Anda di halaman 1dari 36

BAB II

KONSEP KAFĀ`AH DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Kafā`ah

Kafā`ah menurut bahasa adalah bentuk kata masdar dari kata ‫كفا يكفاء كفاءة‬

yang berarti sebanding, sepadan, dan sejodoh. Asal kata bendanya yaitu ‫كفؤ‬

yang berarti sepadan.1 Kafā`ah yang berasal dari bahasa Arab dari kata ‫كفؤ‬,

merupakan kata yang terpakai dalam al-Qur`ān dengan arti “sama atau setara”.

Contoh dalam al-Qur`ān adalah dalam surat al-Ikhlās ayat 4:2

     

Artinya: Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."3

Kesetaraan (kafā`ah) secara etimologi adalah kesepadanan (‫ )المماثلة‬dan

persamaan (‫اوه‬4‫)المس‬.4 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhailiy

dalam kitabnya “Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu” yang mengatakan bahwa:

Kafā`ah secara etimologi berarti persamaan dan persesuaian. Sedangkan

secara terminologi kafā`ah adalah kesesuaian atau kesepadanan antara suami

dan istri untuk menolak adanya cacat pada hal-hal tertentu (agama, ilmu,

akhlak, status sosial maupun harta).5

‫ المماثلة بين الزوجين دفعا للعارفي أمور مخصوصة‬: ‫ وفي اإلصطالح‬.‫ المماثلة والمساواة‬: ‫الكفاءة لغة‬.

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), 378
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqih Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet-3, 140
3
QS al-Ikhlas [112]: 4
4
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur`an Wanita, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, tt), 82
5
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār Al-Fikr, 1989),
6736

27
28

Menurut Sayyid Sabiq kufu’ berarti sama, sederajat atau sebanding.

Maksud kufu’ dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon

istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat

dalam akhlak serta kekayaan. Tidak diragukan lagi jika kedudukan antara laki-

laki dan perempuan itu sebanding, akan menjadikan faktor kebahagiaan hidup

suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau

kegoncangan dalam rumah tangga.6

Kafā`ah merupakan kesetaraan dan keseimbangan yang perlu dimiliki

oleh calon suami dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri

secara mantap dalam menghindari cela dalam masalah-masalah tertentu.7

Sedangkan menurut Ibn Manz}ur yang dikutip oleh Khoiruddin

Nasution mendefinisikan kafā`ah dengan keadaan keseimbangan. Kafā`ah

berasal dari kata asli ‫ألكفؤ‬yang diartikan dengan al-musāwi (keseimbangan).

Ketika dihubungkan dengan perkawinan, kafā`ah diartikan dengan

keseimbangan antara calon suami dan istri dari segi kedudukan (h}asab),

agama (di>n), keturunan (nasab), dan sebagainya. Sedangkan secara istilah

kafā`ah didefinisikan dengan kesamaan di dalam hal-hal kemasyarakatan,

yang dengan itu diharapkan akan tercipta kebahagiaan dan kesejahteraan

keluarga kelak, dan akan mampu menyingkirkan kesusahan.8

Dalam istilah fiqih sejodoh disebut kafā`ah atau kufu`, artinya ialah

sama, serupa, seimbang dan serasi. Maksudnya keserasian antara calon suami

6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, (Bandung: PT Al-Maarif, 1987),
Jilid-7, 36
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,2006), 33
7

Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I dilengkapi Perbandingan Undang-undang


8

Negara Muslim Kontemporer. (Yogyakarta: Akademia Tazaffa, 2004), 217


29

dan istri, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan tidak keberatan terhadap

kelangsungan perkawinan itu.9 Hal ini dianggap penting karena dengan adanya

kesepadanan antara calon suami dan istri lebih menjamin pergaulan sosial

antara keduanya untuk mencapai keharmonisan dalam hidup berumah

tangga.10

Menurut Abdul Ghaffar dalam bukunya “Fiqih Keluarga” mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan kufu` adalah bahwa seorang laki-laki harus

seimbang dengan perempuan, di mana perempuan tersebut tidak dinikahi oleh

seseorang yang akan menyebabkan dirinya dan keluarganya menjadi terhina

menurut kebiasaan atau tradisi masyarakat. Sedangkan laki-laki yang

menikahi perempuan yang tidak sekufu` dengannya, hal itu tidak akan

membahayakannya. Karena seorang suami akan mengangkat derajat istrinya

ke posisi yang sederajat dengannya. Selain itu, perempuan tersebut tidak akan

menyebabkan dirinya terhina, dan anak-anak yang dilahirkan itu pun akan

mempunyai kedudukan sosial yang dimiliki ayahnya. Demikian itu yang

berlaku pada kehidupan banyak orang.11

Pertimbangan kafā`ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak

laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu

yang mempertimbangkan apakah laki-laki yang akan menikah dengannya

sekufu` atau tidak, sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang

laki-laki itu tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu

9
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang,
2007), 68
10
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), 38
11
M Abdul Ghaffar, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2001), 33
30

mengarah pada pihak laki-laki dan sebagaimana diketahui semua wanita yang

dinikahi Nabi Saw derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat

dengan beliau, hal ini bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi.

Selain itu kemuliaan seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada

ayahnya, jadi jika seorang laki-laki yang berkedudukan tinggi menikah dengan

wanita biasa itu bukanlah suatu aib.

Yang dijadikan standar dalam penentuan kafā`ah itu adalah status sosial

pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh pihak laki-laki untuk

dikawini. Laki-laki yang akan mengawininya paling tidak harus sama dengan

perempuan, seandainya lebih tidak menjadi halangan. Tetapi jika pihak istri

dapat menerima kekurangan laki-laki tersebut maka tidak menjadi masalah.12

Menurut Wahbah al-Zuhailiy mengatakan bahwa jumhur ulama (Maliki,

Hanafi, Syafi`i dan Hanbali), kafā`ah itu ada dan merupakan syarat luzu>m13

dalam pernikahan, tetapi tidak menjadi syarat sah pernikahan.

‫ الشرط صحة فيه‬,‫ رأى الجمهور الفقهاء (منهم المذاهب األربعه) أن الكفاءة شرط في لزوم الزواج‬14

Berdasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW:

‫ وااليم اذا وجدت لَهَا كفئًا‬، ‫ والجنازة اذاحضرت‬،‫ " ثالث ال تؤخر الصالة اذا اتت‬15

Artinya:“Ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda


pelaksanaannya, yaitu shalat apabila telah tiba waktunya, jenazah
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 141
13
Syarat luzu>m yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu pernikahan dalam arti
tergantung padanya kelanjutan keberlangsungan suatu pernikahan sehingga dengan telah
terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin pernikahan yang sudah berlangsung dibatalkan; seperti
suami harus sekufu dengan istrinya. Lihat Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia; Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), 52
14
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6738
15
Abi I<sa Muhammad Ibn I<sa Ibn Saurah, Sunan Al-Tirmi>dzi, (Libanon: Da>r al-
Fikr, tt), 217
31

apabila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda)


apabila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.”
Dengan demikian maksud dari kafā`ah dalam perkawinan ialah

persesuaian keadaan antara suami dengan istrinya, dan sama kedudukannya.

Suami seimbang dengan istrinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan

kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa ke arah

rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidak beruntungan. 16 Demikian

gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafā`ah.

B. Dasar Hukum Kafā`ah

Kafā`ah merupakan suatu yang disyariatkan oleh Islam, hanya saja al-

Qur`an tidak menyebutkan secara jelas. Artinya, dalam Islam tidak

menetapkan bahwa seorang laki-laki kaya hanya boleh kawin dengan orang

kaya, atau yang lainnya. Islam tidak mengajarkan demikian. 17 Adapun yang

dijadikan dasar oleh ulama dalam menentukan masalah kafā`ah ini adalah:

1. Al-qur`an
         
         

Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan


yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.18

     


      
      

16
Al-Hamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), 15
Al-Hamdani, Risalah Nikah; Hukum…,15
17

Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina,
18

demikian pula sebaliknya.Lihat Q.S an-Nu>r [24] ayat 3.


32

Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia (surga).19

         


       
         
        
      
 

Artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita merdeka musyrik, walaupun dia menarik
hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.20

2. Hadits

‫ ِه ع َْن‬4‫ ِعيد ع َْن اَبِ ْي‬4‫ابن ابى َس‬


ِ ‫ ِعيد‬4‫ ّدثَنِى َس‬4‫َح َّدثَنا َ ُم َس َّدد َح َّدثَنا َ يَح ْي َى ع َْن ُعبَ ْي ِد هللا قَا َل َح‬
ْ َ‫يرةَ عَن النّبى قَا َل تُ ْن َك ُح المرأَةُ أِل َرْ بَع لِ َمالِهَا ولِ َح َسبِهَا ولِ َج َمالِهَا ولِ ِد ْينِهَا ف‬
ْ‫اظفَر‬ َ ‫اَبِى هُ َر‬

ْ َ‫ت ال ّديْن ت َِرب‬


(‫ (رواه البخارى‬.‫ت يَ َداك‬ ِ ‫بِ َذا‬

Artinya: Menceritakan kepada kami Musaddad menceritakan kepada


kami Yahya dari ‘Ubaidillah berkata: menceritakan kepadaku
Sa’id bin Abi Sa’id dari Bapaknya dari Abī Hurairah dari
Nabi SAW. Beliau bersabda: “Seorang perempuan (boleh)
19
Ayat ini menunjukkan kesucian 'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang
ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka pastilah wanita yang
baik pula yang menjadi istri beliau. Lihat Q.S an-Nu>r [24] ayat 26
20
Q.S al-Baqarah: 221
33

dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena


keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya.
Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan
memelihara tanganmu”.(HR. Bukhāri). 21

ْ ُ‫اتِ ُم بْن‬44‫ َّدثَنا َ َح‬4‫ق ْالبَ ْل ِخ ُّي َح‬


‫ ِد هللاِ ب ِْن‬4‫ َما ِع ْي َل ع َْن َع ْب‬4 ‫إس‬ 4ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َح ّم ُد بْنُ َع ْم ٍرو ال َّسوّا‬

ّ :‫ا َل‬44َ‫ا تِ ٍم ق‬44‫ َز ع َْن أَبِى َح‬4‫لِ ِم ْب ِن هُرْ ُم‬4 ‫ُم ْس‬
‫ا ُك ْم َم ْن‬44َ‫ا َل اِ َذا اَت‬44َ‫وْ َل هللا (ص) ق‬4 ‫ان َر ُس‬

4‫ قَالُوا‬.ٌ‫ض َوفَ َسا ٌد َكبِ ْير‬ ْ


ِ ْ‫ إِالَّ تَ ْف َعلُوْ ا تَ ُك ْن فِ ْتنَةٌ فِى األر‬.ُ‫ضوْ نَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَا ْن ِكحُوْ ه‬
َ ْ‫تَر‬

ُ‫ه‬4َ‫هُ َو ُخلُق‬4َ‫وْ نَ ِد ْين‬4‫ض‬


َ ْ‫ ا َء ُك ْم َم ْن تَر‬4‫ا َل اِ َذا َج‬44َ‫؟ ق‬...........‫ ِه‬4‫ان فِ ْي‬44‫ل هللا َواِ ْن َك‬4َ ْ‫يَا َرسُو‬:

.)‫ت (رواه الترميذى بسند حسن‬ َ ‫فَا ْن ِكحُوْ هُ _ ثَاَل‬


ٍ ‫ث َمرّا‬

Artinya: jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya


kamu sukai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak berbuat
demikian, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang hebat di
atas bumi.Para sahabat bertanya:”ya Rasulallah, kalau
terdapat padanya…..?”. Rasul menukas:“ apabila datang
kepadamu orang yang kamu sukai agamanya dan akhlaknya,
maka kawinkanlah dia”, demikian kata Rasul sampai tiga
kali”.22

ْ َ‫ع َْن عَا ئِ َشةَ قَا ل‬ ‫ إِلَ ْي ِه ْم‬4‫ َوأَ ْن ِكحُوا‬،‫ اأْل َ ْكفَا َء‬4‫ َوا ْن ِكحُوا‬،‫ لِنُطَفِ ُك ْم‬4‫تَخَ يَّرُوا‬
َ ‫ قَال َرس‬:‫ت‬
‫ُول‬
‫هللا‬

Artinya: "Pilihlah (tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-

orang yang sepadan, dan nikahkanlah (wanita) dengan

orang-orang yang sepadan."23

C. Urgensi Kafā`ah dalam Mewujudkan KeluargaSaki>nah

21
Abī Abdillāh Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhim bin al-Muġīrah al-Bukhāri al-Ja’fiy,
Şahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 445.
22
Muhammad Fuad, Fiqih Wanita Lengkap, (Jombang: Lintas Media, 2007), 396. Lihat
juga Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I..., 221
23
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: da>r al-Fikr, 1995), 618
34

Adanya kafā`ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk

menghindarkan terjadinya krisis dalam rumah tangga. Keberadaannya

dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan

adanya kafā`ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu

mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafā`ah,

seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan

mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan, maupun hal yang

lainnya.24

Tidak diragukan lagi jika kedudukan calon mempelai laki-laki dengan

calon mempelai perempuan sebanding, karena sebanding atau kafā`ah dalam

perkawinan merupakan salah satu faktor yang mendorong terwujudnya

kebahagiaan hidup berumah tangga dan lebih menjamin keselamatan bagi

perempuan dari kegagalan dan kegoncangan dalam rumah tangga terutama

bagi istri.25

Kafā`ah antara calon suami dan istri adalah upaya untuk mewujudkan

keluarga yang sakīnah dan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam

perkawinan.26 Istri merupakan salah satu faktor penentu utama karena istri

adalah penenang bagi suaminya, teman hidupnya, ibu dari anak-anaknya,

24
Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar
supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidak cocokan.
Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya
akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses
mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan soal pilihan jodoh sendiri
merupakan setengah dari suksesnya perkawinan. Lihat Nasarudin Latif, Ilmu Perkawinan:
Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 19
25
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Toha Putra, 1993), 76
26
Ibnu Mas`ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi`i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
261
35

tempat belajar bagi anak-anaknya serta tempat mereka mendapatkan berbagai

nilai-nilai ajaran agamanya.27

Sakīnah berasal dari bahasa Arab ‫ سكن‬yang secara harfiah berarti diam

atau tidak bereaksi.28 Kata ini mengandung makna ketenangan atau antonim

dari kegoncangan dan pergerakan.29

Dalam al-Qur`ān kata ini menandakan ketenangan dan kedamaian secara

husus yaitu kedamaian dari Allah Swt yang dihujamkan di dalam qalbu. Istilah

sakīnah yang digambarkan di dalam al-Qur`ān surat al-Rūm ayat 21 ini dalam

konteks keluarga yang utuh. Habib al-Mawardi al-Basri menafsirka term

“litaskunu> ilaiha>” pada ayat di atas dengan “litasna`u> ilaiha>” yang

berarti agar kalian menjadi jinak/ramah/senang. Secara implisit al-Mawardi

menyatakan bahwa tujuan diciptakannya manusia dengan berpasang-pasangan

adalah agar menjadi senang, ramah dan jinak. Dengan kata lain, masing-

masing anggota keluarga tidak merasakan adanya gejolak yang dapat

meresahkan jiwa atau bisa dikatakan keluarga yang harmonis dan stabil.30

Al-Qur`ān mengungkapkan hubungan suami istri melalui surat al-

Baqarah ayat 187, yaitu:

     


“mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian

bagi mereka.”31
27
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, (Bandung: PT Al-Maarif, 1987),
Jilid-6, 28
28
Kadar M Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), 237.
29
M Quraish Shihab, Perempuan; dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut`ah sampai
Nikah Sunnah dari Bias lama sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2010) cet-VI, 152
30
M Quraish Shihab, Perempuan; dari Cinta…,151-152
31
Dengan segala kandungan makna liba>s (pakaian), yang diantaranya bermakna
menutupi, melindungi, menghangatkan, menghiasi (perhiasan), yang saling diberikan oleh masing-
masing pihak kepada pihak lain (suami dan istri). QS Al-Baqarah: 187. Lihat M Ali Hasan,
36

