Anda di halaman 1dari 2

Nama : Syarifah Wahdah

Nim : 193070013
HES 1 / Semester 6

Perwakafan perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Pada Kompilasi Hukum Islam, pengertian wakaf tercantum dalam pasal 215 ayat 1 yang
menyebutkan bahwasannya wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
islam.
Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, lahirlah Kompilasi Hukum Islam
(KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama (PA), sehingga masalah waris dan wakaf masuk kembali menjadi otoritas
Pengadilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab fikih,
serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA dalam meyelesaikan masalah
perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Kehadiran KHI ini dilatarbelakangi karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan
PA terhadap masalah-masalah yang menjadi kewena ngannya, disebabkan dasar acuan
putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab fikih, yang sering
berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi
putusan yang berbeda antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.7 Tema
utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia, yang dijadikan
pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan
dan kepastian hukum. Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada
antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan
masyarakat.
Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkam kepada persepsi penegakan
hukum yang sama.

Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam untuk adanya wakaf harus dipenuhi 4 (empat)
unsur (rukun), yaitu :
a. adanya orang yang berwakaf (waqif) sebagai subjek wakaf
b. adanya benda yang diwakafkan (mauquf)
c. adanya penerima wakaf (sebagai subyek wakaf) (nadzir)
d. adanya ‘aqad atau lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada
orang atau tempat berwakaf (si mauquf alaihi).

Pengaturan unsur-unsur dalam ketentuan pasal 217 angka 2 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa yang menjadi subyek wakaf atau yang dinamakan dengan wakif itu bisa :
a. orang
b. orang-orang, atau
c. badan hukum.
Adapun Syarat-syaratnya sebagai wakif sebagai mana diatur dalam ketentuan Pasal 217 ayat
(1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, yaitu :

1. Apabila yang menjadi wakif itu orang atau orang-orang, dipersyaratkan :


a. telah dewasa,
b. sehat akalnya,
c. oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, dan
d. dilakukan atas kehendak sendiri.

2. Apabila yang menjadi wakif itu badan-badan hukum Indonesia, maka yang bertindak untuk
dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.

Untuk mengelola benda wakaf tersebut, maka diadakan nadzir, yang menurut ketentuan
dalam Pasal 215 angka 5 Kompilasi Hukum Islam, harus berbentuk kelompok orang atau
badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

Adapun nadzir yang perorangan menurut ketentuan dalam Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Warga negara indonesia
b. Beagama Islam
c. Sudah dewasa
d. Sehat jasmaniah dan rohaniah
e. Tidak berada dibawah pengampuan
f. Bertempat tinggal dikecamatan tempat letak benda yang di wakafkannya.

Mengenai jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, ditentukan dalam
Pasal 219 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam, yaitu sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga)
orang dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang yang diangkat oleh kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Kewajiban nadzir ditentukan dalam Pasal 200 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :
1. Mengurus dan beranggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan
perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri
Agama
2. Membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud diatas kepada kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Camat
setempat sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Agama.

Adapun hak nadzir menurut Pasal 222 Kompilasi Hukum Islam, yaitu mendapatkan
penghasilan dan fasilitas, yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas
saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan AgamaKecamatan yang bersangkutan.

Kompilasi Hukum Islam tidak ditentukan masa jabatan nadzir, tetapi dalam keadaan tertentu
nadzir dapat diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang
bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai