, adalah tidak sah atau batal
demihukum;
4. Menyatakan bahwa AEM, YH, HM, JM dan JRM berhak
untukmemperoleh bagian yang sama yaitu masing-masing memperoleh
1/5(seperlima) bagian atas boedel waris (alm.) DBM;
5. Menyatakan bahwa harta peninggalan berupa:
a. Tanah beserta bangunandengan Sertifikat Hak Milik Nomor 129;
b. Tanah beserta bangunan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 130;
c. Tanah beserta bangunan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 162;
d. Tanah beserta bangunan denganSertifikat Hak Milik Nomor 163;
e. Tanah beserta bangunan denganSertifikat Hak Milik Nomor 1064;
f. Tanah beserta bangunan denganSertifikat Hak Milik Nomor 1065.
Sebagai harta warisan yang belum terbagi dari harta peninggalan (alm.)
DBM dan dibagi kepada AEM, YH, HM, JM dan JRM masing-masing
sebanyak 1/5 (seperlima) bagian;
6. Menyatakan bahwa keputusan ini dapat dijalankan lebih
dahulu(uitvoerbaar bijj vorraad) walaupun ada permohonan banding dan
kasasidari Tergugat I dan Tergugat II;
25

7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar semua


ongkosperkara yang timbul dalam perkara ini.Serta apabila Majelis Hakim
berpendapat lain, maka memohon diputusberdasarkan keadilan yang
seadil-adilnya.
Bahwa mengenai ketentuan legitime portie (bagian mutlak), Majelis
Hakimmemberi penilaian yang menjadi hak Para Penggugat sebagai legitimaris,
dapatdihitung sebagai berikut yaitu, Para Penggugat sebanyak 3 (tiga) orang
adalahanak sah dari almarhum DBM, maka besar bagian legitime portie dari
masingmasing
Para Penggugat adalah 3/4 (tiga per empat) x 1/5 (seperlima)= 3/20(tigaperdua
puluh). Jika legitime portie ketiga orang Para Penggugat ditambahdengan legitime
portie dari Tergugat I dalam kedudukannya sebagai legitimaris,apabila digabung
seluruhnya maka menjadi 3/20 + 3/20 + 3/20 + 3/20 = 12/20(duabelasperdua
puluh).Dengan demikian maka si Pewaris almarhum DBM,hanya dapat berhak
mengalih-tangankan 8/20 dari barang-barangnya atau hartawarisannya secara
bebas tanpa melanggar hak legitime portie (hak/bagian mutlak)dari para ahli waris
(legitimaris).
Terkait dengan tuntutan Para Penggugat mengenai penghitungan legitieme
portie,Pasal 921 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
untukmenentukan besarnya legitime portie, pertama-tama hendaknya
dijumlahkansemua harta yang ada pada waktu si pemberi atau pewaris meninggal
dunia;kemudian ditambahkan jumlah barang-barang yang telah dihibahkan
semasa iamasih hidup, dinilai menurut keadaan pada waktu meninggalnya si
penghibahakhirnya, setelah dikurangkan utang-utang dan seluruh harta
peninggalan itu,dihitunglah dan seluruh harta itu berapa bagian warisan yang
dapat mereka tuntut,sebanding dengan derajat para legitimaris, dan dari bagian-
bagian itu dipotongapa yang telah mereka terima dan yang meninggal, pun
sekiranya merekadibebaskan dan perhitungan kembali. Bahwa dalam perkara
tersebut ParaMajelis Hakim menetapkan bahwa bagian Tergugat II telah melebihi
hibah wasiatterhadap istri kedua, kemudian hal ini mengakibatkan akta tersebut
batalSesuai kasus yang terjadidalam perkara ini, Para Penggugat mengatakan
26

bahwa Akta Wasiat tersebut batalkarena beberapa alasan termasuk pelanggaran


bagian mutlak karena adanya hibahwasiat terhadap Tergugat I. Majelis Hakim
hanya memutuskan sebahagian daripetitum Para Penggugat berkaitan dengan
harta warisan PT LNI yaitu ialahpembagian saham PT LNI di mana Tergugat I
yang ialah istri kedua dari Pewarismemperoleh besar saham sebesar 40%
sementara para ahli waris penerima bagianmutlak hanya memperoleh masing 15%
dan kemudian dalam pembagiankeuntungan Tergugat I memperoleh US.$.2000
(dua ribu dollar Amerika).

