Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM PERDATA

HUKUM WARIS

DISUSUN OLEH:

1. APRIYANSA 2130103114

2. ALDI FEBRIAN 2130103115

DOSEN PENGAMPU:

RAMIAH LUBIS, SH., MH

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata yang berjudul Hukum
Waris ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah Hukum Perdata. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan dan pengalaman dalam mempelajari tentang Hukum Waris bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ramiah Lubis selaku dosen mata kuliah
Hukum Perdata yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, penulis terima dengan senang
hati. Namun, di balik ketidak sempurnaannya tersebut masih tersimpan sebuah harapan,
semoga makalah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

Palembang, November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR IS ....................................................................................................................... Iiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2

A. Hukum Waris Menurut BW .................................................................................... 2


B. Hukum Waris dalam Islam ..................................................................................... 10
C. Hukum Waris Adat ................................................................................................. 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan
kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata
(KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga
hukum waris adat.

Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta


peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada
ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya
prose serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah,
hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis akan sedikit
memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum perdata barat
KUHPedata(BW), hukum waris Islam dan Hukum adat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum waris menurut BW?

2. Bagaimana hukum waris menurut hukum islam?

3. Bagaimana hukum waris menurut hukum adat?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui hukum waris tersebut

Untuk mengetahui syarat syarat waris

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Waris Menurut BW


2.1 Pengertian Waris

Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai
berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang
meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak
menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur
perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang
lain.

Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana,
berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan,
diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal,
kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak
ketiga.

2.2 Unsur-Unsur Pewarisan

Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di
mana ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :

1. Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater

Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada
orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan
seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang –
undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang
sah. Dengan demikian, menurut BW ada dua macam waris :

Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat).
Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.

2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam

Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak
dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam
kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak
yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini
hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.

2
Ahli waris terdiri dari :

Ahli waris menurut undang – undang ( abintestato )

Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga
sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4 golongan. Golongan I, terdiri dari anak – anak, suami
( duda ) dan istri ( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu ( orang tua ),
saudara – saudara si pewris; Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus
ke atas ( seperti, kakek, nenek baik garis atau pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan
IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping ( seperti, paman , bibi ).

Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )

Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam pasal 874 BW, setiap orang yang diberi
wasiat secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris
yang mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling ( penunjukkan satu ataubeberapa ahli
waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ); legataris yaitu ahli waris
karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas
satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu,
hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.

Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar
hubungan darah dengan si pewaris, ahli waris hubungan perkawianan dengan si pewaris,
ahli waris atas dasar wasiat.

3. Harta Waris

Hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah
hak – hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut
berupa, Aktiva ( sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang
kepada pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva
( sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban
lainnya ). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak
dapat diwariskan.

2.3 Hak dan Kewajiban Pewaris

1. Hak Pewaris

Pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam testament atau
wasiat yang isinya dapat berupa, erfstelling / wasiat pengangkatan ahli waris ( suatu
penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau
sebagian harta peninggalan ( menurut pasal 954 BW ), wasiat pengangkatan ahli wari ini
terjadi apabila pewaris tidak mempunyai keturunanatau ahli waris ( menurut pasal 917 BW

3
)); legaat / hibah wasiat ( pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus
berupa hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh benda bergerak tertentu,
hak pakai atau memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan ( menurut pasal
957 BW )).

2. Kewajiban Pewaris

Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan legitime portie, yaitu suatu bagian
tertentu dari harta peningalan yang tidak dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat
atau pemberian lainnya oleh orang yang meninggalkan warisan ( menurut pasal 913 BW ).
Jadi, pada dasarnya pewaris tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, karena pewaris
wajib memperhatikan legitieme portie, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai
keturunan , maka warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat.

2.4 Hak dan Kewajiban Ahli Waris

1. Hak Ahli Waris

Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan
sikapnya, antara lain, menerima warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk
mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak
untuk menolak warisan.

2. Kewajiban Ahli Waris

Adapun kewajiban dari seorang ahli waris, antara lain, memelihara keutuhan harta
peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai
ketentuan, melunasi hutang – hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan
melaksanakan wasiat jika pewarismeninggalkan wasiat.

2.5 Pembagian Waris Menurut BW

1. Golongan I,

Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda,
istri / janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris
menyampingkan ahli waris golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan
pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.

pasal 852 : Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain – lainan atau waktu
kelahiran , laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama ( mewaris kepala demi kepala
). Anak adopsi memiliki kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam
perkawinannya sendiri .

Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat menggolongkannya sebagai berikut :

4
Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan dengan
tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan oleh kedua suami istri atau orang
tuanya. Anak sah mewaris secara bersama – sama dengan tidak mempermasalahkan apakah
ia lahir lebih dahulu atau kemudian atau apakah ia laki – laki atau perempuan.

Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu
menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain
sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas :

Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan,
dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan
menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau
dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.

Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin,
timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain,
yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan
memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya.
Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada
saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh
catatan sipil.

Menurut pasal 693, hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah,
jika ia mewaris bersama – sama dengan ahli waris golongan pertama, ½ dari harta waris
jika ia mewaris bersama – sama dengan golongan kedua, ¾ dari harta waris jika ia mewaris
bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris
golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak
meninggalkan ahli wari yang sah.

Jika anak diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah
berhak menuntut bagian yang diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.

Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang lahir dari orang laki –
laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua – duanya berada
dalam ikatan perkawinan dengan orang lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang
lki – laki dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak
boleh kawin karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini
tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.

852 a. : Bagian seorang isteri ( suami ), kalau ada anak dari perkawinannya dengan yang
meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan
perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak – anak, maka
bagian dari janda ( duda ) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak yang
meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda ( duda ) tidak boleh mendapat lebih
dari ½ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu,
maka bagian dari seorang janda ( duda ) tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak –

5
anak peninggal warisan. Lebih dahulu telah ada ketentuan bahwa bagian dari seorang anak
adalah sama, meskipun dari lain perkawinan. Untuk dapat mengerti arti dari kata ” terkecil
” itu, perlu diingat bahwa pasal ini adalah pasal yang disusulkan kemudian yaitu dengan
Stbld. 1935 No. 486, dengan maksud supaya memperbaiki kedudukan seorang janda ( duda
) yang dengan adanya pasal itu bagiannya dipersamakan dengan seorang anak.

2. Golongan II

Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara
– saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama
tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.

Dalam hal tidak ada saudara tiri :

854 : Jika golongan I tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara.
Ayah dan ibu dapat : 1/3 bagian, kalau hanya ada 1 saudara; ¼ bagian, kalau ada lebihh
dari saudara. Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian
dari orang tua.

855 : Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah
: ½ kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau ada 2 saudara; ¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara.
Sisa dari warisan, menjadi bagiannya saudara ( saudara – saudara )

856 : Kalau bapak dan ibu telah tidak ada, maka deluruh warisan menjadi bagian saudara
– saudara.

857 : Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak
dan ibu yang sama.

Dalam hal ada saudara tiri :

Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara – saudaranya, maka harus dikeluarkan lebih
dulu untuk orang tua si pewaris, jika masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi
dua bagian yang sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang
kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan
ibu yang sama mendapat bagian dari bagian bagi gariss bapak dan bagian bagi garis ibu.
Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis bapak
atau bagi garis ibu saja.

3. Golongan III

Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer
bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai
hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan
menyampingkan ahli waris golongan keempat.

853 : 858 ayat 1. Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada, maka warisan
dibelah menjadi dua bagian yang sama.

6
Yang satu bagian diperuntukkan bagi keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas;
yang lain bagian bagi keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Waris yang terdekat
derajatnya dalam garis lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke
atas mendapat setengah warisan yang jatuh pada garisnya ( pancernya ). Kalau derajatnya
sama, maka waris itu pada tiap garis pancer mendapat bagian yang sama ( kepala demi
kepala ). Kalau di dalam satu garis ( pancer ) ada keluarga yang terdekat derajatnya, maka
orang itu menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih jauh.

Pasal ini menguraikan keadaan jika anak ( dan keturunannya ), isteri orang tua, dan saudara
tidak ada. Maka di dalam hal ini warisan jatuh pada kakek dan nenek. Karena tiap orang
itu mempunyai bapak dan ibu, dan bapak dan ibu itu mempunyai bapak dan ibu juga, maka
tiap orang mempunyai 2 kakek dan 2 nenek.

