Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERDATA

“Waris dalam KUHPer/BW”

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Hukum Perdata

Dosen pengampu : Dra. Ipah Farihah, M.H.

Di susun oleh :

Gilang Rizki Aji Putra (11190430000120)


Hanifah Muwakhidatul Ummah (11190430000003)
Dwi Rahayu (11190490000088)
Rian Wulandari (11190430000010)
Muhammad Alwi Khasani (11190430000127)

Program Studi Perbandingan Madzhab

Fakultas Syariah Dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2020 M/ 1441 H

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur selalu kami panjatkan kehadirat Alah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-nya
serta kasih dan sayangnya yang memberikan pengetahuan,kemampuan dan kesempatan
kepada penyusun, sehingga mampu menyelesaikan penyusunan makalah ini yang bertema
“Waris dalam KUHPer/BW”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata. Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai Hukum Perdata terutama mengenai materi tentang
Waris dalam KUHPer/BW, Dsb.

Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini masih ada banyak kekurangan-
kekurangan karna keterbatasan materi penyusun. Untuk itu masukan, juga kritik yang bersifat
membangun akan sangat membantu penyusun untuk memperbaiki kekurangan.

Ucapan terimakasih tidak lupa pula kami hanturkan pada dosen pembimbing mata
kuliah Hukum Perdata ini, untuk teman-teman dan semua pihak yang telah membantu
kami,semoga makalah ini dapat berguna sebagai karya dari kita untuk semua.

Bandung, 04 November 2020

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang...................................................................................................................4
B. Rumusan masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan penulisan...............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris.............................................................................................................5
B. Peraturan Waris dalam KUHPer/BW................................................................................6
C. Asas-asas Hukum Waris dalam KUHPer/BW..................................................................7
D. Proses pewarisan/Syarat - syarat pewarisan dalam KUHPer/BW ....................................7
E. Cara Mewaris/Pembagian Waris dalam KUHPer ............................................................8
F. Cara Mawaris Mewaris menurut Wasiat/Testment ..........................................................9
G. Bentuk Testment ...............................................................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………11
B. Saran......……………………………………………………………………….............12

DAFTAR PUSTAKA......…………………………………………………………………..

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk
dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk
dalam bidang hukum perdata yang memiliki kesamaan sifat dasar, antara lain bersifat
mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk hukum waris perdata, meski
letaknya dalam bidang hukum perdata, ternyata terdapat unsur paksaan didalamnya.
Unsur paksaan dalam hukum waris perdata, misalnya ketentuan pemberian
hak mutlak (legitime portie) kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta
warisan atau ketentuan yang melarang pewaris telah membuat ketetapan seperti
menghibahkan bagian tertentu dari harta warisannya, maka penerima hibah
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya
ke dalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak (legitimeportie) ahli waris yang
mempunyai hak mutlak tersebut, dengan memperhatikan Pasal 1086 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, tentang hibah-hibah yang wajib inbreng (pemasukan).1

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Pengertian Waris ?
2. Apa saja Asas-asas Hukum Waris dalam KUHPer/BW ?
3. Apa Peraturan waris dalam KUHPer/BW ?
4. Bagaimana Proses Pewarisan/Syarat - syarat Pewarisan dalam KUHPer/BW ?
5. Bagaimana Cara Mewaris/Pembgian Waris dalam KUHPer ?
6. Bagaimana Cara mawaris mewaris menurut wasiat/testament ?
7. Apa Bentuk Testament ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian waris
2. Untuk mengetahui peraturan waris dalam KUHPer/BW
1 Anisitus Amanat, 2001, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW. Jakarta : Raja Grafindo
Persada,hal. 9.

4
3. Untuk mengetahui proses pewarisan/cyarat - syarat pewarisan dalam KUHPer/BW
4. Untuk mengetahui asas-asas hukum waris dalam KUHPer/BW
5. Untuk mengetahui cara mewaris/pembgian waris dalam KUHPer
6. Untuk mengetahui cara mawaris mewaris menurut wasiat/testment
7. Untuk mengetahui apa bentuk testment

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris

Waris menurut perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum
yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang hukum harta kekayaan
karena kematian seseorang yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mati beserta
akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antar
mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. 2 Apabil Berbicara mengenai
Warisan atau Hukum Waris, pada intinya berkisar diantaranya: 3 (1) Ada orang yang
mati; (2) Ada harta yang ditinggalkan; dan (3) Adanya ahli waris.
Hukum waris menduduki tempat yang amat penting. Ini dapat dipahami sebab
masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Setiap terjadi peristiwa kematian
seseorang, segera timbul pertanyaan “bagaimana harta peninggalannya (jika ada)
harus diperlakukan. Dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana cara
peralihan/perpindahannya”. Semua ini harus diatur dalam hukum kewarisan.

