Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

HUKUM PERDATA

“KELUARGA, WARIS & BENDA”

DOSEN PENGAMPUH : ERNAWATI

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 5 (KELAS C)

ANGGOTA :
1. ALI YUSTIN (082001063)
2. SYARIF AFFANDI (082001003)
3. LA ODE RAHMAT (082001108)
4. IRZUL ARDIANSYAH (082001057)
5. SANJAYA DHEWA PERMANA (082001018)
6. UNAM HABIB (082001104)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON


FAKULTAS ILMU HUKUM
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyusun
makalah ini dengan tepat waktunya. Makalah ini berisikan informasi tentang
pemahaman apa saja mengenai hukum perdata Keluarga, Waris, dan Benda yang
ada di Indonesia saat ini. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi
kepada kita semua tentang wawasan mengenai hukum perdata ini.
Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita. Amin

Baubau, 27 Mei 2021

Penyusun

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. HUKUM KELUARGA..........................................................................................4
1. Definisi Hukum Keluarga dan Menurut Para Ahli.............................................4
2. Sumber Hukum Keluarga...................................................................................5
3. Asas-Asas Hukum keluarga...............................................................................6
4. Ruang Lingkup Hukum Keluarga.......................................................................7
5. Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga.....................................................7
B. HUKUM WARIS...................................................................................................8
1. Pengertian Hukum Waris...................................................................................8
2. Unsur-Unsur Kewarisan Menurut KUHPerdata...............................................10
3.Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris.........................................................14
4. Objek Hukum Waris.........................................................................................16
5. Ahli Waris dan Besarnya Bagian Menurut KUHPerdata..................................17
C. Hukum Benda.......................................................................................................18
1. Pengertian Hukum Benda.................................................................................18
2. Sistem Hukum Benda.......................................................................................19
3. Macam-Macam Benda.....................................................................................19
4. Asas-Asas Hukum Benda.................................................................................23
5. Hak kebendaan menurut UUPA.......................................................................26
BAB III............................................................................................................................28
PENUTUP.......................................................................................................................28
A. Kesimpulan..........................................................................................................28

ii
B. Saran....................................................................................................................29
Daftar Pustaka..................................................................................................................30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Perdata adalah hukum yang memuat semua peraturan-
peraturan, yang meliputi hubungan-hubungan hukum antara orang yang
satu dengan orang yan lainnya di dalam masyarakat (terkadang antara
anggota masyarakat dengan pemerintah), dengan menitiberatkan kepada
kepentingan perseorangan. Hukum Perdata dalam arti luas adalah bahan
hukum sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WVK) beserta sejumlah
undang-undang yang disebut undang-undang tambahan lainnya, atau dapat
pula dikatakan meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum Perdata dalam
arti sempit adalah Hukum Perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Sistematika Hukum Perdata Materiil menurut ilmu pengetahuan
dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Hukum Pribadi (personenrecht)
b. Hukum Keluarga (familierecht)
c. Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht)
d. Hukum Waris (erfrecht)
Dari yang telah dibahas diatas, maka dapat kita sadari bahwa
Hukum Perdata timbul karena manusia yang hidup bermasyarakat, karena
manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa
manusia lainnya. Maka untuk mempertahankan keberadaan manusia di
muka bumi dan hasil dari interaksi manusia antara satu sama lain dapat
timbul peristiwa perkawinan. Salah satu akibat hukum dari perkawinan

1
adalah penyatuan harta. Hal tersebut sangat penting oleh karena itu, di
perlukan perangkat hukum untuk menganturnya.
Istilah Hukum Waris sudah bukan hal yang asing dalam kehidupan
kita, karena hal ini sudah lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia adalah negara yang sistem hukumnya pluralistik begitu juga
dengan sistem kewarisan hukumnya, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum
Waris Islam dan Hukum Perdata Barat.
R. Subekti beranggapan seperti hal dengan Hukum Perkawinan,
begitu pula Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam. Di samping
Hukum Waris Adat, berlaku Hukum Waris menurut KUHPerdata
(Burgelijk Wetboek).
Dalam Hukum Waris Perdata Barat, bagian-bagian ahli waris
terhadap harta kekayaan si pewaris telah ditentukan sehingga setiap ahli
waris dipastikan untuk mendapatkan bagiannya. Bahkan Undang-Undang
menjamin hak ahli waris jika si pewaris membuat wasiat.Bagian yang
dilindungi ini disebut legitieme portie, yaitu bagian mutlak bagi para ahli
waris yang tidak boleh dikurangi dengan cara apapun oleh si pewaris.
Walaupun Undang-Undang sudah secara jelas dan nyata
menentukan bagian para ahli waris sesuai golongannya, namun tetap
seringkali terjadi permasalahan pembagian harta warisan. Tidak jarang
permasalahan ini sampai diperkarakan di pengadilan, agar dapat
diselesaikan dengan aturan yang tepat sesuai dengan Undang-Undang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga


