Anda di halaman 1dari 8

Pendampingan Perkara Perdata

Pendahuluan
Pesatnya perkembangan masyarakat dan semakin kompleksnya relasi yang terjalin diantara
mereka, baik di bidang sosial maupun ekonomi, perlu diikuti dengan berbagai aturan hukum
guna menjaga ketertiban dalam relasi tersebut. Benturan kepentingan dalam pergaulan social
sangat rawan akan terjadi antar sesama warga masyarakat. Rumitnya aturan hukum yang
berlaku membuat aturan hukum tersebut tidak mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam
negara yang berdasarkan hukum maka segala benturan kepentingan atau perselisihan hukum
yang terjadi harus diselesaikan secara hukum melalui jalur Pengadilan ataupun jalur
perdamaian di luar pengadilan.
Dalam kenyataannya, jika para pihak yang berperkara bukan seorang sarjana hukum atau ahli
hukum maka dalam hal beracara di muka Pengadilan ia akan mengalami kesulitan baik dalam
membuat surat gugatan, replik, duplik, membuat memori banding, atau kasasi, untuk
mempertahankan hak dan kepentingannya , dan surat gugatan yang diajukan itupun mungkin
tidak dapat diterima ataupun ditolak oleh hakim di Pengadilan maka mereka kemudian
bergantung kepada profesi advokat guna menyelesaikan segala permasalahan hukum yang
dihadapinya. Kondisi ini menempatkan profesi advokad pada profesi penting dalam
kehidupan masyarakat.
Advokat sebagai wakil atau kuasa hukum dalam perkara perdata di muka hakim atau
Pengadilan dan kesulitan dari klien dapat diatasi. Berdasarkan hal itu maka dapat diberikan
satu alasan bahwa sebenarnya cukup besar kebutuhan akan kuasa bagi pihak yang berperkara
karena pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana memperoleh hak-hak dan kewajibannya
di dalam bidang hukum. Perwakilan atau pemberian kuasa diatur dalam Pasal 123 HIR
(Herziene Indonesische reglement) dan pasal 147 R.Bg (Reglement voor de buitengewesten).
Menurut ketentuan Undang-Undang pihak yang berperkara dapat menguasakan perkaranya
kepada orang lain dengan surat kuasa khusus atau bijzondere scitelijke machtiging atau
specially write authorization. Memang baik HIR maypun R.Bg tidak mewajibkan para pihak
yang berperkara untuk menunjuk seorang atau beberapa orang Advokat untuk mewakilinya
hadir menangani perkaranya di Pengadilan. Sehingga sepenuhnya memberikan kebebasan
bagi para pihak mau menunjuk advokat atau tidak dalam berperkara di muka pengadilan.
Advokat sebagai profesi hukum dikenal dengan istilah advocaat dan procureur di Negeri
Belanda, Sedangkan pengertian Advokat menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2003
Tentang Advokat Pasal 1 ayat l, Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa
hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-undang Advokat.
Oleh karenanya Pasal 123 HIR/147 R.Bg ini, hukum acara perdata mengenal adanya sistem
lembaga perwakilan. Sehingga peran Advokat/Pengacara dapat membantu pihak-pihak yang
berpekara dalam mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi seorang
Advokat adalah seorang interprestasi dan perang ilmiah, karena itu sebagai Advokat wajib
mempertahankan unsur- unsurnya di dalam hukum acara perdata. Dasar adanya sistem
lembaga perwakilan adalah dikarenakan masih banyaknya pencari keadilan yang kurang
mampu atau kurang memahami dalam mengajukan gugatan dan tangkisan dengan rumusan
sedemikian rupa. Oleh karena itu, lembaga perwakilan bermaksud menjaga agar jangan
sampai pihak-pihak pencari keadilan dirugikan hanya membuat kesalahan-kesalahan
elementer dalam hukum acara perdata yang terikat oleh banyaknya peraturan dan macam-
macam formalitas. Oleh karena itu, sebagai advokat yang bertindak untuk dan atas nama
kliennya diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian berpekara, apalagi mengingat
kliennya telah memberikan kepercayaan yang besar padanya.