1 kakek dan 1 nenek dari pancer bapak dan 1 kakek dan 1 nenek dari pancer ibu. Dengan
telah meninggalnya bapak dan ibu maka adalah wajar jika warisan itu jatuh pada orang –
orang yang menurunkan bapak dan ibu. Di dalam hal ini maka warisan dibelah menjadi
dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan bapak dan bagian
lain kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu. Jika kakek dan nenek tidak ada maka
warisan jatuh kepada orang tuanya kakek dan nenek. Jika yang tidak ada itu hanya kakek
atau nenek maka bagian jatuh pada garisnya, menjadi bagian yang masih hidup.

4. Golongan IV

Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi.

858 ayat 2. Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis
sebagai tersebut dalam pasal 853 dan pasal 858 ayat 2, warisan jatuh pada seorang waris
yang terdekatpada tiap garis. Kalau ada beberapa orang yang derajatnya sama maka warisan
ini dibagi – bagi berdasarkan bagian yang sama.

861. Di dalam garis menyimpang keluarga yang pertalian kekeluargaannya berada dalam
suatu derajat yang lebih tinggi dari derajat ke – 6 tidak mewaris.

Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis, maka bagian yang jatuh pada garis itu,menjadi
haknya keluarga yang ada di dalam garis yang lain, kalau orang ini mempunyai hak
kekeluargaan dalam derajat yang tidk melebihi derajat ke – 6.

873. Kalau semua orang yang berhak mewaris tidak ada lagi maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak di luar kawin yang diakui.

832. Kalau semua waris seperti disebut di atas tidak ada lagi, maka seluruh warisan jatuh
pada Negara.

5. Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat / Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling /


representatie)

Adapun syarat – syarat untuk menjadi ahli waris pengganti adalah sebagai berikut :

7
Orang yang digantikan tempatnya itu harus telah meninggal dunia terlebih dahulu dari
si pewaris.

Orang yang sudah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan .

Orang yang digantikan tempat itu tidak menolak warisan.

WARIS WASIAT ( TESTAMENT )

Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang
dikehendaki setelahnya ia meninggal.

Pasal 875, surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang berisi pernyataan sesorang
tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarikkembali.

SYARAT – SYARAT WASIAT

1. Syarat – Syarat Pewasiat

Pasal 895 : Pembuat testament harus mempunyai budi – akalnya, artinya tidak boleh
membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat,
sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur.

Pasal 897 : Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat
membuat testament.

2. Syarat – Syarat Isi Wasiat

Pasal 888 : Jika testament memuat syarat – syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak
mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian
itu harus dianggap tak tertulis.

Pasal 890 : Jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu
menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan
kepalsuannya maka testament tidaklah syah.

Pasal 893 : Suatu testament adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.

Selain larangan – larangan tersebut di atas yang bersifat umum di dalam hukum waris
terdapat banyak sekali larangan – larangan yang tidak boleh dimuat dalam testament. Di
antara larangan itu, yang paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga
legitieme portie ( bagian mutlak para ahli waris ) menjadi kurang dari semestinya.

JENIS – JENIS WASIAT

1. Jenis Wasiat menurut Isinya

Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :

8
Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat pengangkatan waris. Seperti disebut dalam
pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan,
memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah,
sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang – orang yang mendapat
harta kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.

Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat. Pasal 957 memberi keterangan
seperti berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu
testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa
orang; beberapa barang tertentu, barang – barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil
dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta
kekayaan menurut pasal ini disebut waris di bawah titel khusus.

2. Jenis Wasiat menurut Bentuknya

Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa jenis wasiat dibagi menurut
bentuknya. Menurut pasal 931 ada 3 rupa wasiat menurut bentuk :

Wasiat ologafis, atau wasiat yang ditulis sendiri

Wasiat ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri,
harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan, penyerahan harus dihadiri
oleh dua orang saksi.

Wasiat umum ( openbaar testament )

Dibuat oleh seorang notaris, orang yang akan meninggalkan warisan menghadap para
notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris ini membuat suatu akta dengan dihadiri oleh
2 orang saksi.

Wasiat rahasia atau wasiat tertutup

Dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan
menuliskan dengan tangannya sendiri, testament ini harus selalu tertutup dan disegel.
Penyerahannya kepada notaris harus disaksikan 4 orang saksi.

II.4 PENCABUTAN DAN WASIAT

Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal
ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament, sedangkan, gugur
ialah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal
– hal di luar kemauan pewaris.