B. Peraturan Waris dalam KUHPer/BW


Hukum waris diatur di dalam Buku II, bersama-sama dengan benda pada
umumnya. Hal tersebut dikarenakan adanya pandangan bahwa pewarisan adalah cara
untuk memperoleh hak milik sebenarnya terlalu sempit dan bisa menimbulkan salah
pengertian, karena yang berpindah dalam pewarisan bukan hanya hak milik saja,

2 Muh Idris, implementasi hukum waris dan pengajarannya pada masyarakat kec. Poleang tengah kab. Bombana
(perbandingan antara hukum adat, hukum islam dan hukum perdata), Jurnal Al-‘Adl, Vol. 8 No. 1, Januari 2015.
3 Satrio. J, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.

5
tetapi juga hak-hak kebendaan yang lain (hak kekayaan) dan di samping itu juga
kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Hukum Kekayaan4 .

Di dalam Pasal 584 KUHPerdata meniru Pasal 711 Code Civil ditetapkan
bahwa: “Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan kepemilikan, karena perlekatan, karena kadaluwarsa, karena pewarisan baik
menurut Undang-Undang, maupun menurut surat wasiat” Ketentuan Pasal 584
KUHPerdata mengandung makna bahwa pewarisan merupakan salah satu cara yang
secara limitatif ditentukan untuk memperoleh hak milik, dan karena benda (hak) milik
merupakan salah satu unsur pokok daripada benda yang merupakan benda yang paling
pokok di antara benda-benda lain, maka hukum waris diatur dalam Buku II
bersamasama dengan pengaturan tentang benda yang lain.

Disamping itu penyebutan hak mewaris oleh pembentuk undang-undang di


dalam kelompok hak-hak kebendaan di dalam Pasal 528 KUHPerdata adalah tidak
benar. Untuk jelasnya Pasal 528 KUHPerdata menyebutkan: “Atas sesuatu kebendaan
(zaak), seseorang dapat mempunyai, baik hak untuk menguasai, baik sebagai hak
milik, baik sebagai hak waris, baik sebagai hak pakai hasil, baik sebagai hak
pengabdian tanah, baik sebagai hak gadai atau hipotik” Disini ternyata bahwa hak
mewaris disebutkan bersama-sama dengan hak kebendaan yang lain, sehingga
menimbulkan pandangan “seakan-akan” hak mewaris “merupakan suatu hak
kebendaan”. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari Hukum Romawi yang
menganggap warisan adalah zaak (tak berwujud) tersendiri, dan para ahli waris
mempunyai hak kebendaan (zakelijkrecht) atasnya.

C. Asas – Asas Hukum Waris dalam KUHper


 Asas-Asas Hukum Waris  (BW)
Dalam hukum waris BW berlaku asas, bahwa hanya hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum harta benda saja yang dapat diwariskan. Atau hak dan kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang. Jadi hak dan kewajiban dalam lapangan hukum
kekeluargaan atau kepribadian, misalnya hak dan kewajiban sebagai suami atau ayah,
tidak dapat diwariskan.
Selain itu berlaku juga asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka
seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Asas ini
dalam bahasa Perancis disebut “le mort saisit le vif“. Sedangkan pengoperan segala
hak dan kewajiban dari si pewaris oleh para ahli waris disebut “saisine“.Ada juga asas
yang disebut dengan “hereditatis petition“yaitu hak dari ahli waris untuk menuntut
semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang yang
yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya
sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalampasal 834 BW.