2. Apa yang dimaksud dengan hukum waris
3. Apa yang dimaksud dengan hukum benda

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang hukum keluarga

2
2. Untuk mengetahui tentang hukum waris
3. Untuk mengetahui tentang hukum benda

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM KELUARGA

1. Definisi Hukum Keluarga dan Menurut Para Ahli


Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan
kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah
keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri,
sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau
anggota kerabat dekat. Ali affandi mengatakan bahwa hukum
keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang
tua, perwalian, pengampuan , keadaan tak hadir).
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga,
yaitu:
 Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang
timbul dari hubungan keluarga
 C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang
timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
 R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan
 Sudarsono

4
Hukum kekeluargaan adalah keseluruhan ketentuan yang
menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan

2. Sumber Hukum Keluarga


Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang
berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
 Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de
Gemengdehuwelijk),Stb.1898 Nomor 158
 Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan
Ambon, Stb.1933 Nomor 74
 UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk (beragama Islam)
 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
 PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
 PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Selain itu yang 7 ini yang menjadi sumber hukum keluarga
tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku bagi
orang-orang yang beragama Islam saja.

5
3. Asas-Asas Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU
Nomor 1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip
dalam Hukum Keluarga, yaitu:
 Asas monogamy, asas ini mengandung makna bahwa seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya
boleh mempunyai seorang suami.
 Asas konsensual, yakni asas yang mengandung makna bahwa
perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau
consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan
perkawinan.
 Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri
terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya.(Pasal 119
KUHPerdata)
 Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam
kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.
( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
 Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan
bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang
wali. Pengecualian dari asas ini adalah
- Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang
hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi
wali serta/wali peserta
- Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus
barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia
Asas prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa
raganya.( Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974)
 Asas monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang
mengandung makna bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari

6
seorang dengan izin dari pengadilan setelah mendapat izin dari
istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat.
 Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu
perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum
agama dan kepercayaannya masing-masing.( Pasal 31 UUNo.1
Tahun 1974 tentang perkawinan)
 Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan dan dicatat oleh
pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil), perkawinan secara
agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.

4. Ruang Lingkup Hukum Keluarga


Setelah kita mengetahui apa pengertian hukum keluarga maka
dapat kita ketahui bahwa apa-apa saja ruang lingkup dalam hukum
keluarga. Ruang linkup dalam hukum keluarga itu meliputi:
perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan
orang tua, pengampuan, dan perwalian. Namun di dalam bagian
hukum keluarga hanya difokuskan pada kajian perkawinan, perceraian,
dan harta benda dalam perkawinan.

5. Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga


Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak
dan kewajiban suami istri. Yang dimaksud “hak” ialah sesuatu yang
merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul
karena perkawinannya. Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu yang
harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi
hak dan dari pihak yang lain.
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
a) Hak dan kewajiban antara suami istri
b) Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya

7
c) Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala
oarng tuanya telah mengalami proses penuaan

B. HUKUM WARIS

1. Pengertian Hukum Waris


. Adapun hukum waris menurut beberapa pakar para ahli yaitu
sebagai berikut:
a. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum waris adalah aturan-aturan
hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad kea bad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari turunan ke turunan
b. Menurut Prof. Mr. A. Pitlo, hukum waris adalah kumpulan
peraturan yang mengatur hukum mengenai pemindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan
antara mereka dengan pihak ketiga
c. Menurut Prof. Subekti, S.H., hukum warissan itu mengatur
akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan
seseorang
d. Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H., hukum waris adalah
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
manusia (generaie) kepada turunannya.
e. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum waris
adalah semua kaidah hukum yang mengatur bagaimanakah nasib
kekayaan seorang yang meninggal dunia, dan siapa-siapakah yang
berhak atas kekayaan itu.
f. Menurut Dr. R. Santoso Pudjosubroto, S.H., hukum waris adalah
hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu

8
ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.
g. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., warisan adalah
soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada yang masih hidup
h. Menurut Kompilasi Hukum Islam, hukum warisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing
(Simanjuntak, 2017).