E. Contoh Soal
1. A meninggal, meninggalkan dua orang anak, yaitu B dan C serta Harta warisan
(HP) sebesar Rp. 12.000.000.
Dalam wasiat A mengangkat X sebagi ahli waris satu- satunya dan memberi
legaat (hibah wasiat) kepada Y sebesar Rp. 3.000.000
Pembagian Warisan :
Legaat kepada Y = Rp. 3.000.000
Sisanya Rp. 12.000.000 - Rp. 3.000.000 = Rp. 9.000.000 jatuh menjadi milik
X.
Catatan : Kalau dalam suatu soal, tidak disebutkan bahwa legitimaris menuntut
atau tidak maka dianggap semua legitimaris menuntut LP nya. Jika
salah satu disebut menuntut, maka yang lain tidak disebut maka
dianggap tidak menuntut.
Karena itu B dan C dianggap menuntut bagian legitime portienya.
Lp. B dan C terhadap Y masing-masing: 2/3 x ½ x Rp. 12.000.000 = Rp.
4.000.000
Lp. B + Lp. C = 8.000.000
Sebagian Lp ini harus diambil dari bagian Y menurut perbandingannya
terhadap X dalam menerima keuntungan karena wasiat, yaitu X : Y = 3 : 1
Bagian Y yang harus dikurangi untuk Lp. B dan Lp. C adalah
= ¼ x Rp. 8.000.000 = Rp. 2.000.000
27

Jadi Y hanya boleh menerima : Rp. 3.000.000 - Rp. 2.000.000 = Rp.


1.000.000
Lp. B dan C terhadap X masing-masing: 2/3 x ½ x Rp. 12 .000.000 = Rp.
4.000.000
Lp. B + Lp. C = 8.000.000
Bagian X yang harus dikurangi untuk Lp. B dan Lp. C adalah = ¾ x Rp.
8.000.000 = Rp. 6.000.000
Jadi X hanya boleh menerima : Rp. 9.000.000 - Rp. 6 .000.000 = Rp.
3.000.000
Bagian B dan C masing-masing : ½ x (Rp. 2.000.000 + Rp. 6.000.000) =
Rp. 4.000.000
Bagian X adalah Rp. 3.000.000, dan
Bagian Y adalah Rp. 1.000.000

2. A meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris seorang isteri bernama B dan
seorang anak laki-laki bernama C. Dalam wasiatnya A memberi legaat (hibah
wasiat) kepada istri (B) sebesar Rp 4.000,00 dan mengangkat X seabagai ahli
waris satu-satunya. Harta peninggalan A berjumlah Rp 16.000,00
a) Pelaksanaan wasiat:30
Harta peniggalan A............... Rp 16.000.00
Hibah wasiat kepada B.......... Rp 4.000,00
Bagian X.............................. Rp 12.000,00
b) Berdasarkan Pasal 914: Legitieme portie C terhadap B = ½ + ½ x Rp
16.000,00 = Rp 4.000,00
Berdasarkan Pasal 916 a Legitieme portie C terhadap X = ½ x Rp
16.000,00 = Rp 8.000,00
c) Apabila Legitieme portie C terhadap B = Rp 4.000,00,
hal ini menerima hibah wasiat Rp 4.000,00 tidak akan menerima apa-apa
lagi setelah dipotong LP C sebesar Rp 4.000,00 itu.
Apabila Legitieme portie C terhadap X = Rp 8.000,00 lihat angka B diatas
maka X menerima besar yaitu Rp 16.000,00 – Rp 4.000,00 = Rp 12.000,00 adalah
28