Ayat ini menjelaskan fungsi istri terhadap suaminya dan fungsi suami

terhadap istrinya. Masing-masing suami dan istri digambarkan bagaikan

pakaian bagi pasangannya. Ada dua fungsi pakaian bagi manusia, yaitu

memberikan perlindungan bagi yang memakainya sehingga dia merasa

nyaman dan tenteram, dan fungsi kedua adalah memberikan keindahan bagi

pemakainya. Jika masing-masing suami dan istri sudah memfungsikan dirinya

bagi pasangannya dengan dua fungsi tersebut, maka akan terasa kedamaian

dalam kehidupan berkeluarga dan terbentuklah keluarga yang sakīnah.32

Menurut M Ali Hasan dalam bukunya “Pedoman Hidup Berumah

Tangga dalam Islam”, mengatakan bahwa memang dalam masyarakat

adakalanya suami dan istri mengungkit-ngungkit mengenai status sosial, asal

keturunan dan sebagainya yang mengakibatkan suami atau istri tersinggung

dan merasa terhina. Sebagai akibat lebih lanjutnya dapat menjurus kepada

perceraian. Andaipun tidak terjadi perceraian, sudah dapat dibayangkan bahwa

antara suami dan istri itu ada yang jiwanya tertekan, dan dampak lebih

lanjutnya bermuara kepada anak dan keluarga lainnya.33

Seharusnya tentang kafā’ah/kufu` ini setara (persamaan derajat) dalam

semua aspek baik itu di bidang sosial, pendidikan, ekonomi, dan keturunan,

agar selalu menimbulkan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun

walaupun demikian, tergantung kepada perempuan dan walinya, apabila

mereka sama-sama ridha dan menerima maka pernikahannya tetap sah asalkan

Pedoman Hidup Berumah Tangga, 275


32
M Kadar Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, 75
33
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 35
37

sesama muslim walau tanpa adanya kafā’ah. Atas dasar inilah kafā’ah tidak

mencakup semua aspek melainkan hanya pada agama saja.34

Dalam masalah memilih jodoh hendaklah yang diprioritaskan adalah

agama dan akhlak sebelum aspek-aspek lainnya. Aspek yang dikehendaki

suami dari istrinya atau sebaliknya istri dari suaminya ada banyak, di antanya

harta, kecantikan, usia, wawasan, nasab dan kehormatan. Pada umumnya

mustahil jika semua aspek tersebut dapat terpenuhi.

Oleh karenanya perlu mengesampingkan sebagian untuk meraih

sebagian lainnya. Aspek-aspek yang harus diprioritaskan terlebih dahulu

adalah agama dan akhlak. Keduanya adalah sifat yang penting dalam menjaga

cinta, kelangsungan dan kebahagiaan dalam menjalani hidup berumah

tangga.35

Setelah agama dan akhlak, kehormatan dan nasab menjadi hal yang

penting untuk dipertimbangkan, karena keduanya menunjukkan asal yang

bagus. Nasab dan kehormatan adalah dua penunjuk bagi perilaku manusia dan

pembangun tradisi dan adat yang mengatur kehidupan manusia. Keduanya

merupakan unsur yang paling tetap dalam kehidupan manusia setelah agama

dan akhlak.36

D. Kriteria/Ukuran Kafā`ah

Diantara tujuan pernikahan yang utama ialah untuk memuliakan anak-

anak. Sehingga dengan demikian sepatutnya suami dan istri adalah orang yang

34
Mudhofar Badri dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren (Yogyakarta:
Yayasan kesejahteraan Fatayat, 2002), 114
35
Ahmad Al-Hajjiy Al-Kurdiy, Fiqih Wanita; Perempuan dalam Pandangan Syari’at
Islam, (Solo: Abyan, 2013), 320
36
Ahmad Al-Hajjiy Al-Kurdiy, Fiqih Wanita; Perempuan…, 321
38

baik. Islam tidak membuat aturan tentang kafā`ah, tetapi manusialah yang

menetapkannya, karena itulah mereka berbeda pendapat mengenai hukum

kafā`ah.37

Tidak dapat disangkal bahwa terdapat pengaruh yang cukup besar dari

garis keturunan seseorang kepada anak cucunya karena gen menurun, yakni

dapat diwariskan. Sedangkan setiap orang tentu saja mendambakan keturunan

yang lahir dari hasil perpaduan antara suami-istri yang memiliki garis

keturunan yang baik-baik agar anak-anak mereka menjadi anak yang baik-

baik, cerdas dan juga tampan.38

Adapun kriteria/ukuran dalam memilih istri itu ada empat, yaitu:

kecantikan, kekayaan, dari keturunan yang mulia dan beragama. Sebagaimana

hadis Rasulullah Saw:

‫ ِه ع َْن اَبِى‬4‫ ِعيد ع َْن اَبِ ْي‬4‫ابن ابى َس‬


ِ ‫ ِعيد‬4‫ ّدثَنِى َس‬4‫ا َل َح‬44َ‫َح َّدثَنا َ ُم َس َّدد َح َّدثَنا َ يَح ْي َى ع َْن ُعبَ ْي ِد هللا ق‬
ْ 4َ‫ ف‬4‫ ِد ْينِهَا‬4ِ‫ ول‬4‫ا‬4َ‫ ولِ َج َمالِه‬4‫بِهَا‬4‫ه َُري َرةَ عَن النّبى قَا َل تُ ْن َك ُح المرأَةُ أِل َرْ بَع لِ َمالِهَا ولِ َح َس‬
ِ ‫ َذا‬4ِ‫اظفَرْ ب‬4
‫ت‬
39 ْ َ‫ال ّديْن ت َِرب‬
(‫ (رواه البخارى‬.‫ت يَ َداك‬

Artinya: Menceritakan kepada kami Musaddad menceritakan kepada kami


Yahya dari ‘Ubaidillah berkata : menceritakan kepadaku Sa’id bin
Abi Sa’id dari Bapaknya dari Abī Hurairah dari Nabi SAW. Beliau
bersabda : “Seorang perempuan (boleh) dinikahi karena empat hal:
karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan
karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka
akan memelihara tanganmu”. (HR. Bukhāri)

37
Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, 15
38
M Quraish Shihab, Perempuan; dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut`ah sampai
Nikah Sunnah dari Bias lama sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2010) cet-VI, 348
39
Abī Abdillāh Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhim bin al-Muġīrah al-Bukhāri al-Ja’fiy,
Şahīh al-Bukhārī,(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 445.
39

Perbedaan kriteria/ukuran untuk menetukan seorang laki-laki itu

sederajat atau sepadan dengan seorang perempuan atau sebaliknya, ini

disebabkan kadar intelektual, latar belakang kondisi di mana mujtahid itu

hidup, dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai kriteria/ukuran

kafā`ah.40

Para ulama fiqih telah memerinci kriteria/ukuran kafā`ah sebagai

berikut:

a. Nasab (keturunan)

Maksud nasab di sini adalah asal usul atau keturunan seseorang yaitu

keberadaan seseorang berkenaan dengan latar belakang keluarganya baik

menyangkut kesukuan, kebudayaan maupun status sosialnya. Dalam unsur

nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan `Ajam, kedua

golongan Arab. Allah Swt telah melebihkan suku quraisy di atas suku-

suku yang lainnya sesuai dalam hadis di bawah ini:

‫اعيْل واصْ طَفى من ِكنا نَ ِة‬


ِ ‫ان هللا اصْ طَفى ِكنَانَةَ من بَنِي اس َم‬
ّ :‫م قَال‬.‫ُول هللا ص‬ ّ
4َ ‫أن َرس‬

ٍ ‫قُ َر ْي ًشا و اصْ طَفى من قُ َر ْي‬


ِ ‫ش بَنِي ها َ ِشم فأنا ِخيَا ُر ِمن ِخ‬
.)‫ (رواه مسلم‬.‫يار‬

Artinya; Nabi Muhammad Saw bersabda: Sesungguhnya Allah


memuliakan kinanah di atas bani ismail dan memuliakan quraisy
di atas kinanah dan memuliakan bani hasyim di atas bani quraisy
dan memuliakan Aku di atas bani hasyim, jadi Akulah yang
terbaik di atas terbaik. (H.R Muslim).41
Dalam hadis di atas bahwa suku quraisy selalu menjaga dan

melestarikan keturunannya, mereka menginginkan agar selalu dihormati

40
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2000), 350
41
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 42
40

oleh suku-suku lain. Bangsa Arab sudah sejak dahulu selalu menjaga

keturunannya dan ia merasa berbangga dengan keturunan tersebut.