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum


waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi
terhadap harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Dengan
demikian, hukum waris pada hakikatnya, mengatur mengenai tata
cara peralihan harta kekayaan dari seorang yang meninggal dunia atau
pewaris kepada para ahli warisnya. Jadi, di dalam kewarisan ini,
terdapat tiga unsur, yaitu:
a. Adanya orang yang meninggal dunia (pewaris)
b. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan
c. Adanya ahli waris.
KUHPerdata sendiri tidak ada pasal tertentu yang
memberikan pengertian tentang hukum kewarisan, hanya pada Pasal
830 menyatakan bahwa “perwarisan hanya berlangsung karena
kematian”.Jadi harta peninggalan baru terbuka untuk dapat diwarisi
kalau pewaris sudah meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata) dan si
ahli waris harus masih hidup saat harta warisan tersebut terbuka untuk
diwarisi (Pasal 836 KUHPerdata).

9
2. Unsur-Unsur Kewarisan Menurut KUHPerdata

Didalam hukum kewarisan KUHPerdata memiliki 3 unsur yaitu:


a. Pewaris (efflater)
Apabila merujuk pada (Pasal 830 KUHPerdata) banyak
kalangan menyebutkan bahwa pewaris yaitu setiap orang yang
sudah meninggal dunia. Karena hukum waris tidak akan
dipersoalkan kalau orang yang telah meninggal dunia tidak
meninggalkan harta benda maka unsur-unsur yang mutlak harus
dipenuhi untuk layak disebut pewaris adalah orang yang telah
meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.Adapun
Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan dalam KUHPerdata untuk
memperoleh warisan yaitu :
a) Syarat yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya
pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata.
Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1. Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh
(mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra
bahwa ia benar-benar telah mati.
2. Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu:
tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut
kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b) Syarat yang berhubungan dengan ahli waris orang-orang yang
berhak atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih
hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris
dimungkinkan dengan :

10
1. Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan
memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan
dengan panca indra.
2. Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara
kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi
dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).

Menurut KUHPerdata, adapun prinsip dari pewarisan adalah:


1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak
lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830
KUHPerdata).
2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris,
kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris (Pasal 832
KUHPerdata). dengan ketentuan mereka masih terikat dalam
perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau
mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia,
maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari
pewaris.

b. Ahli Waris (erfgenaam)


Ahli waris (erfgenaam) adalah semua orang yang berhak
menerima warisan.Dalam KUHPerdata yang dimaksud dengan
ahli waris adalah para anggota keluarga sedarah yang sah maupun
diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup diluar
perkawinan serta suami dan istri yang hidup terlama (Pasal 832
KUHPerdata). Selanjutnya pada (Pasal 833 KUHPerdata)
disebutkan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena
hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan
segala piutang yang meninggal dunia. Sehingga ada dua syarat
untuk menjadi ahli waris yaitu:
1. Ahli waris yang ditentukan oleh undang-undang.

11
adalah orang yang berhak menerima warisan,
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ahli waris ini diatur didalam (Pasal
832 KUHPerdata) menurut undang-undang yang berhak
menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah
maupun luar nikah, suami atau isteri yang hidup terlama.
Bilamana baik keluarga sedarah, maupun si hidup
terlama diantara suami istri tidak ada, maka segala harta
peninggalan si yang meninggal menjadi milik negara, yang
mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harta
peninggalan mencukupi untuk itu.
Ahli waris karena hubungan darah ini ditegaskan
kembali dalam (Pasal 852 a KUHPerdata). Dalam hal warisan
dan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih
dahulu, suami atau isteri yang ditinggal mati, dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan bab ini, disamakan dengan
seorang anak sah dan orang yang meninggal, dengan
pengertian bahwa bila perkawinan suami isteri itu adalah
perkawinan kedua atau selanjutnya.
Dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau
keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru
tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima
oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua
keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan
bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak
boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.

(Pasal 852 b KUHPerdata) bila suami atau isteri yang


hidup terlama membagi warisan dengan orang-orang lain yang
bukan anak-anak atau keturunan-keturunan lebih lanjut dan
perkawinan yang dahulu, maka ia berwenang untuk mengambil
bagi dirinya sebagian atau seluruhnya perabot rumah tangga

12
dalam kuasanya.