tidak adil. Jadi harus diantara Rp 4.000,00 s.d Rp 16.000,00 (B:X) dalam
pelaksanaan wasiat, jadi diadakan pemotongan (inkorting) terhadap B diterapkan
Pasal 914, sedangkan terhadap X diterapkan Pasal 916
a. B dipotong ¾ x yang akan diterima B = ¼ Rp 4.000,00 = Rp 1.000,00
sedangkan X dipotong ¾ x Rp 8.000,00 = Rp 6.000,00 jadi Legitieme portie C =
Rp 1.000,00 + Rp 6.000,00 = Rp 7.000,00 hasilnya sebagai berikut: B = Rp
4.000,00 – (1/4 x Rp 4.000,000) = Rp 3.000,00 C = Rp 1.000,00 + Rp 6.000,00 =
Rp 7.000,00 X = dipotong ¾ x Rp 8.000,00 = Rp 6.000,00 Jumlah = Rp16.000,00

3. A meninggal dunia meninggalkan istrinya B, dan 1 orang anak kandung C.


Dalam wasiatnya, A memberikan legaat kepada B sebesar Rp. 4000, dan
mengangkat X (pihak ketiga) Sebagai satu-satunya waris (erfstelling). Harta
waris A adalah sebesar Rp16.000 siapa ahli waris a berapa bagian masing-
masing.
Dalamkasus di samping B C dan X merupakan ahli waris dari A Namun
apabila wasiat dijalankan maka B akan mendapatkan sebesar Rp4.000 dan
mendapatkan sisanya yaitu Rp12.000. sedangkan C tidak mendapatkan bagian
warisan karena secara tidak langsung C melalui wasiat yang dibuat oleh Adi-
ontetfd karena tidak diberikan harta warisan untuk menyelesaikan kasus ini maka
perlu diperhatikan ketentuan dalam pasal 852 Jo 914 dan 915 BW.
Maka dalam hal ini akan ada dua legitime portie yaitu legitime portie C
terhadap B dan legitime portie terhadap X.
a. Sebagian legitime portie itu harus diambilkan dari bagian B menurut
perbandingannya terhadap X dalam menerima keuntungan karena wasiat
legitime portie C terhadap B = 1/2 (vide pasal 914 BW) x 1/2 (bagian C
dan B) x Harta Waris = 1/4 x 16.000 = 4.000. sebagian legitime portie itu
harus diambilkan dari bagian B menurut perbandingannya terhadap X
dalam menerima keuntungan karena wasiat.
b. legitime portie terhadap X maka perhatikan ketentuan pasal 916 BW
bahwa ahli waris AB intestato non legitimaris tidak perlu diperhitungkan
dalam menentukan legitime portie legitime portie terhadap x = 1/ 2
29