4 C.S.T. Kansil,2006, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata), pradnya paramita: Jakarta. h 143

6
Selain itu ada juga asas “de naaste in het bloed, erft het goed“ yang artinya yang
berdarah dekat, warisan didapat. Dan untuk mengetahui kedekatan tersebut, harus
dilakukan perhitungan dan untuk ini dipakai ukuran perderajatan dengan rumusX-
1.Semakin besar nilai derajat, maka semakin jauh hubungan kekeluargaan dengan si
pewaris. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil nilai derajat, maka semakin dekat
hubungan darah dengan si pewaris. Misal : ukuran derajat seorang anak kandung
dengan si pewaris adalah 2-1=1 derajat.
Selain itu ada 6 Asas Utama Hukum Waris Perdata
Salah satu alat untuk distribusi keuangan adalah waris dengan menggunakan surat
wasiat. Di Indonesia terdapat tiga jenis surat wasiat, yaitu surat wasiat umum,
olografis dan rahasia. Surat wasiat tersebut harus memenuhi 6 asas utama dalam
hukum waris perdata. Berikut ini 6 asas utama dalam hukum waris perdata.
*Keutamaan
Dalam surat wasiat menurut hukum waris perdata harus sesuai dengan asas
keutamaan. Jadi yang paling diutamakan adalah golongan I (istri/suami, anak-anak
dan keturunan) dibandingkan golongan II (orang tua dan saudara). Golongan II tidak
akan mewarisi selama masih ada golongan I.
*Penggantian
Menurut hukum waris perdata, seseorang dalam garis lurus (masih golongan I)
diperbolehkan menggantikan hak untuk menerima waris. Misal seorang kakek
memiliki 3 orang anak. Salah satu anaknya meninggal dunia, sebelum si kakek
meninggal. Kakek tersebut dapat mewariskan kepada cucunya.5

*Ahli Waris dan Pewaris Meninggal Bersamaan Waris berdasarkan hukum waris
perdata tidak dapat dilakukan jika pewaris dan orang yang menerima waris meninggal
pada saat yang bersamaan. Contoh meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

*Warisan Tak Terurus Warisan yang tak terurus adalah warisan yang tiada yang
menuntut atau ditolak oleh seluruh ahli waris. Warisan yang tak terurus akan dikelola
oleh Balai harta peninggalan.

*Hereditatis Petitio Hereditatis Petitio adalah hak untuk mengajukan gugatan, guna
mempertahankan hak warisnya. Seseorang yang mengajukan hereditatis petitio harus
membuktikan dirinya adalah ahli waris.

*Bagian Mutlak atau Legitmate Portie Menurut hukum waris perdata, ahli waris garis
lurus ke atas dan ke bawah memiliki bagian mutlak atau legitimate portie. Dengan
adanya bagian mutlak, maka orang tua (orang yang memberikan waris), tidak dapat

5,

7
mewariskan 100% hartanya ke orang lain. Berikut ini aturan bagian mutlak:
Jika satu anak, maka bagian mutlaknya adalah ½ dari harta peninggalan.
Jika dua anak, maka bagian mutlaknya adalah 2/3 dari bagian sebagai ahli waris.
Jika lebih dari dua anak, maka bagian mutlaknya adalah masing-masing ¾ dari
bagiannya sebagai ahli waris.

D. Proses Pewarisan/Syarat – Syarat Pewarisan dalam KUHPer/BW


Sistem Pewarisan Apabila Pewaris Dan Ahli Warisnya Meninggal Dunia Pada
Saat Bersamaan Ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata),
sebab seseorang menerima warisan karena adanya hubungan nashab/kekerabatan dan
karena perkawinan. Dalam Pasal 852 KUH Perdata menyatakan : Anak-anak atau
sekalian keturunan mereka, biar di lahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun,
mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka
selanjutnya dalam garis lurus keatas, dengan tiada perbedaan antara lelaki atau
perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu. Mereka mewarisi
kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat
ke satu dan masing - masing mempunyai hak karena diri sendiri; mereka mewarisi
pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak
sebagai pengganti. 6