1. Tentang Pencabutan Suatu Wasiat

Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada ketentuan – ketentuan seperti berikut :

9
992 : Suatu surat wasiat dapat dicabut dengan ; surat wasiat baru dan akta notaris khusus.
Arti kata ” khusus ” di dalam hal ini ialah bahwa isi dari akta itu harus hanya penarikan
kembali itu saja.

2. Tentang Gugurnya Suatu Wasiat

997 : Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa
yang tak tentu : maka jika si waris atau legataris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu
terjadi, wasiat itu gugur.

998 : Jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat itu tetap berlaku,
kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu.

B. Hukum Waris Dalam Islam

2.1 Rukun Waris

Menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran,
seperti ucapan: “saya berukun kepada Umar.” Maksudnya adalah “saya bersandar pada
pendapat Umar.”

Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan
sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud dianggap sebagai rukun,
karena sujud merupakan bagian darai shalat. Karena itu, tidak dikatan shalat jika tidak
sujud. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu
menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu hanya bagian dari sesuatu yang lain
maupun yang mengkhususkan sesuatu itu.

Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian
harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.
Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga.

1. Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun
mati hukmiy ‘suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa
sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.

2. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak
mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

3. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh
menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam kategorti warisan adalah harta –
harta atau hak – hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak
menahan barang yang belum dilunasi pembayaranya, dan hak menahan barang gadaian.

10
2.2 Syarat Waris

Lafal syuruth ‘syarat – syarat’ adalah bentuk jamak dari syarath ‘syarat’. Menurut bahasa
syarat berarti tanda, seperti syarth as-sa’ah ‘tanda-tanda hari kiamat’. Allah swt berfirman.

Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada
hukum. Misalnya thahara ‘bersuci’ adalah syarat sahnya shalat. Jika tidak bersuci sebelum
melakukan shalat, niscaya shalatnya tidak sah. Akan tetapi, melakukan thaharar bukan
berarti hendak shalat saja. Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti
tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta
harta waris langsung dibagikan. Contoh untuk kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang
masih hidup merupakan salah satu syarat mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya
tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak bisa dilakukan. Meskipun
syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris mendapatkan harta waris,
karena ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian harta
waris kendati syarat mendapatkan harta waris telah terpenuhi. Oleh karena itu, persoalan
warisan memerlukan syarat-sayarat sebagai berikut.

Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan, menurut
ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati); 2) matihukmiy (menurut putusan
hakim); dan 3) mati taqdiriy (menurut perkiraan).

Kedua, ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si
mayit, sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah swt. di dalam
ayat-ayat waris dengan huruf lam yang mewujudkan kepemilikan, di mana kepemilikan
tidak terwujud, kecuali hanya bagi orang yang hidup.

Adapun cara penyelidikan hidup tidaknya ahli waris setelah kematian si mayit, dilakukan
dengan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian dua orang yang adil. Contoh dari hidupnya
ahli waris secara hukmiy adalah anak yang berada di dalam kandungan. Ia dapat mewarisi
dari si mayit, jika keberadaannya benar-benar terbukti di saat kematian si mayit, dengan
satu syarat bahwasannya ia benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.

Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis
kekerabatan perkawinan, dan perwalian. Maksudnya, ahli waris harus mengetahui bahwa
dirinya adalah termasuk ahli waris dari garis kerabat nasab (kerabat yang tidak memperoleh
bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ash-habul furudh atau mendapatkan
peninggalan bila tidak ada ash-habul furudhseorang pun), atau garis kerabat nasab dan
perkawinan, serta dari garis wala’. Hal yang seperti itu diberitahukan karena setiap garis
keturunan memiliki hukum yang berbeda-beda.

2.3 Sebab-sebab Mewariskan

1. Sebab-Sebab Mewariskan yang Disepakati.

a. Kekerabatan

11
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara rang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh.

Yang dapat mewarisi dari garis hubungan kekerabatan adalah ushul ‘leluhur’ si mayit, furu’
‘keturunan’ mayit dan hawasyi si mayit ‘keluarga dari jalur horizontal’.

a. Golongan ushul adalah;

· Ayah, kakek dan jalurnya keatas

· Ibu, nenek (ibunya suamai dan ibunya istri), dan jalur keatasnya.

b. Golongan furu’ adalah;

· Anak laki-laki, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.

· Anak perempuan, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.

c. Golongan hawasyi adalah;

· Saudara laki-laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara kandung maupun,
seayah, atau seibu.

