DISUSUN OLEH:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Waris ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam.
Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami menyampaikan terima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan pembaca. kami menyadari bahwa
makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun penyusun tetap
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan
dalam penyusunan makalah selanjutnya.
15 Juni 2023
Penulis
i
lOMoARcPSD|26991449
DAFTAR ISI
ii
lOMoARcPSD|26991449
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum dari Hukum Perdata
di Indonesia. Di Indonesia, mengenai hukum waris ini belum terdapat
kodifikasi. Hal ini berarti bahwa bagi berbagai golongan penduduk
Indonesia, masih berlaku hukum waris yang berbeda-beda1, seperti Hukum
Waris Barat (Perdata), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat. Dalam
Hukum Waris Barat, bagi merekayang tunduk pada Hukum Perdata,
berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Di dalam
KUHPer, hukum waris diatur bersama-sama dengan hukum benda.
Sedangkan dalam Hukum Waris Islam bagi mereka yang beragama Islam ,
berlaku hukum Islam. Hukum waris dalam hukum Islam ini diatur di dalam
Al- Qur’an dan sebagai pelengkapnya dipakai Sunnah Nabi beserta hasil-
hasil ijtihad para ahli hukum Islam. Hukum waris Islam ini juga diatur dalam
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Pasal
171-214 KHI).
Berbeda halnya dengan Hukum Waris Adat dimana bagi orang Indonesia
asli, hukum waris merupakan bagian dari hukum adat. Sampai saat
sekarang ini, hukum waris adat pada masing-masing daerah di Indonesia
masih diatur secara berbeda-beda. Misalnya, ada hukum waris adat
Minangkabau, hukum waris adat Batak, hukum waris adat Jawa, hukum
waris adat Kalimantan, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam
pengaturan hukum waris di Indonesia, masih terdapat beraneka ragam
hukum yang mengaturnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pewarisan menurut hukum waris barat (perdata)?
2. Bagaimana sistem pewarisan menurut hukum waris Islam?
3. Bagaimana sistem pewarisan menurut hukum waris adat Jawa?
C. Tujuan
1. Mengetahui sistem pewarisan menurut hukum waris.
2. Mengetahui sistem pewarisan menurut hukum waris Islam
3. Mengetahui pewarisan menurut hukum waris adat Jawa.
1
lOMoARcPSD|26991449
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum waris pada hakikatnya, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan.2
Artinya, yang diwariskan pada prinsipnya adalah hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Terhadap hal ini terdapat dua pengecualiannya, yaitu:
1) Hak yang dimiliki oleh seorang suami untuk menyangkal keabsahan anak
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
2) Hak untuk menuntut atau mengajukan keabsahan anak dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya.
Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri adalah para ahli waris yang terpanggil
untuk mewaris karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah
antara ahli waris dengan pewaris (Pasal 852 ayat 2 KUHPer).
2
lOMoARcPSD|26991449
1. Golongan I
Golongan ini terdiri dari suami-istri dan anak beserta keturunannya, yaitu:
- Anak akan menutupi ahli waris yang lain, kecuali jika terjadi pergantian
- Anak yang mewaris dalam derajat I mendapat bagian yang sama besar
- Asas persamaan anak mewaris dari pewaris meski lahir dari perkawinan yang
lain
- Sejak tanggal 1 Jan 1936 janda atau duda adalah ahli waris dalam golongan I.
3
lOMoARcPSD|26991449
2. Golongan II
Golongan ini terdiri atas orangtua, saudara laki-laki atau perempuan beserta
keturunannya. Menurut Pasal 854 ayat (1) KUHPer, apabila tidak ada ahli waris
dalam golongan pertama, maka warisan jatuh kepada golongan kedua.7
- Ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka
mewaris seluruh warisan dan masing-masing mendapat setengah bagian(Psl
859)
- Ayah dan ibu mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara lakilaki atau
perempuan, maka ayah dan ibu mendapat 1/4 bagian, dan sisanya adalah
untuk saudara dengan bagian yang sama besar (Pasal 854 ayat 2 KUHPer).
- Ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian
ayah dan ibu yang masing-masing 1/4 bagian diambil lebih dahulu dan
sisanya dibagi untuk saudara dengan bagian yang sama besarnya.
4
lOMoARcPSD|26991449
- Apabila hanya ada ayah atau ibu, maka dia mendapat seluruh harta
peninggalan.
- Apabila hanya ada ayah atau ibu dan seorang saudara, maka ayaha atau ibu
mendapat bagian 1/2, sisanya bagian saudara.
- Apabila ada dua orang saudara, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian,
dan sisanya dibagi sama besar untuk saudara.
- Apabila ada 3 orang saudara atau lebih, maka ayah atau ibu mendapat 1/4
bagian harta peninggalan, dan sisanya dibagi antara saudara, baik laki-laki
maupun perempuan untuk bagian yang sama besarnya bila saudara kandung.
Dalam hal mereka berasal dari lain perkawinan, maka warisan dibagi dalam dua
bagian terlebih dahulu, yaitu yang setengah untuk saudara dalam garis bapak, dan
yang setengah lainnya dalam garis ibu. Saudara laki-laki dan perempuan
sekandung, menerima bagian dari kedua garis tersebut. Adapun untuk saudara
tiri, hanya mendapat bagian dari garis dimana mereka berada.
3. Golongan III
Golongan III ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah
orangtua, baik dari pihak ayah maupun dari garis ibu. Golongan ini tampil apabila
ahli waris dari golongan I dan golongan II tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan
keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan nenek,
kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun dari garis ibu.
4. Golongan IV
Menurut Pasal 858 ayat (1) KUHPer, dalam hal tidak ada saudara (golongan II) dan
saudara dalam salah satu garis lurus ke atas (golongan III), maka setengah warisan
menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup.
Adapun setengah bagian lainnya, menjadi bagian para sanak saudara dalam garis
5
lOMoARcPSD|26991449
yang lain. Pengertian “sanak saudara” dalam garis lurus yang lain ini adalah para
paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia
lebih dahulu dari pewaris. Mereka ini adalah ahli waris Golongan IV.
1. Menerima Warisan
2. Menolak Warisan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1057 KUHPer, menolak warisan harus dilakukan
secara tegas di hadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana pewaris tinggal.
Akibat dari penolakan warisan ini, maka menurut undang-undang:
b. Bagian dari seorang ahli waris yang menolak warisan itu jatuh kepada
ahli waris lainnya (Pasal
1059 KUHPer)
Menurut Pasal 865 KUHPer, jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah,
maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan. Anak luar kawin dapat
mewaris dengan ahli waris golongan I, golongan II, golongan III, maupun golongan
IV. Oleh karena itu, anak luar kawin merupakan kelompok ahli waris tersendiri
dan tidak termasuk dalam golongan ahli waris menurut undang- undang.
b. Bagian mewaris bersama golongan II dan III : 1/2 bagian dari harta
warisan, dan sisanya diwariskan untuk ahli waris yang lain.
6
lOMoARcPSD|26991449
Segala surat wasiat yang dibuat sebagai akibat paksa, tipu muslihat adalah batal
(Pasal 839). Seseorang yang membuat suatu surat wasiat harus sungguh- sungguh
mempunyai pikiran yang sehat (Pasal 895). Surat wasiat tidak boleh dibuat oleh
dua orang bersama-sama untuk menguntungkan satu sama lain dan kepentingan
orang ketiga (Pasal 930). Suatu ketetapan wasiat yang diambil untuk keuntungan
seorang yang tidak cakap untuk mewaris adalah batal, Menurut Pasal 912 KUHPer,
tiada diperbolehkan memungut sesuatu keuntungan dari surat wasiat pewaris,
yaitu:
c. Wasiat rahasia : wasiat yang ditulis tangan sendiri atau ditulis tangan oleh
orang lain, dan ditandatangani oleh pewaris lalu diserahkan kepada notaris
dalam keadaan tertutup/rahasia untuk disimpan.