Pendampingan Perkara Perdata


1) Pendampingan dan penanganan perkara Perkawinan dan Perceraian dan warisan
2) Pendampingan dan penanganan perkara Perdata kebendaan/ sengketa pertanahan, dan
kewarisan

Ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian


hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam
upaya memahami pengertian hukum waris secara utuh, ada beberapa definisi
mengenai waris dan hukum waris yang diberikan oleh para sarjana. Wirjono
Prodjodikoro, memberikan rumusan warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah
berbagai hak/hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup 1 . Menurut kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), hukum waris adalah hukum yang mengatur
mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang
beragam tentang hukum waris, pada umumnya para sarjana hukum berpendapat
bahwa, “Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara
atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli
warisnya”. Kemudian dalam Kamus Hukum, pengertian warisan adalah harta
peninggalan yang berupa barang- barang atau hutang dari orang yang meninggal,
yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan atau diberikan kepada ahli waris atau
orang- orang yang telah ditetapkan menurut surat wasiat”2
Di dalam membicarakan hukum waris, maka ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat
perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur-unsur pewarisan yaitu:
a) Orang yang meninggal dunia/pewaris/erflater
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan hak dan kewajiban
kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut Pasal 830 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW), pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
Kemudian, menurut ketentuan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW), segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
sekalian ahli warisnya menurut undang-undang sekedar terhadap itu dengan surat
wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian, menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) ada dua macam waris, yaitu waris ab
intestate (tanpa wasiat) dan waris wasiat atau testamentair erfrecht.
b) Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu/ erfgenaam
Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima
hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Ahli waris terdiri dari:
a. Ahli waris menurut undang-undang (abintestato)
Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga
sedarah. Ahli waris ini terdiri daro 4 (empat) golongan, yaitu:
Golongan I, terdiri dari anak-anak, suami (duda) dan istri (janda) si pewaris;
2) Golongan II, terdiri dari bapak, ibu (orang tua), saudara-saudara si pewaris;
3) Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus ke atas (seperti:
kakek, nenek, baik garis atau pancer bapak atau ibu) si pewaris;
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Persetujuan Tertentu, Sumur
Bandung, 1991, hlm. 8.
2
J.C.T. Simorangkir, S.H., dkk, Kamus Hukum..., Op.Cit., hlm. 186.
4) Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping (seperti: paman, bibi)
b. Ahli waris menurut wasiat
Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam Pasal 874 Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata (BW), dimana setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris
wasiat, terdiri atas:
1) Testamentair erfgenaam.
yaitu ahli waris yang mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling (petunjukkan
satu atau beberapa ahli waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta
peninggalan);
2) Legataris/mendapat wasiat.
yaitu ahli waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk
mendapat beberapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas
seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh
atau sebagian dari harta waris. Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi
ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar hubungan darah, ahli waris atas dasar
perkawinan dengan si pewaris, dan ahli waris atas dasar wasiat.
3) Harta waris
Menurut Pasal 499 KUH Perdata, disebutkan bahwa: “Benda adalah tiap- tiap
barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Selain itu, secara
yuridis pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek eigendom
(hak milik). Barang-barang bergerak, dan barang-barang tidak bergerak. Benda
bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan sesuai Pasal 509
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Benda bergerak karena ketentuan
undang undang adalah hak-hak yang melekat pada benda bergerak sesuai Pasal
511 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (BW), misalnya hak memungut hasil
atas benda. Sebagaimana disebutkan di atas, tanah sebagai benda tidak bergerak,
merupakan salah satu objek pewarisan.
Latar belakang munculnya sengketa dalam pembagian harta warisan karena
adanya ketidakadilan, ketidakpastian, dan ketidaktertiban. Namun demikian, perlu
pula dipikirkan, adalah sungguh baik apabila manusia dapat menghindar dari
sengketa kemudian hari. Cara penyelesaian yang dapat dilakukan para ahli waris
adalah:
1. Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka di dalam sistem
hukum Indonesia perlu terlebih dahulu disinggung tentang peran Mahkamah
Agung sebagai institusi hukum menurut Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK). MA membawahi
badan peradilan dalam lingkungan pengadilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Peradilan umum pada tingkat pertama dilakukan oleh pengadilan negeri, pada
tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dan pada tingkat kasasi
dilakukan oleh mahkamah agung. Peradilan agama pada tingkat pertama
dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat banding dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Peradilan militer pada tinggat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer,
pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara pada
tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung3
Masing-masing badan peradilan ini mempunyai kewenangan tersendiri sesuai
dengan lingkup kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang dan merupakan
kewenangan yang absolut bagi badan peradilan tersebut. Kewenangan yang
absolut adalah, badan peradilan manakah yang berwenang untuk mengadili suatu
sengketa perdata. Apakah sengketa yang terjadi merupakan kewenangan
pengadilan negeri atau pengadilan agama atau pengadilan tata usaha negara,
contohnya: masalah perceraian bagi orang Islam merupakan kewenangan
pengadilan agama untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskannya. Sedangkan
kalau menyangkut keputusan badan/pejabat tata usaha negara merupakan
kewenangan pengadilan tata usaha negara.
2. Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini aspirasi untuk mengembangkan
Alternative dispute resolution (ADR) semakin banyak. Alternative dispute
resolution (ADR) memungkinkan penyelesaian sengketa secara informal,
sukarela, dengan kerjasama langsung antara kedua belah pihak yang menuju pada
pemecahan sengketa yang saling menguntungkan. Dukungan dari masyarakat
bisnis dapat dilihat dari klausul perjanjian dalam berbagai kontrak belakangan ini.
Saat ini kaum bisnis Indonesia sudah biasa mencantumkan klausul Alternative
dispute resolution (ADR) pada hampir setiap kontrak yang dibuatnya. Contoh
klausul Alternative dispute resolution (ADR) yang tercantum dalam kontrak
adalah “semua sengketa yang mungkin timbul antara kedua belah pihak
berdasarkan perjanjian ini, akan diselesaikan dengan musyawarah oleh para pihak
dan hasilnya akan dibuat secara tertulis. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan
dengan musyawarah, maka dari para pihak sepakat untuk membawa perkaranya
ke pengadilan”. Keterlibatan pihak ketiga dalam Alternative dispute resolution
(ADR) adalah dalam rangka mengusahakan agar para pihak mencapai sepakat
untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul. Memang ada perbedaan antara
mediasi, konsolidasi dan Alternative dispute resolution (ADR). Perbedaannya
terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk
menyelesaikan sengketa. maka Alternative dispute resolution (ADR) tidak akan
dapat terlaksana. Kesukarelaan disini meliputi kesukarelaan terhadap mekanisme
penyelesaiannya dan kesukarelaan isi kesepakatan”.
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata arab “syawara” yang bermakna
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain,
termasuk bermakna pendapat. Cara penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan
melalui arbitrase nasional yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
arbitrase ad hoc, maupun arbitrase asing. Dari cara penyelesaian sengketa di
pengadilan dan penyelesaian di luar pengadilan, maka cara penyelesaian di luar
pengadilanlah yang mempunyai atau berlatar belakang Indonesian Legal Culture
(musyawarah, komunal dan atau consensus kolektif) atau yang lebih
mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat men- capai tujuan kedamaian.30
Menurut Cristopher W Moore mengemukakan keuntungan penyelesaian sengketa
dengan menggunakan Alternative dispute resolution adalah:
 Sifat kesukarelaan dalam proses;
3
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Cet.
Ke- 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 73.
 Prosedur yang cepat;
 Keputusan non judicial;
 Prosedur rahasia (confidential);
 Fleksibilitas yang lebih besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian
masalah
 Hemat waktu dan biaya;
 Tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan.