2. Ahli waris yang ditentukan oleh wasiat


Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang
menerima warisan karena adanya wasiat(testamen) dari
pewaris kepada ahli waris yang dituangkannya dalan surat
wasiat.Dalam (Pasal 875 KUHPerdata) dijelaskan surat wasiat
(testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi
setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dicabut kembali.
Untuk mendapatkan atau menerima warisan ahli waris
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:
1. Pewaris telah meninggal dunia.
2. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris
meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi
makna ketentuan (pasal 2 KUHperdata), yaitu: “anak yang
ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai
telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia
dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi
dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum
sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris.
3. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris,
dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai
seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau
tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.

c. Warisan (Nalatenschap)
Menurut hukum barat dalam BW yang dimaksud warisan
adalah harta kekayaan (vermogen) berupa aktiva atau passive atau
hak-hak dan kewajiban yang bernilai uang yang akan beralih dari

13
pewaris yang telah wafat kepada para waris pria atau wanita.
Itulah tiga unsur waris, jika salah satu dari unsur tersebut
tidak ada, maka waris mewarisipun tidak bisa dilakukan ataupun
dibagikan.

3.Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris


a. Hak dan kewajiban pewaris
1) Hak pewaris, timbul sebelum terbukanya harta peninggalan
dalam arti sebelum pewaris meninggal dunia berhak
menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament/wasiat,
yang berupa :
- Erfstelling, suatu penunjukan satu/beberapa orang
menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau
seluruh harta peninggalan (testamentair erfgenaam : ahli
waris menurut wasiat)
- Legaat, pemberian hak kepada seseorang atas dasar
testament/wasiat yang khusus, yang berupa :
 Hak atas satu/atau beberapa benda tertentu
 Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu
 Hak vruchtgebruik, atas sebagian/seluruh warisan
(Pasal 957 KUHPerdata) Orang yang menerima
legaat disebit legataris
Bentuk testament :
 Openbaar testament, testament yang dibuat oleh
seorang notaries dengan dihadiri oleh dua orang
saksi
 Olographis testament, testament yang ditulis oleh
si calon pewaris sendiri, kemudian diserahkan
kepada seorang notaries untuk disimpan dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.

14
 Testament rahasia, dibuat oleh calon pewaris
tidak harus ditulis tangan, kemudian testament
tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang
notaries dengan disaksikan oleh empat orang
saksi

2) Kewajiban pewaris
Merupakan pembatasan terhadap haknya yang
ditentukan UU. Ia harus mengindahkan adanya legitieme
portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan
yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan (Pasal 913 KUHPerdata).

b. Hak dan kewajiban ahli waris

1) Hak ahli waris


Hak ahli waris, setelah terbuka warisan, ahli waris
diberikan hak untuk menentukan sikap :
- Menerima secara penuh, yang dapat dilakukan secara
tegas atau secara lain. Secara tegas , jika penerimaan
tersebut dituangkan dalam suatu akta yang memuat
penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam-diam ,
jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan
penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut
harus mencerminkan penerimaan terhadap warisan yang
meluang, yaitu dengan mengambil, menjual atau
melunasi hutang- hutang pewaris
- Menerima dengan reserve, (hak untuk menukar).
Voorrecht van boedel beschijving atau beneficiare
annvaarding.Hal ini harus dinyatakan pada Panitera
Pengadilan Negeri di tempat warisan terbuka.akibat yang

15
terpenting dari warisan secara beneficiare ini adalah
kewajiban untuk melunasi hutang-hutang danbeban lain
si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga
pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam
hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah
menanggung pembayaran hutang dengan kekayaan
sendiri, jika hutang pewaris lebih besar dari harta
bendanya.
- Menolak warisan, ini mungkin, jika jumlah harta
kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih
besar daripada hak untuk menikmati harta peninggalan.
Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan
kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat.

2) Kewajiban ahli waris


- Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta
peninggalan dibagi
- Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dll
- Melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan
hutang
- Melaksanakan wasiat jika ada

4. Objek Hukum Waris


Pada prinsipnya obyek hukum waris adalah harta kekayaan yang
dipindahkan dari pewaris kepada ahli waris, yang dapat berupa :
a. Aktiva, sejumlah benda yang nyata ada dan/atau berupa
tagihan/piutang kepda pihak ketiga. Selain itu aktiva dapat berupa
hak immaterial seperti hak cipta, hak paten dsbnya
b. Pasiva, sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak
ketiga, maupun kewajiban lainnya (menyimpan benda orang lain)

16
Jadi obyek hukum waris adalah harta kekayaan yang dapat berupa
benda berwjud dan tidak berwujud, yang berarti hak dan
kewajiban pewaris yang lahir dari hubungan hukum kekeluargaan
tidak dapat diwariskan, kecuali hak suami/ayah untuk
menyangkal anaknya