7
lOMoARcPSD|26991449
Pada dasarnya isi surat wasiat itu berisi mengenai tentang ketetapan harta
peninggalan atau mengenai hal-hal berikut:
A. Wujud Warisan
Warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam, yaitu sejumlah harta
benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya
harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta
benda serta segala hak “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang
pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal wasiat”.
Dalam hukum waris Islam, dikenal kelompok keutamaan ahli waris yang dimana
didahulukan untuk mewaris dari kelompok ahli waris lainnya, yaitu:
8
lOMoARcPSD|26991449
3) Keutamaan tiga : ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila ada
salah satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara. Janda atau duda.
1. Ashchabul-furudh
Golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
atau 1/8. Para ahli fara’id membedakan ashchabul-furudh ke dalam dua macam,
yaitu:14
2. Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang ditarik dari garis ayah. Para ahli fara’id
membedakan ashabah ke dalam tiga macam, yaitu :
b. ashabah bil-ghair : ashabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita
yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, yaitu anak
perempuan yang didampingi anak laki-laki, dan saudara perempuan yang
didampingi oleh saudara laki-laki.16
9
lOMoARcPSD|26991449
3. Dzawil-arham
Besarnya bagian tetap dari ahli waris diatur dalam Pasal 176-182 KHI, yaitu:19
2) Ahli waris yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan : ibu, bila si pewaris
tidak meninggalkan anak, atau dua orang saudara atau lebih, ibu mendapat
1/3 bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah; dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun
perempuan dengan pembagian yang sama; dan ayah, bila si pewaris tidak
meninggalkan anak.
3) Ahli waris yang mendapat 1/4 dari harta peninggalan : suami/duda, bila si
pewaris (istri) meninggalkan anak; dan istri/janda, bila si pewaris (suami)
tidak meninggalkan anak.
4) Ahli waris yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan : ibu, jika si pewaris
meninggalkan anak, atau dua saudara atau lebih; ayah, jika si pewaris
meninggalkan anak; dan seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila
si pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
5) Ahli waris yang mendapat 1/8 dari harta peninggalan : dua orang atau lebih
anak perempuan; dua orang saudara perempuan kandung atau lebih; dan
dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
10
lOMoARcPSD|26991449
Menurut Pasal 187 KHI, bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka
oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris yang dapat ditunjuk
beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 188 KHI, para ahli waris, baik secara
bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli
waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta
warisan.20
G. Wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia (Pasal 171 f KHI). Pemilikan terhadap harta benda ini baru dapat dilakukan
sesudah pewasiat meninggal dunia (Pasal 194 KHI).21
H. Hibah
Yang dimaksud dengan hibah menurut Pasal 171 g KHI adalah pemberian suatu
benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki22. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal
melakukan hibah menurut hukum Islam, yaitu:
11
lOMoARcPSD|26991449
3) Qabdlah, yaitu penyerahan milik itu sendiri, baik dalam bentuk yang
sebenarnya maupun secara simbolis.
Hukum waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta waris, pewaris, dan ahli waris
serta prosedur bagaimana harta waris tersebut dialihkan pemilikan dan
penguasaannya dari pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat adalah serangkaian kaidah yang mengatur tata cara peralihan
dan penerusan harta baik yang berupa benda berwujud maupun benda yang
tidak berwujud dari pewaris kepada ahli warisnya.
Sistem matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis ibu,
sehingga dalam hal kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya
dari pada pria. Sistem kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau,
Enggano, dan Timor.
Pada masyarakat adat Jawa menganut asas individual karena pada sistem
kekerabatannya menganut sistem parental atau bilateral. Sistem ini
mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan memiliki haknya masing masing.