C. Penanganan Perkara Prodeo dan Class Action


1) Penanganan Perkara Prodeo
Beracara secara prodeo adalah berperkara secara cuma-cuma atau tampa biaya
didepan pengadilan.4 Dalam berperkara secara prodeo, maka pihak yang ingin
berperkara secara prodeo harus membuktikan bahwa dirinnya benar-benar tidak
mampu, sehingga pihak pengadilan memberikan surat penetappan berperkara secara
prodeo.5
Prosedur beracara secara cuma-cuma (prodeo) dipengadilan haruslah dengan
permohonan yang diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya yang
disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau iuran di tempat
kediaman pemohon. dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu
betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara dipengadilan. permohonan perkara
secara prodeo akan ditolak oleh pengadilan apabila penggugat ternyata bukan orang
yang tidak mampu.6
Ketentuan tentang berperkara secara prodeo ini diatur dalam pasal 137 HIR dan 237
RBg. Pasal tersebut menentukan bahwa barang siapa hendak berperkara baik
penggugat atau tergugat tetapi tidak mampu membayar ongkos perkara, dapat
mengajukan perkara dengan ijin membayar ongkos. Dalam prakteknya permohonan
ijin berperkara secara prodeo ini dimintakan melalui putusan sela yang diajukan
bersama gugatan atau jawaban sesuai ketentuan pasal 238 HIR / Pasal 274 RBg.
Sebelum pengadilan negeri memeriksa pokok perkara, maka terlebih dahulu harus
memutuskan (putusan sela) apakah permohonan perkara secara cuma-cuma atau
prodeo dikabulkan atau ditolak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 230 HIR / 275
RBg yang berbunyi:

1. Pada hari mengahadap kemuka pengadilan, terlebih dahulu harus putuskan


oleh Pengadilan Negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tidak
membayar ongkos dapat dikabulkan atau tidak.
2. Lawan orang yang mengajukan permintaan itu dapat membantu permintaan itu
baik dengan semula menyatakan, bahwa gugatan atau perlindungan sipeminta
itu tidak beralasan sama sekali, maupun yang menyatakan bahwa orang itu
sungguh mampu membayar ongkos perkara itu.
3. Dengan salah satu alasan itu pengadilan negeri karena jabatannya dapat
menolak permintaan itu.
Permohonan berperkara secara prodeo ini yang dapat digunakan untuk tingkat banding atau
kasasi, untuk itu harus diajukan permintaan baik secara tertulis maupun lisan kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan sebagai hakim pertama. Permintaan itu
dilampiri dengan surat keterangan tidak mampu, permintaan itu haruslah diajukan dalam
4
Mohamad Toufik Makarao, 2004, Pokok – Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta hal.13
5
Darwan Prnts, 1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.16.
6
Sudikno Mertokesumo, loc, cit
tenggang waktu 14 hari sesudah hari dijatuhkan putusan atau sesudah pemberitahuan
tersebut. Berdasarkan teori berperkara secara prodeo hanya menunjuk pada syarat mutlak,
maka pengadilan harus benar-benar menyelidiki tentang ketidak mampuan pihak yang
mengajukan perkara secara prodeo. Prosedur berperkara secara prodeo dipengadilan negeri
pada umumnnya sama seperti gugatan biasa hanya dalam gugatan prodeo terdakwa diberi
keistimewaan untuk tidak membayar uang perkara sebagai mana mestinnya. Karena terdakwa
tersebut secara financial tidak mampu, agar tidak terjadi penyimpangan terhadap hal
tersebut.bDengan demikian prosedur mengajukan perkara secara prodeo harus dapat
diperjelas dengan mengajukan langkah-langkah, sebagai berikut:
 Pihak yang memiliki perkara mengajukan permohonan ke pengadilan untuk beracara
secara prodeo.
 Permohonan harus dilampirkan dengan surat keterangan tidak mampu dari Kepala
Daerah.
 Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan mengutus Panitera atau yang mewakili
untuk datang ketempat tinggal penggugat untuk menyelidiki apakah penggugat benar-
banar tidak mampu.
 Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan, bahwa perkara tersebut akan
m diperiksa secara prodeo.
 Berdasarkan surat penetapan Hakim tersebut maka perkara dapat segera dimulai.

2) Penanganan perkara class action


Gugatan kelompok atau lebih dikenal dengan nama class action atau class
representative adalah pranata hukum yang berasal dari sistem common law. walaupun
demikian, banyak juga negara-negara yang menganut sistem civil law (seperti
Indonesia) prinsip tersebut diadopsi, pe yang ada dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang baru.
Gugatan perwakilan kelompok diatur secara formil pada tahun 2002 dalam bentuk
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)  RI No. 1 Tahun 2002 pada tanggal 26 April
2002. PERMA tersebut mengatur tentang Gugatan yang diajukan secara kelompok
salah satunya adalah class action. Pengertian class action berdasarkan PERMA RI
Nomor 1 Tahun 2002 adalah suatu cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang
atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri atau diri-
diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud.