5. Ahli Waris dan Besarnya Bagian Menurut KUHPerdata

Didalam KUHPerdata mengenal 4 golongan ahli waris yang


bergiliran berhak atas harta warisan, dengan pengertian bahwa apabila
ada golongan-golongan yang lain tidak berhak mendapatankan harta
mawaris dan apabila golongan ke-I tidak ada maka golongan ke-2 saja
yang berhak mendapatkan harta warisan begitu seterusnya.Secara
terperinci golongan tersebut yaitu:
3) Golongan 1
Pasal 852 KUHPerdata dimana dalam pasal ini di jelaskan
bahwa baik anak laki-laki dan anak perempuan itu memiliki hak
yang sama atau di kenal dengan bagi rata. Yang berbeda adalah
bahagian anak luar kawin atau anak adopsi yang dalam penetapan
pengadilan tidak disebutkan dengan tegas kedudukannya sama
dengan anak sah.
4) Golongan 2
Ahli waris golongan kedua ini yaitu keluarga dalam garis
lurus ke atas Meliputi orang tua, saudara-saudara laki-laki dan
perempuan dan keturunannya. Pembahagian harta peninggalan ini
diatur dalam pasal 854, 855, 857, 859 KUHPerdata.
5) Golongan 3
Ahli waris golongan ketiga ini yaitu keluarga sedarah
dalam garis lurus keatas jika sipewaris tidak meninggalkan
keturunan maupun suami atau isteri, orang tua, saudara saudari
maupun keturunannya. Hal ini di atur dalam pasal 850 BW dan
pasal 853 ayat (1) dan ayat (3) BW, bahwa harta peninggalan

17
harus di bagi dua bahagian sama besarnya, satu bahagian
untuk semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas, dan satu
bahagian lagi untuk semua keluarga seddaarah dalam garis si ibu.
6) Golongan 4
Dalam hal ini pasal 858 KUHPerdata, Menentukan bahwa
dalam hal tidak adanya saudara saudara laki laki dan perempuan
dann tidak adanya pula keluarga dalam garis lurus keatas,
setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga
dalam garis keatas yang masih hidup, sedangkan setengah bagian
lainnya, kecuali dalam hal tersebut masih hidup, sedangkan
setengah bagian lainnya kecuali dalam hal tersebut dalam pasal
859 menjadi bagian para sanak saudara dalam garis lain. Ahli
waris dalam golongan keempat ini yaitu keluarga lainnya dalam
garis menyamping yang dibatasi sampai dengan derajat keenam,
baik dari pihak ayah maupun dari pihak Ibu. (Sagala, 2018)

C. Hukum Benda

1. Pengertian Hukum Benda


Hukum benda adalah terjemahann dari istilah bahasa Belanda,
yaitu “zakenrecht”. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum
kebendaan ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang
diartikan dengan benda dan mengatur hak – hak atas benda. Adapun
menurut Prof. L.J.Apeldoorn, hukum kebendaan adalah peraturan
mengenai hak – hak kebendaan.
Menurut Prof. sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang diatur dalam
Hukum Benda, ialah pertama-tama mengatur pengertian dari benda,
kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian
yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan.

18
Jadi hukum benda adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur mengenai hak- hak kebendaan yang sifatnya mutlak
(P.N.H.Simanjuntak, 2015 :177)

2. Sistem Hukum Benda


System pengaturan hukum benda adalah system tertutup, artinya
orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hnya dapat mengadakan
hak kebendaan terbatas pada yang sudah ditetapkan dalam undang-
undang saja (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981: 2)
Hal ini berlawanan dengan system hukum perikatan, di mana
hukum perikatan mengenal system terbuka, artinya orang dapat
mengadakan perikatan ataupun perjanjian mengenai apa pun juga, baik
yang sudah ada aturannya dalam undang-undang maupun yang belum ada
peraturannya sama sekali. Jadi, siapapun boleh mengadakan suatu
perikatan atau perjanjian mengenai apa pun juga. Dengan demikian,
hukum perikatan mengenal asas kebebasan berkontrak. Namun demikian,
berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.

3. Macam-Macam Benda

Undang – undang menbagi benda dalam beberapa macam, yaitu :

a. Benda yang dapat diganti (contoh : uang ) dan yang tak dapat diganti
(Contoh : seekor kuda)
b. Benda yang dapat diperdagangkan(praktis tiap barang dapat
diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar
perdagangan (contoh : jalan – jalan dan lapangan umum)
c. Benda yang dapat dibagi (contoh : beras) dan yang tidak dapat dibagi
(contoh: seekor kuda)
d. Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan yang tak bergerak
(contoh: tanah) (Soebekti, 1979 : 50 – 51).