Tidaklah dinamakan sekufu` perkawinan orang bangsawan Arab

dengan rakyat jelata atau sebaliknya, dan seorang yang berasal dari

keturunan zina tidak sepadan menikah dengan seseorang yang berasal dari

keturunan jalan nikah yang sah.42

Rasulullah Saw bersabda:

َ 4‫لَّ َم اَ ْل َع‬4‫ ِه َو َس‬4‫لَّى اهللاِ َعلَي‬4‫ص‬


ُ‫رب‬4 َ ِ‫وْ ُل اهللا‬4‫قَا َل َر ُس‬: ‫ضي اهللاُ َع ْنهُ َما قَا َل‬
ِ ‫َع ِن اب ِْن ُع َم َر َر‬

‫ا (رواه‬44‫ا أَو َحجَّا ًم‬44‫ْض قَبِ ْيلَة ٍ لِقَبِيلَ ٍة َو َح ّي لِحّي َو َر ُج ٌل لِ َرج ٍُل إِاَّل َحائِ ًك‬ ُ ‫أَ ْكفَا ُء بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬

)‫الحاكم عن ابن عمر‬

Artinya: dari Ibnu Umar Ra beliau berkata: rasulullah Saw bersabda:


orang Arab adalah kufu` orang Arab, Quraish adalah kufu` bagi
orang quraish. Satu kabilah untuk kabilah, kabilah hay untuk
hay, seorang untuk seorang, kecuali tukang tenun dan tukang
cantuk. (H.R Al-Hakim dari Ibnu Umar).43

Menurut Mazhab Syafi`i bahwa nasab di sini mempunyai arti sesuai

dengan adat kebiasaan setempat (`urf). Artinya pengklasifikasian di sini

dihubungkan dengan kemajuan di bidang kebudayaan dan ilmu

pengetahuan. Orang quraish dianggap lebih tinggi dari suku lain karena

suku inilah waktu itu yang mempunyai kebudayaan yang lebih tinggi.44

Dalam menempatkan nasab atau kebangsaan sebagai kriteria kafā`ah

ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menempatkan nasab atau

42
Ibnu Mas`ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi`i, 264. Lihat juga Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 39
43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 41
44
Yang menjadi alasan orang Arab lebih mulia dari non-Arab adalah karena Nabi
Muhammad berasal dari Arab dan karena al-Qur`an diturunkan dalam bahasa mereka (Arab).
Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I…, 228
41

kebangsaan sebagai kriteria dalam kafā`ah. Sebagian ulama lainnya tidak

menempatkan nasab atau kebangsaan sebagai kriteria kafā`ah. Mereka

berpedoman kepada kenyataan banyaknya terjadi perkawinan antar bangsa

di waktu Nabi masih hidup dan Nabi tidak mempersoalkannya.45 Di

antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i yang

berbunyi:

ُ‫والَه‬44‫د َم‬44‫امةَ بْن َز ْي‬4‫س ان ت ْن ِك َح أُ َس‬ ِ ‫ةَ بِ ْن‬4‫ ل هللا صلى هللا عليه وسلم فَا ِطم‬4‫أَ َم َر َر ُسو‬
ٍ ‫ت قَ ْي‬

.)‫فَن َك َحهَا بِإمره (رواه احمد‬

Artinya: Nabi Muhammad Saw menyuruh Fatimah binti Qais untuk kawin

dengan Usamah bin Zaid, hamba sahaya Nabi, maka Usamah

mengawini perempuan itu dengan suruhan Nabi tersebut. (H.R

Ahmad).46

Menurut Sayyid Sabiq, dalam hal keturunan ini tidak terjadi

perbedaan pendapat antara kalangan madzhab Syafi`i dan mazhab Hanafi.

Namun terjadi perbedaan di antara mereka dalam menilai keunggulan yang

terdapat dalam suku quraisy sendiri. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa

suku quraisy sebanding dengan suku hasyim. Akan tetapi mazhab Syafi`i

berpendapat bahwa suku hasyim dan suku muttalib tidak sebanding

dengan suku quraisy.47

Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafā`ah maka orang

‘Ajam dianggap tidak sekufu’dengan orang Arab baik dari suku quraisy

45
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 143
46
Imam Nasa`i, Al-Sunan Al-Kubra Li Al-Nasa`i, Al-Maktabah Al-Syamilah, (http://.al-
islam.com) juz III, 266
47
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 42
42

maupun suku selain quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku

quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku

quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan bani

hasyim dan bani muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang

berasal dari keturunan yang sama, tidak yang lainnya.

b. Agama

Yang dimaksud kafā`ah agama adalah keislaman pihak keluarga

masing-masing, bukan antara calon suami dan istri. Jika seorang

perempuan mempunyai ayah, kakek dan seterusnya ke atas yang sejak

awal telah beragama Islam, maka dia tidak kafā`ah dengan laki-laki yang

keislaman keturunannya masih baru, atau ayah dan kakeknya bukan

beragama Islam. Kitab-kitab fiqih biasanya menjadikan unsur ini husus

untuk kaum muslimin non-Arab, karena unsur “lebih dahulu masuk Islam”

menjadi suatu kebanggaan di kalangan muslimin non-Arab.48

Unsur keagamaan lainnya yang termasuk penilaian kafā`ah adalah

tentang keistiqamahan seseorang dan kesalehannya. Perempuan salehah

dan istiqamah tidak sebanding dengan laki-laki yang fasik.49

Sebagaimana firman Allah Swt:

         


Artinya: Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang

yang fasik? mereka tidak sama.50

48
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 39
49
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 40
50
QS al-Sajdah [32]: 18
43

Semua ulama fiqih (Hanafiyah, Syafi`iyah, Malikiyah, Hanabilah)

sepakat memasukkan agama dalam ukuran kafā`ah yang paling esensial.

Penempatan agama sebagai unsur kafā`ah tidak ada perselisihan

dikalangan Ulama. Hal ini dikarenakan Islam menjadi syarat sah dalam

melangsungkan pernikahan. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan

dan istiqomah. Mengenai kafā`ah dalam agama, laki-laki harus sama

dengan perempuan dalam kesucian dan istiqomah. Apabila si laki-laki

fasik pezina, maka ia tidak kufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun

laki-laki tersebut telah bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh, karena

taubat dari zina tidak menghapus nama buruk. Apabila laki-laki fasik

selain fasik zina, seperti peminum khamar dan pendusta kemudian

bertaubat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqomah.51

Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

‫لِ ِم‬4 ‫ ِد هللاِ ب ِْن ُم ْس‬4 ‫اعي َْل ع َْن َع ْب‬ ْ ُ‫ق ْالبَ ْل ِخ ُّي َح َّدثَنا َ َحاتِ ُم بْن‬
ِ ‫ َم‬4 ‫إس‬ 4ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َح ّم ُد بْنُ َع ْم ٍرو ال َّسوّا‬

َ ْ‫ا ُك ْم َم ْن تَر‬44َ‫ا َل اِ َذا اَت‬44َ‫ان َرسُوْ َل هللا (ص) ق‬


ُ‫ه‬4َ‫وْ نَ ِد ْين‬4‫ض‬ َ َ‫ْب ِن هُرْ ُم َز ع َْن أَبِى َحا تِ ٍم ق‬
ّ :‫ال‬

َ َ‫ي‬: ‫الُوا‬44َ‫ ق‬.ٌ‫ض َوفَ َسا ٌد َكبِ ْير‬ ْ


‫ل هللا َواِ ْن‬4َ ْ‫و‬4‫ار ُس‬ ِ ْ‫ إِالَّ تَ ْف َعلُوْ ا تَ ُك ْن فِ ْتنَةٌ فِى األر‬.ُ‫َو ُخلُقَهُ فَا ْن ِكحُوْ ه‬