12
lOMoARcPSD|26991449
Kelebihan dari sistem individual ini adalah bahwa para ahli waris yang telah
memiliki secara pribadi dapat dengan leluasa untuk menguasai dan
mengembangkan harta tersebut sebagai bekal kehidupannya yang selanjutnya
tanpa dipengaruhi oleh saudara yang lain.
Kelemahan dari sistem ini adalah bahwa pecahnya harta warisan dan
merenggangnya tali kekerabatan dapat mengakibatkan timbulnya hasrat untuk
menguasai harta secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
Harta ini merupakan harta asal yang dibawa oleh suami atau istri pada saat akan
melaksanakan perkawinan. Termasuk ke dalam pengertian harta bawaan, harta
bawaan lain yang berasal dari hasil usaha sendiri (harta penghasilan), harta
pemberian atau hibah wasiat, baik yang diterima dari kerabat atau orang lain
sebelum atau selama perkawinan.
Harta ini merupakan harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang
diperoleh dalam usaha bersama-sama.
Kedua jenis harta diatas, pada dasarnya belum menjadi harta waris. Akan tetapi,
harta tersebut masih bersifat harta peninggalan. Oleh karena itu harus dikurangi
terlebih dahulu dengan hutang si pewaris. Sisa setelah dikurangi hutang itulah
yang kemudian menjadi harta waris dan dibagibagi.
Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki maupun perempuan,
lahir lebih dahulu atau belakangan, mempunyai hak sama atas harta peninggalan
orang tuanya. Namun, di beberapa daerah terutama di Jawa Tengah, berlaku
sistem sepikul segendong 26 di mana anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat
lebih banyak dari pada bagian anak perempuan.
Jika pewaris tidak mempunyai anak sama sekali, tidak pula mempunyai anak
angkat dari anak saudara atau dari anak orang lain, maka harta akan diwarisi
berturut turut oleh, pertama, orang tua, bapak atau ibu pewaris, dan apabila tidak
ada baru saudara-saudara kandung pewaris atau keturunannya, dan jika ini tidak
ada pula barulah kakek atau nenek pewaris. Dan apabila kakek/nenek pewaris
juga tidak ada maka diberikan kepada paman atau bibi baik dari garis ayah
maupun dari garis ibu pewaris. Jika sampai tingkat ini tidak ada, maka akan
diwarisi oleh anggota keluarga lainnya.
13
lOMoARcPSD|26991449
Anak angkat mempunyai dua sumber warisan, yaitu dari orang tua angkat dan
dari orang tua kandungnya sendiri. Meskipun begitu, seorang anak angkat dalam
memperoleh wasiat tidak boleh melebihi dari anak kandung jika masih ada.
Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda atau duda bukan ahli waris dari
suami atau istri yang meninggal. Akan tetapi, mereka berhak mendapatkan bagian
dari harta peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan ahli waris lain atau
menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. Namun,
hukum yang menyatakan janda bukan ahli waris suaminya, hanya ada sebelum
kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, janda merupakan ahli waris dari
suaminya. Selanjutnya di atur dalam keputusan MA tanggal 29 Oktober 1958 No.
298 K/Sip/1958
14
lOMoARcPSD|26991449
A. Kesimpulan
Berdasarkan kesimpulan di atsa maka dapat di lihat adanya beberapa persamaan dan
perbedaan antara pembagian warisan menurut hukum islam ,KUH perdata dan
Hukum waris adat jawa.
B. Saran
Dalam pembagian hak ataupun bagian warisan yang di terima harus lah
mengedepankan ke adilan walaupun adil tersebut memiliki banyak arti.
15
lOMoARcPSD|26991449
DAFTAR PUSTAKA
Salman, Otje dan Haffas, Mustofa. 2010. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
Tutik, Titik Triwulan. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Imam Sudiyat. 1981. Hukum Adat: Sketsa Asas. Cet 2. Yogyakarta: Liberty.
Hadikusuma hilman.2015. Hukum Waris Adat,cet VIII. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
16