Dari Pasal 852 KUH Perdata dapat diketahui bahwa yang berhak mewaris
adalah orang yang memiliki hubungan darah atau garis lurus keatas, kebawah, dan
kesamping dengan si pewaris. Disamping itu juga KUH Perdata mengenal adanya ahli
waris karena penunjukan(erfstelling), yang di kelompokan kepada cara pewarisan
karena isar Hukum Waris Menurut KUHPerdata B.W., Darul Ulum Press, adanya
wasiat (testamentair erfrecht) selain pewarisan karena Undang-undang (wettelijk
erfrecht).
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater) yaitu orang yang
meninggalkan harta warisan dan disebut Pewaris.
b. Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam) yaitu orang yang menurut
undang-undang atau testamen berhak mendapatkan warisan dari orang yang
meninggal dunia mereka disebut Ahli Waris.
c. Adanya benda yang di tinggalkan (erftenis, nalatenschap) yaitu sesuatu yang
di tinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia,
yang disebut harta warisan, wujud harta warisan inibisa berbentik Activa
(piutang, tagihan) atau Pasiva (hutang). Untuk terjadinya pewarisan, maka si pewaris
haruslah sudah meninggal dunia, sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 830 KUH

6 Muji Yono, Resume Hukum Waris Menurut BW

8
Perdata yang menyatakan bahwa : ”Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Dalam Pasal 831 KUH Perdata menyatakan bahwa : Apabila beberapa orang antara
mana yang satu adalah untuk menjadi waris yang lain, karena satu malapetaka yang
sama, atau pada satu hari, telah menemui ajalnya, dengan tak dapat diketahui siapakah
kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia
pada detik yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain
taklah berlangsung karenanya. Sedangkan, dalam Pasal 894 KUH Perdata menyatakan
bahwa “Apabila karena satu-satunya malapetaka atau pada hari yang sama si yang
mewariskan, seperti pun si waris, atau penerima hibah, atau sekalian mereka yang
karena suatu pengangkatan waris renteng diperbolehkan, sedianya harus mengganti
mereka, semua itu menemui ajalnya, dengan tak dapat diketahui, siapakah kiranya
yang meninggal lebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada
detik waktu yang sama, sehingga pun tak terjadilah suatu perpindahan hak karena
surat wasiat itu. 7
Pasal 831 KUH Perdata dan Pasal 894 KUH Perdata menjelaskan bahwa apabila
ada dua orang atau beberapa orang yang meninggal dunia bersama-sama, pada detik
yang sama sehingga sulit untuk di ketahui siapakah yang meninggal terlebih dahulu,
padahal di antara mereka terjadi saling mewarisi (baik karena pewarisan menururut
undang-undang ataupun wasiat), maka perpindahan warisan dari yang satu kepada
yang lain tidaklah berlangsung karenanya atau di antara mereka tidak terjadi suatu
pewarisan.
Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1.    Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2.    Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk
suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan
mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia.
Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia,
maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang
yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan
langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-
saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak
mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1.    Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal
852 KUHPerdata).
2.    Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3.    Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu
pewaris

7  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23


Risen Yan Piter. Prinsip-Prinsip Hukum dalam Perencanaan Distribusi Kekayaan (Hibah, Pewarisan dan
Perkawinan)

9
4.    Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari
pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari
pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat
keenam dihitung dari pewaris.
 Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan
berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta
peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.8

E. Cara Mewaris/Pembagian Waris dalam KUHPer/BW


Dalam hukum perdata waris dibagi dalam beberapa golongan. Golongan ahli
waris dapat dibedakan atas 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu: 9
- Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannnya ke bawah
tanpa batas beserta janda/duda.
- Golongan II : Golongan II terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris beserta
saudara dan keturunannnya sampai derajat ke-6.
- Golongan III : Golongan III terdiri dari keluarga sedarah menurut lurus ke
atas.
- Golongan IV : Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke
samping yang lebih jauh sampai derajat ke-6.
Pembagian harta warisan berbebda sesuai dengan golongan diatas diantaranya
meliputi: 10
- Pertama, dalam golongan I (kesatu)  ini, suami atau istri dan atau anak
keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas
yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-
masing mendapat 1/4 bagian.
- Kedua, Golongan II ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila
pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian
yang berhak adalah kedua orangtua,  saudara dan atau keuturunan pewaris
bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara

8  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Irma Devita
Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).