19
Menurut Prof.Sri Soedewi Majvhoen Sofwan, benda dapat
dibedakan atas :

a. Barang – barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang – barang


tidak berwujud (onlichamelijk)
b. Barang – barang yang bergerak dan barang – barang yang tidak
bergerak

c. Barang – barang yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan barang


– barang yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)
d. Barang – barang yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan barang
– barang yang masih aka nada (toekomstige zaken). Barang yang
akan ada dibedakan :
1. Barang – barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada,
misalnya panen yang akan datang
2. Barang – barang yang akan ada relative, yaitu barang-barang
yang pada saat itu sudah ada, tetapi bagi orang-orang yang
tertentu belum ada, misalnya barang- barang yang sudah dibeli,
tetapi belum diserahkan
e. Barang-barang yang dalam perdagangan (zaken in de handel) dan
barang-barang yang diluar perdagangan (zaken buiten de handel).
f. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak
dapat dibagi.

Sementara menurut Prof. L.J. Van Apeldoorn, benda dapat dibagi atas :
a. Benda berwujud (lichamelijk zaken), yakni benda yang dapat
ditangkap dengan pancaindra
b. Benda tidak berwujud (onlichamelijk zaken), yakni hak-hak
subyektif

Dari pembagian macam-macam benda yang telah disebutkan

20
diatas, yang paling penting adalah pemabgian benda bergerak dan benda
tak bergerak, sebab pembagian ini mempunyai akibat yang sangat
penting dalam hukum. Menurut Pasal 540 KUHPerdata, tiap- tiap
kebendaan adalah benda bergerak atau benda tak bergerak
a. Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya atau karena
penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak,
misalnya kendaraan, surat- surat berharga, dan sebagainya. Dengan
demikian kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang
dapat dipindah atau dipndahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Menurut
Pasal 505 KUHPerdata, benda bergerak ini dapat dibagi atas benda
yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya,
tujuan pemakaiannya atau karena penetapan undang-undang
dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya tanah, bangunan,
dan sebagainya

Menurut Djaja S.Meliala, Benda dapat dibedakan atas :

a. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPerdata)

b. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPerdata)

c. Benda dapat dipalai habis dan tidak dapat dipakai habis (Pasal 505
KUHPerdata)

d. Benda yang sudah ada dan benda yang aka nada (Pasal 1334
KUHPerdata)

e. Benda dalam perdagangan dan diluar perdagangan (Pasal 537, 1444,


dan 1445 KUHPerdata)
f. Benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (Pasal 1296
KUHPerdata)

g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-Undang Hak


Tanggungan, Fidusia)

21
h. Benda atas nama dan tidak atas nama (Pasal 613 KUHPerdata jis
UUPA dan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) ( Djaja
S. Meliala, 2015 : 4-5)

Dari pembedaan macam – macam benda sebagaimana disebut


diatas, yang terpenting adalah pembedaan atas benda bergerak dan tidak
bergerak, serta pembedaan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar (Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981:20).
Contoh benda terdaftar, misalnya : kendaraan bermotor, tanah,
kapal, hak cipta, hak tanggungan, fidusia, telepon, dll. Sedangkan benda
tidak terdaftar (tidak atas nama) adalah benda- benda bergerak yang tidak
sulit pembuktian pemiliknya karena berlaku asas “yang menguasai
dianggap sebagai pemiliknya”, seperti alat-alat rumah tangga, pakian,
perhiasan, hewan-hewan peliharaan dll.
Pentingnya pembedaan ini terletak pada pembuktian pemiliknya
(untuk ketertiban umum). Benda terdaftar dibuktikan dengan tanda
pendaftaran, atau sertifikat atas nama pemiliknya, sedangkan untuk
benda tidak terdaftar (tidak atas nama) berlaku asas “yang menguasai
dianggap sebagai pemiliknya (Abdulkadir Muhammad, 1990 : 1310).
KUHPerdata Indonesia tidak mengenal pembedaan antara benda
terdaftar dan tidak terdaftar, tetapi BW baru (NBW) mengenalnya. Benda
terdaftar ada yang atas nama dan ada yang tidak atas nama. Sebaliknya
benda atas nama ada yang terdaftar dan ada yang tidak terdaftar. Benda
atas nama yangb terdaftar contohnya seperti saham-saham, piutang atas
nama, dan lain-lain (Djaja S. Meliala, 2015 : 5).
Benda terdaftar dan atas nama ialah benda yang dibuktikan
dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas nama pemiliknya,
misalnya : tanah, rumah, hak cipta, dan lain-lain. Sedangkan benda
terdaftar tidak atas nama, misalnya : hak tanggungan, fidusia, sisten resi
gudang, dan lain-lain, dibuktikan dengan suatu akta.