x/bagian C dengan mengenyampingkan B sebagai waris AB intestato non


legitimaris = 1/2 (vide pasal 914 BW), berarti 1/2 x harta waris = 1/2 x
16.000 = 8.000
Dalamhal ini ada dua legitime portie yang berbeda yaitu lagi legitime portie
terhadap B 1/4 atau sebesar Rp4.000 dan legitime portie C terhadap X 1/2 atau
sebesar Rp8.000 maka yang digunakan dalam hal ini dilakukan perbandingan
keuntungan dari adanya wasiat. dalam kasus ini yang diuntungkan dari adanya
wasiat adalah B dan X dalam wasiat B memperoleh Rp4.000 bagian dan X
memperoleh 12000 bagian perbandingannya yaitu:
Bagian dan X memperoleh 12.a000 bagian perbandingannya yaitu:
= B:X
= Rp. 4.000: Rp. 12.000
= 1:3
Setelah diperoleh pertandingan tersebut maka dilakukan inkorting dari
Keuntungan yang diperoleh dari wasiat dengan legitime portie tersebut di atas.
a. Bagian B 4.000 dilakukan pengurangan 1/4 hasil perbandingan X 1/4
legitime portie C terhadap b atau sebesar Rp4.000 = 1/16 atau sebesar
1000 sehingga B harus dikurangi 1/4 (wasiat) - 1/16=3/16. B hanya
memperoleh bagian 3/16.
b. Bagian X3/4 bagian juga dilakukan pengurangan 3/4 (hasil perbandingan)
x 1/2 (legitimie portie C terhadap X) = 3/8. Sehingga X harus dikurangi
3/4 (wasiat) - 3/8 = 3/8 x hanya boleh memperoleh bagian 3/8 saja.
Kemudian saya akan menerima bagian yang dipotong dari wasiat kepada B
ditambah dari wasiat kepada X yaitu:
= 1/16 + 3/8
= 1/16 + 6/16
=7/16
Sehingga bagian warisan yang diterima masing-masing:
B = 3/16 x 16.000
C = 7/16 x 16.000
X = 3/8 atau 6/16 x 16.000 = 6.000
30
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik untuk makalah Akibat Hukum Pelaksanaan
Hibah Wasiat yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitime Portie).
1. Hibah Wasiat memiliki Pengaturan Hukum yang jelas dalam KitabUndang-
Undang Hukum Perdata sebagai salah satu sumber hukum perdatatertulis
yaitu pada Buku Kedua tentang Kebendaan dalam Bab XIIItentang surat
wasiat pada Bagian VI tentang Hibah Wasiat yaitu padaPasal 957-972.
Namun dalam hal pembatasan dalam pemberian Hibah Wasiat, Bagian VI
tentang Hibah Wasiat tidak mengaturnya, oleh karena itu terhadap
pembatasan pemberian hibah wasiat, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata telah mengatur di bagian-bagian sebelumnya yaitu tentang Wasiat
yang telah diatur secara umum sebelum mengatur tentang Wasiat berisi
Pengangkatan Waris dan Wasiat yang berisi Hibah.
2. Meskipun terdapat kebebasan yang diberikan undang-undang dalam
mengatur harta peninggalan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur bahwa pemberian (hibah) dalam bentuk wasiat yang
melanggarhak mutlak ahli waris sebagaimana dijelaskan pada Pasal 913
KitabUndang-Undang Hukum Perdata, di mana apabila hal itu terjadi, ahli
waris penerima bagian mutlak (legitimaris) oleh Kitab Undang-Undang
Perdata diberikan solusi dengan meminta pembatalan atas akta hibah
wasiat yangtelah ada sebagaimana diatur dalam Pasal 920 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata di mana terdapat klausul
pemotongan/pengurangan hingga terpenuhinya bagian mutlak tetapi hanya
apabila terdapat tuntutan dari penerima bagian mutlak (legitime portie).

B. Saran
Dari hasil pembahasan ini, penulis memberikan beberapa saran yaitu sebagai
berikut:

31
32

1. Bagi mahasiswa, diharapkan untuk mampu mendalami pembahasan


mengenai pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap
Hibah Wasiat apabila melanggar hak mutlak Ahli Waris.
2. Bagi Universitas, diharapkan lebih mampu mendukung mahasiswa untuk
terus membuat karya tulis yang lebih baik.
3. Untuk masyarakat Indonesia, dengan adanya penjelasan mengenai Akibat
Hukum Pelaksanaan Hibah Wasiat yang melanggar Hak Mutlak Ahli
Waris (Legitime Portie) diharapkan masyarakat mampu mempelajari lebih
dalam mengenai Hibah Wasiat.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Undang – undang :


Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Sumber Buku :
Ali,Zainuddin. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta : Sinar
Grafika

J, Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan. Yogyakarta :


Laksbang Grafika.

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andriati. 2011. Hukum Orang dan Keluarga.
Medan : USU Press.

Meliala, Djaja S. 2012. Hukum Perdata Dalam Perspektif BW. Bandung : Nuansa
Aulia.

Nuroniyah, Wasmandan Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.


Yogyakarta : Teras

Perangin, Effendi. 2016. Hukum Waris. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Prawirohamidjojo, R Soetojo. 1988. Pluralisme dalam Perundang-undangan


Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press.

Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Universitas


Indonesia

Usman, Suparman 1990. Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata


B.W.Jakarta : Darul Ulum Press.

Sumber Elektronik

Muhammad Al Asyhari, Hak Waris Istri Kedua, [online] Melalui :


<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt521916d0c23dc/hak-
waris-istri-kedua/> Hukum Online [Diakses 13 November 2019, 20.18]

33

Anda mungkin juga menyukai