9 Mawar Maria Pangemanan, Kajian Hukum Atas Hak Waris Terhadap Anak Dalam Kandungan Menurut
Kuhperdata, Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016
10 Cyntia P. Dewantoro, Bagaiamana membagi waris menurt KUH Perdata,

10
kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya
bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
- Ketiga, Golongan III Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai
saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam
garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. bagan ini yang
mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu.
Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian
untuk garis ibu.
- Dan keempat, Golongan IV Pada golongan ini yang berhak menerima
warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup.
Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang
lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga
tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan
pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis
lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula, golongan yang lebih tinggi
derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.Sebelum melakukan pembagian
warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang
yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.

F. Cara Mewarisi Wasiat/Testament


Surat Wasiat atau testamen merupakan sebuah akta berisi pernyataan seseorang
tentang apa yang ia kehendaki terhadap hartanya setelah ia meninggal dan dapat
dicabut kembali olehnya.11 Mengenai berbagai hal yang terkait dengan perwasiatan
sudah diatur secara lengkap dalam buku 2 KUHPer bab XIII tentang Surat Wasiat.
Ketetapan-ketetapan dengan surat wasiat tentang harta benda dapat juga dibuat secara
umum, dapat juga dengan alas hak umum, dan dapat juga dengan alas hak khusus.
Tiap-tiap ketetapan demikian, baik yang dibuat dengan nama pengangkatan ahli waris,
maupun yang dengan nama hibah wasiat, ataupun yang dengan nama lain, mempunyai
kekuatan menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam bab tersebut.

Menurut undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :

1.Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang


11 KUHPer Buku II BAB XIII Surat Wasiat Pasal 874

11
2.Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui
hak dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta
peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan
kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa
:
a. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli
waris untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan.
Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut
wasiat).
b. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau
wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa : (hak atas) satu atau
beberapa benda tertentu; (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;
hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Orang yang menerima legaat disebut legataris, bukan ahli waris. Sebab ia
tidak berkewajiban dan berhak menggantikan posisi orang yang meninggal.
Isi suatu testamen tidak terbatas pada kekayaan harta benda saja, tapi juga dapat
berisi penunjukan seorang wali untuk anak-anak dari pewasiat, pengakuan seorang
anak yanglahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang executeurtasementair
(orang yang mengawasi dan mengatur pelaksanaan testatemen).
Suatu erfstelling dapat disertai dengan beban atau “last” yang mengikat si ahli
waris atau legataris. Jika beban tersebut tidak terpenuhi maka warisan dapat
dibatalkan.
Untuk membuat suatu testatemen, seseorang harus mencapai usia 18 tahun atau
sudah dewasa atau sudah kawin meskipun belum berusia 18 tahun. Lalu orang yang
membuat testatemen harus sunggunh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat. Artinya
ia dalam kondisi sehat dan pikirannya tidak sedang terganggu ketika membuat
testatemen tersebut.12

Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPer, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli
Waris dan karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1.      mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh pewaris.
2.      mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah
mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau
hukuman yang lebih berat.
3.      mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau
mencabut surat wasiatnya.
4.      mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syarat wasiat
pewaris.

G. Bentuk Testament

12 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa: Jakarta, 2003, hlm. 111.


12
Wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang
dikehendakinya setelah ia meninggal dunia.13 Pada asasnya suatu pernyataan yang
demikian adalah keluar dari satu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik
kembali oleh yang membuatnya.

Wasiat (testament) tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. pembatasan


pernyataan dalam wasiat penting,terutama dalam hal bagian mutlak hak waris (legitime
portie).
Seorang pembuat wasiat (testament) harus mempunyai budi akalnya,artinya tidak
boleh sakit ingatan dan orang yang memiliki sakit berat,sehingga ia tidak dapat berpikir
secara teratur (Pasal 895 KUH Perdata), serta minimal berusia 18 tahun (Pasal 897
KUH Perdata).14
Menurut pasal 931 KUH Perdata,wasiat menurut bentuknya dibedakan menjadi :
1. Wasiat olografis (olografis testament), yaitu suatu wasiat yang ditulis dengan
tangan orang yang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (eigen
handing) dan harus diserahkan pada notaris untuk disimpan (Pasal 932 ayat 1
dan 2 KUH Perdata). Penyerahan ini harus dibuatkan akte yang disebut akta
penyimpanan (akta van depot) yang ditandatangani oleh pembuat wasiat,
notaris dan 2 orang saksi yang menghadiri peristiwa. Penyerahan kepada
notaris dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup (dalam amplop), jika
tertutup maka pembukaan dilakukan oleh Balai harta peninggalan (BHP) dan
dibuat proses verbal.
2. Wasiat umum (Openbare testament), dibuat oleh notaris (Pasal 938 dan 939
ayat (1) KUH Perdata). orang yang akan meninggalkan warisan menghadap
kepada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris tersebut akan menulis
dan dihadiri oleh 2 orang saksi.bentuk ini paling banyak dan baik karena
notaris dapat mengawasi isinya dan memberikan nasehat-nasehat tentang
isinya.
3. Wasiat rahasia.dibuat oleh pemberinya atau orang lain kemudian
ditandatangani pewaris,dan harus diserahkan sendiri kepada notaris dengan 4
orang saksi,dalam keadaan tertutup dan disegel (Pasal 940 KUH Perdata).