· Anak-anak saudara kandung atau seayah.

· Paman sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman sekandung.

Terkadang, Faktor nasab menjadi sebab seorang dapat mewarisi harta peninggalan dari dua
jalur, seperti anak laki-laki mewarisi bersama ayahnya, saudara laki-lakinya. Faktor nasab
pun dapat menjadi sebab seseorang mewarisi harta peninggalan dari satu jalur, seperti anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah mewarisi bersama saudara perempuan
ayah. Ketika saudara perempuan ayah meninggal dunia, anak laki-laki dari saudara laki-
laki sekandung atau seayah dapat mewarisi harta peninggalan saudara perempuan ayah, dan
bukan sebaliknya.

Demikian juga ketika anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seayah
meninggal dunia, saudara perempuan ayah tidak bisa mewarisi harta peninggalannya,
karena saudara perempuan ayah termasuk golongan dzawi al-arham, seperti ibunya
mewarisi bersama anak dari anak perempuannya. Oleh karena itu, nenek dari ibu dapat
mewarisi peninggalan cucu dari anak perempuan jika ia meninggal dunia. Bukan
sebaliknya, cucu dari anak perempuan tidak bisa mewarisi warisan nenek dari ibu karena
cucu dari anak perempuan termasuk golongan dzawi al-arham. Ketetapan ini dibuat
berdasarkan pendapat ulama yang menegaskan bahwa golongan dzawi al-arham tidak bisa
mewarisi.

b. Pernikahan

Pernikahan merupakan akad yang sah (menurut sytariat) sekalipun hubungan intim
dan khulwah belum dilakukan, dan meskipun orang yang menikah menderita sakit keras.

12
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika salah satu dari
orang yang menikah sakit keras. Kalau kondisinya demikian, waris-mewarisi tidak dapat
dilakukan.

Dalil yang menyebutkan adanya ikatan perkawinan sebagai salah satu sebab terjadinya
waris-mewarisi adalah,

Lalu, siapa saja dari ahli waris yang dapat mewarisi karena garis perkawinan?
Mereka adalah suami yang istrinya meninggal dan istri yang suaminya meninggal. Mereka
telah terikat dengan akad yang sah, mesikpun belum terhubung intim dan khulwah, karena
keumuman ayat, “ bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu”. Seorang wanita menjadi istri seorang laki-laki melalui akad perkawinan di mana
ia tidak dapat menjadi seorang istri melainkan dengan akad perkawinan yang sah.

c. Hak Waris bagi Istri yang Ditalak

Talak ada yang berstatus raj’iy sewaktu-waktu bisa kembali, bain tidak dapat
kembali lagi, dalam keadaan sehat, atau dalam keadaan sakit keras. Bila talak dilakukan
ketika suami istri dalam keadaan sakit keras, waris-mewarisi dapat dilakukan dan dalam
kondisi yang lain tidak dapat dilakukan. Jika talaknya adalahrajiy, yakni bila suami
menalak istrinya dalam suatu pernikahan yang sah, baik sudah digauli atau belum, yang
kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa membayar mas kawin baru.

Talak rajiy tidak dapat menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan yang
pernah memiliki akad pernikahan untuk saling mewarisi, baik seseorang suami menalak
istrinya dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling
mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya
yang sedang iddah rajiy, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
Demikian pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang
meninggal dunia sebelum masa iddah-nya berakhir.

Adapun jika talaknya adalah bain (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat penalakannya
dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-mewarisi, dengan
demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi
harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para ulama; karena putusnya ikatan
perkawinan sejak talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi peninggalan
istri, bila istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni
putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.

d. Wala’

Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks
ini, wala yang dimaksud adalah wala al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya pembebasan
budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala al-mawlah danmuhalafah membebaskan
budak karena kepemimpinan dan adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai
muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.

13
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah
kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan
budak melalui pencabutan hak mewakilkan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara
sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu melaksanakan anjuran syariat atau
kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan
pada penetapan hakwala.

Adapun yang dapat mewarisi dengan sebab wala’ adalah pemilik budak laki-laki dan
perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu, keduanya menjadi
‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs . sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi. Tanpa
budak yang dibebaskan, niscaya wala’ tidak dapat mewarisi dari pembebasan budak atau
tuannya. Dengan demikian, wala’dapat mewarisi hanya dari satu sisi saja, yakni sisi orang
yang memerdekakan budak.