22
4. Asas-Asas Hukum Benda

Menurut Prof.Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ada 10 asas-asas


umum dari hukum benda, yaitu : (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981:
36-40)

a. Merupakan hukum memaksa (dwingendrecht).

Menurut asas ini, atas suatu benda itu hanya dapat diadakan
hak kebendaan sebagaimana yangntelah disebutkan dalam undang-
undang. Hak-hak kebendaan tidakan akan memberikan wewenang
yang lain daripada apa yang sudah ditentukan dalam undang-
undang. Dengan kata lain, kehendak para pihak tidak dapat
memengaruhi isi hak kebendaan. Jadi, berlakunya aturan-aturan itu
tidak dapat disimpangi oleh para pihak

b. Dapat dipindahkan

Menurut asas ini, semua hak kebendaan dapat


dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan hak mendiami. Jadi,
orang yang berhak tidak dapat menentukan bahwa tidak dapat
dipindahtangankan. Namun orang yang berhak juga dapat
menyanggupi bahwa ia tidak akan memperlainkan barangnya.
Akan tetapi, berlakunya itu dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata,
yaitu tidak berlaku jika tujuannya bertentangan dengan kesusilaan.

c. Asas individualiteit

Menurut asas ini, obyek dari hak kebendaan adalah suatu


barang yang dapat ditentukan (individueel bepaald), artinya orang
hanya dapat sebagai pemilik dari barang yang berwujud yang
merupakan kesatuan : rumah, mebel, hewan. Jadi orang tidak dapat
mempunyai hak kebendaan di atas barang-barang yang ditentukan
jenis dan jumlahnya.

23
d. Asas totaliteit

Menurut asas ini, hak kebendaan selalu melekat atas


keseluruhan daripada obyeknya. Dengan kata lain, bahwa siapa
yang mempunyai hak kebendaan atas suatu barang, ia mempunyai
hak kebendaan itu atas keseluruhan barang itu dan juga atas bagian-
bagiannyayang tidak tersendiri. Jadi, jika suatu benda sudah
terlebur dalam benda lain, maka hak kebendaan atas benda yang
pertama menjadi lenyap. Tetapi, terhadap konsekuensi ini terdapat
perlunakan, yaitu :
1. Adanya milik bersama atas barang yang baru (Pasal 607
KUHPerdata)

2. Lenyapnya benda itu oleh karena usaha pemilk benda itu


sendiri, yaitu terleburnya benda itu dalam benda lain (lihat
Pasal 602, 606, 608 KUHPerdata)
3. Pada waktu terleburnya benda, sudah ada perhubungan
hukum antara kedua pemilik yang bersangkutan (lihat Pasal
714, 725, 1567 KUHPerdata

e. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)

Menurut asas ini, pemilik tidak dapat memindah-tangankan


sebagian daripada wewenang yang termasuk suatu hak kebendaan
yang ada padanya, misalnya pemilik. Jadi, pemisahan daripada hak
kebendaan itu tidak diperkenankan. Namun pemilik dapat
membebani hak miliknya dengan iura in realiena, yaitu
pembebasan hak atas benda orang lain. Ini kelihatannya seperti
melepaskan sebagian dari wewenangnya, tetapi hak miliknya tetap
utuh.

f. Asas prioriteit

Menurut asas ini, semua hak kebendaan memberikan

24
wewenang yang sejenis dengan wewenang-wewenang dari
eigendom, sekalipun luasnya berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu
diatur urutannya, iura in realiena melekat sebagai beban atas
eigendom. Sifat ini membawa serta bahwa iura in realiena
didahulukan (lihat Pasal 674, 711, 720, 756, 1150 KUHPerdata)

g. Asas percampuran (vermenging)

Menurut asas ini, hak kebendaan terbatas wewenangnya.


Jadi, hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin atas
hak miliknya sendiri. Tidak dapat orang itu untuk kepentingannya
sendiri memperoleh hak gadai, hak memungut hasil atas barangnya
sendiri. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul
dalan satu tangan, maka hak yang membebani itu menjadi lenyap
(lihat Pasal 706, 718, 736, 724, 807 KUHPerdata).

h. Asas perlakuan yang berlainan terhadap benda bergerak dan benda


tak bergerak

Asas ini berhubungan dengan penyerahan, pembebanan,


bezit dan verjaring (kedaluwarsa) mengenai benda-benda bergerak
(roerend) dan tak bergerak (onroerend) berlainan. Demikian juga
mengenai iura in realiena yang dapat diadakan. Untuk benda
bergerak hak kebendaan yang dapat diadakan adalah hak gadai
(pand) dan hak memungut hasil (vruchtgebruik). Sedang untuk
benda tak bergerak adalah erfpacht, postal, vruchtgebruik, hipotek,
dan servituut.