Menurut Pasal 4 S. 1924 – 556, untuk golongan timur asing bukan tionghoa (yang
baginya tidak berlaku hukum perdata barat) wasiat harus dilakukan dalam bentuk
wasiat umum (openbaar testament). Pada prinsipnya suatu wasiat harus dibuat dengan
bantuan notaris (Pasal 935 KUH Perdata), tetapi Undang-undang
mengenal codicil,yaitu surat wasiat yang dibuat dibawah tangan,dimana orang yang
meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang termasuk pemberian atau
13 H.M, Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum kewarisan Islam dengan kewarisan Undang-undang Hukum
Perdata, Sinar Grafika : Jakarta. hal 111
14 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal 206

13
pembagian warisan itu sendiri. Codicil tersebut berisi pengangkatan pelaksana wasiat
(executour testamentair), atau penyelenggara penguburan. Wasiat yang dibuat diluar
negeri,harus dibuat dengan akta otentik dengan mengindahkan cara yang berlaku
dinegara mana wasiat tersebut.15 dibuat. jadi harus dalam bentuk wasiat umum (karena
harus dengan akta otentik),kecuali codicil.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Waris menurut perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum
yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang hukum harta kekayaan
karena kematian seseorang yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mati
beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam
hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. 16 Apabil
Berbicara mengenai Warisan atau Hukum Waris, pada intinya berkisar
diantaranya: (1) Ada orang yang mati; (2) Ada harta yang ditinggalkan; dan (3)
Adanya ahli waris.

1. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi Hukum Perdata dengan
judul “Hukum Benda” yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan materi ini.
Kami selaku penyusun berharap kepada para pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini pada kesempatan
berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga bagi
para pembaca.
15 Istijab,2020,Hukum waris berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata dan hukum adat, Qiara Media :
Jawa Timur.
16 Muh Idris, implementasi hukum waris dan pengajarannya pada masyarakat kec. Poleang tengah kab. Bombana
(perbandingan antara hukum adat, hukum islam dan hukum perdata), Jurnal Al-‘Adl, Vol. 8 No. 1, Januari 2015.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anisitus Amanat, 2001, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Muh Idris, implementasi hukum waris dan pengajarannya pada masyarakat kec. Poleang
tengah kab. Bombana (perbandingan antara hukum adat, hukum islam dan hukum
perdata), Jurnal Adl, Vol. 8 No. 1, Januari 2015.
Satrio. J, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992.
C.S.T. Kansil,2006, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata), pradnya paramita: Jakarta.

Muji Yono, Resume Hukum Waris Menurut BW

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23


Risen Yan Piter. Prinsip-Prinsip Hukum dalam Perencanaan Distribusi Kekayaan (Hibah,
Pewarisan dan Perkawinan)

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Irma
Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).

Mawar Maria Pangemanan, Kajian Hukum Atas Hak Waris Terhadap Anak Dalam Kandungan
Menurut Kuhperdata, Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Cyntia P. Dewantoro, Bagaiamana membagi waris menurt KUH Perdata,


KUHPer Buku II BAB XIII Surat Wasiat Pasal 874

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa: Jakarta, 2003.

H.M, Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum kewarisan Islam dengan kewarisan Undang-
undang Hukum Perdata, Sinar Grafika : Jakarta.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata,


Istijab,2020,Hukum waris berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata dan hukum adat,
Qiara Media : Jawa Timur.

15

Anda mungkin juga menyukai