Gugatan class action menjadi salah satu bentuk gugatan yang mengatasnamakan
kepentingan umum. Hal ini merupakan solusi efisien karena dalam pengajuan gugatan
dengan anggota kelas yang banyak tidak perlu menyebutkan identitas pihak satu per
satu. Faktanya gugatan class action belum banyak diketahui oleh masyarakat secara
luas, bahkan keterampilan hakim dalam menangani kasus ini masih terbatas.
Permasalahan tentang gugatan class action menjadi semakin rumit ketika pihak-pihak
yang menjadi class member jumlahnya sangat banyak. Hakim dalam memeriksa
perkara harus berpedoman pada PERMA No.1 Tahun 2002 dengan memeriksa secara
cermat siapa saja yang menjadi class member. Pihak- pihak yang tercantum dalam
gugatan belum tentu merupakan bagian kelompok yang dirugikan secara langsung
perlu ditinjau kemungkinan bahwa nama-nama yang dicantumkan hanya ditarik
begitu saja tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak yang bersangkutan. Hal
tersebut harus dibuktikan dengan pernyataan yang dibuat tertulis oleh setiap class
member bahwa mereka termasuk pihak yang merasa kepentingannya dirugikan.
Berdasarkan Pasal 1 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang dimaksud dengan
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah “suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri
atau diri-diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud”. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok
adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Dalam peraturan
perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ada beberapa peraturan
yang mengatur tentan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) adalah sebagai
berikut : 1). UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2). UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan; 3). UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 4). UU No. 17 Tahun 2019 Tentang Sumber
Daya Air.

Dasar hukum untuk melakukan gugatan Class Action adalah PERMA No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Gugatan dengan prosedur
gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
 Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity), merupakan jumlah anggota
kelompok (classmembers) harus sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri (individual).
 Adanya kesamaan (Commonality), terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan
dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan
pihak yang di wakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan
adanya kesamaan ini.
 Sejenis (Typicality), Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi
defedant Class Action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah
sejenis. Pada umumnya dalamclass action, jenis tuntutan yang dituntut adalah
pembayaran ganti kerugian.
 Wakil kelompok yang jujur (Adequacy of Repesentation), Wakil kelompok harus
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yangdi wakili, dengan memenuhi beberapa persyaratan:
 harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang
diwakilinya;
 memiliki bukti-bukti yang kuat
 jujur;
 memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;
 mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri disbanding
kepentingan anggota kelompoknya; dan sanggup untuk menanggulangi membayar
biaya-biaya perkara di pengadilan.
Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam Hukum
Acara Perdata, harus memuat:
 identitas lengkap dan jelas,
 definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik;
 keterangan tentang anggota kelompok;
 posita dari seluruh kelompok;
 jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka dalam satu
gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
 tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan
tim.
Tidak terpenuhi persyaratan sebagaimana tersebut diatas, maka dapat mengakibatkan gugatan
yang diajukan tidak dapat diterima.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan Gugatan Class Action, adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat;
2. Lembaga Swadaya Masyarakat;
3. Pemerintah.
 Tata Cara Mengajukan Gugatan Class Action di Pengadilan Negeri
Gugatan didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan bahwa
pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan kepada
anggota kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada
anggota kelompok. Setelah pemberitahuan dilakukan, anggota kelompok dalam jangka waktu
tertentu diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Seterusnya proses
persidangan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata
(1.Pemeriksaan Para Pihak; 2.Mediasi; 3. Pembacaan surat gugatan oleh penggugat; 4.
Jawaban dari tergugat; 5. Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah
disampaikan oleh Tergugat; 6. Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat
dalam replik; 7. Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan
saksi-saksi; 8. Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak di bacakan oleh
kedua belah pihak; 9. Putusan).
Dalam kasus class action, berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan,
apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan
untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara.
Hal yang menarik berkaitan dengan pengacara pada class action adalah dalam PERMA No. 1
Tahun 2002 pasal 2 huruf d menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil
kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota
kelompok. Disini terlihat bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan
menganjurkan penggantian terhadap pengacara dalam perkara class action. Hal ini tidak dapat
ditemukan dalam perkara biasa.
Prosedur dalam class action dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan :
1. Permohonan pengajuan gugatan secara class action;
2. Proses sertifikasi;
3. Pemberitahuan;
4. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action;
5. Pelaksanaan Putusan.

Daftar isi:
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Class-Action_Sebuah-Pengantar.pdf
https://ardiansnco.co.id/gugatan-perwakilan-kelompok-class-action/
https://www.hukumonline.com/klinik/a/class-action-cl2436
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/download/6165/4652/
http://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/download/87/69

Anda mungkin juga menyukai