‫ت‬ َ ‫ا ْن ِكحُوْ هُ _ ثَاَل‬44َ‫هُ ف‬4َ‫هُ َو ُخلُق‬4َ‫وْ نَ ِد ْين‬4‫ض‬


ٍ ‫ رّا‬4‫ث َم‬ َ ْ‫ ا َء ُك ْم َم ْن تَر‬4‫؟ قَا َل اِ َذا َج‬...........‫َكان فِ ْي ِه‬

.)‫ بسند حسن‬4‫(رواه الترميذى‬

Artinya: jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu
sukai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak berbuat demikian,
akan terjadi fitnah dan kerusakan yang hebat di atas bumi.Para
sahabat bertanya:”ya Rasulallah, kalau terdapat padanya…..?”.
Rasul menukas: “ apabila datang kepadamu orang yang kamu

51
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis kafā`ah Syarifah,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 50
44

sukai agamanya dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia”,


demikian kata Rasul sampai tiga kali”.52

Dalam hadis ini, khitabnya ditujukan kepada para wali agar mereka

mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya kepada laki-laki

peminangnya yang beragama, amanah, dan berakhlak. Jika mereka tidak

mau mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih

laki-laki yang tinggi keturunannya, kedudukannya, punya kebesaran dan

harta, berarti akan mengakibatkan fitnah dan kerusakan tak ada hentinya

bagi laki-laki tersebut.53

c. Merdeka

Kemerdekaan dihubungkan dengan keadaan orang tuanya, sehingga

seorang anak yang hanya bapaknya yang merdeka, tidak kufu’ dengan

orang yang kedua orang tuanya merdeka. Begitu pula seorang laki-laki

yang neneknya pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan

yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab perempuan merdeka

jika dikawinkan dengan laki-laki yang dipandang tercela. Sama halnya jika

dikawinkan dengan laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi

budak.54

Jumhur ulama selain maliki sepakat memasukkan merdeka dalam

ukuran/kriteria kafā`ah. Berdasarkan firman Allah Swt:

           
            
    
52
Muhammad Fuad, Fiqih Wanita Lengkap, (Jombang: Lintas Media, 2007), 396. Lihat
juga Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I…, 221
53
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 39
54
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 44
45

Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya


yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun
dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia
menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara
terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya
bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.55

d. Pekerjaan

Jumhur ulama selain Maliki sepakat memasukkan pekerjaan

(h}irfah) dalam ukuran kafā`ah. Seorang perempuan dan suatu keluarga

yang pekerjaannya terhormat tidak kufu` dengan laki-laki yang

pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan

tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidak dianggap ada

perbedaan. Adapun untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau

kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Penilaian

mulia atau tidaknya suatu pekerjaan atau profesi dikembalikan kepada `urf

(tradisi) setempat.56

Rasulullah Saw bersabda:

َ 4‫لَّ َم اَ ْل َع‬4‫ ِه َو َس‬4‫لَّى اهللاِ َعلَي‬4‫ص‬


ُ‫رب‬4 َ ِ‫وْ ُل اهللا‬4‫قَا َل َر ُس‬: ‫ضي اهللاُ َع ْنهُ َما قَا َل‬
ِ ‫َع ِن اب ِْن ُع َم َر َر‬

‫ا (رواه‬44‫ا أَو َحجَّا ًم‬44‫ْض قَبِ ْيلَة ٍ لِقَبِيلَ ٍة َو َح ّي لِحّي َو َر ُج ٌل لِ َرج ٍُل إِاَّل َحائِ ًك‬ ُ ‫أَ ْكفَا ُء بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬

)‫الحاكم عن ابن عمر‬

Artinya: dari Ibnu Umar Ra beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda:


orang Arab adalah kufu orang Arab, quraish adalah kufu bagi
orang quraish. Satu kabilah untuk kabilah, kabilah hay untuk

55
Maksud dari perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang
menyamakan Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya. QS an-Nahl
[16]: 75
56
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 45. Lihat juga Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 39. Dan Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I…, 226
46

hay, seorang untuk seorang, kecuali tukang tenun dan tukang


cantuk. (H.R Al-Hakim dari Ibnu Umar).57

Hadis di atas menjelaskan bahwa pekerjaan terhormat sekufu`

dengan pekerjaan terhormat. Karena orang-orang yang mempunyai

pekerjaan terhormat, menganggap sebagai suatu kekurangan jika anak

perempuan mereka dijodohkan dengan laki-laki yang pekerja kasar seperti

tukang bekam, penyamak kulit, tukang sapu dan kuli. Karena kebiasaan

masyarakat memandang pekerjaan tersebut demikian, sehingga seakan-

akan hal ini menunjukkkan kurang di dalam hal nasab. Sedangkan

menurut Imam Malik bahwa tidak ada perbedaan antara harta dan

pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai takdir Allah Swt. Pekerjaan

bagi golongan malikiyyah merupakan hal yang biasa dan tidak perlu

dimasukkan dalam ukuran kafā`ah.58

e. Kekayaan/harta

Mengenai unsur kekayaan, di kalangan ulama Mazhab Syafi`i terjadi

perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa orang miskin tidak

sebanding dengan orang kaya dalam hal perkawinan, disebabkan biaya

hidup orang miskin dan kebiasaan mereka berbeda dengan biaya hidup dan

kebiasaan orang kaya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa kekayaan

tidak termasuk unsur penilaian kafā`ah karena kekayaan tersebut bisa saja

didapat setelah perkawinan.59

57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 41
58
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 45-46
59
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 39
47

Adapun alasan golongan yang menjadikan kekayaan sebagai ukuran

kufu` ialah sabda Rasulullah Saw:

‫ قَا َل اَ ْل َح َسبُ ْال َما ُل َو ْال َك َر ُم التَّ ْق َوى‬.‫ص‬. ِ‫اَ َّن َرسُوْ َل هللا‬

Artinya: Kebangsawanan adalah pada kekayaan dan kemuliaan pada

takwa.”60

Bagi kalangan mazhab Hanafi, menganaggap masalah kekayaan

menjadi unsur penilaian dalam kafā`ah. Dan ukuran kekayaan di sini yaitu

memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah. Bagi orang yang tidak

memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah atau salah satu di

antaranya, maka dianggap tidak kufu`. Dan yang dimaksud dengan

kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah uang yang dapat

dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.61

Menurut Abu Yusuf yang dikutip Oleh Khoiruddin Nasution,

mengatakan selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-

kebutuhan yang mendesak, dan mampu memberikan nafkah dari satu hari

ke hari berikutnya, tanpa harus mampu membayar mahar, masih tetap

termasuk kualifikasi yang mempunyai kafā`ah walaupun istrinya

mempunyai harta yang banyak. Alasannya ialah kemampuan membayar

nafkah itulah yang lebih penting untuk menjamin kehidupan mereka kelak

dalam menjalani rumah tangga. Sedangkan mahar bisa dibayar oleh siapa

60
Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Al-Maktabah Al-Syamilah (http://.al-islam.com)
Juz II, 37. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 46
61
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 46
48

saja di antara keluarga yang mempunyai kemampuan, misalnya bapak,

kakek atau siapapun.62

Masyarakat juga menganggap kefakiran sebagai kekurangan, dan

menganggap kekayaan merupakan suatu kehormatan sebagaimana halnya

keturunan, bahkan nilainya lebih tinggi.63 Oleh sebab itu masalah

kekayaan juga sangat penting diperhatikan sebelum perkawinan untuk

keharmonisan dalam rumah tangga.

f. Tidak cacat

Syafi`iyyah dan malikiyyah menganggap tidak cacatnya seseorang

sebagai ukuran kafā`ah. Orang cacat yang memungkinkan seorang istri

menuntut fasakh dianggap tidak sekufu` dengan orang yang tidak cacat,

meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh tetapi yang sekiranya akan

membuat orang tidak senang mendekatinya.64 Hal tersebut berbeda dengan

ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mereka tidak menganggap bersih dari

cacat sebagi ukuran kafā`ah dalam perkawinan.65

g. Ilmu pengetahuan

Ulama syafi`iyyah juga menganggap tidak sekufu` perkawinan

antara orang yang taat dan alim dalam masalah agama dengan orang yang

tidak mengenal agama sama sekali. Dan begitu juga perkawinan antara

orang yang berpengetahuan tinggi dan orang yang buta huruf.66


62
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I…, 224-225
63
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 47
64
Hal ini dijadikan unsur penilaian kafā`ah jika perempuan tersebut merasa terganggu
dengan cacat jasmani tersebut (misalnya buta, pincang, dan bisu). Lihat Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 40
65
Abdul Rahman ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013),
cet-5, 100. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 47
66
Ibnu Mas`ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi`i, 264-265
49

Berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Zumar ayat 9:

       


Artinya: Katakanlah (hai Muhammad): "Adakah sama orang-orang yang

mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S

Al-Zumar: 9)67

E. Hak atas Kafā`ah

Fuqaha sepakat bahwa kafā`ah adalah hak perempuan dan walinya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya “Al-

Fiqh al-Isla>m Wa Adillatuhu”:

‫ير كفئ‬44‫اتفق الفقهاء على أن الكفاءة حق لكل من المرأة وأوليا ئها فإذا تزوجت المرأة بغ‬
68
.‫ الولى بغير كفء كان لها ايضا الفسخ‬4‫ وإذا زوجها‬. ‫كان ألوليا ئها حق طلب الفسخ‬

Kufu` (persamaan tingkat) itu adalah hak perempuan dan walinya,

keduanya boleh melanggarnya dengan keridhaan bersama. Menurut pendapat

yang lebih kuat, dilihat dari alasannya, kufu` itu hanya berlaku mengenai

keagamaan, baik mengenai pokok agama seperti Islam dan bukan Islam,

maupun kesempurnaannya seperti orang yang baik (taat) tidak sederajat

dengan orang yang jahat atau orang yang tidak taat.69

Yang berhak atas kafā`ah adalah wanita dan yang berkewajiban harus

kafā`ah adalah laki-laki. Kafā`ah ini adalah masalah yang harus

dipertimbangkan dalam melangsungkan suatu perkawinan namun bukan untuk

67
QS Al-Zumar: 9
68
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6744
69
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), 391
50

sahnya suatu perkawinan. Kafā`ah ini adalah haknya perempuan dan walinya,

oleh karena itu keduanya berhak menggugurkan kafā`ah.70

Kafā`ah pada dasarnya hanya ditujukan kepada calon suami, bukan

kepada calon istri. Karena sejak semula seorang laki-laki telah diberi hak

untuk memilih jodohnya. Pihak perempuan tidak diberi hak untuk melakukan

penilaian dari segi kafā`ah atau tidaknya calon suami, karena mereka bukanlah

pihak yang aktif dalam mencari jodoh. Menurut jumhur ulama, kafā`ah juga

termasuk hak dari wali perempuan, sehingga seorang wali tidak dibenarkan

untuk menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang tidak

sebanding dengannya. Tugas wali adalah berusaha secara maksimal untuk

kemaslahatan orang yang berada di bawah perwaliannya, yang salah satu di

antaranya adalah dalam mencarikan jodoh.71

Pada dasarnya, hak untuk menentukan pilihan (jodoh) antara laki-laki

dan perempuan itu sama saja. Artinya perempuan itu mempunyai kesenangan

dan kecintaan terhadap laki-laki sebagaimana laki-laki juga mempunyai

kesenangan/kecintaan terhadap perempuan. Jadi secara rasional apa yang

dicari oleh laki-laki itu sebenarnya juga dicari oleh perempuan. Misalnya saja

dalam hal kecantikan, kalau laki-laki sangat mendambakan perempuan yang

cantik, maka bagi perempuan pun demikian halnya. Ini adalah logis karena

memang merupakan tuntutan biologis. Namun bagi perempuan hak itu hilang

dengan adanya hak ijbar bagi wali.72

F. Waktu Berlakunya Kafā`ah


70
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Toha Putra, 1993), 79
71
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 40
72
Mudafar Badri Dkk, Panduan Pengajaran Fiqih…, 110
51

Masalah kafā`ah ini berlaku pada saat terjadi akad, dalam pengertian,

jika terdapat berbeda sifat dan identitas yang dikemukakan sebelumnya

dengan yang didapati ketika akad, maka hal ini boleh dipermasalahkan. Tetapi

kalau penilaian kafā`ah tersebut dilakukan setelah terjadi akad, maka akadnya

tidak dapat dibatalkan.73

Waktu yang ditetapkan untuk menetapkan apakah calon mempelai telah

kafā`ah ialah waktu akan dilaksanakannya akad nikah. Apabila keadaannya

berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad, karena

syarat akad diteliti pada waktu akad.74

Di dalam Fiqih Sunnah dijelaskan waktu yang ditetapkan untuk

menentukan apakah calon mempelai telah kufu` atau belum itu letaknya pada

waktu akan dilaksanakannya akad nikah. Apabila akad nikah telah

dilaksanakan dan telah terbukti bahwa calon mempelai telah sejodoh, maka

perkawinan itu telah sah dan tidak dapat diganggu gugat tentang kesalahan

dengan alasan tidak kufu`.75

Menurut Khoiruddin Nasution dalam bukunya “Hukum Perkawinan I”

mengatakan bahwa waktu peninjauan untuk mengetahui terpenuhi atau

tidaknya unsur kafā`ah adalah ketika melakukan akad nikah, dan yang berhak

menentukan adalah calon mempelai perempuan dan walinya. Sehingga jika

ada orang lain selain calon dan walinya yang menilai seseorang tidak kafā`ah,

maka penilaiannya tidak diperhitungkan. Menurut pendapat yang kuat, hak

pembatalan itu hilang jika si istri sudah hamil. Sebab jika sudah hamil lalu
73
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 40
74
Al-hamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, 25
75
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 49-50
52

perkawinannya dibatalkan dihawatirkan akan membawa kesusahan, baik

kepada si anak yang ada dalam kandungan maupun orang tuanya.76

G. Hubungan Kafā`ah dengan hak Ijbar Nikah

Persoalan kafā`ah sangat terkait erat dengan otoritas ijbar yang dimiliki

oleh setiap orang tua/wali yang bersangkutan. Terlaksana atau tidaknya suatu

perkawinan tidak terlepas dari peran wali tersebut.

Kata ijbar menurut bahasa berarti: “al-Qahru (memaksa), al-Ilza>mu

(pemaksaan). Sedang menurut istilah ijbar yaitu “hak memilih dan

menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa calon suaminya”. Dalam

pengertian fiqih bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan

tanpa memerlukan persetujuan dari yang bersangkutan.77

Menurut Imam Syafi`i orang yang mempunyai hak ijbar nikah adalah

ayah atau walinya. Makna ijbar dimaksudkan adanya keluasan seorang ayah

terhadap anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki bukanlah suatu

pemaksaan kehendak sendiri. Seorang ayah hanya bertanggung jawab dengan

asumsi dasar anak perempuannya belum mampu untuk bertindak sendiri.78

Apabila wali yang lebih dekat kepada seorang wanita menikahkannya

dengan laki-laki tidak sekufu atas restu wanita itu sendiri, maka para wali

lainnya tidak berhak untuk menolak pernikahan ini, karena mereka tidak

memiliki hak perwalian selama wali tadi masih ada, dan menikahkan dengan

76
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, 230
77
Jika perempuan yang dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sekufu tanpa ridhanya
dan ridha para walinya, ada yang menganggap perkawinannya batal dan ada juga yang
menganggap sah. Lihat Mudafar Badri Dkk, Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren,
(Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat (ykf), 2002), 110. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 49
78
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet-1, 80
53

yang tidak sekufu` bukanlah perkara haram tapi sekedar merugikan wanita

yang dinikahkan.79

Boleh bagi wali (bapak/kakek) menikahkan anak perawannya apabila

pernikahan itu menguntungkannya atau tidak merugikan dirinya. Namun tidak

diperbolehkan apabila pernikahan itu merugikan dirinya atau berdampak

negatif baginya. Apabila seorang bapak menikahkan anak perempuannya

dengan budak miliknya atau milik orang lain, maka pernikahan ini tidak

diperbolehkan, sebab budak tidak sekufu` (tidak sepadan) dengannya dan hal

ini menimbulkan kerugian bagi wanita yang dinikahkan. begitu pula

hukumnya apabila bapak menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki

tidak sekufu`, karena hal ini juga membawa kerugian pada diri anak tersebut.