i. Asas publiciteit

Menurut asas ini, benda-benda yang tidak bergerak


mengenai penyerahan dan pembebanannya berlaku kewajiban
untuk didaftarkan dalam daftar (register) umum. Adapun menganai
benda yang bergerak, cukup dengan penyerahan nyata, tanpa

25
pendaftaran dalam register umum

j. Sifat perjanjian

Orang mengadakan hak kebendaan misalnya mengadakan


hak memungut hasil, gadai, hipotek dan lain-lain, itu sebetulnya
mengadakan perjanjian, sifat perjanjiannya disini merupakan
perjanjian yang zakelijk, yaitu perjanjian untuk mengadakan hak
kebendaan. Perjanjian yang zakelijk mengandung pengertian,
bahwa dengan selesainya perjanjian, maka tujuan pokok dari
perjanjian itu sudah tercapai, yaitu adanya hak kebendaan.
Perjanjian yang zakelijk berbeda dengan perjanjian yang terdapat
dalam Buku III KUHPerdata, yaitu bersifat kausal dan merupakan
perjanjian obligatoir. Pada perjanjian obligatoir, dengan selesainya
perjanjian, maka tujuan pokok dari perjanjian itu belum tercapai
dan hak baru beralih jika ada penyerahan lebih dahulu.

5. Hak kebendaan menurut UUPA


Menurut Pasal 16 UUPA (UU No.5 Tahun 1960), hak-hak atas
tanah adalah :
a) Hak milik adalah hakturun temurun, terkuat dan terpenuhyang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua hak atas
tanah mempunyai fungsi social (Pasal 20 ayat 1 UUPA)
b) Hak guna usaha adalah hak untukmengusahakan tanah yang
dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun,
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28
ayat 1 UUPA)
c) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA)
d) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah

26
milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberiknnya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini (Pasal 41
ayat 1 UUPA)
e) Hak sewa untuk bengunan adalah hak seseorang atau suatu badan
hukum mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa (Pasal 44 ayat 1 UUPA)
f) Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan adalah hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan yang hanya dapat
dipunyai oleh warga Negara Indonesia. Dengan mempergunakan
hak memungut hasil hutan secara sah, tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu (Pasal 46 UUPA)
g) Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah hak
memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air
itu diatas tanah orang lain (Pasal 47 ayat 1 UUPA)
h) Hak guna ruang angkasa adalah hak untuk mempergunakan tenaga
dan unsure-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta
kekayaan alam yang terkendung di dalamnya dan hal-hal lainnya
yang bersangkutan dengan itu (Pasal 48 ayat 1 UUPA)
i) Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan social adalah hak milik
tanah badan-badan keagamaan dan social sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan social diakui dan
dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh
tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan social (Pasal 49 ayat 1 UUPA)

27
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum keluarga berasal dari terjemahan
kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga
dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam
arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Ali
affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan ,
keadaan tak hadir).
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang
harus terjadi terhadap harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.
Dengan demikian, hukum waris pada hakikatnya, mengatur mengenai tata
cara peralihan harta kekayaan dari seorang yang meninggal dunia atau
pewaris kepada para ahli warisnya. Jadi, di dalam kewarisan ini, terdapat
tiga unsur, yaitu:
a. Adanya orang yang meninggal dunia (pewaris)
b. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan
c. Adanya ahli waris.
Hukum benda adalah terjemahann dari istilah bahasa Belanda,
yaitu “zakenrecht”. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum
kebendaan ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan
dengan benda dan mengatur hak – hak atas benda. Adapun menurut Prof.
L.J.Apeldoorn, hukum kebendaan adalah peraturan mengenai hak – hak
kebendaan.

28
B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber
serta kritik yang membangun dari para pembaca.

29
Daftar Pustaka

Sagala, E. (2018). Hak Mewaris Menurut Ketentuan Hukum Waris Perdata.


Jurnal Ilmiah "Advokasi", 6(1), 116-124.
Simanjuntak, P. N. (2017). Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana.
http://www.makalah.co.id/2016/09/makalah-lengkap-hukum-keluarga.html?m=1
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/2244/5/BAB%20IV.pdf
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/
e3e052b3f4ef47971bef9be05daad0fa.pdf
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/
5170f01bee90b449fd8ca8596da30711.pdf

30

Anda mungkin juga menyukai