2. Sebab-Sebab Mewariskan yang Diperselisihkan

Termasuk sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan oleh para ulama faraid


adalah baitulmal dan wala al-muwalah. Berikut secara ringkas mengenai keduanya.

a. Baitulmal

Para ahli fiqih berselisih pendapat tentang baitulmal yang menjadi salah satu sebab
boleh tidaknya mewarisi. Dalah hal ini, ada tiga pendapat sebagaimana berikut.

Pertama, baitulmal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitulmal yang
terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim mengenai dunia dan tidak mempunyai
seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu dari sebab-
sebab mewarisi yang telah disepakati, maka baitulmal berhak mewarisi harta peninggalan
tersebut serta menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab, kaum
muslimin pun dibebani kewajiban membayar diyah (denda) untuk saudaranya sesama
muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian, kedudukan mereka bagaikan ashabah
(golongan yang mewarisi) dalam lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh
kalangan Malikiyah dan Imam Syafi’I dan qaul qadim pendapat lamanya berbeda di
Baghdad.

Kedua, baitulmal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, andai
seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan
tersebut diserahkan ke baitulmal, bukan atas dasar kemaslahatan tau kepentingan sosial,
tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan Imam
Syafi’i dalam qaul jadid ‘fatwa-fatwa beliau ketika beliau pindah ke Mesir’. Kalangn
Malikiyah dan Syafi’iyyah yang bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan sabda
Rasulullah saw.,“Aku adalah ahli waris yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat
membayar dendanya dan mewarisi.”

Ketiga, baitulmal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, naik ia


terorganisir maupun tidak. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah.

14
b. Wala al-Muawalah

Wala al-muwalah adalah waris-mewarisi dengan akad muawalah(perwalian). Ada


tiga pendapat mengenai waris-mewarisi dengan sebab wala al-muwalah di dalam Islam.
Pertama, wala al-muwalah sama sekali tidak dikenal di dalam ajaran Islam. Pendapat ini
diceritakan oleh ar-Rafiiy dari al-Qhadi ar-Rayyaniy. Kedua, wala al-muwalah telah
dikenal di masa awal-awal Islam, kemudian di-nashkan. Ini adalah pendapat Imam Malik,
dan Imam Syafi’i

2.4 Beberapa Penghalang dalam Hukum Waris

Penghalang-penghalang yang Disepakati

a. Berlainan Agama

Para ahli fiwih telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi
dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa
penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi anatara satu agama dengan syariat yang
berbeda.

Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hulum
waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan seorang muslim
tidak dapat mewarisi harta orang kafir.

b. Perbudakan

Perbudakaan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinaju dari dua sisi. Oleh
karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peningggalan dari ahli warisnya dan tidak
dapat tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta
peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya,
sedangkan budak tersebut merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).

c. Pembunuhan

Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung
atau tidak. Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu
penghalang dalam hukum waris. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewarisi
harta peninggalan orang yang dibunuhnya.

C. Hukum Waris Adat

Secara sederhana hukum waris adat merupakan tata cara pengalihan atau penerusan warisan
menurut hukum adat yang berlaku. Hal ini sebagai konsekuensi atas berlakunya dan masih

15
terpeliharanya hukum adat di beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan
budaya bangsa Indonesia.

Hukum waris adat pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang bersendikan prinsip-
prinsip komunal atau kebersamaan sebagai bagian dari kepribadian bangsa Indonesia.
Prinsip kebersamaan dalam hukum waris adatmembuat hukum waris adat tidak mengenal
bagian-bagian tertentu untuk para ahli waris dalam sistem pembagiannya.

Pengertian Hukum Waris Adat

Terdapat beberapa pengertian mengenai hukum waris adat menurut para ahli, sebagai
berikut:

Hukum waris adat menurut soepomo merupakan peraturan yang memuat pengaturan
mengenai proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak termasuk harta benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

Hukum waris adat menurut Ter Haar merupakan peraturan yang meliputi peraturan hukum
yagn bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan
tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil dan immateril dari satu generasi
kepada turunannya.