Jika bapak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang sekufu`

(sepadan) namun ia menderita penyakit yang bisa menimbulkan khiyar seperti

kusta, belang, atau gila, maka pernikahan inipun tidak diperbolehkan.80

Syarat perempuan yang boleh diijbar harus masih gadis, dalam arti

belum cukup dewasa untuk mengerti bagaimana sebaiknya hidup dalam

berumah tangga. Sedangkan perempuan yang sudah dewasa atau sudah

merasakan pernikahan (janda) tidak boleh diijbarkan.81

Adapun dasar kebolehan bapak/kakek menikahkan tanpa persetujuan

dari perempuan yang akan dinikahkan adalah hadis Nabi Saw yang berbunyi:

79
Imam Syafi`i abu Abdullah bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, Terj; Imron Rosadi,
(Jakarta: pustaka Azzam, 2010), 441
80
Imam Syafi`i Abu Abdullah bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, Terj; Imron Rosadi,
444
81
Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2000), 99
54

)‫ أَبُوْ هَا (رواه الدارقطنى‬4‫ق بِنَ ْف ِسهَا ِم ْن َولِيِّهَا َو ْالبِ ْك ُر يُ َز ِّو ُجهَا‬
ُّ ‫الَّثيْبُ أَ َح‬

Artinya: janda lebih berhak atas dirinya sedangkan gadis dinikahkan oleh

bapaknya.82

Hak istimewa untuk dapat memaksa bagi anak/cucu perempuan ini

berlaku dengan beberapa syarat, yaitu:

1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir (bapak/kakek) dengan

perempuan yang akan dinikahkan.

2. Tidak ada permusuhan antara calon suami dengan perempuan tersebut.

3. Keduanya (calon suami dan istri) harus sekufu`.83

4. Harus ada mahar yang pantas.84

Berkaitan dengan syarat yang ketiga yaitu keduanya (calon suami dan

istri) harus sekufu` menurut Imam Syafi`i bahwa syarat wali mujbir boleh

menggunakan hak ijbarnya apabila calon suami yang akan dijodohkan itu

kufu`/kafā`ah atau persamaan derajat, setara baik dalam hal sosial,

pendidikan, ekonomi dan juga keturunan. Agar terjalin keharmonisan di antara

keduannya. Namun walaupun demikian, tergantung kepada wali dan anak

82
Mudafar Badri Dkk, Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, 112. Lihat
juga Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid II, (Beirut: Da>r al-Fikri 2005),
4 dan Sulaiman Rasjid,.Fiqh Islam, 38
83
Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab” Tausi>kh `Ala> Ibn Qa>sim”:
‫ وأن تزوج بكفء‬.‫ وبين الزوج عداوة مطلقا‬4‫ وال بينها‬.‫أن ال يكون بينها و بين وليها عداوة ظاهرة‬.

Lihat Abi Abdillah Muhammad Bin Qa>sim Asy-Syafi`i, Tausi>kh `Ala> Ibni Qa>sim,
(Maktabah Da>r Ihya> al-Kutub al-`Arabiyyah, tt),200
84
Mudafar Badri Dkk, Panduan Pengajaran Fiqih…, 110-111. Lihat juga Husain
Muhammad, Fiqih Perempuan, 81.Dengan menambahkan satu syarat ijbar bagi wali yaitu “calon
suami tidak akan menyakiti perempuan yang akan menjadi istrinya. Lihat pula Sulaiman Rasyid,
Fiqih Islam, 385
55

perempuannya, apabila mereka sama-sama ridha/setuju, maka pernikahannya

tetap sah asalkan sesama muslim walaupun tanpa adanya kafā`ah.85

H. Pandangan Fuqaha tentang Kafā`ah

Berkenaan dengan masalah keseimbangan (kafā`ah) ini, terdapat banyak

pendapat di antara fuqaha. Berikut ini akan dijelaskan mengenai perbedaan

fuqaha tersebut, di antanya:

1. Mażhab Maliki

Ulama malikiyah mengakui adanya kafā`ah, tetapi menurut mereka

kafā`ah hanya dipandang dari sifat istiqamah (dalam agama) dan budi

pekertinya saja. Kafā`ah bukan karena nasab atau keturunan.86

87
.(‫ وهما الدين والحال (السالمة من العيوب المثبتة للخيار‬: ‫الكفاءةعند المالكية إثنان‬

Golongan Malikiyah berpendapat bahwa kafā`ah dititik beratkan

pada dua hal, yaitu: masalah agama (harus muslim yang tidak fasik) dan

bebas dari cacat (jasmani dan rohani). Selain dari kedua masalah tersebut

seperti masalah harta, keturunan dan pekerjaan hanya merupakan

pertimbangan saja.88

Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bida>yah Al-Mujtahid bahwa:

4‫ق‬4‫ة من فاس‬44‫ر وبالجمل‬4‫ارب الخم‬4‫ األب من ش‬4‫ولم يختلف المذهب أن البكر إذا زوجها‬

‫ذالك إن‬44‫ا وك‬4‫رق بينهم‬44‫ك فيف‬44‫اكم في ذال‬44‫ر الح‬44‫اح وينظ‬44‫ها من النك‬44‫أن لها أن تمنع نفس‬
89
.‫ ممن ماله حرام أو ممن هو كثير الحلف بالطالق‬4‫زوجها‬

85
Mudafar Badri Dkk, Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, 111
86
M Abdul Ghaffar, Fiqih Keluarga,35
87
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6747
88
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 38
89
Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid II, 12
56

“tak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Maliki, jika perawan yang
dipaksa ayahnya untuk kawin dengan laki-laki peminum khamr atau orang
fasik mana saja, maka ia berhak menolak, dan hakim perlu meninjau
perkawinan seperti itu lalu menceraikan kedua suami istri tersebut. Dan
begitu pula apabila ia dikawinkan dengan orang yang hartanya diperoleh
dengan cara yang haram, atau dengan orang yang gemar bersumpah”.90
Adapun faktor keturunan, kekayaan, kemerdekaan semua itu tidak

diperhitungkan dalam perkawinan, menurut Imam Malik hanya dapat

digunakan untuk mempertimbangkan saja. Menurutnya laki-laki bangsa

`Ajam (selain Arab), sederajat dengan perempuan bangsa Arab meskipun

perempuan itu masih keturunan bangsawan. Laki-laki yang miskin berhak

menikah dengan perempuan terhormat, seorang budak juga boleh menikah

dengan siapa saja.91

Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-H{ujura>t ayat 13

yang berbunyi:

       


         
    
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Q.S al-H{ujura>t: 13).

Dari ayat di atas sudah jelas bahwa nilai kemanusiaan itu hanya ditentukan

pada sejauh mana ketakwaan seseorang kepada Allah Swt dalam menjalankan

perintahnya dan juga menjauhi larangannya.

Rasulullah Saw bersabda:

90
Muhammad Fuad, Fiqih Wanita Lengkap, (Jombang: Lintas media, 2007), 395
91
Muhammad Thalib, Terjemah Fiqih Sunnah, 97
57

‫م الَ فَضْ َل لِ َع َربِ ْي َعلَى َع َج ِم ْى َوال لِ َع َج ِمي عَلى َع َربَي َوال اَ ْبيَضُ عَلى‬.‫قَا َل النّبِى ص‬
)‫ض اِالّ بِا تّ ْق َوى (رواه اصحاب السنة‬ ِ َ‫د َوال اَ ْس َو ُد عَلى اال ْبي‬4ْ ‫األ ْس َو‬

Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada kelebihan orang


Arab atas orang `Ajam (bukan Arab) dan sebaliknya, tidak pula
orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam dan
sebaliknya, tidak ada kelebihan yang satu dengan yang lain
hanyalah ditentukan dengan nilai takwanya. (H.R Ash-Habus
Sunnah).92
Imam Malik berpegang pada ayat al-Qur`a>n dan Hadis di atas

bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali ditentukan dengan

nilai ketakwaannya kepada Allah Swt. Walaupun kedudukan yang tinggi,

harta yang melimpah, tidak akan berguna jika tidak dibarengi dengan iman

dan takwa. Jelaslah bahwa faktor agama sangat diutamakan dalam

kehidupan berumah tangga, sedangkan faktor-faktor lainnya hanyalah

sebagai pelengkap dan bahan pertimbangan saja.93

2. Mażhab Hanafi

Di kalangan ulama Mażhab Hanafi terdapat perbedaan pendapat

mengenai kafā`ah ini. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa

kafā`ah bukanlah merupakan syarat syah suatu perkawinan. Sedangkan

yang lainnya (ulama muta`akhirin) mengatakan bahwa kafā`ah merupakan

syarat sah suatu perkawinan dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Apabila seorang dewasa (baligh dan berakal) menikahkan dirinya

sendiri dengan seseorang yang tidak sekufu` dengannya, atau dalam

92
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 371
93
Saefullah, Konsep Kafāah dalam Perkawinan (Study Komparatif Menurut Imam Malik
dan Imam Syafi`i).Fakultas Syari`ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cirebon
(2006). 52-53
58

perkawinan ada unsur penipuan, maka wali (ayah/kakek) berhak untuk

tidak menyetujui perkawinan tersebut sebelum akad berlangsung.94

b. Apabila seorang wanita tidak dapat bertindak atas nama hukum seperti

anak kecil, yang dikawinkan oleh walinya dengan seseorang yang

tidak sekufu`, maka perkawinan itu fa>sid (rusak). Sebab menikahkan

perempuan dengn orang yang tidak sekufu` itu tidak akan membawa

kemaslahatan.95

c. Apabila wali dari perempuan itu dikenal sebagai orang yang

pilihannya selalu buruk, maka mengawinkan perempuan yang belum

dewasa dengan seseorang yang tidak sekufu`, perkawinan itu

dinyatakan batal.96

97
.‫ والحرفة‬،‫ والمال‬،‫ والنسب‬،‫ والحرية‬،‫ واالسالم‬،‫ هي الدين‬:‫الكفاءةعندالحنفية ستة‬

Ulama lain seperti Hasan al-Basri dari mażhab Hanafi, berpendapat

bahwa kafā`ah bukanlah menjadi faktor penting dalam suatu perkawinan

dan tidak termasuk syarat syah perkawinan itu. Alasannya adalah Hadis

Rasulullah Saw:98

‫اَلنَّاسُ َس َوا ِسيّةٌ َكأ َ ْسنَا ِن ْال ُم ْش ِط ْال َو ِح ِد الَ فَضْ َل لِ َع َربِ ٍّي َعلَى أَ ْع َج ِم ٍّي إِالّ بِا لتَّ ْق َوى (رواه‬

)‫أبو داود‬

94
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 36. Lihat juga Wahbah Al-Zuhailiy,
Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6742
95
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 36. Lihat juga Wahbah Al-Zuhailiy,
Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6742
96
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 37. Lihat juga Wahbah Al-Zuhailiy,
Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6742
97
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6747
98
M Ali Hasan, pedoman hidup berumah tanggga, 37
59

Artinya: Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada

kelebihan bagi orang Arab atas orang `Ajam (bukan Arab),

kecuali dengan takwa. (H.R Abu Daud).99

3. Mazhab Syafi`i

Syafi`iyyah mempunyai pendirian yang hampir sama dengan

hanafiyah, hanya sedikit ada penambahan dan pengurangan, demikian juga

ada penekanan. Mażhab Syafi`i menambahkan sang calon suami tidak

mempunyai cacat (aib). Syafi`iyah juga menekankan pada unsur

kemerdekaan, dan tidak menjadikan kekayaan sebagai kualifikasi

kafā`ah.100

‫ة من‬4‫ال م‬4‫ و الس‬،‫ب‬4‫ والنس‬،‫ة‬4‫ والحري‬،‫ هي الدين أو العفة‬:‫الكفاءة عند الشافعية خمسة‬
101
.‫ والحرفة‬،‫العيوب المثبتة للخيار‬

Menurut Abu Zakariya Yahya al-Nawawi dari Mażhab Syafi`i yang

dikutip oleh Khoiruddin Nasution, mengemukakan 6 kualifikasi dalam

penilaian kafā`ah.

a. Bebas dari penyakit yang bisa melahirkan khiyar

b. Kemerdekaan, dengan cacatan kehambaan dari pihak (garis) ibu tidak

menjadi penghalang. Jadi seorang yang mempunyai bapak merdeka,

tetap dikualifikasikan sebagai seorang merdeka.

99
Abu Daud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Da>r Al-
Fikr), 39. Lihat juga M A Tihami dan Sohari Sahroni, Fiqih Munakahat; Kajian…, 60
100
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, 226-227
101
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6747
60

c. Keturunan. Dalam masalah keturunan, al-Nawawi memberikan

penjelasan yang sama dengan Hanafiyah dan menekankan quraish

sekufu` dengan non-quraish, demikian juga hashimi dengan mutalibi.

d. Agama dan kebaikan moral

e. Pekerjaan (h}irfah)

f. Kekayaan (siyār). Unsur ini tidak dijadikan kualifikasi oleh al-

Nawawi. Walaupun dicatat juga, kalau unsur itu tetap dijadikan ukuran

kafā`ah, maka kemampuan yang dimaksud hanyalah sekedar

kemampuan membayar mahar dan nafkah.102

Menurut Mażhab ini bahwa kafā`ah merupakan hak seorang

perempuan yang ditujukan kepada calon suami, karena sejak semula

seorang laki-laki diberi hak untuk memilih jodohnya. Ukuran kafā`ah

menurut mażhab ini adalah kebangsawanan, keagamaan, kemerdekaan dan

mata pencaharian.103

Kafā`ah tidak menjadi syarat sahnya akad nikah tetapi menjadi

syarat luzu>m. Kafā`ah hanya dianggap syarat tambahan, sehingga kalau

ada seorang perempuan dikawinkan dengan seorang laki-laki yang tidak

kafā`ah, maka perkawinannya sah dan hak khiyar wali lainnya menjadi

hilang.104

4. Mażhab Hanbali

Golongan hanabilah berpendapat bahwa kafā`ah itu adalah dalam

masalah agama, keturunan, kekayaan dan status sosial. Dalam hal


102
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, 227
103
DjamanNur, Fiqih Munakahat, 79
104
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I…, 227
61

perkawinan yang paling penting adalah kafā`ah dalam masalah agama,

dalam arti sama-sama taat dan kuat komitmennya terhadap agama yang

dianutnya (sama-sama Islam).105

،)‫ال‬4‫ (الم‬4‫ار‬4‫ واليس‬،‫ب‬4‫ والنس‬،‫ة‬4‫ والحري‬،‫دين‬4‫هي ال‬: ‫ا‬4‫ة ايض‬4‫الكفاءة عندالحنابلة خمس‬
106
.)‫والصناعة (الحرفة‬

Menurut hanbaliyah, semua kualifikasi yang disebutkan di atas

hanya dituntut dari pihak laki-laki, sebab dialah yang akan menentukan

baik atau tidaknya rumah tangga. Karena itu, misalnya seorang perempuan

menikah dengan laki-laki yang jauh lebih baik dari padanya maka hal ini

tidak menjadi masalah.107

5. Mażhab Z{ahiri

Mażhab ini dengan tokoh sentralnya Ibnu Hazm, berpendapat

mengenai kafā`ah yaitu semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak

kawin dengan semua wanita muslimah, asal tidak tergolong wanita

pelacur. Bahwa semua orang Islam adalah bersaudara. Walau seorang

muslim yang fasiq, asalkan tidak berzina adalah kufu’ untuk wanita Islam

yang fasiq, asal bukan perempuan penzina.108

Pendapat ini didasarkan pada ayat firman Allah surat al-H{ujura>t

ayat 10 :

        


  

105
M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, 38
106
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, 6748
107
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, 230
108
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhammad Thalib, 36
62

Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
(Q.S. Al-Hujurāt [49]: 10)109
Berdasarkan ayat ini, maka semua muslim adalah bersaudara. Kata

bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat

yang sama antara satu dengan yang lainnya, termasuk dalam hal memilih

dan menentukan pasangannya.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas

ulama mengakui keberadaan kafā`ah dalam perkawinan.

109
Q.S al-Hujurāt [49]: 10

Anda mungkin juga menyukai