Pengertian mengenai hukum waris adat tersebut diatas mengantarkan kita pada kesimpulan
bahwa hukum waris adat adalah suatu proses mengenai pengalihan dan penerusan harta
kekayaan baik yang bersifat materil maupun immateril dimana pengalihan dan penerusan
harta kekayaan tersebut dilakukan oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Istilah dalam Hukum Waris Adat

Dalam hukum waris adat dikenal beberapa istilah, antara lain:

• Warisan dalam hukum waris adat merujuk pada harta kekayaan dari pewaris yang
wafat baik harta kekayaan yang telah dibagi maupun harta kekayaan yang belum dibagi;

• Peninggalan dalam hukum waris adat merujuk pada harta warisan yang belum bisa
dibagi atau belum terbagi-bagi disebabkan salah seorang pewaris masih hidup;

• Pusaka dalam hukum waris adat dibagi atas dua kategori, yakni harta pusaka tinggi
yakni harta peninggalan dari jaman leluhur yang sifatnya tidak dapat dibagi serta tidak
pantas pula untuk dibagi-bagi dan harta pusaka rendah, yakni harta pusaka yang diwariskan
dari beberapa generasi sebelumnya;

• Harta perkawinan dalam hukum waris adat merujuk pada harta yang telah diperoleh
oleh seorang pewaris selama pewaris menjalani perkawinan;

• Harta pemberian dalam hukum waris adat merujuk pada harta yang diberikan oleh
seseorang kepada pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan;

Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat

16
Dalam hukum waris adat dikenal beberapa sistem pewarisan sebagai berikut:

- Sistem pewarisan individual yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau yang
ditinggalkan dapat dibagikan dan dimiliki secara individual diantara para ahli waris;

- Sistem pewarisan kolektif yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau harta
yang ditinggalkan oleh pewaris hanya diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan
persekutuan hak karena harta tersebut dianggap sebagai pusaka yang tidak dapat dibagi
kepada para ahli waris untuk dimiliki secara individual;

- Sistem pewarisan mayorat yakni sistem pewarisan dimana harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris menjadi hak tunggal mayorat. Mayorat adalah ahli waris tunggal.
Terdapat dua macam mayorat, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan yang
dibeberapa daerah di Indonesia berbeda penerapannya. Mayorat laki-laki berlaku di
beberapa daerah seperti di Bali dan Batak, sedangkan Mayorat perempuan dapat dijumpai
berlaku di daerah sumatera selatan, Tanah semendo dan kalimantan barat serta suku dayak.

BAB III

17
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perbandingan waris dalam hukum waris islam, hukum perdata barat (BW), dan hukum adat
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pengaturan waris. Dalam hal persamaan terdapat
sepuluh persamaan yaitu mengenai keadaan masyarakat dan pengaruh politik hukum terhadap
hukum waris, persamaan pengertian perwarisan, tujuan perwarisan, konsep harta warisan
harus sudah bersih, unsur-unsur pewarisan, sifat komulatif, sistematika unsur, konsep harta,
sistim pewarisan/pembagian, dan terbukanya warisan setelah adanya kematian, namum tidak
menutup kemungkinan masih ada hal-hal lain yang sama dan masih belum dituliskan oleh
penulis. Sedangkan untuk perbedaannya terdapat 22 perbedaan hal itupun masih dirasa
kurang oleh penulis.

Sedangkan dalam Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam, Hukum Adat
Minangkabau dan Hukum Waris Adat Jawa.Hanya terdapat 6 persamaan meskipun masih
banyak persamaan-persamaan yang lainnya. Pengertian pewarisan,Tujuan Pewarisan, Unsur-
unsur pewarisan, Sifat kumulatif, Konsep Harta, Sistim pewarisan/ pembagian, dan terdapat
20 perbedaan.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengaturan waris di Indonesia terdapat bermacam-macam
pengaturan perwarisan, maka dari itu pemerintah menyerahkan urusan perwarisan terserah
pada hukum masing-masing golongan.

3.2 Saran

Untuk masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan,


diharapkan dalam pembgian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda
pemahamannya.

Untuk anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang lain
diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI yaitu wasiat
wajibah.

DAFTAR PUSTAKA

18
R, Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Komite Fakultas Syariah Univ Al-Azhar, Mesir. 2004. Hukum Waris (ahkamul-
Mawaarits fil-Fiqahil-Islami). Jakarta : Senayan Abadi

Publishing.

http://statushukum.com/hukum-waris-adat.html (diakses tanggal 09 Maret 2015)

http://dupenet.blogspot.com/2014/06/makalah-hukum-waris.html (diakses tanggal 09


Maret 2015)

19

Anda mungkin juga menyukai